Apa makna dari being? Apa makna dari ada? Maksud dari ada itu apa?
Mungkin pertanyaan makna-being adalah sangat abstrak. Tapi, justru, bisa sebaliknya. Makna-being adalah paling konkret, paling nyata. Karena segala sesuatu harus ada agar punya makna. Segala sesuatu adalah being itu sendiri.

Pertanyaan adalah segalanya. Meski, kita mencari jawaban dari suatu pertanyaan, tetapi, pertanyaan baru selalu bisa datang lagi. Justru, pertanyaan itu perlu.
1. Pertanyaan Makna-Ada
2. Destruksi Metafisika
3. Rekonstruksi Tanpa Henti
3.1 Histori
3.2 Bahasa
3.3 Politik Bahasa
3.4 Cerita
3.5 Irreducible
4. Metafora Fisika: Metafisika
4.1 Bahasa Being
4.2 Bentukan Manusia
4.3 Krono-Logika
4.4 Awal Bahasa
4.5 Revisi Dugaan Awal
4.6 Being Lebih Original
4.7 Bahasa Metafora
4.8 Pra Bahasa
4.9 Peran Penting Metafisika
5. Hakikat Manusia Dasein
5.1 Mengapa Dasein
5.2 Being History
5.3 Sejarah Hegel
5.4 Sejarah Husserl
5.5 Being Seutuhnya
5.6 Dominasi Present
5.7 Metafisika Present
5.8 Kehabisan Nafas
5.9 Sikap Otentik
5.10 Meruntuhkan Sejarah
5.11 Dasein Lalu Subyek
5.12 Oto-Transmisi
5.13 Histori Otentik
5.14 Keteguhan
5.15 Freedom
5.16 Teknologi Modifikasi
5.17 Repetisi
5.18 Enigma
5.19 Etika
5.20 Sejarah Dunia
5.21 Sejarah Sains
6. Melampaui Dasein
6.1 Being Melebihi Dasein
6.2 Time and Being
6.3 Being Secara Umum
6.4 Time
6.5 Determinasi Dia
6.6 Appropriation
6.7 Metafisika Lagi
6.8 Tataluma
6.9 Urip Iku Urup
6.10 Relativitas Einstein
7. Metafisika Infinity Absolut
7.1 Rumah-Being: Bahasa Matematika
7.2 Infinity Infinity
7.3 Absolut
7.4 Analisis Umum Being & Event
7.5 Kesimpulan Ringkas
8. Aktualisasi Being
8.1 Wong Jawani: Binatang Vs Malaikat
8.2 Nama-Nama
8.3 Aktualisasi
8.4 Evolusi
8.5 Sejarah Masa Depan
Pertama yang harus dilakukan adalah destruksi metafisika agar seseorang bisa bertanya apa makna-ada. Karena, metafisika meng-klaim memiliki jawaban atas semua pertanyaan. Metafisika bisa berupa ajaran filsafat atau ajaran agama atau ajaran tradisi. Kedua, dengan destruksi, kita jadi tahu apa yang harus ditanyakan dan bagaimana proses menemukan jawaban. Ketiga, jika Anda merasa tidak perlu untuk “bertanya makna-ada” maka, sebaiknya, Anda berusaha membangkitkan hasrat untuk bertanya tersebut.
Pertanyaan dan jawaban adalah milik masing-masing orang. Tentu saja, manusia bekerja sama untuk saling belajar dan mengajar. Manusia adalah makhluk natural, sosial, dan political. Di saat yang sama, masing-masing manusia terus bertumbuh. Sehingga, setiap masa dan setiap ruang memiliki pertanyaan dan jawabannya sendiri. Meski demikian, pertanyaan makna-ada, question-of-being akan menuntut kajian ontologi fundamental. Kita akan membahasnya secara bertahap.
1. Pertanyaan Makna-Ada
Pertanyaan apa makna-ada, apa makna-being, bukanlah pertanyaan ontologi seperti biasa. Bukan pula pertanyaan metafisika. Istilah ontologi tidak memadai di sini.
“I, Derrida, say: the question of Being and not ontology, because the word ontology is going to appear more and more inadequate, as we follow Heidegger’s tracks, to designate what is in question in his work when the question is that of being. Not only is Heidegger not here undertaking the foundation of an ontology, not even of a new ontology, nor even of an ontology in a radically new sense, not even, in fact, the foundation of anything at all, in any sense at all — what is at issue here is rather a Destruction of ontology.”
Tugas kita, di sini, justru destruksi-ontologi. Merobohkan ontologi. Meruntuhkan ontologi beserta histori ontologi. Tidak menggantinya dengan ontologi-baru. Tidak juga menggantinya dengan ontologi yang lebih radikal. Lalu, untuk apa?
Agar kita bisa bertanya apa makna-ada. Kita perlu hati-hati. Kata “apa” dalam “apa makna-ada” bisa salah arah. Karena “apa” biasa merujuk ke suatu obyek tertentu. Sementara, makna-ada belum bisa kita pastikan merujuk ke suatu obyek tertentu. Sehingga, kita bisa saja mengganti pertanyaan makna-ada menjadi: “Siapa makna-ada?” “Mengapa makna-ada?” “Bagaimana makna-ada?” atau lainnya.
Demikian juga dengan kata “makna” dalam kata “makna-ada” bisa salah arah. Seakan-akan, “ada” memiliki “makna” tertentu yang berbeda dengan penampakan yang “ada”. Kita belum bisa memastikan, sampai di sini, apakah ada “makna” seperti itu. Kita, justru, sedang menanyakan, “Apa makna-ada?”
Pemilihan kata dan kalimat tanya, seperti di atas, adalah sekedar alat bantu untuk mengarahkan penyelidikan filosofis kita. Bagaimana pun, pemilihan kata ini menimbulkan kerumitan tersendiri. Kita perlu menanganinya sepanjang kajian.
Bagaimana pun, pertanyaan makna-ada, atau question-of-being lebih fundamental dari ontologi.
2. Destruksi Metafisika
Saya lebih cocok menggunakan istilah destruksi metafisika. Tetapi, Derrida dan Heidegger menggunakan istilah destruksi ontologi. Sehingga, kita akan menggunakan istilah destruksi ontologi di berbagai tempat.
“We understand this task as the destruction of the traditional content of ancient ontology which is to be carried out along the guidelines of the question of being [literally: taking the question of being as guiding thread : am Leitfaden der Seinsfrage]. This destruction is based upon the original experiences in which the first, and subsequently guiding, determinations of being were gained.” (Heidegger)
Kita perlu memberi beberapa catatan tentang destruksi.
Pertama, destruksi bukan pembuangan, bukan penolakan, dan bukan pembungkaman. Bahkan, destruksi bukan merupakan suatu persaingan dengan mengalahkan yang lain. Destruksi, sama sekali bukan penolakan.
Kedua, destruksi bukan refutasi, bukan penolakan ontologi. Karena, refutasi ontologi sama artinya dengan memenangkan ontologi yang lain. Justru, tugas destruksi adalah meruntuhkan semua ontologi itu.
Ketiga, destruksi bukan dialektika atau sintesa. Tesis berlawanan dengan anti-tesis kemudian menghasilkan sintesis. Destruksi bukan sintesis seperti itu.
Keempat, destruksi bukan kritik. Destruksi tidak mengoreksi berbagai kesalahan ontologi, untuk kemudian, memunculkan ontologi yang lebih benar.
Kelima, destruksi bukan metode. Karena, metode justru termasuk obyek destruksi itu sendiri. Tidak ada metode baku untuk bisa melakukan destruksi.
“It is a destruction — that is, a deconstruction, a destructuration, the shaking that is necessary to bring out the structures, the strata, the system of deposits. As Heidegger said in the passage from a moment ago, sedimentations of the ontological tradition — sedimentations that have, according to a certain necessity, always covered over the naked question of being — covered over a nudity that in fact never unveiled itself as such.” (Derrida).
Destruksi adalah dekonstruksi. Sebuah gempa dahsyat, goyangan besar, yang menyingkapkan struktur tersembunyi, strata tersembunyi, dan sistem pegumpulan kekayaan yang keji.
Tradisi sepanjang sejarah telah menumpuk beragam konstruksi sosial dan natural yang menyembunyikan beragam pertanyaan paling penting, “Apa makna semua yang ada?” Destruksi mengungkap kembali, “Apa makna kamu jadi pejabat?” Apakah agar kamu bisa mengumpulkan kekayaan? Apakah agar kamu bisa berbuat semena-mena? Apakah agar kamu bisa foya-foya menikmati dunia? Atau, apakah, dengan menjadi pejabat membuat kamu bisa lebih berkhidmat kepada rakyat?
Destruksi memunculkan pertanyaan,”Apa makna kamu jadi pemimpin agama?” Apakah agar dihormati umat? Apakah agar bisa mengumpulkan dana umat? Apakah agar kamu bisa menindas umat? Ataukah, sebagai pemimpin agama, menjadikan kamu lebih bisa berkhidmat kepada umat?
Destruksi bertanya,”Apa makna semua pencitraan ini?” Apakah agar kamu terlihat seperti orang yang baik, bermoral, sempurna? Apakah untuk memikat hati rakyat agar memilihmu ketika pemilu? Ataukah untuk menipu diri sendiri?
Destruksi adalah sebuah gempa dahysat, goyangan besar, untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan besar. Lalu, apa solusinya? Pertanyaan tentang solusi, seperti itu, adalah pertanyaan besar.
Destruksi seiring sejalan dengan pertanyaan “apa makna-ada?” atau “the question of being.” Pertanyaan ontologi ini lebih fundamental dari ontologi itu sendiri. Sehingga, kita bisa menyebutnya sebagai ontologi fundamental: apa makna-ada?
Berikut, tiga pertimbangan mengapa pertanyaan lebih fundamental dari ontologi.
Ontologi regional dan ontic. Masing-masing regional memiliki ontologinya sendiri. Fisika mengasumsikan materi fisik dalam ruang waktu yang menjadi kajiannya. Biologi mengasumsikan adanya makhluk hidup sebagai kajian utama. Filsafat fokus kepada metafisika misalnya. Ekonomi mengasumsikan kehidupan sosial saling jual-beli sebagai kajian. Agama mengasumsikan nara sumber suci sebagai pegangan ontologi. Psikologi mengasumsikan jiwa manusia bisa dikaji.
Kita perhatikan ontologi regional, seperti di atas, memiliki batasannya masing-masing. Kita memerlukan question-of-being yang meliputi semua tetapi bukan gabungan abstrak dari mereka. Lagi pula, ontologi regional beresiko menjadi timbunan pengetahuan-ontic, yaitu, klaim kebenaran hanya berdasar asumsi internal saja. Kita membutuhkan ontologi-fundamental, “Apa makna-ada?”
Berpikir-terbuka bukan konsep. Berpikir tentang being, berpikir tentang-ada, bukanlah berpikir tentang konsep being. Berpikir adalah berpikir-terbuka yang merupakan being itu sendiri. Berpikir-terbuka mengijinkan being membuka diri, mengijinkan alam raya membuka diri, dan mengijinkan diri manusia membuka diri. “Apa makna semua yang ada?”
Esensi Eksistensi. Sejak era Aristoteles, kita membedakan antara esensi dan eksistensi. Perdebatan filosofis di Timur maupun di Barat terjadi. Mana lebih utama antara esensi dan eksistensi? Tetapi, ontologi fundamental bergerak lebih fundamental dengan mengajukan pertanyaan, ketika, being belum bercabang dua sebagai esensi dan eksistensi: “Apa makna-ada?”
Question-of-being memandu kita untuk berpikir truth-of-being atau being-sejati. Berpegang kepada ontologi, tidak lagi memadai.
“It tries to reach back into the essential ground from
which thought concerning the truth of being emerges. By initiating another inquiry this thinking is already removed from the “ontology” [in quotes] of metaphysics (even that of Kant). “Ontology” itself, however, whether transcendental or precritical, is subject to critique, not because it thinks the being of beings and in so doing reduces being to a concept, but because it does not think the truth of being and so fails to recognize that there is a thinking more rigorous than conceptual thinking.” (Heidegger).
Berpikir being-sejati telah dihapus dari ontologi metafisika. Kita perlu berpikir kembali being-sejati itu sebagai fundamental ontologi. Dalam dirinya sendiri, ontologi transendental mau pun precritical adalah subyek dari kritik. Bukan saja karena ontologi membahas being-of-being sebagai konsep. Tetapi, karena ontologi tidak berpikir being-sejati yaitu tidak berpikir yang lebih kokoh.
3. Rekonstruksi Tanpa Henti
Bagaimana pun kita perlu konstruksi. Sehingga, setelah destruksi, kita perlu rekonstruksi. Bagi Derrida, dia memilih dekonstruksi yang di dalamnya tercermin proses destruksi sekaligus rekonstruksi.
Being meng-konstruksi sejarah. Dan, sejarah meng-konstruksi being. Ada hubungan timbal balik antara being dan histori. Adakah yang lebih dominan dari keduanya? Hubungan seperti apa antara keduanya? Apakah kita bisa membahas keduanya secara mandiri?
Destruksi meruntuhkan ontologi dengan question-of-being. Selanjutnya, setelah runtuh, kita perlu membangun kembali, rekonstruksi being dan histori. Kita mengkaji histori, di sini, sebagai upaya awal rekonstruksi yang tiada henti.
3.1 Histori
“Humanism, subjectivity and metaphysics are indissociable, as Heidegger will show later, and ultimately, on this view, Marx, in his concept of labor, however profound the penetration of historicity allowed by it, remained an inheritor of Hegelian metaphysics, in the form of the subjectivizing voluntarism we were speaking of last time, and ultimately of a humanist anthropologism. To free oneself from it and truly think labor (and therefore history) outside the horizon of Hegelian metaphysics, it would have been necessary to think the essence of technology sheltered and hidden in this notion of labor.” (Derrida).
Marx mengira bahwa tenaga kerja, buruh, adalah penentu arahnya sejarah. Buruh, sebagai subyek yang bebas, menggalang kekuatan mengukir sejarah. Dengan sudut pandang ini, Marx merupakan pewaris dari metafisika Hegel. Akibatnya, corak pemikiran mereka adalah humanist antropologist. Untuk bisa membebaskan diri dari metafisika Hegel, seseorang perlu berpikir esensi teknologi, yang, menunggangi dan bersembunyi pada ide buruh.
Kita mengakui peran teknologi begitu besar di abad 20 dan, apa lagi, abad 21 yang serba digital. Apakah di jaman kuno, teknologi juga berperan? Apakah di jaman Plato, teknologi itu penting? Apakah di jaman Ibn Sina, masyarakat perlu teknologi? Tentu saja, mereka tidak membutuhkan teknologi digital seperti yang ada sekarang. Apakah teknologi digital, yang sekarang merebak di mana-mana, bisa diganti dengan teknologi baru di masa depan? Misal, oleh teknologi quantum? Meski teknologi berubah, tetapi esensinya sama. Esensi teknologi tetap berperan besar di seluruh sejarah umat manusia. Esensi teknologi, bukan teknologi itu sendiri.
Esensi teknologi adalah enframing. Teknologi mengendalikan being. Teknologi menyembunyikan being tertentu, dan, memunculkan being yang lain. Teknologi adalah truth-of-being itu sendiri yang, esensinya, justru dilupakan banyak orang. Agar Marx bisa memikirkan histori dengan lebih radikal maka perlu bergeser dari fokus buruh ke fokus teknologi. Lebih tepatnya, fokus ke esensi teknologi sebagai enframing.
Tetapi, benarkah teknologi paling menentukan arahnya sejarah? Bukankah hingar-bingar politik lebih berpengaruh terhadap sejarah? Bukankah kerakusan ekonomi sebagai sumber goncangan sejarah? Dan, bukankah semua itu dipengaruhi oleh bahasa?
Meskipun teknologi mengarahkan arah sejarah, kita akan mencermati peran bahasa lebih awal, di bagian ini. Karena, peran bahasa bisa lebih besar dari lainnya.
3.2 Bahasa
Dari mana kita akan mulai kajian?
Tidak mungkin dari titik nol. Karena, titik nol memang tidak akan ke mana-mana. Memang problematis.
Descartes terkenal dengan cogito, yaitu, dengan meragukan segalanya. Sampai akhirnya, dia yakin, “Aku berpikir maka aku ada.” Bagaimana pun, Descartes mengalami kesulitan untuk membuktikan eksistensi alam eksternal. Tersedia banyak argumen untuk membuktikannya. Di saat yang sama, selalu tersedia argumen tandingan yang seimbang.
Husserl terkenal dengan fenomenologi yang mengijinkan obyek hadir apa adanya dalam kesadaran manusia. Sementara, segala prasangka yang ada kita tunda sejenak agar kita bisa mencermati obyek apa adanya. Fenomenologi membuka banyak cakrawala baru secara filosofis, termasuk, berkembangnya eksistensialisme. Dalam fenomenologi, peran subyek-transendent begitu kuat. Sehingga, fenomenologi lebih dekat ke humanis antropologis.
Tentu saja, seseorang bisa mulai kajian dengan klaim otoritas metafisika. Ada kebenaran mutlak yang jadi pegangan mereka. Cara ini tidak bisa dibenarkan karena metafisika sudah runtuh dengan destruksi metafisika. Demikian juga, ontologi runtuh dengan destruksi ontologi. Kita, saat ini, hendak rekonstruksi. Kita sudah menyebutkan di atas, destruksi adalah goncangan dashyat yang meruntuhkan struktur, sedemikian hingga, kebenaran yang tersembunyi bisa menampilkan diri.
Heidegger mengusulkan dasein sebagai being-in-the-world. Being sudah selalu hadir dalam dunia. Tidak ada being sendirian di ruang hampa. Tidak ada, misal, muncul satu manusia sendiri di ruang hampa, tanpa udara, tanpa cahaya, tanpa semesta. Jadi, being niscaya dalam dunia. Pengertian dunia bisa saja beragam: dunia fisik, dunia kerja, dunia olah raga, dunia seni, dunia bahasa, dan sebagainya.
Manusia adalah anggota dunia sebagai mana semesta lainnya. Manusia dan dunia setara, termasuk semesta. Meski demikian, masing-masing being memiliki keunikan tersendiri. Manusia, misalnya, adalah dasein yaitu being yang mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri.
Selanjutnya, tugas manusia di dalam dunia adalah menginterpretasikan dunia. Pertama, melakukan destruksi terhadap dunia berbekal interpretasi awal. Kedua, melakukan rekonstruksi terhadap dunia dengan interpretasi baru.
Dengan mempertimbangkan dasein sebagai being-in-the-world maka peran bahasa sangat besar. Dunia bahasa adalah yang paling berpengaruh terhadap sejarah dan being. Sehingga, manusia, diri kita, perlu men-dekonstruksi bahasa. Bahasa adalah rumah being. Rumah di mana kita bisa menemukan being. Di saat yang sama, rumah bisa menyembunyikan isi dalam rumahnya. Dekonstruksi mengantarkan kita ke truth-of-being.
3.3 Politik Bahasa
Makin menarik bila kita mengkaji dunia politik dihubungkan dengan dunia bahasa. Keduanya saling berpengaruh dengan kuat. Pada akhirnya, atau sejak awal, menciptakan sejarah.
Sedikit kita ambil contoh di tahun 2022, ketika saya menulis tulisan ini. Beberapa pejabat Indonesia menyatakan bahwa tahun 2023 akan terjadi krisis ekonomi dunia. Akibatnya, akan terjadi krisis pula di Indonesia.
Bahasa politik jenis apakah yang seperti itu?
Pertama, bahasa politik seperti di atas bersifat futural, masa depan. Sehingga, kita bisa melakukan antisipasi dengan bahasa futural. Barangkali, kita bisa bersama-sama mencegah agar tidak terjadi krisis di tahun 2023. Atau, setidaknya, kita bisa menyiapkan mitigasi, seandainya, tetap terjadi krisis.
Kedua, bagi pejabat, bahasa politik di atas bisa dijadikan dalih faith-accompli. Maksudnya, krisis di Indonesia pada tahun 2023 itu pasti terjadi. Meski pun para pejabat sudah melakukan antisipasi, tetap saja, krisis terjadi. Jika pejabat tidak melakukan antisipasi, juga sama, krisis tetap terjadi. Pejabat tidak bisa disalahkan. Krisis terjadi akibat dari krisis dunia 2023, yang, di luar tanggung jawab kita.
Ketiga, pandangan kritis Faisal Basri perlu kita cermati. Faisal tampaknya setuju saja bahwa 2023 akan terjadi krisis ekonomi dunia. Tetapi, berdasar pengalaman masa lalu, pengaruh krisis dunia relatif kecil terhadap Indonesia, misal krisis 2008. Sehingga, Indonesia tetap bertanggung jawab terhadap terjadi krisis atau tidak di tahun 2023. Kita tidak bisa menyalahkan krisis dunia 2023. Apalagi, menjadikan mereka sebagai biang keladi krisis Indonesia. Kita perhatikan, begitu besar pengaruh bahasa politik. Bila ditambahkan bumbu “cerita” maka akan makin mempesona.
3.4 Cerita
Setiap orang mudah memahami cerita. Sehingga, question-of-being menjadi lebih mudah dipahami dalam bentuk cerita. Kita tahu, banyak penulis mengungkapkan ide-ide dalam bentuk cerita. Apakah cerita menjadikan makna-being lebih jelas? Atau, membuat lebih kabur makna-being?
“Now, what is it to tell stories? To tell stories is to ignore this difference and confuse the Gefragtes and the Befragtes, it is to ignore the Erfragtes, it is to assimilate being and beings, that is, to determine the origin of beings qua beings on the basis of another being. It is to reply to the question “what is the being of beings?” by appealing to another being supposed to be its cause or origin. It is to close the opening and to suppress the question of the meaning of being. Which does not mean that every ontic explication in itself comes down to telling stories; when the sciences determine causalities, legalities that order the relations between beings, when theology explains the totality of beings on the basis of creation or the ordering brought about by a supreme being, they are not necessarily telling stories. They “tell stories” when they want to pass their discourse off as the reply to the question of the meaning of being or when, incidentally, they refuse this question all seriousness. When the sciences or theology or metaphysics say, “We’re dealing with beings, with the beings in this region or beings in their totality or beingness without needing to pose the question of the truth of being,” then these discourses are content to tell stories, and those who speak them refuse to pose the question of knowing what they are talking about and to make explicit the meaning of their language.” (Derrida).
Pertama, cerita atau metafora memang mengaburkan makna-being. Dalam cerita, kita tidak bisa membedakan inti-cerita-ontic dengan inti-cerita-ontologi. Ontic adalah konsep jelas yang terkandung dari suatu cerita. Ontic bukan makna-being yang kita selidiki. Kita, sejatinya, sedang menyelidiki makna-ontologi. Suatu cerita bisa mengklaim sebagai gabungan ontic dan ontologi.
Kedua, cerita adalah cara efektif untuk mengantarkan penyelidikan question-of-being. Ketika makna-ontic datang pertama kali, maka, ijinkan makna-being lebih dalam membuka diri. Makna-being ini, yang lebih mendalam, adalah makna-ontologi yang sedang kita selidiki. Makna-ontic bisa kita tetapkan di awal, tetapi, makna-ontologi membuka diri dengan caranya sendiri yang kreatif.
Ketiga, cerita yang kita maksud di atas bisa berupa metafisika, mitologi, agama, sains, ideologi, dan lain-lain.
3.5 Irreducible
Sampai di sini, kita berhadapan dengan fakta “irreducible” atau tak-tereduksi. Antara being, histori, dan bahasa tidak bisa saling mereduksi. Being tidak bisa mereduksi histori agar menjadi bagian being. Histori tidak bisa mereduksi bahasa agar menjadi bagiannya. Sebaliknya, juga tidak bisa.
Sehingga, kita memiliki tanggung jawab untuk rekonstruksi ketika melakukan reduksi. Karena, jelas, reduksi tidak adil terhadap banyak pihak. Dan, kita perlu senantiasa berpikir-terbuka untuk membuka segalanya.
Question-of-being mengarahkan kita melakukan kajian melalui dekonstruksi. Untuk bisa “bertanya” maka kita perlu sudah mengetahui apa yang akan ditanyakan. Kita perlu pengetahuan-awal, untuk kemudian, bisa mengajukan pertanyaan. Orang bisa berargumen bahwa pengetahuan-awal itu sendiri membutuhkan pengetahuan-lebih-awal tanpa henti. Meski, hal tersebut bisa terjadi, kita tetap bisa berhenti pada pengetahuan-awal tertentu, untuk kemudian, mengajukan question-of-being. Lalu, terjadi dekonstruksi.
Mari kita ringkas apa yang kita diskusikan sejauh ini.
1) Question-of-being menjadi panduan untuk mengkaji being lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terbuka. Ontologi fundamental.
2) Destruksi merupakan suatu keharusan untuk mengungkapkan struktur horisontal berbagai pihak. Karena itu, saya kadang menyebut destruksi sebagai horisontalisasi atau horisoni.
3) Rekonstruksi adalah tanggung jawab. Tersedia beberapa pilihan rekonstruksi being: histori, bahasa, dan teknologi.
Secara bertahap kita akan membahas lebih detil.
4. Metafora Fisika: Metafisika
Question-of-being, yang paling penting, menjamin dua hal.
1) Pengetahuan-awal atau faktum. Untuk bisa bertanya, kita harus memiliki faktum. Dan, setiap orang selalu memiliki faktum. Lebih jauh, faktum ini pun dalam rupa bahasa.
2) Pertanyaan itu sendiri adalah “kita”. Jadi, kita bertanya tentang kita. Manusia adalah being yang mempertanyakan being dirinya sendiri: dasein. Dan, pertanyaan oleh dasein tentang dasein itu juga dalam rupa bahasa.
Faktum adalah pengetahuan-ontic. Sementara, kita sedang menyelidiki pengetahuan-ontologis. Karena itu, question-of-being mengarahkan kita dari ontic ke ontologis. Tetapi, selalu terdapat perbedaan antara ontic dan ontologis: ontological-difference. Perbedaan ini menjamin selalu ada posibility untuk bergerak mendekati.
Sedangkan dasein, akan menjadi pembahasan utama kita kali ini. Dasein tinggal di rumah being yaitu bahasa.
4.1 Bahasa Being
Kita perlu membedakan bahasa menjadi dua: bahasa-formal dan bahasa-being.
1) Bahasa-formal adalah bahasa yang seperti biasa kita gunakan. Bahasa-formal memiliki struktur formal sehingga kita bisa memahami maksud dari suatu bahasa. Dalam bahasa-formal, kita bisa melakukan penyelidikan logika. Dan, bahasa formal merujuk realitas-ontic tertentu.
2) Bahasa-being adalah bahasa yang merupakan rumah-being. Bahasa-being adalah tempat manusia-ontologis lahir dan bertumbuh. Bahasa-being yang mendorong munculnya formula question-of-being, misal, “Siapakah saya?”
“No, we are not just dealing with such a formal logical schema. But to pass beyond logical and discursive formality here, we have to take into consideration the fact that we are dealing with the question of being and that this question of being is not a question among others, a question coming, as an example, to illustrate the general formal structure of the question in general.” (Derrida)
Kita perlu melangkah lebih jauh dari bahasa-formal menuju bahasa-being. Kesulitan muncul karena bahasa-being memang bahasa-formal itu sendiri dalam rupa peran yang unik. Sementara, semua pemahaman kita tentang bahasa, umumnya, adalah bahasa-formal. Jika kita bermaksud mendefinisikan bahasa-being maka kita akan mengubah bahasa-being menjadi bahasa-formal.
Ketika ada orang keberatan dengan eksistensi bahasa-being, kemudian, mereka meminta penjelasan tentang bahasa-being secara gamblang, maka, mereka hanya bisa menemukan bahasa-formal belaka. Seseorang perlu berpikir-terbuka untuk mengenali eksistensi bahasa-being, dengan mengenali question-of-being, dan berakibat horisoni ontologi.
“But from the moment that the question of being is recognized and one sees that it is no longer a sample among others of this formal structure of the question in general, then everything changes.” (Derrida).
Momen ketika bahasa-being itu hadir menjadikan segalanya berubah. Dalam momen ini, kajian question-of-being menjadi terbuka. Sebuah momen unik yang hanya dialami oleh manusia-ontologis, wong jawani.
Kita bisa mencermati binatang, misal srigala. Mereka memanfaatkan bahasa-formal untuk koordinasi berburu mangsa. Srigala menggunakan bahasa-formal untuk menggiring anak-anaknya makan dan bermain. Mereka juga menggunakan bahasa-formal untuk saling merayu.
Tetapi, kita tidak menemukan tanda-tanda bahwa srigala menggunakan bahasa-being. Kita tidak menemukan srigala bertanya tentang question-of-being.
Demikian juga, kita bisa mencermati masa kanak-kanak anak manusia. Mereka menggunakan bahasa-formal dengan kreatif. Anak-anak mampu merangkai kata-kata baru, bahkan, tanpa contoh sebelumnya. Anak-anak juga mampu memahami kata-kata baru hanya dari penggunaannya saja. Tanpa harus ada definisi di awal. Anak-anak benar-benar kreatif menggunakan bahasa-formal. Bagaimana pun bahasa anak-anak adalah bahasa-formal belum menggunakan bahasa-being.
Anak-anak beranjak remaja, beranjak dewasa. Di antara mereka ada yang mengajukan pertanyaan, “Siapakah saya?” Question-of-being mengundang anak remaja itu menjadi manusia sejati, wong jawani, dasein otentik. Beberapa di antara anak-anak itu, kemudian, menjalani hidup sebagai manusia ontologis. Sebagian anak-anak yang lain menutup pintu question-of-being itu dengan tumpukan besar metafisika. Pintu tertutup rapat. Tidak ada lagi pertanyaan ontologis. Semua jawaban telah tersedia dengan jelas dan tegas. Semua jawaban dijamin oleh metafisika.
Sewaktu-waktu, setiap anak manusia, tetap bisa mengajukan question-of-being. Dan, membuka lagi pintu rumah-ontologi, rumah-being.
4.2 Bentukan Manusia
Kita bisa menduga bahwa manusia “menciptakan” bahasa untuk komunikasi. Bahasa adalah bentukan oleh manusia. Untuk bahasa-formal, barangkali, memang bentukan oleh manusia. Bagaimana dengan bahasa-being?
Bahasa adalah yang “membentuk” manusia. Anda dibentuk oleh bahasa. Anda dipoles oleh bahasa. Anda menjadi manusia karena bahasa. Manusia diciptakan oleh bahasa melalui proses sejarah. Justru, dengan demikian, manusia terbebas dari ikatan alam-ontic. Manusia terbebas dari tanah, darah, dan daging. Manusia eksis dan tinggal di rumah-being bahasa.
Memang badan kita terdiri oleh tulang, daging, dan kulit. Setiap hari, kita makan tumbuhan atau daging. Setiap saat, kita menghela nafas, menghirup udara oksigen, nitrogen, carbon dioksida, dan lain-lain. Tetapi, manusia terbebas dari itu semua. Manusia transenden dari alam-ontic itu. Manusia menjadi manusia karena hembusan bahasa.
“The nearness [ . . . ] este as language itself. But language is not mere speech, insofar as we represent the latter at best as the unity of phoneme (or written character), melody, rhythm, and meaning (or sense). We think of the phoneme and written character as a verbal body for language (Wortleib), of melody and rhythm as its soul, and whatever has to do with meaning as its spirit. We usually think of language as corresponding to the essence of the human being represented as [Husserl] animal rationale, that is, as the unity of body- soul- spirit. But just as ek- sistence — and through it the relation of the truth of being to the human being — remains veiled in the humanitas of homo animalis, so does the metaphysical- animal explanation of language cover up the seinsgeschichtliches Wesen, the essence of language in the history of being. (Pathmarks, 273– 74) (Heidegger)
Bahasa adalah rumah being. Tentu saja maksud bahasa di sini bukanlah bahasa yang terdiri dari suara, nada, dan makna. Umumnya, bahasa dipandang sebagai karakter spesial manusia. Pasangan selarasnya suara adalah badan, nada adalah jiwa, dan makna adalah ruh. Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Tetapi, jika eksistensi manusia tetap tersembunyi, maka demikian juga, penjelasan metafisika bahasa masih menyembunyikan hakikat bahasa sebagai sejarah being.
“According to this essence [historico- ontological], language is the house of being, which is propriated by being and pervaded by being. And so it is proper to think the essence of language from its correspondence to being and indeed as this correspondence, that is, as the Behausung [shelter, habitation] of the human being’s essence. But the human being is not only a living creature who possesses language along with other capacities. Rather, language is the house of being in which the human being ek- sists (ek- sistiert) by dwelling, in that he belongs to the truth of being, guarding it. (Pathmarks, 254) (Heidegger).
Hakikat manusia tinggal di rumah-being bahasa. Manusia eksis sebagai truth-of-being dengan menjaga dan dijaga oleh bahasa, rumah-being. Tentu saja, manusia bukan hanya bahasa. Manusia tetap merupakan struktur kompleks unsur natural, kultural, dan spiritual, yang memiliki rumah-being yaitu bahasa.
4.3 Krono-Logika
Sudah sewajarnya, kita berpikir secara kronologis dan logis. Sementara, pembahasan kita mengenai being, bahasa, dan manusia adalah lebih fundamental dari logika itu sendiri. Bagaimana pun, di bagian ini, saya akan memberi ilustrasi logis yang, sejatinya, tidak benar. Ilustrasi logis ini, meski salah, barangkali bisa memudahkan pemahaman.
(1) Being ===> (2) Bahasa ===> (3) Manusia
Manusia adalah urutan terakhir. Manusia adalah kondisi-posible untuk terciptanya bahasa. Maksudnya, hanya manusia yang memungkinkan bahasa menjadi eksis. Tentu saja, sebelum seorang anak bisa berbahasa, bahasa sudah eksis sejak era nenek moyangnya.
Kita bisa mundur ke jaman manusia pertama hadir di dunia ini. Bahasa sudah hadir lebih awal dalam bentuk simbol-simbol alam raya. Burung-burung bernyanyi dengan nada-nada simbolis. Orangutan berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Selanjutnya, manusia pertama di dunia memandang alam sekitar. Terpapar oleh beragam simbol, bahasa-bahasa formal. Manusia mencoba menerapkan bahasa dalam hidupnya. Dan, dimulailah, kehidupan manusia bersama bahasa.
Bahasa adalah posisi tengah. Bahasa adalah kondisi-posible bagi being untuk eksis. Hanya bahasa yang memungkinkan being eksis, aktual, sebagai being. Tanpa bahasa, being tidak bisa dibedakan dengan “a being” mau pun “beings”.
Being posisi paling awal. Being adalah yang paling dekat dengan dirinya. Di saat yang sama, being adalah yang paling jauh dari dirinya. Demikian juga bahasa. Bahasa adalah yang paling dekat dan sekaligus paling jauh dengan bahasa itu sendiri. Karena, bahasa adalah manifestasi aktual dari being.
Secara kronologis, berdasar uraian di atas, being adalah paling awal sebagai basis bahasa. Kemudian, bahasa adalah basis dari manusia.
Tetapi, orang bisa menyusun kronologi dengan urutan sebaliknya. Manusia adalah yang paling utama. Kemudian, manusia berkomunikasi dengan menciptakan bahasa. Pada akhirnya, komunikasi antar manusia menghasilkan budaya berupa being-being baru: rumah, mobil, komputer, dan lain-lain.
Dua skenario kronologis di atas, membantu kita memahami peran penting being, bahasa, dan manusia. Seperti sudah kita sebutkan, analisis logis di atas adalah tidak sah. Karena, kita sedang mengkaji ontologi fundamental yaitu question-of-being, di mana, logika baru bisa dibahas, setelah itu, lebih akhir.
Bahasa adalah rumah-being merupakan metafora untuk mendeskripsikan ontologi fundamental – tidak secara kronologis. Being tinggal di rumah-being yaitu bahasa. Dengan bahasa, being membedakan diri dengan “a being” mau pun “being”. Sehingga, tercipta ruang ontological-difference. Tanpa bahasa, ontological-difference runtuh.
Manusia-sejati tinggal di rumah-being, bahasa, dengan menjaga dan dijaga olehnya. Manusia menemukan being-sejati, truth-of-being, di rumahnya. Bahasa bersifat historal. Demikian juga manusia dan being, sama-sama, historal.
Di mana “posisi” Tuhan dalam kajian di atas. Tuhan-sejati meliputi segalanya. Tetapi, tuhan-metafisika memang tidak ada dalam kajian di atas. Sejak awal, metafisika sudah runtuh. Dan, kita sedang rekonstruksi truth-of-being atau being sejati.
4.4 Awal Bahasa
Bagaimana proses awal terbentuknya bahasa? Dugaan kita, pertama, bahasa adalah tanda-tanda. Yaitu, manusia menandai beragam benda dengan nama-nama tertentu. Kedua, tata-bahasa, yaitu dari beragam nama-nama tersusun struktur bahasa tertentu yang menghasilkan makna khusus. Struktur tata-bahasa ini sendiri tidak ada di alam materi. Struktur bahasa ada dalam pikiran manusia. Ketiga, abstraksi, mengembangkan bahasa-bahasa abstrak yang murni terbebas dari alam materi itu sendiri. Benarkah demikian? Kita akan mengkaji lebih dalam.
Di sini, kita akan mengikuti Derrida yang mengacu ke Renan.
“(1) At its birth language was as complete as the human thought it then represented, which means that there is no pre- cession of thought over language; language is not an instrument that adapts itself more or less well by running after a thought that is already formed.”
Sejak awal, bahasa sudah lengkap sebagaimana pikiran manusia. Sehingga, tidak ada pikiran yang mendahului bahasa. Bahasa bukan hasil dari pikiran.
” (2) “Sound psychology” guiding “the state of languages” attributes a major role to sensation in the origin of language. Which means that the primitive language knew nothing of abstraction, and whereas the grammatical system of ancient language contains, says Renan, “the highest metaphysics,” one sees everywhere in its words a material conception become the symbol of an idea. There is here a first alienation that Renan describes by citing Maine de Biran and Leibniz.”
Peran suara-psikologis cukup besar dalam bahasa primitif. Yaitu, bahasa primitif berkaitan erat dengan sensasi indera manusia. Secara bertahap, peran tata-bahasa menjadi penting. Metafisika mulai disadari: orang memandang bahasa sebagai simbol dari ide. Alienasi mulai terjadi.
“(3) But precisely, Renan makes a clear distinction between grammar and lexicology. Only grammar is purely human and rational; it alone is not subjected to sensibility, and the logicity of language is the purely grammatical.”
Tepat, tata-bahasa beda dengan kata. Tata-bahasa adalah murni logika dari bahasa. Dengan demikian, tata-bahasa terbebas dari material kata-kata. Pada tingkat lanjut, tata-bahasa mampu menghasilkan kata-kata yang murni abstrak. Posisi metafisika, yaitu metafora, makin kuat pada tahap ini.
Yang menarik, Renan menganggap proses abstraksi bahasa adalah proses pembebasan bahasa. Dengan asbtraksi, bahasa terbebas dari rujukan dunia eksternal. Logika bahasa menjadi lengkap dalam bahasa itu sendiri.
Kita bisa mengambil contoh bahasa-matematika yang menyatakan operasi bilangan bulat “2 + 1 = 3” bernilai mutlak benar. Kebenaran matematika semacam itu tidak perlu dibuktikan dengan eksistensi alam eksternal, misal, ada 2 jeruk ditambah 1 jeruk menghasilkan 3 jeruk. Justru sebaliknya, penjumlahan jeruk menjadi benar bila sesuai dengan bahasa-matematika. Sementara, bahasa-matematika itu sendiri murni abstrak.
Nietzsche berpandangan berbeda dengan Renan. Abstraksi tetaplah sebuah metafisika, sebuah metafora. Tidak ada metafora di atas metafora. Akibatnya, dari metafora, tetap tidak ada logika. Tidak ada logika yang bisa meng-klaim sebagai universal.
Teorema Godel membuktikan bahwa tidak ada sistem formal yang lengkap dan sekaligus konsisten. Pasti ada yang tidak konsisten. Contoh kita tentang bahasa-matematika operasi bilangan bulat, di atas, terbukti tidak lengkap atau tidak konsisten. Demikianlah bahasa, metafora, dan metafisika.
4.5 Revisi Dugaan Awal
Sampai di sini, kita perlu merevisi dugaan awal kita. Yaitu, dugaan awal bahwa ada pikiran yang mendahului bahasa. Hasil revisi adalah pikiran tidak mendahului bahasa. Apakah bisa sebaliknya? Bahasa mendahului pikiran? Kita akan mengkajinya. Sementara, kita akan klarifikasi dulu bahwa pikiran tidak mendahului bahasa.
Ketika orang manca negara datang ke Indonesia bertanya, “Apa ini?” Lalu, kita jawab, “Ini adalah meja.”
Orang manca itu bukan punya konsep-meja dalam pikiran kemudian belum punya kata atau bahasa. Orang manca itu, sejatinya, sudah punya bahasa-meja dan konsep-meja. Hanya saja, orang manca itu tidak tahu istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia. Jadi, konsep-pikiran tidak mendahului bahasa.
Demikian juga, ketika, seorang bocah kanak-kanak yang hendak belajar kata “meja”. Bocah itu menunjuk-nunjukkan jarinya ke arah meja. Lalu, orang dewasa menyebut, “Meja.” Bocah itu menirukan, “Meja.” Bocah itu sudah punya konsep-pikiran dan bahasa-meja dalam dirinya. Hanya saja, bocah itu belum tahu apa kata yang tepat digunakan oleh orang-orang untuk menyebut meja.
Tentu saja, pemilihan kata “meja” merupakan proses lanjutan secara sosial. Kita tidak bisa mengganti “meja” menjadi “jame” misalnya, secara pribadi. Kita hanya bisa mengganti dengan “jame” atau “ajem” atau lainnya melalui proses sosial juga. Meski demikian, konsep-pikiran tidak mendahului bahasa. Konsep-pikiran hanya bisa mendahului konvensi bahasa.
4.6 Being Lebih Original
Kita sudah membahas bahwa hubungan bahasa dengan obyek eksternal adalah metafora. Yaitu, ada kedekatan dan jarak.
Kata-meja terhubung dengan obyek-meja secara metafora. Hubungan itu tidak pernah sempurna. Selalu ada kedekatan dan jarak. Bahkan bahasa sains, tetap, ada jarak. Termasuk bahasa matematika.
Tetapi kata “being”, kata “wujud”, atau kata “ada” memiliki hubungan original dengan maknanya.
“From this it follows that ultimately, in the word “Being” and its inflections, and in everything that lies in the domain of this word, the word and its signification are bound more originally to what is meant by them — but also vice versa. Being itself relies on the word in a totally different and more essential sense than any being does.
The word “Being,” in every one of its inflections, relates to the Being itself that is said, in a way that is essentially different from the relation of all other nouns and verbs in language to the beings that are said in them. (Introduction to Metaphysics, 92– 93) (Heidegger).
Kata “Being”, dan segala bentukannya, berbeda dengan kata lainnya. Atau, hubungan “Being” dengan bahasa bukan hubungan metafora, bukan metafisika, bukan seperti biasa. Hubungan “Being” dengan bahasa adalah original, yang, akan menjadi pembahasan sepanjang kajian kita. Intinya, seperti kita bahas di atas, bahasa adalah rumah-being.
4.7 Bahasa Metafora
Pada analisis akhir, setiap bahasa adalah metafora yaitu metafisika, bahasa-formal. Ada kedekatan dan jarak antara bahasa dengan realitas. Tidak mungkin jarak ini menjadi nol. Tidak mungkin error bisa hilang. Inti metafisika adalah metafora: ada jarak.
Sains bisa mengkaji fisika. Meski sains berusaha menghindari metafisika, bagaimana pun, fisika tetap akan menggunakan basis metafisika. Seluruh sains membutuhkan metafisika yaitu metafora.
Wajar, banyak pihak tidak suka dengan ungkapan bahwa sains didasarkan pada metafora. Bagaimana pun, kita sulit menolak ungkapan tersebut. Di tulisan yang lain, saya menunjukkan bahwa setiap konsep sains memerlukan konsep lain sebagai fondasinya. Pada akhirnya, akan ada konsep yang tidak memiliki fondasi. Konsep terakhir ini berlandaskan kepada metafora.
Sains empiris, barangkali, bisa menggunakan fondasi berupa pengukuran, bukan konsep sains. Kita bisa mengukur tinggi meja, secara sains misal, hasilnya 1 meter. Atas dasar apa kita percaya tinggi meja 1 meter? Berdasar pengukuran dengan mistar. Mengapa mistar dipercaya? Karena diproduksi oleh pabrik dengan standar ketat. Mengapa standar dipercaya? Karena mengacu standar internasional. Mengapa dipercaya? Karena berdasar kesepakatan para ahli setelah mempertimbangkan banyak fakta sains. Mengapa kesepakatan dipercaya? Dan, seterusnya, kita menemukan metafora pada ujung akhir.
Alternatif empiris bisa saja mengukur tinggi meja adalah T yaitu tinggi meja tersebut. Tanpa ada alat ukur sebagai pembanding. Tinggi meja T adalah tinggi meja apa adanya secara obyektif. Kita tetap bisa menerapkan cara analisis yang sama.
Apakah tinggi T adalah konsep? Jika konsep maka perlu fondasi, yang pada analisis akhir adalah, metafora.
Jika T bukan konsep, tetapi, pengukuran fisika maka memerlukan eksistensi ruang atau materi. Sebut saja, T terdiri dari tumpukan materi penyusun meja berupa molekul, atom, atau elektron. Teori quantum menunjukkan bahwa eksistensi elektron tidak bisa dipastikan secara epistemologi mau pun ontologi. Lalu, jika tinggi T tidak bisa dipastikan maka mengapa dipercaya? Kita akan tetap membutuhkah metafora atau metafisika dalam sains.
Apakah, dengan demikian, kita harus menolak sains? Tidak. Kita tidak harus menolak sains. Kita hanya perlu sikap berpikir-terbuka. Barangkali pendekatan sains pihak lain lebih baik. Atau, barangkali pendekatan psikologi, pendekatan agama, atau pendekatan sosial lebih baik. Atau, barangkali sinergi dari beragam pendekatan menjadi lebih baik. Kita perlu sikap berpikir-terbuka untuk mendapatkan yang terbaik dan memberikan yang terbaik.
4.8 Pra Bahasa
Mengapa kita tidak bergerak lebih radikal dari sekedar bahasa? Bukankah ada realitas yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata? Bukankah realitas seperti itu lebih fundamental?
Realitas alam eksternal meja, kursi, pohon dan lain-lain adalah nyata. Lebih dari sekedar bahasa. Alunan musik yang merdu adalah nyata menyentuh kalbu. Lebih dari sekedar bahasa. Hati remaja yang berbunga-bunga karena jatuh cinta. Lebih dari sekedar bahasa. Bukankah itu semua lebih fundamental dari bahasa? Realitas pra bahasa.
Kita perlu membahas bahasa sebagai rumah-being dan hakikat manusia. Argumen-argumen bisa kita baca di pembahasan atas. Barangkali, di bagian ini, kita akan cukup membahas secara ringkas.
Pertama, sudah banyak sains regional yang membahas realitas sesuai disiplin masing-masing: fisika, biologi, ekonomi, politik, dan lain-lain. Dalam kajiannya, mereka membutuhkan logika bahasa-formal. Pada gilirannya, bahasa-formal akan dihadapkan pada bahasa-being. Sehingga, kita tetap perlu membahas bahasa sebagai rumah-being dan hakikat manusia.
Kedua, membahas realitas apa adanya adalah realitas yang hadir. Realitas tersebut terbatas oleh ruang dan waktu. Kita perlu membahas realitas yang hadir mau pun yang tidak hadir, yang di sini mau pun yang di sana, yang sekarang mau pun masa yang beda. Untuk menyelidiki itu semua kita perlu mengkaji ontologi fundamental. Kita perlu melampaui bahasa-formal menuju bahasa-being.
Ketiga, kita sedang bertanya question-of-being. Sedangkan, realitas adalah solusi dari suatu pertanyaan. Realitas bukanlah pertanyaan. Pertanyaan adalah dalam bentuk bahasa. Baik bahasa-formal atau pun bahasa-being. Jadi, apa pembahasan selanjutnya?
Bagaimana pun, kita berada dalam dunia kompleks. Meski, pembahasan ontologi fundamental memerlukan kajian bahasa being, tetapi kajian di bidang-bidang lain tetap dibutuhkan oleh umat manusia. Horisoni adalah guncangan besar untuk meruntuhkan struktur agar terlihat jelas apa yang tersembunyi. Horisoni tidak menolak bidang lain. Horisoni hanya mengungkapkan, mengkaji, apa yang masih tersembunyi.
4.9 Peran Penting Metafisika
Metafisika adalah jarak dan kedekatan. Metafisika adalah nothing itu sendiri. Ketika, kita berani menghadapi nothing, maka, terbuka bagi kita untuk menghadapi being. Sehingga, metafisika mengantar kita untuk menemukan solusi question-of-being. Destruksi metafisika menggoyang struktur dengan gempa dahsyat, untuk kemudian, mengungkapkan kebenaran tersembunyi. Pada gilirannya, rekonstruksi.
5. Hakekat Manusia Dasein
Bagian ini menjadi paling penting karena kita, secara sah, bisa menjawab pertanyaan question-of-being, “Apa makna-ada?”
Makna-ada, makna-being, adalah dasein. Lalu, apa itu dasein? Dasein adalah being yang mempertanyakan being dirinya sendiri. Jawaban ini seperti mendorong kita masuk perangkap lingkaran setan. Tetapi, tidak. Kita tidak terperangkap dalam lingkaran setan. Kita menemukan jawaban dari pertanyaan ontologi fundamental yaitu dasein.
Memang, interpretasi terhadap dasein bukan interpretasi kaku. Interpretasi dasein, justru, interpretasi yang penuh dinamika. Kita akan membahasnya lebih detil.
5.1 Mengapa Dasein
Mengapa memulai kajian dari dasein? Kita memiliki beragam pilihan untuk mengkaji question-of-being. Memulai kajian dari dasein adalah alternatif terbaik. Beberapa alternatif lain bisa kita pertimbangkan.
Mulai kajian dari a-being, dari wujud-tertentu. Misal mulai dari being-materi maka berkembang sains fisika. Dari being-manusia berkembang antropologi. Dari being-sosial berkembang ekonomi. Kajian-kajian sejenis ini menghasilkan ontologi regional.
Mulai kajian dari beings, dari wujud-total. Misal berkembang kosmologi, teologi, metafisika. Kita bisa menyebutnya sebagai sistem metafisika global.
Mulai kajian dari eksistensi, dari “is”, dari keberadaan. Berkembang filosofi eksistensialisme yang begitu progresif di berbagai wilayah.
Secara umum, ada dua masalah besar yang dihadapi oleh masing-masing alternatif: hermeneutic circle dan jarak. Hermeneutic circle, atau kita sebut lingkaran, menyatakan ada problem yaitu untuk memahami suatu bagian, kita perlu memahami keseluruhan lebih dulu. Sebaliknya juga bermasalah. Untuk memahami keseluruhan, kita perlu memahami detil bagian-bagian lebih dulu. Problem lingkaran ini tidak bisa diputus bagai lingkaran setan.
Problem “jarak” yang memaksa kita untuk menerapkan metafora, adalah metafisika. Obyek kajian apa pun yang kita pilih – a being, beings, atau eksistensi – selalu ada jarak antara subyek dan obyek.
Dasein berhasil menangani dua problem di atas dengan baik. Dasein menjadi pilihan tepat untuk memulai kajian question-of-being. Dasein adalah being-there, wujud-konkret, yang bertanya tentang being-there. Dasein menjadi dasein karena bertanya tentang dasein. Struktur fundamental dasein adalah peduli sebagai being-in-the-world. Dasein adalah manusia-ontologis yang bertanya tentang eksistensi manusia. Setiap jawaban akan mengantar dasein untuk bertanya lebih lanjut question-of-being.
Meski dasein berhasil dengan baik sebagai awal kajian, tetapi, dasein tidak menjamin berhasil tuntas sampai akhir kajian. Heidegger, di bagian akhir Being and Time, mengakui dasein sebagai awal kajian. Sementara untuk bergerak lebih luas, dari dasein ke sein, Heidegger yakin hal tersebut bisa dilakukan. Tetapi, sekitar 50 tahun sisa hidupnya, Heidegger tidak pernah melakukan kajian tersebut. Heidegger, justru, berhasil meluaskan kajian question-of-being ke bidang sosial, politik, dan teknologi.
Di tempat lain, Derrida meyakini keunggulan dasein sebagai kajian awal. Sampai 40 tahun sisa hidupnya, Derrida juga tidak meluaskan kajian dasein. Derrida, justru, berhasil menerapkan kajian question-of-being ke text, secara luas, dengan dekonstruksi. Meski berhadapan dengan beragam kontroversi, Derrida berhasil menggulirkan tema dekonstruksi dengan baik.
Kita bisa meringkas bahwa dasein berhasil dengan baik sebagai kajian awal. Sementara, untuk kajian yang tuntas, kita memerlukan kajian yang lebih luas. Heidegger mengidentifikasi eksistensi kekuatan-transenden pada dasein dalam karya seni. Heidegger mengatakan kekuatan-transenden tersebut adalah bahasa. Tetapi, kita bisa menganalisis bahwa bahasa tidak tepat disebut sebagai kekuatan-transenden yang dimaksud. Beberapa orang meyakini kekuatan-transenden tersebut adalah kekuatan-spiritual. Dalam suatu wawancara, Heidegger mengatakan, “Only a God can save us.”
Jadi, mari semangat membahas dasein!
5.2 Being History
Dasein memiliki karakter historal, bersejarah, historicity. Ketika kita bertanya, “Apa makna-ada?” maka kita melangkah ke masa lalu. Kita menyadari ada faktum, masa lalu, untuk ditanyakan secara ontologis. Dalam hal ini, dasein berpikir retrospektif. Di saat yang sama, dasein juga bertanya nasib eksistensi masa depannya secara antisipatif, “Bagaimana nasib eksistensiku selanjutnya?” Lengkaplah, dasein adalah historal.
“‘Circular reasoning’ does not occur in the question of the meaning of being. Rather, there is a notable “Rück oder Vorbezogenheit,” a retro- or pre- reference [pre- ference][a retrospective or anticipatory reference] of what is asked about Gefragten to asking as a mode of being of a being. The way what is questioned essentially engages our questioning belongs to the innermost meaning of the question of being. But this only means that the being that has the Charakter of Dasein has a relation to the question of being itself, perhaps even a distinctive one. (Being and Time, 7– 8)” (Heidegger).
Tidak terjadi logika melingkar di sini. Yang terjadi adalah berpikir retrospektif dan antisipatif. Question-of-being ini yang menjadikan manusia sebagai dasein. Sehingga, ada relasi antara dasein dengan dirinya sendiri. Dasein adalah yang paling dekat dengan dirinya secara ontic. Tetapi, justru paling jauh secara ontologis.
Gerak retrospektif dan antisipatif dari dasein mengungkap karakter temporality dengan horison waktu. Beberapa pemikir mengidentifikasi question-of-being sama artinya dengan question-of-time. Derrida menganggap dasein sebagai temporality adalah fragment paling esensial. Temporality adalah being-of-being yang memahami being.
“Now the most essential “fragment” is here the explication of the meaning of the being of the being named being- there as temporality. The explication of being- there as temporality does not suffice to provide a response to the principal question, that of the meaning of being in general, but it is an ontological point of departure to this response. If, precisely, being- there is a pre- ontological being — that is, a being that has as its being to understand being and to be able to pose the question of being — an important step will have been taken if one shows, as Heidegger intends to show in Sein und Zeit, that that on the basis of which, the horizon on the basis of which being- there pre- comprehends being is what is called time.” (Derrida).
Bagi dasein, waktu terbatas dari lahir sampai mati. Hanya dasein yang memahami batas waktu lahir sampai mati, yang, memiliki posibility sebagai being seutuhnya. Masa lalu bukanlah sesuatu yang sudah tidak ada. Masa depan bukanlah sesuatu yang belum datang. Masa lalu tetap eksis pada dasein berlanjut ke masa depan. Masa lalu dan masa depan terhubung secara kontinyu bersama dasein.
Karakter dasein yang temporal dan historal ini memungkinkan dikembangkannya sains sejarah. Sejauh ini, para ahli sejarah, umumnya, mengasumsikan bahwa sains sejarah adalah posible. Mereka tidak menyelidiki mengapa sains sejarah bisa posible. Sains sejarah posible karena dasein adalah historal.
Mengapa karakter historal dari dasein itu penting? Di satu sisi, historal adalah konsekuensi logis dari karakter temporal dasein. Di sisi lain, tanpa historal, dasein menjadi tidak masuk akal. Dari mana asal mula manusia bila tidak dari sejarah? Apakah manusia tiba-tiba turun dari langit tanpa sejarah? Apakah manusia tiba-tiba muncul dari kehampaan tanpa sejarah? Manusia hanya bisa hadir di dunia ini melalui sejarah. Karena itu, kita perlu mengkaji sejarah lebih mendalam lagi.
5.3 Sejarah Hegel
Sejenak, mari kita membandingkan kajian sejarah versi Hegel dengan versi Heidegger. Mereka sepakat bahwa dasein yang historal adalah basis dari sains sejarah. Tetapi, mereka berbeda dalam memberi bobot dasein terhadap sejarah. Bagi Hegel, sejarah hanya bisa tercipta jika umat manusia membentuk negara. Sementara, keluarga, kelompok masyarakat, kelompok agama, dan lain-lain tidak bisa membentuk sejarah – selama tidak ada negara.
“It is obvious to anyone who begins to be familiar with the treasures of Indian literature that this country, so rich in spiritual achievements of a truly profound quality, nevertheless has no history. In this respect, it at once stands out in stark contrast to China, an empire that possesses a most remarkable and detailed historical narrative going back to the earliest times. India has not only ancient religious books and splendid works of poetry but also ancient books of law, something already mentioned as a prerequisite for the formation of history, and yet it has no history. But in this country the original organization that created social distinctions immediately became set in stone as natural determinations (the castes), so that, although the laws concern the civil code of rights, they make these rights dependent on distinctions imposed by nature, and they specify, above all, the position (in terms of injustices more than of rights) of these classes toward one another, i.e., only of the higher vis- à- vis the lower. The ethical element (Sittlichkeit) is thereby excluded from the splendor of Indian life and its realms.
Given this bondage to an order based firmly and permanently on nature, all social relations involve a wild arbitrariness, ephemeral impulses, or rather frenzies, without any purposeful progress and development. Thus, no thoughtful memory, no object for Mnemosyne presents itself, and a deep but desolate fantasy drifts over a region that ought to have had a fixed purpose — a purpose rooted in actuality and in subjective yet substantial (i.e., implicitly rational) freedom [ . . . ] (Hegel)
Hegel memberi contoh bahwa Cina kuno memiliki sejarah. Sementara, India kuno tidak memiliki sejarah. Seharusnya, India kuno memiliki sejarah lantaran banyak fakta-sejarah yang tersedia. Kita bisa menemukan beragam bangunan sejarah di India. Kita bisa menemukan buku ajaran agama, sastra, dan bahkan kitab hukum. Tetapi, karena semua fakta-sejarah itu tidak terorganisir sebagai negara maka India kuno tetap tidak memiliki sejarah.
Kehidupan India kuno tidak diatur oleh negara. Kehidupan diatur oleh kasta. Karena kasta ini bersifat natural, menurut Hegel, maka tidak ada sejarah bagi India kuno. Sementara, Cina kuno memiliki sejarah karena ada negara. Rakyat Cina memiliki cita-cita bersama untuk diraih, dicatat, diceritakan sampai membentuk sejarah.
Heidegger berbeda dengan Hegel. Bagi Heidegger, basis sejarah adalah dasein yang berkarakter sejarah. Sehingga, India kuno tetap memiliki sejarah. Meski, barangkali, sejarah India kuno memiliki kadar yang lemah dibanding, relatif terhadap, sejarah Cina kuno.
5.4 Sejarah Husserl
Baik Husserl mau pun Hegel, juga Heidegger, menolak historisisme yaitu paham yang menyatakan bahwa kebenaran memiliki konteks sejarahnya sendiri. Sehingga, tidak ada kebenaran universal, tidak ada makna universal. Yang ada hanya kebenaran relatif sesuai fakta-fakta empiris sejarah. Mereka menolak historisisme seperti itu. Kebenaran universal tetap ada meski pun tetap mempertimbangkan konteks.
“This resonance would appear still more clearly if one were to note that, like Hegel and like Heidegger later, Husserl refuses (1) historicism — that is, the reduction of meaning and truth to their empirical becoming — (2) the historian any privilege in determining the meaning of historicity and the origin of the historical truth about which he is speaking.” (Derrida).
Kedua, setelah menolak historisisme, mereka menolak bahwa ahli sejarah memiliki hak khusus menentukan makna dan kebenaran sejarah. Setiap orang yang berpikir memiliki hak untuk menentukan makna dan kebenaran sejarah. Tentu saja, ahli sejarah memiliki keunggulan dalam hal sains sejarah, data-data sejarah, dan catatan sejarah. Dalam hal menentukan makna sejarah, terbuka bagi seluruh umat manusia untuk memikirkannya.
Husserl merumuskan tiga tahap sejarah.
Tahap pertama sejarah adalah ketika manusia sudah mulai berbahasa, bercerita, dan berbudaya. Tahap ini bersifat universal. Setiap umat manusia memiliki budaya maka mereka juga memiliki sejarah. Bagaimana pun, tahap pertama ini memiliki beragam keterbatasan.
“The second level is marked by the emergence of philosophy or science and of the humanity capable of the idea of philosophy or science, and thus of the project of the infinite task.” (Derrida).
Tahap kedua sejarah ditandai dengan munculnya filosofi dan sains. Tersedia kajian dan dokumentasi secara sistematis tentang sejarah. Dengan demikian, sejarah menjadi tanpa batas. Dengan filosofi dan sains, manusia mampu memaknai dan mengkaji sejarah makin mendalam dan makin meluas.
Tahap ketiga sejarah adalah fenomenologi. Tentu, fenomenologi adalah khas formula Husserl. Wajar saja, Husserl menempatkan fenomenologi sebagai puncak sejarah. Yaitu, ketika, filosofi dan sains mampu mengungkapkan kebenaran sejarah sejati, apa adanya, berdasar fenomenologi.
Fenomenologi adalah kajian filosofis yang mengijinkan obyek kajian hadir apa adanya dalam kesadaran subyek pengkaji. Dalam hal ini, obyek kajian adalah sejarah. Subyek pengkaji adalah kita yang berpikir tentang sejarah. Agar obyek bisa hadir apa adanya maka subyek perlu “membungkus” beragam prasangka dirinya untuk sementara waktu. Ketika obyek terbebas dari prasangka subyektif maka obyek sejati hadir apa adanya. Tentu saja, untuk memahami obyek sejati, pada gilirannya, subyek harus melakukan tindakan berpikir dan lain-lain. Sehingga, pada analisis akhir, fenomenologi bertumpu kepada peran besar subyek itu sendiri. Lagi pula, subyek ini bersifat transenden dari dunia. Fenomenologi, dengan demikian, masih mewarisi metafisika.
Heidegger, murid Husserl, sejak awal mencanangkan proyek destruksi metafisika. Sehingga, fenomenologi juga menjadi target destruksi.
Bagaimana subyek transenden itu hadir ke dunia ini? Subyek itu hadir tanpa sejarah, ahistorical. Demikian juga, spirit dari Hegel adalah tanpa sejarah, ahistorical. Dengan landasan subyek, atau spirit, atau kesadaran, yang tanpa sejarah maka konsep sejarah runtuh. Baik konsep sejarah Husserl mau pun Hegel. Kita perlu rekonstruksi sejarah dengan memadai.
Solusi kita mengarah kepada dasein, being-there, yang historal berkarakter sejarah. Dasein lahir di rumah-being, yaitu bahasa. Dasein hidup di rumah-being dengan dijaga dan menjaga bahasa. Dasein meraih keutuhan sejarah dengan menjemput kematian, sejak kelahirannya. Dasein, kita, menciptakan makna sejarah dengan kebebasan yang terbentang sejak lahir sampai mati. Lahir dan mati adalah satu kesatuan kontinyu dari sejarah dasein.
Akal kita, tetap bertanya, “Ada apa sebelum dasein lahir?” “Ada apa setelah dasein mati?” “Ada apa di luar dasein?”
Kajian kita masih akan terus berlanjut. Yang jelas, ketika dasein adalah historal maka sejarah dunia menjadi posible, menjadi mungkin untuk terjadi. Sejarah versi Hegel dan Husserl menjadi bisa dikembangkan.
5.5 Being Seutuhnya
Beberapa catatan terhadap sejarah Husserl bisa kita rangkum sebagai berikut.
“(1) Husserl’s teleology of historicity is a transcendental idealism organized around a concept of subjectity that Heidegger shows is both foreign to the world (i.e., non- historical) and intra- worldly (i.e., thought according to the model of a Vorhandenheit, of the object subsisting in the world), which is another way of missing any history that is not empirical.” (Derrida).
Pertama, teleologi histori dari Husserl adalah idealisme transendental di sekitar subyektivitas. Sehingga, kurang empiris. Perlu kita ingat juga bahwa istilah subyek, kesadaran, dan spirit adalah istilah yang tidak memadai untuk mewakili dasein. Karenanya, tidak akan memadai juga sebagai pusat kajian sejarah.
“(2) Husserl’s teleology remains a humanism.
(3) The content of this teleology is recognized on the basis of the idea of science (historicity = absence of the past).” (Derrida).
Kedua, cukup jelas teleologi Husserl adalah humanisme. Padahal, kita perlu kajian histori yang lebih luas dari humanisme. Ketiga, teleologi ini didasarkan pada ide sains. Di mana, sejarah sains lebih kuat karakter empiris data sains, sehingga, lemah dalam kajian masa lalu dan masa depan. Kita sedang mengkaji ontologi fundamental yang menempatkan data empiris hanya sebagai salah satu pertimbangan penting.
“(4) The other form of the same closure on which I shall not linger is, this time even if one stays within the descriptions of the Lebenswelt, the slightly precipitate opposition, of uncertain origins, between nature and culture — not that this opposition is useless, but it is so derivative, so laden with historical and metaphysical alluvia that one cannot seriously claim to discover the originary historicity of Da- sein by using these tools.” (Derrida).
Keempat, deskripsi Lebenswelt sangat dekat dengan dasein, sehingga, kita berharap bisa mengungkap histori dengan baik. Bagaimana pun, konsep Lebenswelt, lingkungan-yang-hidup, masih dilingkupi oleh metafisika. Kita perlu fokus mengkaji dasein.
“(5) Finally — and here I think we are getting to what is most important and most difficult — Husserl’s thematics of historicity remains, to put it bluntly, a worldview. The accusation is serious and it has a meaning that does not immediately betray itself. What does it mean? To understand the gravity and the scope of the accusation, one must keep clearly in mind the whole Husserlian critique of the idea of worldview, of Dilthey’s theory of Weltanschauung.” (Derrida).
Kelima, terakhir, yang paling penting dan lembut, pandangan histori Husserl mengandung worlview – pandangan dunia. Tentu saja, semua pandangan akan melibatkan worldview. Justru itu masalahnya. Ontologi fundamental, dalam hal ini kajian histori, sedang menyelidiki worldview itu sendiri. Sejatinya, Husserl sudah meng-kritik worldview dari Dilthey. Pada gilirannya, Husserl juga terikat dengan worldview yang lain.
Question-of-being mengarahkan kita ke destruksi histori. Kemudian, beragam alternatif rekonstruksi histori, kita kaji. Dari Hegel dan Husserl, kita memperoleh banyak informasi – yang perlu dekonstruksi. Salah satunya, untuk memahami being seutuhnya, kita perlu me-dekonstruksi struktur metafisika-present. Kita perlu, kembali, fokus mengkaji karakter histori dari dasein.
5.6 Dominasi Present
Pandangan intuitif sehari-hari menunjukkan bahwa waktu bergerak dari kemarin, sekarang, dan besok. Kita, seakan-akan, bisa kembali ke masa kemarin atau bisa melompat ke hari besok. Pandangan lebih mendalam menunjukkan bahwa melompat ke masa lalu, atau ke masa depan, tidak bisa dilakukan. Kita tidak bisa melompat ke masa depan. Yang terjadi adalah “masa kini” atau “present” yang terus bergulir dari masa lalu sampai kapan pun. Semua pengalaman kita adalah pengalaman present, pengalaman masa-kini. Benarkah demikian?
Jika yang ada sejati adalah masa-kini, atau present, maka tidak ada sejarah. Karena, tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan. Kita berhadapan dengan masalah serius di sini. Jika masa lalu memang ada, maka, bagaimana cara menunjukkanya? Bagaimana juga dengan masa depan?
Masa lalu adalah masa-kini yang sudah berlalu. Dan, masa depan adalah masa-kini yang belum datang. Cara pandang seperti ini menempatkan masa-kini sebagai yang paling dominan. Kita perlu lebih mendalam untuk mengkaji.
“So we encounter again here the necessity of thinking the continuity of life, the Erstreckung or the synthesis that makes of the time of Dasein a history, the necessity of thinking this synthesis without rushing toward the horizon of a consciousness or a cogito — or conversely, of an un- conscious or a force simply borrowed from the model of Vorhandenheit.
We are now touching on, we are now brushing up against, the Root of the problem. Everything — everything: that is, not only this or that gesture of the destruction of Metaphysics but the totality of the destruction and the meaning that directs it as a whole — everything is played out around the meaning of the Present and the privilege accorded by the whole of philosophy to the present. Philosophy, what Heidegger wants to transgress, is in its entirety a philosophy of the Present, privileges the Present.” (Derrida).
Tentu, bisa saja, orang-orang menganggap remeh masalah dominasi the-present. Mereka menganggap memang begitulah adanya – just given. Mengapa repot-repot?
Problem teoritis dan praktis muncul akibat dominasi the-present. Pertama, the-present meruntuhkan posibilitas histori. Karena yang nyata hanya masa-kini, the-present, maka histori adalah hanya ilusi. Kedua, the-present menyembunyikan, atau mengaburkan, masa lalu mau pun masa depan. Atau, lebih tegas lagi, the-present menghapus masa-lalu dan menolak masa-depan.
Problem praktis sama sulitnya. Pertama, mengapa harus tanggung jawab? Karena yang ada hanya the-present yang mengalir maka seseorang, wajar saja, menjalani hidup dengan mengalir. Kedua, bagaimana memperbaiki masa-lalu? Ketiga, bagaimana menyiapkan masa-depan?
“To take them too lightly is just as much to refuse the problem on the pretext that we are dealing with something trivially self- evident — what is better known than that: the continuity of life, the passage from life to death, and so on? It is thus just as much to refuse the problem as to pose it in empiricist terms — an appeal to what people think they know under the name memory, habit, the social frameworks of memory and all the other notions that govern empirical geneses while presupposing the given self- evidence of the very thing for which they are to account.” (Derrida).
Konsep waktu dari Husserl, selaras dengan konsep Hegel, adalah living-now atau living-present. Yaitu, present atau masa kini yang terus bergulir. Konsep living-now tampak sudah terbukti dengan sendirinya.
“(1) [t]he past is lived as past only if it refers us to a Present past that the Past comprises in its very signification since it was present.
(2) The future is lived — anticipated — as what it is (i.e., future) only if one knows, only if one experiences a priori that what is anticipated is a future Present; there would be no anticipation if the very thing anticipated were not a present to come…
(3) It must not be forgotten that not only do the two modifying openings that open onto the past and the future open onto a past present and a future present, but that the opening itself, what opens onto the other presents, is already a Present. The Present is thus form, and the form of all experience and all self- evidence.” (Derrida).
Historal hanya mungkin jika temporality terbatas. Dasein terbatas oleh kematian. Sehingga, dasein adalah historal.
“One sees why the analytic of historicity comes in Sein und Zeit after that of temporality and why the being- toward- death structure of Dasein was the first chapter of the second division, devoted to Dasein und Zeitlichkeit. One cannot gain access to authentic temporalization outside the horizon of death and of freedom- for- death; that is, one can gain access to authentic temporalization only in the horizon of finitude, and one gains access to authentic historicity only on the basis of a finite temporality. There is no history if temporality is not finite. Hegel and Husserl were in a certain way saying the opposite. So one might be tempted to say — and this is the path Heidegger will take — that the philosophy of the Presence of the Present misses history. The immense difficulty here is that the philosophies of the Present, philosophy itself, can very well and with very good reasons claim for itself access to historicity.” (Derrida).
Metafisika tidak bisa diakhiri. Metafisika tidak bisa mati. Metafisika tidak bisa dilampaui. Kita hanya bisa membelokkan metafisika. Kita hanya bisa mengarahkan metafisika.
5.7 Metafisika Present
“But the constitutional totality of care has the possible ground of its unity in temporality. The ontological clarification of the “Lebenszusammenhang,” that is, of the specific way of stretching along, movedness (Bewegtheit), and per- sistence of Dasein, must accordingly be approached in the horizon of the temporal constitution of this being. The movedness (Bewegtheit) of existence is not the movement (Bewegung) of a Vorhandenen [of something present].
It is determined from the stretching along of Dasein. The specific movedness of the erstreckten Sicherstrecken, stretched out stretching itself along [the self- constituting extension, the path that constitutes itself: method . . .], we call the Geschehen of Dasein: the historicity of Dasein. The question of the “Zusammenhang” of Dasein is the ontological problem of its Geschehen. To expose the structure of Geschehen and the existential and temporal conditions
of its possibility means to gain an ontological understanding of historicity. (Being and Time, 357– 58) (Heidegger).
Catatan penting.
“My first point will then be the following: never forget what we said at the outset about the concept and operation of destruction. Destruction is neither a refutation nor an annihilation. The destruction of metaphysics, here the destruction of the privilege of the Present, could never erase them. There is an unsurpassable necessity in the dissimulation of the meaning of being in presence and thus in the phenomenality of consciousness…
Second: let me point out the attempt made by Levinas, claiming to go
against Heidegger but in many respects still in his wake, to destroy this privilege of phenomenality and the Present. I do not want to get into this here. But let me point out that the latest stage of this enterprise — which otherwise remains caught in a traditional conceptuality that too often weighs it down unbeknownst to it — consists in elaborating a thematic of the Trace, as opposed to the Sign…
Third: every time one tries today, in the style of Nietzsche, Marx, Freud, and so on (I’m not trying to assimilate them) to solicit the privilege of consciousness, to denounce consciousness as dissimulation and misrecognition, and so forth, it is obvious that, whatever fruitful and concrete results may be reached in empirical practice, the only chance of escaping the legitimate accusation of irresponsible empiricism coming from philosophy, and especially from a rigorous transcendental idealism, the only chance of escaping it is, from the outset, by making a theme of the signification of the Present and the Presence of the Present as the fundamental determination of being by metaphysics, making a theme of this dissimulation of the meaning of being in Pre- sence, making a theme of this dissimulation as history and therefore making a theme of the history of that dissimulation, especially of the move from a Greek form of dissimulation to the post- Cartesian form in which presence becomes consciousness and re- presentational consciousness, and so forth. (Derrida).
5.8 Kehabisan Nafas
Heidegger tampak terengah-engah, kehabisan nafas, di bagian akhir buku Being and Time. Bahkan, rencana awal, Heidegger akan menulis 3 buku untuk membahas fundamental ontologi. Sampai 50 tahun berlalu hanya buku Being and Time saja yang berhasil diterbitkan. Tentu saja, Heidegger menulis banyak buku lainnya tetapi bukan lanjutan dari Being and Time.
“The first sign is, as we shall verify in a moment, that Heidegger never
goes beyond the critical phase of the analysis. He operates a sort of ground clearing; he clears the space to bring out the proper place for an analysis of the historicity of Dasein.” (Derrida).
“The second sign of running out of breath is the basically quite remarkable fact that the chapter entitled “Temporality and Historicity” is, with the exception of one chapter, the last chapter of the only part of Sein und Zeit to have seen the light of day. It is between the structural determination of the ontological place of historicity and the descriptive, intuitive filling out of this structure that the impossibility of an entirely continuous progress in fact showed up, whatever the signification of this fact may ultimately be. I say “entirely continuous progress”: entirely continuous — that is, going beyond the stage of the analytic of Dasein . . . ; “beyond” here meaning toward a problematic of a History of Being liberated from what was still ontic and metaphysical in Sein und Zeit and that I pointed out last time; going beyond without a certain discontinuity was in fact impossible . . . .” (Derrida).
5.9 Sikap Otentik
Dasein, kita, bisa bersikap otentik atau tidak otentik. Keduanya, otentik dan tidak otentik, sama-sama kita perlukan. Kita perlu kata yang lebih tepat untuk deskripsi otentisitas ini. Saya memilih otentik = jeru dan tidak otentik = rajeru.
“(1) By rights one should begin from originary temporality to gain access to authentic historicity and from derived or inauthentic temporality (intra-temporality) to gain access to the vulgar interpretation of historicity. So everything demands that we defer totally the analysis of historicity and in order to that of temporality…
(2) As historicity in the vulgar sense is understood on the basis of intra-temporality or else is co- originary with it, one can start from this historicity in the vulgar sense, in order then to return to its true motif: intra- temporality…
(3) But as inauthenticity is not an accident, as it has its structural necessity, the vulgar conception of historicity has its legitimacy since inauthentic historicity exists, as intra- temporality exists.” (Derrida).
5.10 Meruntuhkan Sejarah
Berikut, empat cara pandang sejarah yang perlu diruntuhkan, untuk kemudian, dikonstruksi ulang.
“(1) Vergangenheit, “being past,” “pastness.” In common discourse, one calls historical what belongs to the past. <“>Here ‘past’ means on the one hand no longer present (nicht mehr vorhanden: present or available), or else indeed still present, but without effect (Wirkung) on the present…
2) The second signification, which goes hand in hand with the first, determines Vergangenheit not simply as a relation to Vorhandenheit, but as origin, provenance (Herkunft). <“>Whatever ‘has a history’ is in the Zusammenhang [nexus] of a becoming…
(3) Third signification: history signifies beyond this the totality of beings that change “in time” (in der Zeit). Here, history does not embrace what we call nature, but only culture, the Geschehen of that region of beings that distinguish themselves from nature by existence and “spirit” (quote- marks).
(4) Finally, fourth signification. One calls historical in everyday language what is transmitted, tradition as such, whether it be recognized as such by historical science or remain hidden in its provenance.” (Derrida).
5.11 Dasein lalu Subyek
Subyek “aku” memang datang, terlambat, setelah pengalaman dasein yang historal. Jadi, dasein dulu, kemudian hadir pengalaman sebagai subyek. Tetapi, subyektivitas tidak terlambat dari non-historal yang absolut terhadapnya, misal, substansi. Sehingga, perlu kita catat bahwa dasein bukanlah ego, bukan subyektivitas, bukan spirit, dan bukan kesadaran. Subyek adalah ungkapan yang tidak pernah memadai untuk menyatakan dasein. Subyektivitas adalah petualangan historal oleh dasein. Sedangkan, dasein adalah being-there.
“The fact remains that for Heidegger subjectivity does not supervene upon a non- historical absolute that awakens to it (Substance, Present). It supervenes upon an experience or an ek- sistence that is already historical. It is an adventure that happens to history [une histoire qui arrive à l’histoire].” (Derrida).
Kita bisa membedakan dua macam histori. Histori primer adalah histori yang merupakan eksistensi dasein sebagai being-in-the-world. Sedangkan, histori sekunder adalah histori dari “zuhandenes” atau ready-at-hand yang disebut sebagai nature. Histori sekunder ini yang umumnya dikaji oleh sains sejarah. Di mana, data-data sejarah dikumpulkan, untuk kemudian, dikembangkan interpretasi berdasar perspektif masa lalu. Sebesar apa pun data-data sejarah, zuhandenes akan tetap menjadi histori sekunder.
“You know that at the end of §73 Heidegger makes a distinction between what he calls primary historicity, the historicity of the ek- sistence of Dasein as being- in- the- world, and secondary historicity, what is encountered in the world and that does not have the form of being of Da- sein but of the Zuhandenes, and even of what is called nature as the ground of historical culture. In other words, primary is the historicity of In- der- Welt- sein in the form of Dasein with the precise sense we have recognized in the in of in- der- Welt. Secondary would be the historicity of beings that are in the world in the banal sense of the word in.” (Derrida).
5.12 Oto-transmisi
Oto-transmisi adalah gerak sintesis protensi dan retensi, melindungi dan menyimpan, sesuai konsep Husserl. Dengan protensi dan retensi, oto-transmisi menjamin karakter akumulatif dari time dan being. Semua kejadian masa lalu terjaga dan tersimpan sampai masa kini, bahkan, sampai masa depan.
Oto-transmisi terjadi pada being, sehingga, berbeda dengan konsep awal Husserl. (1) Oto-transmisi bukan lagi masalah gerak kesadaran belaka, tetapi, sebuah eksistensi. (2) Bentuk absolut transmisi adalah ekstasis, keluar dari diri dan hadir diri. Present, masa kini, adalah sekedar modifikasi dari protensi dan retensi. Present bukan lagi yang paling dominan.
“This Sichüberlieferung — auto- transmission — is analogous to the synthetic movement of protentions and retentions described by Husserl, only with these two decisive differences: (1) that here it is no longer a matter of the movement of a consciousness, but of an ek- sistence that is not determined at the outset as consciousness; (2) that the absolute form of transmission is ekstasis, going outside oneself and not Present, self- presence (present going outside itself in itself), a present only modified and originarily and ceaselessly modified by protentions and retentions.” (Derrida).
Sejarah, waktu, dan diri manusia senantiasa melakukan oto-transmisi, yaitu melindungi dan menyimpan. Sejak lahir sampai mati, kita selalu melindungi dan menjaga semua perilaku kita. Maksudnya, apa yang eksis sejak lahir, terus-menerus, kita bawa sampai sekarang dan sampai mati. Seluruh kebaikan, atau amal apa pun, tetap kita bawa sampai mati. Dan ini, terjadi secara oto-tranmisi, yaitu secara otomatis. Oto-transmisi adalah karakter diri kita, karakter setiap being.
Karakter oto-transmisi ini mirip dengan karakter waktu, waktu sejati. Oto-transmisi berbeda dengan konsep waktu yang living-now, waktu sebagai now yang terus bergulir. Oto-transmisi adalah future bertransmisi ke masa lalu, menarik masa lalu menuju future, dengan tetap merangkul future dan masa lalu itu. Jadi, time membentang dari future sampai masa lalu. Masa kini, atau present, adalah masa lalu dari future. Kita memodifikasi present sesuai dengan future.
Waktu adalah murni, nothing, sehingga tidak bisa mempengaruhi sesuatu yang lain, anything. Waktu hanya bisa mempengaruhi waktu itu sendiri. Waktu adalah gerak murni temporalisasi. Pada analisis akhir, waktu atau time saling berkhidmat dengan being. Time dan being saling appropriasi. Time memberi waktu kepada being. Dan, being memberi anugerah. Mereka saling berkhidmat.
“To clarify what he calls Kant’s “obscure assertion” that “time affects a concept, in particular, the concept of the representations of objects” (Kant and the Problem of Metaphysics, 133), Heidegger shows what time as pure intuition must signify: originarily, it can in no way signify affection of something by something, affection of a being by another being, affection of an existing subject by something outside it: because time is nothing, as such it cannot affect anything. It is affection of self by self. Auto- affection, a concept that is as incomprehensible as is, in truth, the movement of temporalization.” (Derrida).
“According to its essence, time is pure affection of itself. Furthermore it is precisely what in general forms [aiming: intuition, the way] seeing which, setting off from itself, heads for . . . [which translates so etwas wie das, “Vonsich- aus- hin- auf- zu”] something like the “from- out- itself- toward- there . . . ,” so that the upon- which looks back and into the previously named toward there. (Kant and the Problem of Metaphysics, 132).” (Heidegger).
Esensi dari waktu adalah kasih-sayang itu sendiri. Tepatnya, dari dirinya sendiri, waktu menatap jauh ke masa depan. Sehingga, dari masa depan menatap balik ke dirinya sendiri – masa kini dan masa lalu. Mereka oto-transmisi saling menatap: masa depan, masa lalu, dan masa kini. Mereka adalah saling kasih sayang, saling memberi dan saling menerima. Waktu adalah kesatuan ekstase future, past, dan present. Karena itu menjadi posible bagi kita untuk meraih sejarah yang otentik.
Kita tidak akan berhasil meraih sejarah secara otentik jika waktu adalah living-now. Karena hanya ada masa sekarang yang terus bergulir, maka, kita tidak akan bisa mengakses sejarah masa lalu mau pun sejarah masa depan. Tetapi dengan karakter oto-transmisi, maka, terbuka untuk akses histori secara otentik.
5.13 Histori Otentik
Sampai di sini, kita bisa membahas histori secara otentik (jeru). Karena waktu terbentang dari future ke past dan kita bisa akses mereka, akses future dan past, maka histori menjadi punya arti.
Mari kita cermati kembali beberapa premis.
(1) Dasein memiliki histori bukan karena histori merangkul dasein (manusia). Tetapi, histori adalah karakter sejati dari dasein itu sendiri.
(2) Being-of-dasein, makna dasein, adalah peduli atau care yang hanya bisa dipahami sebagai gerak temporal, gerak dari waktu sejati.
(3) Jadi, interpretasi dari dasein yang historal adalah, menjadi lebih konkret, dengan elaborasi makna temporal waktu sejati.
Mengkaji sejarah otentik sama artinya dengan mengkaji waktu sejati. Sehingga, pemahaman kita tentang waktu sejati menjadi landasan untuk memahami sejarah otentik. Berbeda dengan pandangan umum yang mengira sejarah adalah kejadian masa lalu yang kemudian data-datanya kita temukan di masa kini, sejarah otentik adalah sejarah futuristik. Yaitu, sejarah masa depan yang kita temukan tanda-tandanya di masa kini dan dari masa lalu.
“You see that here authentic historicity is described in the same terms as authentic temporality and that its authenticity depends on the authenticity of what is translated as decision or resolute anticipation: Entschlossenheit. What does this mean?
First, let’s recall the premises of this analysis.
- Dasein has its history not because history befalls it but because it is historical in its very being.
- The being of Dasein has been recognized as Care, in the rigorous sense of this term, which can be thought only on the basis of its grounding in the movement of temporality.
- “Thus, the interpretation of the historicity of Dasein is,” says Heidegger, “basically just a more concrete elaboration of the interpretation of temporality” (Being and Time, 364).” (Derrida).
Mari kita sandingkan sejarah otentik, sejarah futuristik, dengan sejarah masa lalu dan sejarah masa kini. Saya menyebut sejarah masa lalu adalah meta-teori dan sejarah masa kini adalah meta-perspektif.
Meta-teori membaca data sejarah yang tersedia dengan menghubungkan ke data-data masa lalu. Selanjutnya, data masa lalu itu memerlukan data masa lalu yang lebih awal lagi. Sehingga, teori sejarah yang terbentuk membutuhkan teori yang lebih awal untuk mendukungnya yaitu meta-teori. Pada gilirannya, meta-teori itu akan membutuhkan dukungan meta-teori lain yang lebih awal lagi tanpa pernah berhenti. Jadi, sejarah masa lalu berhadapan dengan paradoks meta-teori tanpa henti.
Meta-perspektif melengkapi sudut pandang sejarah dari beragam perspektif. Sehingga, kita membaca sejarah dari perspektif yang lebih lengkap. Tetapi, kita tahu bahwa perspektif kita tidak akan lengkap. Selalu ada perspektif yang terlewat. Tidak mungkin bagi kita melihat sejarah dari seluruh perspektif. Demikian juga, tidak meungkin bagi kita melihat sejarah tanpa perspektif. Masalah juga muncul ketika kita menambah perspektif satu dengan perspektif dua. Dengan apa kita bisa menggabungkan kedua perspektif? Barangkali dengan perspektif tiga. Lalu, dengan apa kita menggabungkan perspektif tiga? Dan seterusnya, kita tidak akan berhasil melengkapi perspektif. Jadi, membaca sejarah dengan meta-perspektif akan berhadapan dengan paradoks.
Sejarah futuristik adalah solusi untuk membaca sejarah. Sejarah futuristik menerima meta-teori dan meta-perspektif. Karena time bersifat oto-transmisi maka futuristik juga oto-transmisi dengan meta-teori dan meta-perspektif. Sehingga, barangkali, istilah lebih tepatnya adalah sejarah ekstatik bukan futuristik. Kita membutuhkan istilah futuristik untuk menekankan nilai penting dari masa depan.
Sejarah futuristik membaca data sejarah yang ada dengan mengacu ke sejarah masa depan. Kita bisa memaknai, interpretasi, semua data karena mengacu ke masa depan. Atau lebih tepatnya, masa depan memberi makna terhadap semua data sejarah masa kini dan masa lalu. Masa depan mana yang bisa kita jadikan acuan? Pertanyaan yang menarik.
Sejarah masa depan adalah sejarah yang diwarnai oleh posibilitas, freedom, dan komitmen. Masa depan adalah terbukanya beragam posibilitas. Ada beragam peluang untuk meraih masa depan. Kita bebas untuk memilih masa depan itu, freedom. Masa depan adalah bebas dan membebaskan. Dengan demikian, ada banyak cara membaca sejarah? Tepat sekali. Karena itu, kita perlu berpikir terbuka untuk membaca sejarah. Semua klaim sejarah tetap terbuka dengan posibilitas dan freedom.
Akibatnya, kita terikat oleh sejarah itu sendiri yang menuntut komitmen dan keteguhan umat manusia. Berbeda dengan klaim sejarah masa lalu. Mereka bisa klaim bahwa sejarah masa lalu benar, valid, berdasar data masa lalu. Sehingga, mereka berlepas dari komitmen lanjutan. Karena masa lalu sudah final, maka, mereka bisa memaksa semua pihak menerima kebenaran sejarah masa lalu itu. Demikian juga, sejarah meta-perspektif bisa klaim sebagai sejarah paling benar. Mereka klaim memiliki perspektif lengkap, atau, paling lengkap. Semua pihak harus menerima klaim meta-perspektif. Kita tahu, klaim seperti itu mustahil. Kita perlu komitmen.
Sejarah futuristik terbuka terhadap masa depan. Akibatnya, kita perlu komitmen untuk meraih masa depan itu. Di saat yang sama, kita perlu tetap bersikap terbuka dengan alternatif masa depan.
5.14 Keteguhan
Dasein, kita, memahami diri kita selalu berada di jalan menuju kematian, di mana, kematian ini sepenuhnya memberi kesempurnaan bagi dasein. Seluruh perjalanan hidup kita hanya bisa dimaknai ketika ajal telah tiba. Sebelum ajal tiba, setiap makna, dan setiap interpretasi, bisa berubah secara radikal. Keteguhan hati untuk menerima fakta bahwa kita pasti mati berimplikasi, di saat yang sama, kita bersikap untuk mengambil keputusan dalam setiap situasi. Kapan ajal tiba?
Mati adalah yang memberi arti hidup kita di hari ini. Mati adalah yang memberi arti perjalan kita sejauh ini. Mati adalah yang paling berarti. Tetapi, mati seperti apa yang Anda perjuangkan sampai mati?
“Dasein understands itself with regard to its potentiality- of- being in a way that confronts death [literally unter die Augen, under its eyes] in order to take over completely the being that it itself is in the Geworfenheit of its throwness. Resolutely taking over one’s own factical “Da” “implies” at the same time decision (Entschluss) in the situation. (Being and Time, 364)” (Heidegger).
5.15 Freedom
Keteguhan menerima semua fakta dan eksistensi adalah, simultan dan setara, dengan mengambil keputusan dalam-situasi. Sikap menerima fakta bukanlah berarti menyerah dan bukan pula frustasi. Teguh menerima fakta adalah kebebasan sejati, freedom. Menerima fakta dan freedom adalah satu kesatuan tak terpisahkan, meski, tampak berlawanan.
Keduanya, menerima fakta dan freedom, hanya eksis jika serentak. Maksudnya, bukan ada fakta dan freedom, kemudian, digabungkan. Yang benar adalah jika menerima fakta maka ada freedom. Dan, jika ada freedom maka pasti menerima fakta. Seseorang tidak bisa hanya memilih salah satu dan menolak lainnya. Mereka selalu berpasangan: menerima fakta dan freedom.
“So, the taking up of the factical Da, the resolute taking charge of the factical conditions of the Da and of ek- sistence, will be simultaneously the decision of the situation, which means that the taking up will be neither conformist acceptance nor fatalistic resignation but decision in the situation. The freedom of the decision and the taking up of the facticity of ek- sistence will be one and the same thing, and they constitute and unite with each other through this double limitation that they seem to oppose to each other. In fact, they do not each exist authentically before their mutual opposition. There is not, strictly speaking, a mutual opposition — for that would suppose the prior existence of separated terms — but the freedom and the taking up of the situation constitute each other in and by the other, before having to oppose each other or come to an agreement in the form of paradox, as in the degraded form that these themes took in the heroic voluntarism which, in the early Sartre, was externally associated with a kind of mechanism of contingency. Cartesian regression of Heideggerian themes.” (Derrida).
Kadang orang salah mengira, mereka menganggap, freedom bertentangan dengan menerima fakta. Mereka mengira freedom adalah melampaui segala batasan fakta, melampaui warisan masa lalu, dan melampaui batasan masa kini. Sehingga, menurut mereka, pahlawan kebebasan adalah orang yang mampu lepas dari segala kekangan situasi. Derrida menilai Sartre sebagai terjebak dalam pemikiran seperti itu. Dasein Heidegerrian ditarik mundur sebagai subyek Cartesian.
Freedom, kebebasan, adalah posibilitas masa depan yang terbuka luas dengan cara menerima fakta masa lalu dan memodifikasi situasi masa kini.
Sementara, kematian adalah fakta yang pasti terjadi pada setiap orang. Mati adalah fakta sejati. Sehingga, menerima kematian adalah freedom sejati. Manusia menjadi bebas sempurna dengan menerima fakta bahwa dirinya adalah mati.
“As he says elsewhere, the point is not to speculate on death or on what is beyond death, nothingness or survival; the point is not to resign oneself to one’s mortality as though to a castration that is a relief for the master or the disciple, but to constitute the present as the past of a future: that is, to live the present not as the origin and absolute form of lived experience (of ek- sistence), but as the product, as what is constituted, derived, constituted in return on the basis of the horizon of the future and the ek- stasis of the future, this latter being able to be authentically anticipated as such only as finite to- come, that is, on the basis of the insuperability of possible death, death not being simply at the end like a contingent event befalling at the far end of a line of life, but determining at every — let’s say moment — the opening of the future in which is constituted as past what we call the present and which never appears as such.” (Derrida).
Masalahnya bukan spekulasi apakah setelah mati manusia jadi sirna atau ada kehidupan baru setelah kematian. Poinnya bukan pula akan ada siksa kubur, nikmat kubur, atau tidak ada sama sekali. Poin pentingnya adalah menjadikan masa kini (present) sebagai masa lalunya dari masa depan, past-of-future. Sehingga, kita menjalani hidup masa kini bukan sebagai “origin”, masa kini bukan sebagai bentuk absolut eksistensi. Tetapi, masa kini adalah hasil dari, dibentuk oleh, diturunkan dari, masa depan (future). Masa depan yang pasti adalah mati.
Mati bukanlah sesuatu yang akan terjadi nanti. Tetapi, mati adalah selalu terjadi setiap saat. Mati adalah pembuka masa depan. Mati menjadikan masa kini sebagai past-of-future. Mati adalah yang membentuk masa kini menjadi ada arti.
5.16 Teknologi Modifikasi
Teknologi berperan besar dalam memodifikasi being, memodifikasi question-of-being, dan memodifikasi ontologi fundamental. Orang mengira bahwa teknologi adalah sekedar alat untuk mencapai tujuan akhir melalui aktivitas tertentu. Tidak sesederhana itu, esensi teknologi adalah enframing: membingkai being, membingkai realitas, memanipulasi realitas.
“(1) Technology is the very movement that transforms activity in general into labor.
(2) The description of technology and of the relation of equipmentality and of putting to work is inseparable, in Sein und Zeit, from the structure of Mitsein that is co- originary with it.” (Derrida).
Teknologi mengubah aktivitas manusia menjadi tenaga kerja. Sehingga, manusia bisa dihitung dengan harga tenaga kerja. Manusia bisa dihitung dengan uang. Tetapi, hubungan teknologi dan manusia lebih dari sekedar nilai ekonomi. Teknologi mampu mendominasi manusia. Teknologi tidak bisa dipisahkan dari manusia dan manusia tidak bisa dipisahkan dari teknologi.
“Rather, the threat is the essence because ‘the rule of enframing threatens man with the possibility that it could be denied to him to enter into a more original revealing and hence to experience the call of a more primal truth’ “. (Wiki, Heidegger).
Ancaman dari teknologi adalah teknologi bisa memanipulasi manusia. Akibatnya, manusia menjalani hidup hampa makna karena dikendalikan oleh teknologi. Perkembangan teknologi digital lebih mengerikan lagi. Bukan hanya teknologi digital mampu memanipulasi kehidupan rakyat, tetapi, di ujung sana, ada segelintir orang yang memanfaatkan teknologi digital untuk memanipulasi rakyat.
Sama saja, orang yang didominasi teknologi hampa hidupnya. Begitu juga, orang yang mendominasi teknologi hampa hidupnya. Awalnya, orang tersebut mengira sedang mendominasi teknologi. Kenyataanya, pada akhirnya, teknologi yang mendominasi orang tersebut.
Jadi, harus bagaimana menyikapi teknologi? Modifikasi apa yang diperlukan? Bagaimana bisa harmonis dengan teknologi?
Teknologi tidak bisa berpikir. Kita, manusia, bisa berpikir. Sehingga, kita bertanggung jawab untuk memodifikasi teknologi, sedemikian hingga, teknologi membantu manusia untuk bisa berpikir-terbuka.
Ambil contoh sederhana kalkulator sebagai mesin hitung. Dengan adanya kalkulator, anak-anak malas belajar berhitung. Orang dewasa juga malas berpikir untuk menghitung harga dagangan. Jadi, teknologi kalkulator membuat manusia tidak bisa berpikir. Padahal, seharusnya, kalkulator justru membantu manusia untuk berpikir terbuka. Manusia bisa berpikir tugas hitungan tertentu diserahkan kepada kalkulator. Sementara, tugas berhitung lainnya, yang lebih penting, tetap dipikirkan oleh manusia.
Komputer cerdas, misal artificial intelligence AI, tampak lebih menakutkan. AI mampu menghafal seluruh pengetahuan umum di dunia. AI mampu berhitung cepat. AI mampu coding. AI mampu menyelesaikan semua problem matematika. Semua diselesaikan super cepat kurang dari 1 detik. Semua masalah bisa dipikirkan oleh AI. Manusia jadi malas berpikir. Manusia hanya mau mengikuti hasil pikiran AI. Ujungnya, manusia kehilangan arti.
Padahal, manusia bisa menempatkan AI sebagai partner untuk berpikir-terbuka. Beberapa masalah, suruh AI untuk memikirkannya. Kemudian, manusia memikirkan lebih lanjut hasil dari AI dengan mempertimbangkan posibilitas baru, freedom untuk semua, dan penuh komitmen.
Jadi, meski pun teknologi menimbulkan masalah, sejatinya, masalah utama ada pada manusia, ada pada dasein. Manusia menjadi malas berpikir. Manusia didominasi teknologi. Dan, manusia kehilangan arti. Tugas manusia untuk mengarahkan teknologi kembali ke jalur alami.
5.17 Repetisi
Anda bisa mengulang atau repetisi secara bebas. Anda, sebagai dasein, juga bisa memilih tidak repetisi. Ketika terjadi repetisi, maka, bisa secara otentik (jeru) atau bisa juga tidak otentik (rajeru). Repetisi jeru berbeda dengan sekedar mengulang masa lalu.
” The concept of repetition, if one remembers what has already been said, implies that repetition is something quite other than a becoming- present again, than a restoration of the past of what has been left behind. We are dealing with the very opposite of a traditionalism or a philosophy of repetition as immobile recommencement or the return to the origin like a falling back into childhood. This is why repetition has its origin in the future; and as repetition is the possibility of an authentic history, history has its possibility in the future and in death as the possibility of the impossible.” (Derrida).
Konsep repetisi berbeda dengan konsep tradisionalis atau filosofi pada umumnya. Mereka mengira bahwa repetisi adalah mengulang masa lalu, kembali kepada leluhur, atau kembali kepada masa kanak-kanak. Repetisi mereka adalah repetisi rajeru, tidak otentik.
Sementara, konsep repetisi yang benar, repetisi otentik, adalah repetisi yang berakar ke masa depan, future. Dari future menatap balik ke present, untuk kemudian, memodifikasi present agar terjadi repetisi future. Demikian juga, sejarah adalah berakar ke future. Sejarah otentik adalah repetisi dari future. Bagi kita, dasein, future yang paling pasti adalah death yang mengantar kita menjadi dasein sepenuhnya.
5.18 Enigma
Pertanyaan menjadi penting karena mendorong munculnya solusi. Pada gilirannya, setiap solusi mendorong munculnya pertanyaan baru. Mengapa begitu? Karena, memang begitu. Enigma makin enigmatic.
” This is why the end of §74, in particular, does not present itself in any way as an answer or a solution, but as a deepening of the enigma. What in particular is meant by a historicity and a privileging of the past as rooted in the future? The enigma is again that of temporalization and of that condition of the present as the past of a future.” (Derrida).
Solusi dari semua enigma adalah future. Enigma tentang ontologi fundamental, dasein, temporality, sains, dan teknologi, memiliki solusi yang berakar pada future. Di saat yang sama, future adalah enigma itu sendiri. Future adalah posibilitas meluas, freedom untuk semua, dan komitmen.
5.19 Etika
Pembahasan ontologi fundamental secara tidak langsung berhubungan dengan etika. Sehingga, teori etika masih perlu dirumuskan sebagai lanjutan question-of-being.
“(1) With the proposition according to which the hidden ethics (“ethics” in scare- quotes) that was putting Heidegger’s discourse into motion here was none other than the one that put into motion discourses which, like those of the Marxist, Nietzschean and Freudian type, could not refer to a motivation whose concept was borrowed from the philosophy they were destroying. Simply, Heidegger makes a theme of this motivation which is elsewhere a driving force.
(2) With the concept of repetition (Wiederholung), which is doubtless the only concept that is truly original and proper to a thematic of historicity in Sein und Zeit. It still had to be understood appropriately and without misunderstanding. It still had to be understood as authentic transmission — that is, as we saw, deepening the enigma of temporality and historicity, and of the privilege of a past that is not a past present.” (Derrida).
Pertama, kita tidak bisa meminjam etika dari konsep etika masa lalu yang sudah di-destruksi. Kita hanya bisa belajar dari konsep etika masa lalu. Untuk kemudian, konstruksi ulang sistem etika yang baru.
Kedua, konsep repetisi dan oto-transmisi menjadi konsep dasar bagi kita dalam konstruksi ulang sistem etika.
Repetisi adalah repetisi dari masa depan. Masa kini adalah repetisi dari future. Secara etika, setiap orang bebas menentukan masa depannya. Sehingga, masa kini juga menjadi freedom sebagai repetisi dari freedom masa depan.
Berbeda dengan repetisi masa lalu. Jika repetisi adalah repetisi masa lalu maka masa kini tidak bebas, karena, masa kini sudah dipastikan oleh masa lalu. Sebaliknya, sejatinya, manusia bebas memilih masa depan. Akibatnya, repetisi masa depan adalah dorongan semangat untuk bergerak maju dengan pegangan etika.
Konsep oto-transmisi memastikan bahwa repetisi itu sudah terjadi, akan terjadi, dan selalu terjadi. Future yang Anda pilih langsung bertransmisi ke masa kini Anda dengan bekal masa lalu. Cita-cita Anda di masa depan mendorong Anda membaca tulisan ini, saat ini, dengan didukung beragam fakta masa lalu.
Oto-transmisi memberi freedom kepada manusia untuk menjalani hidup etis berdasar past, present, atau future.
Hidup etis berdasar past, masa lalu, cocok bagi Anda yang mendapat warisan melimpah dari leluhur Anda. Barangkali leluhur Anda adalah bangsawan atau orang kaya raya. Anda memanfaatkan warisan masa lalu dengan etis. Menjalani hidup dengan baik serta berpikir-terbuka terhadap lingkungan dan beragam peluang yang ada. Hidup etis berdasar past menjadi valid karena oto-transmisi: realitas adalah bentangan future, past, dan present sebagai kesatuan.
Hidup etis berdasar present, masa kini, adalah hidup mengalir bagai air. Barangkali, ini adalah ide yang sangat menarik. Kita menjalani hidup dengan terbuka menerima apa yang ada saat ini. Menikmati berkah hidup hari ini – apa pun yang terjadi – dengan penuh syukur. Karena memang oto-transmisi future, past, dan present, maka, hidup etis berdasar present adalah valid.
Hidup etis berdasar future, masa depan, adalah hidup paling otentik dengan resiko stress berlebihan. Future adalah pilihan terbaik bagi dasein. Hidup etis adalah hidup otentik sebagai dasein futuristik. Masa depan adalah paling utama. Masa depan lebih baik bagimu dari masa lalu.
Masa depan adalah ajal kematian.
Prestasi etis apa yang ingin Anda raih ketika ajal tiba? Kebaikan apa yang hendak Anda wariskan ke generasi masa depan? Sejarah unik apa yang akan Anda tuliskan untuk dibaca umat masa depan?
5.20 Sejarah Dunia bersama Dasein
Sejarah dunia hanya bisa terjadi karena dasein, being-in-the-world, bersifat historal. Sejarah dunia bukanlah urutan dari suatu kejadian obyek disusul oleh kejadian obyek berikutnya. Sejarah dunia adalah “keterhubungan” antara obyek dengan subyek. Dalam hal ini, dasein berperan sebagai subyek. Karena dasein historal maka “keterhubungan” dengan obyek menjadi historal. Demikian juga, dunia menjadi historal.
“History is not and cannot be historical linkage, Zusammenhang, cannot link modifications of objects or sequences, Folgen, of subjective experiences. History has its place in the linking, Verkettung, of subject and object. But as this linking can be originary only if it does not link in a secondary manner an object and an already- constituted and therefore ahistorical subject, this linking is the very origin of the two terms it links.” (Derrida).
Hubungan antara subyek dan obyek adalah hubungan primordial. Bukan hubungan sekunder, yang baru ditambahkan, antara subyek dan obyek. Subyek dan obyek tidak eksis mendahului “hubungan” mereka. Mereka – subyek, obyek, dan hubungan – eksis secara bersama-sama. Mereka adalah dasein yang peduli sebagai being-in-the-world. “Hubungan” bersifat historal sebagaimana dasein juga historal. Mereka adalah histori otentik.
“But nature, insofar as its meaning as nature is constituted on the basis of the ek- sistence of Dasein, its nature- meaning as landscape, as field of cultivation, place of worship, field of battle or conquest, raw material, and so on. To this extent nature is historical (no life). So the totality of the world is historical, whether one designate by “world” the world of nature or the world of culture; the world is historical; that means that the world is not, but worlds in the ek- static transcendence of Dasein, in the historialization of Dasein.” (Derrida).
Alam bisa bermakna sebagai medan eksistensi bagi dasein. Alam adalah medan petualangan bagi dasein. Alam, dalam makna tersebut, adalah historal tanpa kehidupan. Sampai di sini, kita bisa bertanya, apa ada dasein selain manusia? Mengapa tidak ada? Jika ada, maka, siapakah dasein itu?
Secara total, dunia adalah historal. Baik, yang dimaksud dunia adalah budaya manusia mau pun alam. Dengan demikian, terbuka bagi kita mengembangkan sains sejarah secara otentik.
5.21 Sejarah Sains
Sains bersifat historal. Sains memiliki sejarah. Dan, ilmu sejarah itu sendiri historal.
“(1) Historical science is historical: it has a history. It is not; it historizes itself and its object is historical. And it can have an object only if Geschichte precedes it, as it were. As Hegel said, the twin possibilities of history and Geschichte are of a piece, but, says Heidegger, history is in its essence belated with respect to Geschichte. It is constituted as this belatedness itself.
Sejarah sains memang historal – punya sejarah. Tetapi sejarah sains tidak bisa membuat sejarahnya sendiri. Geschichte, narasi, mendahului sejarah sains. Jadi, sejarah sains itu terlambat. Dari narasi, kemudian, kita baru bisa menyusun sejarah sains.
Sehingga, secara ontologis, kita tidak bisa menyandarkan sejarah sains hanya kepada klaim fakta sejarah. Pertama, sejarah sains berdasar fakta sejarah tidak menunjukkan bagian mana sejarah otentik. Kedua, penilaian sejarah sains berdasar fakta sejarah adalah sebuah idea, yaitu, idea tentang sejarah otentik.
Dengan demikian, meski fakta obyektif sejarah itu sangat penting, tetap saja, karakter pentingnya sekunder. Tetapi, sekunder terhadap apa?
(2) The guiding thread for this ontological genesis of historical science cannot be borrowed from existing history, such as it is practiced in fact by historians. And this for de jure reasons. First because nothing tells us that the practice of historians corresponds to what an authentic historical science should be. And in truth to judge what the de facto practice of historical science is worth I have to refer to the Idea (in the sense of the Idea of authentic history).
(3) The problems that are called problems of historical objects and objectivity, however important and decisive, are secondary. Secondary with regard to what?” (Derrida).
“It follows that the value of a historical science, if such is its origin, depends primarily on the authenticity of the historical repetition that — before seeking or finding “positive facts” (Tatsachen), “a positive presence” (Being and Time, 375) resuscitated — will place itself in relation with the silent force of the possible without which there would be no Dasein and no Gewesenheit. This possible, if one understands it correctly and not as indeterminacy, freedom, individual potential, and so on (metaphysical determinations), is the true theme of history. It is in this direction that one must seek the “positive,” the authentic Tatsächliches. It is on the basis of the future that the historian must repeat, and he must repeat toward a past that was also an opening toward the future, which never was a present and positive fact.” (Derrida).
Nilai penting dari sejarah sains adalah ketika sejarah didasarkan kepada repetisi-histori yang otentik. Kemudian, sejarah sains membaca fakta sejarah berdasar repetisi-histori tersebut. Repetisi-histori otentik adalah repetisi dari future, bukan repetisi dari masa lalu. Sehingga, repetisi adalah mengungkap posibilitas yang luas. Posibilitas yang beriringan dengan freedom dan komitmen adalah tema sejati dari kajian sejarah sains. Dalam konteks ini – posibilitas, freedom, dan komitmen -, fakta sejarah menjadi penting dan sains sejarah menjadi lebih penting lagi.
Landasan dari ilmu sejarah adalah kesatuan ekstase temporal masa depan, masa lalu, dan masa kini dari dasein.
“Dasein exists as futural authentically in the resolute disclosure of a chosen possibility. Resolutely coming back to itself, it is open, in repetition, for the “monumental” possibilities of human existence. The historiography (Historie) arising from this historicity (Geschichtlichkeit) is “monumental.” As having- been (gewesendes), Dasein is delivered over to its thrownness. In appropriating the possible in repetition, there is pre- scribed at the same time the possibility of reverently preserving (Bewahrung) the existence that has been- there, in which the possibility taken up became manifest. As monumental, authentic historiography (Histoire) is thus “antiquarian” (antiquarisch). Dasein temporalizes itself in the unity of future and the having- been as the present. The present, as the Moment, discloses the today authentically. But insofar as the today is interpreted on the basis of the futurally repetitive
understanding (zukünftig- wiederholenden Verstehen) of a possibility taken up from existence, authentic historiography (Historie) is de- presentification of the today (Entgegenwärtigung des Heute); that is, it becomes the painful way of detaching itself (Sichlösen) from the entangled publicness of the today [a precise concept for Heidegger]. As authentic, monumental- antiquarian historiography is necessarily a critique of the “present.” (Being and Time, 376– 77) (Heidegger).
Dasein otentik adalah manusia futuristik yang menerapkan freedom untuk mengungkap posibilitas luas dengan penuh komitmen. Komitmen itu kembali pada dirinya sendiri, keterbukaan, posibilitas “monumental” bagi eksistensi manusia. “Monumental” adalah tonggak sejarah sains.
Dasein selalu sudah berada dalam situasi, being-in-the-world, yang sudah menjadi fakta. Situasi tersebut memberi posibilitas baru untuk berubah, di saat yang sama, memberi posibilitas untuk tetap menjaga yang sudah ada. Dasein bertemporalisasi dengan membentangkan future ke past sampai hadir sebagai present. Present, sebagai momen, mengungkap masa kini secara otentik. Sejauh, present sebagai repetisi dari future. Sehingga, sejarah otentik adalah de-presentification dari masa kini. Jadi, sejarah adalah kritik terhadap “present” agar lebih kuat menatap future.
6. Melampaui Dasein
6.1 Being Melebihi Dasein
Bagaimana dengan being secara umum? Bukan sekedar being-there atau dasein?
Kajian kita di atas membahas question-of-being melalui question-of-being-there. Pertanyaan being-general, being secara umum, tetap muncul di hadapan kita. Apakah kajian yang sama akan valid untuk mengkaji being secara umum?
“Something like ‘Being’ has been disclosed in the understanding-of-Being which belongs to existent Dasein as a way in which it understands. Being has been disclosed in a preliminary way, though non-conceptually; and this makes it possible for Dasein as existent Being-in-the-world to comport itself towards entities-towards those which it encounters within-the-world as well as towards itself as existent. How is this disclosive understanding of Being at all possible for Dasein? Can this question be answered by going back to the primordial constitution-of-Being of that Dasein by which Being is understood ? The existential-ontological constitution of Dasein’s totality is grounded in temporality. Hence the ecstatical projection of Being must be made possible by some primordial way in which ecstatical temporality temporalizes. How is this mode of the temporalizing of temporality to be Interpreted ? Is there a way which leads from primordial time to the meaning of Being ? Does time itself manifest itself as the horizon of Being?” (Heidegger).
Tampaknya, Heidegger optimis bahwa kita akan berhasil menjawab question-of-being secara umum dengan pendekatan kajian yang mirip. Tak semudah yang dibayangkan. Setelah mengkaji dasein, beberapa tahun kemudian, Heidegger justru menghadapi “putaran” kajian filosofis. Heidegger mengkaji bahasa, histori, teknologi, sampai karya seni. Sehingga, beberapa orang menduga bahwa “putaran” ini menandakan kajian dasein menemui jalan buntu.
Baru pada tahun 1962, Heidegger berusia 73 tahun, terbit tulisan dan kuliah “Time and Being.” Di satu sisi, kita bisa memandang “Time and Being” merupakan lanjutan kajian dasein menuju being secara umum. Di sisi lain, terpisah jarak dan waktu 35 tahun dari terbitnya “Being and Time”, tampak sulit untuk mengklaim mereka sebagai satu kesatuan. Ditambah lagi, “Time and Being” hanya terdiri dari 25 halaman. Berbeda dengan “Being and Time” yang terdiri sekitar 500 halaman. Bagaimana pun kita akan mengkaji “Time and Being” secara memadai.
“During the last three decades of his life, from the mid 1940s to the mid 1970s, Heidegger wrote and published much, but in comparison to earlier decades, there was no significant change in his philosophy. In his insightful essays and lectures, such as “What are Poets for?” (1946), “Letter on Humanism” (1947), “The Question Concerning Technology” (1953), “The Way to Language” (1959), “Time and Being” (1962), and “The End of Philosophy and the Task of Thinking” (1964), he addressed different issues concerning modernity, labored on his original philosophy of history—the history of being—and attempted to clarify his way of thinking after “the turn”.” (IEP).
Kita bisa mengatakan bahwa “Time and Being” adalah karya Heidegger paling matang. Tetapi, saya tidak menemukan bukti bahwa Derrida membaca karya ini. Sehingga, kita akan mengkaji dari beragam sumber yang berbeda.
6.2 Time and Being
“Time and Being” tampak hanya kebalikan dari “Being and Time.” Jika hanya pembalikan maka itu sekedar permainan kata murahan. Sejatinya, tersimpan sesuatu yang sangat mendalam di “Time and Being”. Bahkan, Heidegger sendiri mengingatkan bahwa kajian yang mendalam ini sangat sulit dimengerti. Sehingga, bila hanya sedikit pembaca yang memahaminya maka wajar saja. Anda juga beresiko menghadapi kesulitan yang sama.
Mengapa kajian ini menjadi sulit? Tidak bisakah dibuat lebih mudah?
1) Karena kajian fundamental. Sehingga, pengalaman sehari-hari tidak selalu memadai untuk dijadikan contoh. Demikian juga bahasa sehari-hari, sering tidak memadai. Bahasa sehari-hari yang merupakan bahasa-formal perlu kita geser menjadi bahasa-being.
2) Sebelum logika. Kajian ini adalah kajian pra-logika atau sebelum logika. Kita tidak bisa menerapkan aturan logika dengan ketat di sini. Karena, kita justru sedang menyelidiki fundamental dari prinsip-prinsip logika.
3) Perlu pengalaman dan perenungan. Untuk bisa memahami, masing-masing dari kita perlu merenungkan dan, sampai taraf tertentu, perlu mengalami berpikir problem fundamental filosofi. Dan, penting bagi kita sadar bahwa ada problem fundamental “Time and Being” yang menuntut solusi.
Bagi seseorang yang menganggap time adalah waktu yang diukur oleh jam, dan Being adalah segala sesuatu yang bisa dipersepsi, maka, kajian “Time and Being” tidak ada gunanya. Ditambah lagi, kajian ini tidak akan pernah bisa dipahami dengan anggapan semacam itu. Jadi, kita perlu berpikir-terbuka dengan mengikuti alunan iramanya.
“Let me give a little hint on how to listen. The point is not to listen to a series of propositions, but rather to follow the movement of showing.” (Time and Being, Heidegger)
6.3 Being Secara Umum
Kita bisa menduga, Heidegger lebih fokus kepada kajian Being dari pada dasein. Tentu saja, ini langkah maju yang harus ditempuh Heidegger. Dan, “time” mendapat posisi istimewa dalam kajian. Bahkan, “time” bisa kita pandang lebih “istimewa” dari Being itu sendiri.
“Being is not a thing, thus nothing temporal, and yet it is determined by time as presence.
Time is not a thing, thus nothing which is, and yet it remains
constant in its passing away without being something temporal like the beings in time.
Being and time determine each other reciprocally, but in such a manner that neither can the former -Being- be addressed as something temporal nor can the latter -time- be addressed as a being.” (Time and Being, Heidegger).
Being mau pun time, sama-sama, bukan sesuatu, not-a-thing, nothing. Being adalah nothing yang temporal, ditentukan oleh waktu sebagai presence.
Time adalah nothing yang niscaya terus berlalu, tanpa menjadi sesuatu yang temporal, tanpa menjadi being di dalam waktu.
Being dan time saling mempengaruhi tanpa ada yang menjadi prioritas. Being dan time adalah setara. Mereka saling menghormati. Kita perlu berpikir dengan waspada dalam hal ini. Kontradiksi bisa terjadi di berbagai tempat.
Being adalah masalah bagi yang berpikir. Being adalah matter bagi yang berpikir. Tetapi, Being bukan sebuah being. Demikian juga time adalah masalah bagi yang berpikir. Tetapi, matter yang nothing temporal.
“Being-a matter, but not a being.
Time-a matter, but nothing temporal.” (Time and Being, Heidegger).
Being, sepanjang sejarah, bertransformasi dalam berbagai istilah. Transformasi ini bagai sejarah Being itu sendiri. Tetapi, sejarah Being berbeda dengan sejarah kota, misalnya. Karena sejarah Being ditentukan oleh Being itu sendiri. Di antara beberapa transformasi presencing adalah logos, Esa, Meliputi segala, idea, energeia, substansi, obyektivitas, will, cinta, spirit, power, akal, dan lain-lain.
“However, we can also note historically the abundance of transformations of presencing by pointing out that presencing shows itself as the hen, the unifying unique One, as the logos, the gathering that preserves the All, as idea, ousia. energeia, substantia, actualitas, perceptio, monad, as objectivity, as the being posited of self-positing in the sense of the will of reason, of love, of the spirit, of power, as the will to will in the eternal recurrence of the same. Whatever can be noted historically can be found within history. The development of the abundance of transformations of Being looks at first like a history of Being.” (Time and Being, Heidegger).
Dengan beragam transformasi Being sepanjang sejarah itu, Being masih tetap bersembunyi. Being hadir sebagai anugerah, presencing, di saat yang sama, anugerah itu menutupi Being. Kita perlu memilih bahasa yang tepat, sedemikian hingga, membantu menyiapkan pikiran kita berpikir-terbuka berhadapan dengan Being.
“When Plato represents Being as idea and as the koinonia of the Ideas, when Aristotle represents it as energeia, Kant as position, Hegel as the absolute concept, Nietzsche as the will to power, these are not doctrines advanced by chance, but rather words of Being as answers to a claim which speaks in the sending concealing itself, in the “there is, It gives, Being.” Always retained in the withdrawing sending, Being is unconcealed for thinking with its epochal abundance of transmutations. Thinking remains bound to the tradition of the epochs of the destiny of Being, even when and especially when it recalls in what way and from what source Being itself receives its appropriate determination, from the “there is, It gives Being.” The giving showed itself as sending.
Pilihan kata yang tepat untuk Being adalah “there is Being” atau “ada Being”. Atau “It gives Being” atau “Dia memberi Being.”
Ketika Plato menyatakan Being sebagai idea, Aristoteles sebagai energeia, Kant sebagai posisi, Hegel sebagai konsep absolut, Nietzsche sebagai will to power, doktrin-doktrin ini bukan sembarangan. Doktrin-doktrin ini sebagai respon terhadap kata Being yang hadir sekaligus menyembunyikan diri.
Ketika kita menyatakan “It gives Being” atau “Dia memberi Being”, maka, “It” atau “Dia” berperan besar dalam menentukan Being. Apa atau bagaimana maksud dari “It”?
But how is the “It” which gives Being to be thought? The opening remark about the combination of “Time and Being” pointed out that Being as presence, as the present in a still undetermined sense, is characterized by a time-character and thus by time. This gives rise to the supposition that the It which gives Being, which determines Being as presencing and allowing-to-presence, might be found in what is called “time” in the title Time and Being.” (Heidegger).
Kita menduga bahwa yang dimaksud dengan “It” adalah time. Dugaan ini, meski baru dugaan awal, mengantar kita untuk mengkaji time disandingkan dengan Being. Sehingga, kita berharap mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.
6.4 Time
Time yang kita maksud, kali ini, bukanlah waktu yang diukur dengan jam. Time bukan hasil pengukuran mau pun perhitungan. Karena time bukanlah sesuatu. Time is not a thing.
Tentu saja bayangan paling umum tentang waktu adalah perjalanan waktu dari masa lalu, masa kini, menuju masa depan. Dalam sains, kita bisa menggambarkan sumbu waktu seperti itu berupa garis lurus. Atau, jika kita mempertimbangkan teori relativitas bahwa materi bisa melengkungkan waktu, maka, kita bisa menggambar garis waktu yang melengkung. Sekali lagi, kita tidak sedang membahas waktu secara ontic seperti itu. Pada kesempatan kali ini, kita membahas waktu atau time secara ontologi fundamental.
“But the combination of time and Being contains the directive to explain time in its peculiarity in the light of what was said of Being. Being means: presencing, letting-be present: presence. Thus we might read somewhere the notice: “The celebration took place in the presence of many guests.” The sentence could be formulated just as well: “with many guests being present.”
The present – as soon as we have named it by itself, we are already thinking of the past and the future, the earlier and the later as distinct from the now. But the present understood in terms of the now is not at all identical with the present in the sense in which the guests are present.” (Time and Being, Heidegger).
Kombinasi time dan Being memberi arah lebih jelas kajian kita. Being bermakna “presencing” atau menghadirkan di saat ini. Makna dari saat ini berimplikasi ada saat yang lain yaitu saat yang lalu dan saat yang akan datang. Makin jelas, di sini, hubungan time dan Being.
Hegel setuju dengan Aristoteles bahwa waktu sejati adalah sekarang atau now. Masa lalu adalah now yang sudah berlalu. Masa depan adalah now yang belum datang. Sementara, Kant menyatakan bahwa waktu berdimensi satu. Kita masih perlu mengkaji lebih jauh tentang time ini.
Tetapi, apa itu waktu? Di mana waktu bertempat? Jelas, waktu bukanlah tiada. Kita justru mengatakan “ada waktu”. Bagaimana kita bisa menemukan waktu?
Siapa kita? Kita adalah manusia. Lagi, kita perlu hati-hati di sini. Karena, kita terlibat dalam kajian yang sedang kita kaji: time dan Being.
Bagaimana kita menentukan time yang hadir ke kita?
“How are we to determine this giving of presencing that prevails in the present, in the past, in the future? Does this giving lie in this, that it reaches us, or does it reach us because it is in itself a reaching? The latter. Approaching, being not yet present, at the same time gives and brings about what is no longer present, the past, and conversely what has been offers future to itself.
The reciprocal relation of both at the same time gives and brings about the: present. We say “at the same time,” and thus ascribe a time character to the mutual giving to one another of future, past and present, that is, to their own unity.” (Time and Being, Heidegger).
Bagaimana kita bisa meraih masa kini (present), masa lalu (past), dan masa depan (future)? Apakah karena mereka dalam diri mereka sendiri – present, past, dan future – saling meraih? Benar, mereka saling meraih. Future meraih past dan present. Past memberi future dan present. Present adalah masa lalu dari future. Future memberi, dan meraih, dirinya sendiri yaitu present dan past. Mereka, di saat yang sama, adalah kesatuan.
Future memberi arah gerak bagi present. Future menarik, dan mendorong, present. Present memodifikasi diri dengan antisipasi future dan bermodal fakta past. Mereka adalah tiga dimensi time yang saling interaksi: future, present, dan past. Kesatuan ekstase time ini menciptakan proses “extending” pada time. Lengkap, waktu sejati memiliki empat dimensi. Extending adalah dimensi keempat.
Tetapi, apa yang mereka saling berikan? Saling raih? Tidak ada yang lain selain diri mereka sendiri. Mereka – future, present, dan past – saling menghadirkan diri. Mereka self-extending sehingga membuka ruang time-space baru. Pembukaan yang mendekatkan – dan menjauhkan – antara future, present, dan past.
“But what do they offer to one another? Nothing other than themselves-which means: the presencing that is given in them. With this presencing, there opens up what we call time-space. But with the word “time” we no longer mean the succession of a sequence of nows. Accordingly, time-space no longer means merely the distance between two now-points of calculated time, such as we have in mind when we note, (or instance: this or that occurred within a time-span of fifty years). Time-space now is the name for the openness which opens up in the mutual self-extending of futural approach, past and present.” (Time and Being, Heidengger).
Lalu, di mana itu semua terjadi? Di mana, tempat, time saling memberi? Di mana, tempat, proses extending itu berlangsung? Kita belum bisa bertanya tentang tempat. Bahkan, kita juga belum bisa bertanya tentang waktu kapan – dalam pengertian waktu yang diukur oleh jam atau alat ukur lainnya. Kita tidak bisa bertanya di bagian mata kiri atau kanan, tempat, letak kepala manusia. Proses extending adalah proses yang memungkinkan terbukanya ruang dan waktu dalam pengertian sehari-hari.
Pertanyaan kita masih sama, “Bagaimana kita bisa menemukan waktu?” Jawabannya: kita pasti sudah menemukan waktu. Dari lahir sampai mati, manusia selalu bersama waktu. Manusia selalu punya waktu. Karena, Dia memberi waktu kepada manusia. “It gives time. It gives Being.”
“True time is the nearness of presencing out of present, past and future-the nearness that unifies time’s threefold opening extending. It has already reached man as such so that he can be man only by standing within the threefold extending, perduring the denying, and withholding nearness which determines that extending. Time is not the product of man, man is not the product of time. There is no production here. There is only giving in the sense of extending which opens up time-space.” (Time and Being, Heidegger).
6.5 Determinasi Dia
Kita perlu klarifikasi, determinasi, apa yang dimaksud dengan “Dia” dalam ungkapan “Dia memberi waktu” dan “Dia memberi Being”. Tanpa determinasi maka kita berada dalam bahaya keburaman. “It gives time.” “It gives Being.”
“The giving in “It gives Being” proved to be a sending and
a destiny of presence in its epochal transmutations.
The giving in “It gives time” proved to be an extending, opening up the four-dimensional realm.
Insofar as there is manifest in Being as presence such a thing as time, the supposition mentioned earlier grows stronger that true time, the fourfold extending of the open, could be discovered as the “It” that gives Being, i.e., gives presence. The supposition appears to be fully confirmed when we note that absence, too, manifests itself as a mode of presence. What has-been which, by refusing the present, lets that become present which is no longer present; and the coming toward us of what is to come which, by withholding the present, lets that be present which is not yet present-both made manifest the manner of an extending opening up which gives all presencing into the open.” (Time and Being, Heidegger).
Makna “giving” dalam “It gives Being” adalah “a sending dan a destiny” dari suatu kehadiran dalam suatu perubahan. Sedangkan makna “It” adalah time sejati.
Makna “giving” dalam “It gives time” adalah “extending” yang merupakan interaksi dari total 4 dimensi waktu: future, present, past, dan extending itu sendiri. Sementara, makna “It” masih perlu kita kaji.
6.6 Appropriation
Sampai di sini, kita bisa mengkaji interaksi antara time dan Being. Bagaimana mereka, time dan Being, saling mempengaruhi?
“What determines both, time and Being, in their own, that
is, in their belonging together, we shall call: Ereignis, the event of Appropriation. Ereignis will be translated as Appropriation or event of Appropriation. One should bear in mind, however, that “event” is not simply an occurrence, but that which makes any occurrence possible. What this word names can be thought now only in the light of what becomes manifest in our looking ahead toward Being and toward time as destiny and as extending, to which time and Being belong. We have called both – Being and time – “matters.” The “and” between them left their relation to each other indeterminate.” (Time and Being, Heidegger).
Appropriation. Appropriasi. Penghomatan. Pengkhidmatan. Kita bisa memaknai “It” sebagai appropriasi dalam “It gives Being” dan “It gives time.” Kita perlu hati-hati memaknai appropriasi – bukan sebagai proses seperti biasa. Appropriasi adalah yang memungkinkan terjadinya semua proses. Lebih hati-hati lagi, appropriasi bukanlah genus, sedemikian hingga, time dan Being menjadi aggota genus tersebut. Bukan seperti itu.
Bukan pula time sudah eksis, dan Being sudah eksis, kemudian mereka melakukan interaksi berupa appropriasi. Bukan begitu. Tetapi, Being menjadi Being, dan time menjadi time, ketika mereka saling appropriasi. Time dan Being saling berkhidmat.
Selanjutnya, pertanyaan yang wajar, “Apa itu appropriasi?”
“Our seemingly innocent question, What is Appropriation? demands information about the Being of Appropriation. But if Being itself proves to be such that it belongs to Appropriation and from there receives its determination as presence, then the question we have advanced takes us back to what first of all demands its own determination: Being in terms of time. This determination showed itself as we looked ahead to the “It” that gives, looked through the interjoined modes of giving: sending and extending. Sending of Being lies in the extending, opening and concealing of manifold presence into the open realm of time-space. Extending, however, lies in one and the same with sending, in Appropriating. This, that is, the peculiar property of Appropriation, determines also the sense of what is here called ‘lying.'” (Time and Being, Heidegger).
Pertanyaan terhadap esensi, atau Being, dari appropriasi membawa kita kembali membahas Being. Di mana, sudah kita bahas, sending dan extending saling menentukan dalam interaksi Being dan time. Demikianlah, menariknya appropriasi. Determinasi appropriasi masih tetap terbuka terhadap freedom. Determinasi yang terlalu kuat akan mengubah kajian ontologi fundamental menjadi kajian ontic. Sementara, kita perlu komitmen terhadap kajian ontologi fundamental kali ini. Di bagian bawah, saya akan mencoba komparasi dengan mengkaji teori Relativitas Umum dari Einstein sebagai kajian ontic.
6.7 Metafisika Lagi
Kita akan tetap berhadapan dengan masalah metafisika, lagi. Meski, kita sudah melakukan destruksi metafisika, tetap saja, kita perlu rekonstruksi metafisika. Sehingga, kita perlu bersikap bijak terhadap metafisika. Destruksi adalah sikap yang bijak. Destruksi bukan menolak metafisika. Destruksi adalah meruntuhkan metafisika, untuk kemudian, mengungkap dengan jelas apa yang semula bersembunyi di balik tabir metafisika. Appropriasi, pada gilirannya, akan berhadapan dengan metafisika.
“Formerly, philosophy thought Being in terms of beings as idea, energeia, actualitas, will and now, one might think, as Appropriation. Understood in this way, ”Appropriation” means a transformed interpretation of Being which, if it is correct, represents a continuation of metaphysics. In this case, the “as” signifies: Appropriation as a species of Being, subordinated to Being which represents the leading concept that is retained. But if we do what was attempted, and think Being in the sense of the presencing and allowing-to-presence that are there in destiny – which in turn lies in the extending of true time which opens and conceals – then Being belongs into Appropriating. Giving and its gift receive their determination from Appropriating. In that case, Being would be a species of Appropriation, and not the other way around.
To take refuge in such an inversion would be too cheap.” (Time and Being, Heidegger).
Dalam sistem metafisika, Being adalah paling universal. Sehingga, kita bisa menganggap appropriasi sebagai anggota atau spesies dari Being. Tetapi, kita sudah membahas, appropriasi sebagai “sending dan extending” adalah lebih prior dari Being. Akibatnya, Being adalah spesies dari appropriasi. Pembalikan sistem metafisika seperti itu, seandainya valid, terlalu murahan. Kita perlu kajian yang lebih mendalam.
“Because Being and time are there only in Appropriating, Appropriating has the peculiar property of bringing man into his own as the being who perceives Being by standing within true time. Thus Appropriated, man belongs to Appropriation.
This belonging lies in the assimilation that distinguishes Appropriation. By virtue of this assimilation, man is admitted to the Appropriation. This is why we can never place Appropriation in front of us, neither as something opposite us nor as something all encompassing. This is why thinking which represents and gives account corresponds to Appropriation as little as does the saying that merely states.” (Time and Being, Heidegger).
Appropriasi adalah pengkhidmatan. Being berkhidmat kepada time. Dan, time berkhidmat kepada Being. Being dan time saling berkhidmat. Demikian juga, manusia adalah pengkhidmatan, appropriasi. Manusia respek kepada Being, respek kepada time. Karena, manusia sejati adalah respek itu sendiri, pengkhidmatan itu sendiri yaitu appropriasi.
“But do we by this road arrive at anything else than a mere thought-construct? Behind this suspicion there lurks the view that Appropriation must after all “be” something. However: Appropriation neither is, nor is Appropriation there. To say the one or to say the other is equally a distortion of the matter, just as if we wanted to derive the source from the river.” (Time and Being, Heidegger).
Tetapi, jangan-jangan, appropriasi hanya sistem metafisika hasil konstruksi pikiran? Tidak. Pikiran tidak bisa meng-konstruksi appropriasi. Kita hanya bisa berpikir-terbuka menghadapi appropriasi. Appropriasi tidak bisa dinyatakan sebagai “adalah”. Tidak juga bisa dinyatakan sebagai “yaitu”. Kita hanya bisa mendeskripsikan appropriasi dengan berpikir-terbuka.
“The task or our thinking has been to trace Being to its own from Appropriation – by way of looking through true time without regard to the relation of Being to beings. To think Being without beings means: to think Being without regard to metaphysics.
Yet a regard for metaphysics still prevails even in the intention to overcome metaphysics. Therefore, our task is to cease all overcoming, and leave metaphysics to itself.
If overcoming remains necessary, it concerns that thinking that explicitly enters Appropriation in order to say It in terms of It about It.” (Time and Being, Heidegger).
Appropriasi bukan konsep metafisika, sehingga, tidak perlu membangun sistem metafisika untuk appropriasi. Metafisika adalah mengkaji Being melalui Being-of-being. Sementara, kajian appropriasi tidak melakukan itu. Kajian appropriasi mengikuti alur berpikir-terbuka dengan mengkaji waktu-sejati atau true-time. Karakter ekstase future, present, dan past dari true-time serta extending megantarkan berpikir-terbuka sampai ke appropriasi.
Saya yakin, Heidegger bahagia sekali dengan keberhasilannya menjawab question-of-being, ontologi fundamental, dengan terlepas dari metafisika di usianya yang 73 tahun. Disusul, dua tahun kemudian, dia menuliskan “Akhir dari Filsafat dan Tugas Berpikir.”
Bagaimana pun, ketika kita membahas appropriasi maka kita menggunakan bahasa. Di satu sisi, bahasa-formal adalah metafisika itu sendiri. Di sisi lain, bahasa-being adalah rumah-being yang mengantar berpikir-terbuka mencapai sikap ontentik. Ketika metafisika tidak bisa dilampaui, maka, biarkan saja. Sementara, kajian ontologi fundamental akan menemukan jalannya sendiri.
6.8 Tataluma
Tata adalah segala sesuatu menjadi nyata karena ter-tata. Nyata secara fisik, konsep, atau spiritual perlu tata. Bahkan, sesuatu yang tampaknya tidak tertata, pada analisis mendalam, mereka selalu tertata.
Luma adalah selalu memberi tiada henti. Memberi kebaikan, memberi energi, memberi materi, dan memberi segalanya. Hanya karena ada pemberian luma maka segalanya, kemudian, bisa ditata.
Tata dan luma adalah satu kesatuan dari tataluma.
6.9 Urip Urup
Urip iku urup. Hidup itu menyala. Being adalah hidup bermakna, urip. Tata adalah urip. Sedangkan, waktu adalah urup dengan menyala dari masa depan. Luma memberi nyala dari urup masa depan.
6.10 Relativitas Einstein
Teori Relativitas Einstein adalah teori sains paling fenomenal sepanjang sejarah – setidaknya, sejak awal abad 20 sampai abad 21 ini. Teori Relativitas Khusus merevisi teori mekanika klasik Newton dengan cara menetapkan postulat bahwa kecepatan cahaya adalah kecepatan maksimum. Tidak ada kecepatan yang lebih besar dari kecepatan cahaya – di ruang hampa. Konsekuensinya, ukuran kecepatan itu terbatas. Tidak bisa sebarang besar. Tidak bisa melebihi kecepatan cahaya. Karena ukuran kecepatan ada batas maksimal, maka, teori sains fisika perlu revisi besar-besaran.
Apa pentingnya membahas teori Relativitas?
Pertama, teori sains – termasuk Relativitas – adalah penting bagi umat manusia. Sains adalah pengetahuan-ontic yang sama penting dengan pengetahuan-ontologis. Kita memang perlu destruksi terhadap sains, dengan goncangan besar, agar meruntuhkan struktur-struktur tersembunyi, untuk kemudian, mengungkap kebenaran. Dasein, kita, juga membutuhkan sains sebagai faktum untuk mengembangkan question-of-being.
Problem muncul ketika Heidegger mengatakan bahwa sains adalah mode pengetahuan yang tidak-ontentik. Sementara, question-of-being adalah mode otentik. Beberapa orang mengira pernyataan Heidegger seperti di atas sebagai peremehan kepada sains. Tidak. Pembedaan di atas hanya sebagai pembedaan mode belaka. Keduanya, sains dan question-of-being, sama-sama penting bagi umat manusia.
Bahkan, dalam intro kuliah Time and Being, Heidegger menyebut kemajuan penting sains yang dikembangkan oleh Heisenberg. Saking canggihnya sains fisika maka hanya sedikit orang yang mampu memahaminya. Demikian juga kuliah Time and Being, hanya akan ada sedikit orang yang memahaminya.
Kedua, Relativitas Einstein membahas problem fundamental sains yaitu ruang dan waktu. Selaras dengan kajian ontologi fundamental yaitu Being dan time. Kita bisa mempelajari bagaimana teori Relativitas menyelesaikan problem fundamental tersebut.
Teori sains, biasanya, sudah menerima eksistensi ruang dan waktu apa adanya, just given. Misal, fisika menerima eksistensi materi dan energi dalam ruang dan waktu. Fisika tidak perlu menyelidiki apa itu ruang dan waktu. Teori Quantum mengkaji partikel sub-atomik yang eksis dalam ruang dan waktu. Termasuk, Relativitas Khusus dari Einstein juga mengkaji fenomena gelombang elektromagnetik dalam ruang dan waktu.
Relativitas Umum berbeda dengan teori sains lainnya. Relativitas Umum mengkaji, merumuskan, bagaimana bisa muncul ruang dan waktu. Secara filosofis, Einstein tidak menerima eksistensi ruang hampa yang mandiri. Einstein meyakini ruang eksis karena ada materi atau energi.
Ketiga, solusi Relativitas adalah memberi fomula hubungan time dengan materi. Solusi ini mirip dengan solusi ontologi fundamental yang menghubungkan time dan Being. Dengan satu sudut pandang, kita bisa membaca formula persamaan Relativitas Einstein menyatakan hubungan time, di sebelah kiri, dan energi, di sebelah kanan.
Time, ruang dan waktu, bisa dilengkungkan oleh energi, atau massa materi. Atau, sebaliknya. Time, ruang dan waktu, menentukan eksistensi energi, massa materi.
Bagaimana time dan energi bisa saling mempengaruhi? Einstein mengkaji masalah ini sampai puluhan tahun di akhir masa hidupnya. Einstein meyakini bahwa time dan energi dihubungkan, ditentukan, didasarkan kepada medan. Lebih jauh, Einstein menyebut yang dimaksud medan adalah medan gravitasi.
Saya membaca, maksud medan gravitasi adalah medan secara ontologis. Tetapi, saintis generasi berikutnya memahami medan secara ontic. Sehingga, perkembangan teori Relativitas selanjutnya konsisten merupakan kajian ontic. Di antaranya, berkembang Loop Quantum Gravity dan Teori String.
Jika kita mengkaji medan gravitasi secara ontologis maka kita mengajukan pertanyaan bagaimana time saling mempengaruhi dengan energi? Pertanyaan ini, senada dengan bagaimana time saling mempengaruhi dengan Being? Kita sudah menjawab pertanyaan terakhir ini, jawabannya, adalah appropriasi. Sedangkan jawaban untuk pertanyaan pertama adalah gravitasi. Jika benar, maka, kajian sains kontemporer perlu meneliti hubungan energi, gravitasi, dan time. Dengan menempatkan gravitasi sebagai fundamental atau sebagai relasi antara energi dan time.
7. Metafisika Infinity Absolut
Kajian metafisika kembali bangkit di abad 21 ini. Akhir abad 20, banyak pemikir menjaga jarak terhadap metafisika. Baik pemikir dari tradisi analytic, continental, mau pun timur. Tetapi, kajian matematika malah memercikkan harapan kebangkitan kembali metafisika.
Badiou (1937 – ) menyatakan bahwa matematika adalah ontologi dan ontologi adalah matematika. Menariknya, Badiou menyatakan itu, justru, untuk menjawab pertanyaan makna-being dari Heidegger. Badiou setuju dengan Heidegger bahwa filsafat harus mulai dari question-of-being. Jika Heidegger menjawab pertanyaan makna-being adalah dasein, maka, Badiou menjawabnya dengan matematika. Maksudnya, matematika adalah being qua being. Tentu, terjadi pro kontra terhadap klaim ini.
7.1 Rumah-Being: Bahasa Matematika
Bahasa memiliki keunggulan sebagai rumah-being. Kita mengenal bahasa-formal, yang, memberi arti setiap proposisi dengan tegas. Dan, bahasa-being yang memantik kreativitas manusia dengan makna-makna being dinamis. Pandangan umum menyatakan bahwa matematika lebih formal dari bahasa-formal. Sehingga, matematika membatasi makna setiap proposisi dengan tegas, secara, eksak.
Dalam perkembangannya, realitasnya, matematika lebih kreatif dari yang disangka orang. Matematika adalah rumah-being sejati. Di satu sisi, matematika memberi makna secara eksak. Di sisi lain, matematika mampu membahas infinity secara infinity. Matematika membahas infinity sampai absolut, mutlak. Dengan demikian, matematika melebihi bahasa-formal dengan menjadi bahasa-being. Bahkan, matematika adalah being qua being itu sendiri.
7.2 Infinity-Infinity
Teori himpunan adalah salah satu cabang matematika yang mampu membahas infinity secara infinity, membahas tak-hingga secara tak-hingga.
Dengan bahasa, kita sulit menentukan perbedaan antara tak-hingga, besar sekali, sangat banyak, mutlak, tak-terbatas, dan lain-lain. Dengan matematika, kita bisa membedakan dengan tegas infinity-infinity tersebut, bahkan, kita bisa mengenali hirarki dari infinity.
A = {1, 2, 3, 4, … … … }
B = {2, 4, 6, 8, … … … }
Angka-angka pada A dan B bisa kita teruskan sampai infinity. Sehingga, ukuran A dan B adalah infinity. Secara intuitif, bahasa sehari-hari, kita menduga bahwa ukuran A adalah 2 kali lebih besar dari B. Karena ketika B menyebut angka 2 hanya ada 1 angka pada B, sementara, ada 2 angka pada A yaitu angka 1 dan 2. Ketika B menyebut angka 4 hanya ada 2 angka pada B, sementara, ada 4 angka pada A. Dan, seterusnya.
Matematika membuktikan bahwa ukuran A sama persis dengan ukuran B. Ukuran A bukan 2 kali ukuran B.
Intuisi sehari-hari dan “akal sehat” tidak sanggup memahami ontologi. Kita perlu matematika untuk mengkaji ontologi. Contoh di atas, kita bisa memasangkan setiap angka n pada A dengan 2n pada B secara matematis. Terbukti bahwa infinity A sama persis dengan infinity B. Dan masih banyak lagi, infinity-infinity yang secara intuitif seperti berbeda-beda, tetapi, secara matematika adalah sama persis.
Di sisi lain, memang ada infinity yang benar-benar berbeda secara matematika, dan, secara intuitif. Misalkan power-set C adalah lebih besar dari infinity A.
A = {1, 2, … … … }
C = {0, {1}, {2}, {1, 2}, … … … }
Ketika A menyebut 2 anggota, seperti contoh di atas, maka, C ada 4 anggota. Bila A menyebut 3 anggota, maka, C memiliki 8 anggota. Kita tidak bisa memasangkan korespondensi satu-satu dari A ke C. Selalu tersisa anggota C yang tidak punya pasangan. Selanjutnya, jika A menyebut n anggota, n adalah infinity, maka, C memiliki 2 pangkat n anggota yang merupakan infinity jauh lebih besar.
Kita bisa merumuskan lebih banyak power-power-set sampai infinity. Sehingga, terbukti bahwa ada infinity sebanyak infinity. Secara hirarki matematis, terdapat 4 tipe infinity: tak-tercapai, tak-terbagi, jaring-agung, dan hampir-absolut.
(1) Tak-Tercapai
Infinity jenis pertama adalah tak-hingga yang tak-tercapai, atau inaccesibble. Tak-tercapai adalah angka yang lebih besar dari setiap angka yang ada. Jika Anda punya angka terbesar adalah P, maka, tak-tercapai adalah P + 1 atau 2P, misalnya. Jadi, berapa nilai tak-tercapai itu sebenarnya? Memang tak bisa dicapai oleh angka. Tak-tercapai adalah infinity yang hanya bisa digambarkan secara negatif, yaitu, tak-tecapai oleh setiap gambaran.
Apakah infinity, misal tak-tecapai, benar-benar eksis? Secara ontologis, matematika tidak bisa membuktikan bahwa infinity adalah eksis. Di saat yang sama, matematika juga tidak bisa membuktikan bahwa infinity adalah tidak eksis. Sehingga, eksistensi infinity adalah pilihan aksiomatis matematika. Tugas kita, sebagai matematikawan, untuk memutuskan bahwa infinity sebagai eksis atau tidak eksis, secara aksiomatis.
Ketika kita menetapkan bahwa infinity tidak eksis maka kita akan menghadapi banyak paradoks, misal, antara G dan (-G). Umumnya, kita memilih G sebagai aksioma. Saat itu juga, kita menghadapi paradoks baru H dan (-H). Demikian, seterusnya. Solusi mudah adalah paradoks bisa dihentikan melalui penindasan oleh penguasa. Bila ada masalah atau paradoks, maka, penguasa adalah penentu kebenaran. Tentu saja, penindasan seperti itu tidak bisa dibenarkan.
Alternatifnya adalah kita menetapkan infinity sebagai eksis. Kita akan berhadapan dengan paradoks-paradoks yang dinamis. Lebih banyak paradoks kreatif dari yang kita contohkan di atas. Paradoks yang bisa dikonstruksi dari sistem ontologi yang sudah eksis disebut sebagai paradoks Godel seperti di atas. Sementara, paradoks yang tidak bisa dikonstruksi, dari ontologi yang sudah ada, dikenal sebagai paradoks Cohen. Semua paradoks, Godel mau pun Cohen, tidak bisa dipahami dari sistem yang sudah ada. Karena itu, paradoks adalah sumber kebenaran baru dan sumber ilmu pengetahuan yang baru.
(2) Tak-terbagi
Jenis infinity kedua adalah tak-terbagi, atau compact. Setiap infinity ini dibagi dua atau dipecah-pecah menjadi lebih banyak, maka, salah satu pecahan itu tetap infinity. Tak-terbagi ini lebih besar dari tak-tercapai dan meliputi tak-tercapai. Atau, tak-tercapai adalah anggota dari tak-terbagi.
Kedua jenis infinity, di atas, adalah infinity negatif. Yaitu, kita hanya bisa mendeskripsikan infinity secara negatif belaka sebagai tak bisa dicapai dan tak bisa dibagi. Sementara, infinity jenis ketiga dan keempat adalah infinity positif.
(3) Jaring-Agung
Bayangkan ada jaring-jaring raksasa. Di mana, lubang saringan dari jaring ini pun juga ukuran raksasa. Sehingga, masing-masing lubang ukurannya sama raksasanya dengan ukuran total jaring raksasa. Infinity jenis ketiga ini kita sebut sebagai jaring-agung. Infinity tak-terbagi, dan infinity tak-tercapai, terjaring oleh infinity jaring-agung. Dengan kata lain, infinity tak-terbagi adalah anggota dari infinity jaring-agung.
Infinity jaring-agung menjaring semua realitas ontologi. Sehingga, jaring-agung hadir secara imanen dalam setiap realitas.
(4) Hampir-Absolut
Dari Godel, kita bisa menyusun infinity yang makin besar. Konstruksi ini akan mencapai konstruksi maksimum yaitu L. Di mana, L ini mendekati absolut V.
Cohen menunjukkan bahwa ada realitas yang tidak bisa dikonstruksi. Realitas yang tidak bisa dikonstruksi ini juga infinity yaitu M. Di saat yang sama, M meliputi L karena kita tahu bahwa sesuatu tidak bisa dikonstruksi setelah mengetahui sesuatu yang bisa dikonstruksi. Dengan demikian, M adalah infinity yang paling dekat dengan V yang asbolut. M adalah infinity hampir-absolut. Perlu untuk tetap kita catat bahwa infinity hampir-absolut melebihi dan meliputi semua infinity lain: jaring-agung, tak-terbagi, dan tak-tercapai.
Infinity hampir-absolut M hadir secara imanen dalam realitas yang bisa dikonstruksi mau pun yang tidak bisa dikonstruksi dari ontologi yang sudah ada. Sehingga, perjalanan kita menuju absolut V, yang terkesan bersifat transenden, di saat yang sama, bersifat imanen hadir dalam setiap realitas.
“We thus obtain the result we were seeking: There exists an intrinsic relationship between, on the one hand, the access to the absolute, in an expressive form (an attribute, an immanent model of this absolute) or in a participatory form (an immanent realization of the Idea), and, on the other hand, the existence of infinities that are as large as possible, in the form of a cardinal that admits at least one non-principal ultrafilter that is infinite-complete.”
Sejenak, mari kita bahas lebih dalam tentang jaring-agung dan hampir-absolut. Kita akan lebih mudah mendekati pembahasan infinity-infinity ini dengan komparasi konsep teologi.
Jaring-agung adalah infinity yang mirip dengan sifat-sifat Tuhan. Tuhan memiliki banyak sifat, dan banyak nama, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Tahu, dan lain-lain. Masing-masing sifat ini, misal Maha Pengasih, nyaris sama persis dengan Tuhan itu sendiri. Begitu juga, Maha Tahu nyaris sama persis dengan Tuhan itu sendiri. Semua sifat-sifat Tuhan adalah tak-hingga infinity. Dan, terdapat banyak sifat-sifat Tuhan tak terbatas. Sifat-sifat Tuhan, dan nama-nama indah Tuhan, adalah infinity dengan model jaring-agung.
Sifat-sifat Tuhan, jaring-agung, hadir imanen dalam setiap realitas. Maha Pengasih melimpahkan kasih sayang kepada seluruh realitas. Maha Tahu meliputi, dan mengetahui, seluruh realitas alam raya. Demikian juga, sifat-sifat Tuhan yang lain.
Sementara, konsep infinity hampir-absolut bisa kita sandingkan dengan konsep insan kamil (manusia sempurna). Insan kamil adalah manusia sempurna yang merangkul seluruh alam semesta dengan menebarkan nama-nama Tuhan yang indah ke semesta. Di saat yang sama, insan kamil bergerak mendekati Tuhan sampai tidak ada lagi penghalang antara insan kamil dan Tuhan. Insan kamil adalah hampir-absolut. Bagaimana pun, insan kamil bukan Tuhan. Dan, Tuhan bukan insan kamil. Tetapi, semua sifat-sifat baik Tuhan tercermin pada insan kamil. Perjalanan transendensi dan imanensi manusia mencapai puncak sebagai insan kamil berupa infinity yang hampir-absolut.
Secara matematis “terbukti” bahwa absolut V eksis. Sebagai padanan, terbukti bahwa Tuhan yang absolut memang eksis. Konsekuensi lanjutannya, terbukti ada relasi kuat antara infinity jaring-agung yang imanen dengan infinity hampir-absolut yang dekat dengan absolut V. Sebagai padanan, terbukti ada relasi kuat antara nama-nama indah Tuhan yang imanen di alam raya dengan insan kamil yang dekat dengan Tuhan.
Kita boleh optimis sampai di sini. Absolut V, Tuhan Maha Absolut, yang tampak begitu jauh transenden, terbukti, senantiasa imanen dengan melemparkan jaring-jaring-agung di seluruh alam semesta berupa nama-nama indah Tuhan. Dari sisi kita, manusia yang mungil, “terbukti” memiliki akses kepada absolut V, Tuhan Maha Absolut, dengan menyusuri jalan insan kamil. Terdapat relasi yang kuat antara jaring-agung, nama indah Tuhan, dengan infinity hampir-absolut, insan kamil. Sebuah relasi instrinsik yang saling terbuka.
Problem Batasan
Mengapa repot-repot membahas infinity tak-hingga sampai absolut?
Karena, kita sedang menghadapi problem batasan. Pembatasan oleh penguasa dominan yang menindas wong cilik yang, berada dalam situasi, serba terbatas. Kita perlu kembali menyadarkan semangat tak-terbatas, spirit dari infinity. Wong cilik memiliki kekuatan tak-terbatas karena kekuatan absolut hadir imanen dalam diri wong cilik. Demikian juga, penguasa dominan memiliki kekuatan yang sama tak-terbatas secara imanen.
Problem batasan beragam, di ataranya: identitas, repetisi, kepastian, dewa, jahat, dan mati.
Identitas
Saya adalah saya. Warga negara adalah warga negara. Identitas membuat batasan dengan klaim batas-batas identitas. Jika identitas pas maka mendapat hak istimewa. Sementara, mereka yang tidak memiliki identitas sesuai klaim, maka, disingkirkan.
Mobil mewah adalah identitas kemewahan. Mereka yang memiliki mobil mewah berhak dihormati, dilayani, dan prioritas. Mereka yang tidak memiliki mobil mewah bisa diremehkan, dicueki, dan disisihkan. Identitas mobil mewah telah membuat batasan yang menindas pihak lemah. Anda yang memiliki mobil mewah adalah orang yang punya martabat tinggi tak-hingga. Demikian juga, wong cilik yang tidak memiliki mobil mewah juga memiliki martabat tinggi tak-hingga. Kita semua setara untuk saling dialog menebarkan kebaikan. Kita melampaui batasan-batasan identitas.
Repetisi
Repetisi adalah pengulangan identitas. Mobil mewah adalah mobil mewah. Wong cilik adalah wong cilik. Sehingga, penindasan repetisi seiring sejalan dengan penindasan identitas.
Mobil mewah hari ini, sewaktu-waktu, bisa kecelakan atau meledak manjadi puing-puing hangus terbakar. Wong cilik hari ini, sewaktu-waktu, bisa menjadi orang sukses menebarkan kebaikan dan mewujudkan adil makmur. Ada posibilitas tak terbatas. Kurungan repetisi adalah hanya ilusi. Kita bisa melompat lebih tinggi.
Kepastian
Lagi, klaim kepastian memastikan bahwa identitas berulang secara pasti. Mobil mewah pasti adalah mobil mewah. Wong cilik adalah pasti wong cilik. Kepastian, yang menindas dengan batasan, adalah sekedar ilusi.
Mobil mewah, sewaktu-waktu, bisa raib entah ke mana. Wong cilik, sewaktu-waktu, bisa menjadi wong bijak yang membela negeri dan semesta raya. Ada posibilitas tak terbatas, infinity. Masa depan adalah cita-cita cemerlang yang tak terhingga.
Dewa
Dewa atau Tuhan sudah sering dibatasi dengan klaim-klaim yang terbatas. Tuhan sendiri adalah absolut, tidak terbatas.
Pihak tertentu mengklaim membawa perintah Tuhan atau perintah dewa yang maha benar. Karena mereka adalah wakil dewa maka orang lain harus tunduk kepada mereka. Orang lain boleh disingkirkan atas nama dewa. Celakanya, dewa mereka bisa berubah bentuk saat ini. Ada dewa uang, dewa jabatan, dewa kapital, dan lain sebagainya.
Kita perlu sadar kembali bahwa kita lebih hebat dari klaim-klaim dewa mereka. Kita selalu bisa menjadi lebih baik dengan menyusuri kebaikan tak hingga menuju absolut.
Jahat
Konsep “jahat” adalah batasan yang diarahkan kepada pihak lain. Mereka yang berbeda dengan identitas saya adalah orang jahat. Mereka mengulang kejahatan terus-menerus, repetisi. Mereka pasti jahat dengan menyembah dewa mereka sendiri yang berupa berhala. Kita perlu menerobos batas-batas konsep jahat menuju konsep kebaikan tak terbatas.
Orang lain adalah selaras dengan diri kita, yang, memiliki kebaikan tak hingga. Orang lain bisa berubah dari satu kebaikan menuju kebaikan yang berbeda. Tuhan mereka, juga Tuhan kita, adalah Tuhan yang absolut.
Tentu saja ada orang jahat. Mereka adalah orang yang terjebak dalam keterbatasan kejahatan mereka. Sama juga, diri kita, bisa terjebak berbuat. Mereka, dan kita, bisa sama-sama tobat kembali kepada jalan kebaikan. Kita bisa menebus kesalahan-kesalah dengan kebaikan-kebaikan baru menuju kebaikan absolut.
Mati
Orang yang mati berakhir hidupnya di dunia ini. Jelas, kematian membatasi hidup kita. Kematian membatasi eksistensi manusia di dunia ini. Setelah mati, semua orang adalah sama, yaitu, sama-sama tidak eksis di alam semesta ini. Jadi, kematian membatasi hidup kita dan membatasi eksistensi kita. Benarkah kematian seperti itu?
Kematian bukanlah batas akhir. Kematian justru titik awal baru. Pertama, kematian adalah awal dari kehidupan baru di dunia baru. Kita sering menyebutnya sebagai kehidupan di alam kubur sampai alam akhirat. Orang tertentu bisa saja menolak eksistensi ada kehidupan setelah mati karena tidak pernah melihatnya. Tetapi, orang lain, banyak orang, yang membuktikan eksistensi kehidupan setelah mati. Orang yang tidak tahu, mereka, tidak berhak menolak pengetahuan orang yang tahu eksistensi kehidupan setelah mati. Seperti anak kecil yang tidak berhak menolak eksistensi bilangan negatif, dengan dalih, anak kecil itu tidak bisa memahami bilangan negatif. Bilangan negatif tetap eksis, meski, anak kecil tidak paham. Kehidupan setelah mati tetap eksis, meski, beberapa orang tidak paham.
Kedua, kematian adalah titik awal legasi Anda mulai beraksi sepenuhnya. Barangkali Anda sudah mendidik putra-putri dengan pendidikan terbaik. Tiba waktunya, putra-putri Anda untuk berkarya melanjutkan nilai-nilai pendidikan orang tuanya. Barangkali, Anda membangun sistem kerja di perusahaan kecil yang menegakkan adil makmur. Tiba waktunya, sistem kerja itu berkembang lebih jauh. Barangkali, Anda menuliskan ide-ide cemerlang dalam buku. Tiba waktunya, ide-ide itu terbang tinggi.
Mati bukanlah suatu batasan. Mati adalah awal kehidupan baru bagi Anda dan masyarakat luas untuk menyusuri kebaikan tak terhingga sampai menuju absolut.
7.3 Absolut
Saatnya, kita membahas, lebih detil, apa yang dimaksud dengan absolut V. Secara matematis, absolut V adalah “kelas” yang meliputi seluruh himpunan (set). Di mana, V sendiri bukanlah himpunan. V terlalu besar untuk disebut himpunan. Sehingga, V disebut sebagai kelas. Dari perspektif lain, V bukan himpunan karena untuk menghindari paradoks Russell.
Godel berharap akan dapat meraih V dengan cara mengkonstruksi dari himpunan yang ada pada sistem aksiomatik ZFC. Dengan cara ini, kita berhasil mengkonstruksi himpunan L yang dekat dengan V. Bagaimana pun, L hanya bisa makin dekat kepada V, tetapi, tidak pernah sama persis dengan V. Menariknya, proses konstruksi L ini bisa bertahap dari kecil. Kemudian, kita menghadapi paradoks. Untuk menyelesaikan paradoks, kita menambahkan aksioma baru. Lalu, muncul paradoks baru, tambah aksioma baru, dan seterusnya tanpa henti sampai infinity.
Pada tahun 1963, Cohen menemukan eksistensi himpunan “generic” yang konsisten dengan ZFC, tetapi, independen dari aksioma ZFC. Dengan kata lain, himpunan generik tidak dikenali oleh L. Himpunan generik mengundang perlunya aksioma-aksioma baru yang independen, meski akhirnya, konsisten dengan aksioma yang sudah ada. Awalnya, himpunan generik adalah himpunan asing yang tidak dikenali dan paradoks. Selanjutnya, himpunan raksasa, atau kelas, yang meliputi semua himpunan generik dan meliputi L disebut sebagai M yang makin dekat dengan V.
M sangat dekat dengan absolut V. Sehingga, semua karakter absolut V tercermin pada M. Bagaimana pun, M bukanlah absolut V. M adalah kelas hampir-absolut, tetapi, bukan kelas absolut.
Berikut adalah karakter ontologi absolut yang diusulkan Badiou.
(1) Tidak bergeser atau immobile. Semua realitas, semua being, bisa berubah, bahkan selalu bergerak dinamis. Absolut V meliputi, atau merangkul, seluruh gerak dinamis realitas. Tetapi, absolut V tetap absolut, tidak bergeser sedikit pun dari absolut.
(2) Sepenuhnya bisa dipahami sebagai tidak tersusun oleh apa pun. Meski absolut V meliputi seluruh realitas, seluruh himpunan, tetapi, absolut V tidak tersusun oleh himpunan-himpunan tersebut. Kita menyebut absolut V sebagai esa atau tunggal. Bagaimana pun, Badiou menghindari istilah “esa”. Absolut V adalah non-atomik, yaitu, tidak bisa dipecah-pecah menjadi bagian-bagian atom.
(3) Absolut hanya bisa dideskripsikan melalui aksioma, atau prinsip, yang berhubungan dengannya. Dengan kata lain, tidak ada pengalaman bisa menggambarkannya. Tidak ada konsep yang bisa menggambarkannya. Karena itu, absolut V, secara radikal, bukanlah empiris.
(4) Selaras dengan prinsip maksimalitas dalam pengertian: segala entitas intelektual yang eksistensinya disimpulkan dengan tanpa kontradiksi terhadap prinsip-prinsip landasan absolut maka eksis sebagai fakta.
Karakter-karakter ontologi absolut, di atas, tercermin dalam hirarki infinity: tak-tercapai, tak-terbagi, jaring-agung, dan hampir-absolut. Hirarki ini bersifat terbuka, di mana, infinity yang lebih tinggi adalah melampaui dan meliputi infinity bawahnya. Absolut, tentu saja, sebagai puncak hirarki.
Index Absolut
Kita sadar bahwa membahas absolut ada resiko terlalu abstrak. Kita, seakan-akan, terpisah dari dunia nyata yang imanen. Kita berada dalam dunia imajinasi yang transenden. Apa solusinya?
Index keabsolutan adalah solusi. Indeks membahas karya nyata yang imanen. Kemudian menyematkan indeks keabsolutan. Sehingga, setiap karya adalah imanen dan transenden, yaitu, singular, universal, dan absolut. Dengan demikian, pembahasan teoritis bersatu dengan aspek praktis.
(1) Like every finite multiplicity, a work appears in a determinate world.
(2) A world confers upon the multiples appearing in it a degree of presence in the world, which is called the existence—in this world— of the multiple in question.
(3) The “strength” of an existence, in any world, lies between a minimum value, μ, and a maximum value, M. A multiple whose existence is μ is an inexistent of the world. A multiple whose value is M exists “absolutely” in the world (this is its relative “absoluteness”).
(4) An event impacts a world if and when the existence value of an inexistent of the world changes from its previous value, the minimum, to the maximum value. In other words, an event is the shift, in a world, and for a given multiple, from the value μ of its existence in that world to the value M. An event is thus a local exception to the existential laws of a world.
(5) An event appears only to disappear, leaving a trace in the world that can serve as a basis for the new relative absoluteness of a multiple.
Sebuah karya (work) hadir selalu dalam dunia terbatas oleh situasi. Eksistensi karya adalah derajat eksistensi, atau derajat kehadiran, di dunia ini. Derajat minimum = 0 adalah tidak eksis. Sedangkan, derajat maksimum = 1 adalah eksis di dunia ini. Sehingga, karya adalah perubahan derajat eksistensi dari 0 menuju 1, dari tidak ada menjadi ada. Karena itu, karya tidak bisa dipahami oleh aturan dunia yang sudah ada. Karya adalah pengecualian dari aturan dunia yang sudah ada. Aturan lama cenderung menolak karya orisinal karena memang tidak sesuai aturan.
Ditambah lagi, kehadiran karya hanya sepintas. Hadir untuk kemudian menghilang lagi. Sehingga, agar sebuah karya benar-benar bisa eksis perlu komitmen kuat dari para subyek. Awalnya, karya berupa sebuah event atau kejadian paradoks. Di mana, event adalah salah, dan sekaligus benar, berdasar aturan yang ada. Tetapi, event bisa juga anti-paradoks. Yaitu, event tidak bisa dinilai sebagai benar, dan sekaligus tidak bisa dinilai sebagai salah. Komitmen kita yang akan membuktikan nilai dari sebuah karya.
Sampai di sini, kita perlu bergerak dari fenomenologi menuju ontologi.
(6) We call a “ truth procedure” a linked system of consequences, in the world, of an event that has impacted this world. Or, in other words, a consistent unfolding of the trace an event leaves in the world in which its appearance/disappearance occurred.
(7) We call a “ subject” any agency that organizes the linking together of an event’s consequences. Every subject is therefore a subject in relation to a truth procedure.
(8) A work, or work of truth—I often say “a truth,” but that is a misnomer condoned by the history of philosophy—is a finite, linked set of consequences of an event. Every work can therefore be ascribed to a subject.
(9) A work is always singular—and finite—since it is constructed with finite materials drawn from a determinate world and it is ascribed to a determinate subject, which acts in accordance with the laws of the world.
(10) Every work is universal in that, owing to its evental origins, it is a partial exception to the laws of the world in which it appears. This universality is attested to ontologically by the fact that the multiple that constitutes the being of a work is a generic multiple. It is attested to phenomenologically by the fact that a work, inasmuch as it is universal, can come back to life in worlds other than the one in which it was created.
(11) A generic multiplicity is a multiplicity that cannot be covered over by any of the predicates available in the language of the world in which it appears.
Truth procedures, atau prosedur, menghubungkan tanda-tanda event sehingga tampak lebih jelas. Karena, secara alamiah, event hanya muncul sesaat. Terdapat empat prosedur: sains, seni, cinta, dan politik. Kita bisa mempertimbangkan lebih banyak alternatif prosedur.
Subyek adalah agen yang meng-organisir beragam konsekuensi event. Sehingga, subyek selalu berada dalam situasi dan terkait prosedur. Akibatnya, karya selalu terbatas dan terhubung dengan suatu subyek.
Karya bersifat unik, singular, dan terbatas karena selalu hadir dalam situasi dunia terntentu dan terkait komitmen subyek. Tetapi, di saat yang sama, karya bersifat universal. Karya bisa hadir lagi di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Karena, secara ontologis, karya bersifat generik, yaitu, selalu tidak bisa dipahami oleh aturan dunia yang sudah ada. Karakter generik ini menolak untuk dibatasi dan menolak untuk ditutupi.
Kita sampai ke karya nyata yang imanen hadir dalam dunia dan, sekaligus, transenden absolut dengan melengkapi dua langkah berikutnya.
(12) Every work, finally, is absolute, in that the finite multiplicity that it is comes into contact, through the interaction of several different infinities, with an attribute of the absolute.
(13) Thus, every work of truth is finite, singular, universal, and absolute.
Akhirnya, setiap karya adalah absolut. Meski, terbatas hadir di dunia, karya terhubung dengan beragam infinity tak terbatas yang merupakan sifat dari absolut. Jadi, setiap karya adalah terbatas, singular, universal, dan paling penting adalah absolut.
Apa karya Anda? Apa karya orisinal Anda? Apa maha karya Anda?
Contoh Indeks Suatu Karya
Sebuah karya adalah fragmen dari prosedur kebenaran, yang pada gilirannya, adalah fragmen dari subyek. Dengan demikian, karya selalu dinamis sesuai prosedur subyektif untuk menciptakan karya generik sesuai situasi dunia.
A work of truth is a fragment of a truth procedure. This means that it lies within the post-evental dynamic that aims to create, in accordance with the rules of a subjective procedure, a generic subset of that situation.
This fragment has the following properties:
● It is infinite in the elementary sense: it is not isomorphic to a whole number, no matter how large that number is.
● It is, however, finite in the sense that, taken in isolation, outside the dynamic, it can be covered by a constructible set of the same cardinality, a set that also belongs to the situation.
● It is indexed, supplementarily, to the procedure of which it is a fragment, in the sense that the fact that it is a fragment of the procedure is indicated in itself, beyond the counting of its elements.
● Taken with its index, the fragment ceases to be finite in the sense of covering.
Sebagai fragmen, karya memiliki karakter berikut.
(1) Terbatas, dalam arti, unsur penyusun dari sebuah karya adalah sesuatu yang, terbatas, sudah tersedia di dunia ini.
(2) Meski terbatas, karya memunculkan dinamika. Pada gilirannya, dinamika suatu karya, tetap bisa dibatasi oleh semua aturan yang sudah ada.
(3) Penambahan indeks membuka peluang bagi fragmen karya terhubung dengan absolut. Dengan demikian, karya melampaui dari sekedar unsur-unsur penyusunnya.
(4) Dengan indeks (absolut), maka karya tidak lagi terbatas. Karya tidak lagi bisa dibatasi, tidak bisa dibungkus oleh aturan lama. Karya menuju absolut dan ditarik oleh absolut.
Kita bisa mengambil beberapa contoh sederhana dari indeks absolut.
We can already see in this definition that the difference between the work and the waste product is essentially the index. The index is, for example, what literary criticism seeks to identify as the criterion of the exceptional greatness of a novel, and which is found in the commented text, even though it is none of the textual components of that text. It is also what is expressed in the phrase “I love you,” which, if it is not a lie, encompasses the dynamic totality of love without being able to be reduced to one or another of its episodes.
In a physics theory, which can be integrally transmitted in the form of mathematized statements, the index is experimental, in the sense that the “external” real point enveloped in the theoretical formalism is validated or corrected by observation, even though, strictly speaking, that real, inasmuch as it is thought, is integrally “expressed” by the formalism. The index of a politics is often the consciousness of a victorious orientation, of inclusion in a historic “way forward,” which is not reducible to any of the tactical, hence empirically finite, victories, no matter how great they may be (such as, for example, the seizure of power).
Perbedaan esensial dari karya dan produk adalah indeks. Sebagai contoh, indeks adalah yang dicari oleh para kritikus seni dalam sebuah karya seni. Indeks adalah yang menunjukkan kehebatan karya seni itu, menyentuh hati, membuka wawasan, dan menggerakkan jiwa. Secara materi, indeks itu sendiri tidak ada dalam karya. Kita tidak bisa membaca “kehebatan” dari materi karya seni. Tetapi, kita bisa merasakan “kehebatan” indeks absolut dari karya seni.
Pernyataan cinta “I love you” yang suci melampaui segala kata-kata. Cinta memang bisa kita temukan dari kata-kata itu. Tetapi, cinta lebih agung dari kata-kata itu. Cinta tidak bisa disamakan dengan karangan bunga. Cinta tidak bisa disamakan dengan perlindungan suami kepada istri. Cinta tidak bisa disamakan dengan bakti istri kepada suami. Cinta merangkul itu semua, cinta meliputi itu semua, dan cinta melebihi itu semua. Cinta adalah indeks absolut.
Indeks absolut dalam sains berupa formula yang berlaku general, bisa diuji empiris, dan membuka posibilitas kajian lebih lanjut. Formula relativitas dari Einstein dikonfirmasi dengan pembelokan cahaya di dekat matahari yang gerhana pada tahun 1919. Teori relativitas ini memicu kajian lanjutan semisal teori medan gravitasi yang belum tuntas sampai sekarang. Teori quantum berupa formula matematika yang teruji dalam eksperimen sains dan pengembangan teknologi komputasi. Kemudian, teori quantum memicu kajian lebih lanjut dengan menantang cara pikir sains klasik.
Indeks absolut dalam politik adalah kesadaran warga untuk terus bergerak maju dengan membaca situasi kekacauan politik yang ada. Karya politik tidak bisa disamakan dengan berhasil meraih kemerdekaan, meraih kursi presiden, mau pun berhasil menggulirkan orde reformasi. Indeks politik tidak bisa dibatasi menjadi kemenagan politik. Indeks politik mencakup itu semua dan, berlanjut, mengajak seluruh warga agar sadar bahwa peran politik mereka penuh arti. Setiap warga bisa berkontribusi di setiap situasi. Unik, universal, dan absolut.
7.4 Analisis Umum Being & Event
Posisi Badiou sangat menarik. Badiou menjadikan matematika sebagai ontologi. Berbeda dengan filsafat matematika, yang membahas ontologi dari matematika. Badiou setuju dengan Heidegger bahwa kajian filsafat harus dimulai dengan pertanyaan makna-being. Di mana, pertanyaan makna-being berdampak ke destruksi metafisika. Sementara, solusi Badiou justru kembali kepada metafisika, tepatnya, metafisika absolut. Barangkali, pemikiran metafisika Deleuze berpengaruh ke Badiou.
Pada bagian ini, kita akan mencoba analisis berdasar kesimpulan akhir dari trilogi Badiou.
Trilogi
Badiou sengaja menyusun maha karya dalam bentuk trilogi Being and Event (BE).
BE(1) membahas teori kebenaran sebagai bersifat universal. Meski demikian, kebenaran hadir dalam suatu dunia bersifat partikular, singular, sesuai situasi yang ada. Bersifat universal, dalam arti, bisa hadir di seluruh situasi yang mungkin (possible) dan selalu valid. Kebenaran tidak relatif. Kebenaran tidak subyektif. Kebenaran bukan hanya konstruksi pikiran. Kebenaran bukan hanya permainan bahasa. Kebenaran adalah obyektif universal.
Untuk mengenali kebenaran, kita perlu mengenal being dan event. Being adalah matematika adalah ontologi. Yang dimaksud matematika adalah teori himpunan infinity dan perkembangan lebih lanjut. Sedangkan, event adalah paradoks yang terjadi pada being. Paradoks event ini tidak bisa dipahami oleh aksioma yang sudah ada. Sehingga, orang pada umumnya tidak mengenali event. Lagi pula, event tampak hanya samar-samar.
“Being and Event, the theory of the universality of truths; Logics of Worlds, the theory of their singularity; and The Immanence of Truths, the theory of their absoluteness.”
Tetapi, paradoks event ini adalah sumber pengetahuan baru, sumber kebenaran baru. Komunitas yang menolak paradoks, maka, tidak berkembang pengetahuan mereka. Beberapa orang tertentu berkomitmen terhadap paradoks event. Kemudian, mereka mengembangkan prosedur-prosedur kebenaran, sehingga, berkembang pengetahuan dan kebenaran baru secara dinamis. Terdapat empat prosedur kebenaran yaitu sains, politik, seni, dan cinta. Beberapa orang mengusulkan lebih banyak prosedur kebenaran. Sampai saat ini, Badiou masih bertahan di empat prosedur kebenaran.
Sikap BE yang menerima paradoks sebagai sumber pengetahuan baru menjadikan BE terbuka luas terhadap beragam dinamika.
BE(2) yang berjudul “Logic of Worlds” membahas kehadiran eksistensi di alam raya. Bagaimana suatu being dan event bisa hadir di situasi tertentu secara singular. Being memiliki intensitas eksistensi beragam dari minimal = 0 sampai maksimal = 1, misalnya. Intensitas 0 bermakna bahwa being tidak eksis di situasi dunia bersangkutan. Sementara, intensitas 1 bermakna bahwa being eksis di situasi dunia tersebut. Intensitas eksistensi bergradasi dari minimal sampai maksimal.
BE(1) membahas ontologi, sedangkan, BE(2) membahas fenomenologi kehadiran being. BE(2) menerapkan teori kategori sebagai logika dunia penampakan fenomenologi. Menariknya, para fenomenolog menempatkan peran subyektif manusia pada posisi penting dalam struktur fenomena. Sementara, Badiou tidak tampak sejalan dengan perspektif seperti itu. Teori kategori mengkaji struktur fenomena secara obyektif. Di mana, obyek dan subyek itu sendiri tidak terlalu signifikan. Tetapi struktur antara semua obyek dan subyek adalah yang paling menentukan. Demikianlah logika dunia dalam fenomenologi.
“The overall movement of this trilogy is in a way classically dialectical. It begins with an ontology, that of pure multiplicity, or multiplicity without one. This ontology divides, in that a distinction is made therein, using sophisticated mathematical techniques from set theory, between ordinary multiplicities, incorporated into the knowledge and opinions of an age, and generic multiplicities, the form of being of truth procedures. Only the latter, resulting from an evental rupture, can serve as a basis for what, of being qua being, will appear in its universality.
Secara klasik, BE(1) dan BE(2) terhubung dialektis. Ontologi terbagi dua: keragaman-ordinary dan keragaman-generic. Keragaman-ordinary, saya sebut sebagai paradoks meta-teori. Setiap teori membutuhkan teori sebagai pendukung. Teori pendukung ini, pada gilirannya, memerlukan teori lagi sebagai pendukung tanpa henti. Dari arah sebaliknya, setiap teori menghasilkan proposisi. Pada gilirannya, proposisi itu menghasilkan proposisi yang lebih baru sampai menghadapi paradoks.
Keragaman-generic saya sebut sebagai paradoks meta-perspektif. Setiap perspektif tidak bisa lengkap, tidak bisa 100% sempurna. Sehingga, kita perlu tambahan perspektif baru. Pada gilirannya, perspektif baru itu perlu tambahan perspektif baru lagi tanpa henti. Perspektif baru ini yang berpotensi besar menghasilkan inovasi-inovasi besar terpisah dari perspektif yang lama.
But truths also divide, because the events that give rise to them necessarily occur in singular worlds. A strong theory of worlds, largely linked to topoi theory and therefore to the mathematico-logical approach formalized by category theory, makes it possible to define exactly what a singularity is, including the singularity of a universal truth. The question remains as to how a truth, which is at once universal in terms of its being and singular in terms of its process in a world, can lay claim to a kind of absoluteness. That has been the task to which this book is devoted.”
Kebenaran juga terbagi dua sebagai singular dan universal. Kejadian dari kebenaran itu singular sesuai situasi dunia. Sementara, being dari kebenaran itu bersifat universal. Bagaimana yang universal dan yang singular bisa berpadu mengantarkan kita untuk membahas infinity absolut sebagai kajian utama BE(3) yang berjudul “The Immanence of Truths”.
Kebenaran infinity absolut menjadi singular dengan cara mengungkapkan diri (ekpresi, sifat, karakter) sebagai jaring-agung yang imanen di situasi dunia tertentu. Di saat yang sama, kebenaran singular itu menjadi universal dengan berpartisipasi menuju absolut sebagai infinity hampir-absolut.
Karya Lengkap
Kita melihat trilogi BE sebagai sebuah karya yang lengkap, tetapi, tetap paradoks. Kita akan mengajukan beberapa pertanyaan di sini.
(1) Bagaimana kita tahu bahwa BE valid sebagai kebenaran? Jangan-jangan, BE hanya pengetahuan subyektif dari konstruksi pikiran manusia? Dan, bagaimana kita bisa mengenal infinity absolut?
BE valid sebagai kebenaran karena didasarkan kepada sistem aksiomatik matematika yang sudah terbukti sebagai kebenaran. Kita bisa bertanya lebih lanjut, “Apakah matematika sudah terbukti sebagai kebenaran valid secara filosofis?” Sampai sekarang, nilai kebenaran matematika masih menjadi perdebatan filosofis. Sehingga, kebenaran BE masih dalam perdebatan.
Lebih jauh, kita bisa memandang BE adalah sebentuk interpretasi terhadap matematika. Sehingga, masih terbuka alternatif interpretasi yang berbeda dari BE. Lagi pula, BE menafsirkan hanya bagian tertentu dari matematika. Bagian lain dari matematika bisa menghasilkan interpretasi yang menantang BE.
BE mengklaim sebagai universal, bahkan absolut. Tetapi, BE bisa jadi hanya konstruksi pikiran belaka. Ketika membahas fenomenologi, BE(2) langsung melompat ke struktur teori kategori. Dengan demikian, peran kesadaran subyektif lebur menjadi satu titik obyek dalam struktur raksasa topologi. BE berhasil menghindar dari relativisme dan subyektivisme postmodern. Bagaimana pun, lompatan ini tidak berhasil membuktikan bahwa BE tidak subyektif. Lagi, asumsi BE menumpang gerbong matematika sebagai tidak subyektif, tetap, bisa diperdebatkan.
Sementara, pertanyaan bagaimana kita bisa meraih absolut, kita bahas di bagian bawah.
(2) Apa makna-being? Dengan cepat, BE menjawab makna-being adalah being qua being adalah matematika. Selanjutnya, BE mengkaji matematika secara panjang lebar dengan interpretasi yang kaya. Sayang, setelah itu, BE tidak pernah kembali membahas apa makna-being. Kita masih membutuhkan jawaban lebih detil dari BE atas pertanyaan apa makna-being.
(3) Apa penentu kebenaran dari suatu pilihan bebas? Ketika menghadapi paradoks maka kita bebas memilih salah satu sistem aksioma di antara sistem aksioma lainnya. Bagaimana kita menjamin bahwa pilihan kita benar? BE mengajukan empat prosedur kebenaran: sains, politik, seni, dan cinta. Banyak orang mengusulkan untuk menambah lebih banyak prosedur kebenaran.
Kita masih bisa memperdebatkan apakah empat prosedur kebenaran sebagai jawaban paling tepat atau tersedia alternatif yang lebih baik. Saya mengusulkan logika futuristik sebagai solusi. Logika futuristik menempatkan kriteria masa depan, future, sebagai bernilai paling besar dalam menentukan kebenaran.
Perjalanan Platonis
Zizek (1949 – ) berulang kali menyebut Badiou sebagai Plato masa kini. Badiou sendiri marasa pemikiran BE memang Platonis. Sikap yang pemberani. Kita melihat, misal Godel, menyembunyikan sikapnya yang Platonis. Pemikir postmodern, tampak dengan ringannya, melanggar konsep-konsep ideal dari Plato. Sehingga, kebangkitan kembali pemikiran Platonis oleh Badiou menjadi fenomena menarik di awal abad 21 ini.
“Thinking back on it, it seems to me that the substance of The Immanence of Truths is typically Platonic in one respect: the trajectory of thought first traces, within the ontology of the multiple itself, an upward movement that goes from the different modes of finitude to the highest forms of infinity.”
Jejak pertama adalah melalui kajian ontologi keragaman. Dari beragam keterbatasan, yang ada di dunia ini, kita menuju realitas lebih tinggi dalam bentuk infinity. Refleksi terhadap bentuk-bentuk infinity mengantarkan kita kepada hirarki infinity: tak-tercapai, tak-terbagi, jaring-agung, hampir-absolut dan absolut. Model kajian seperti ini selaras dengan model Plato. Hanya saja, kita perlu menemukan cara agar tidak silau ketika menatap terangnya cahaya matahari kebenaran yang absolut. Dengan bekal percikan cahaya matahari ini, kita mampu menelusuri gelapnya gua Plato.
“This movement starts from the most widespread, modern form of finitude, which is covering-over, as the theory of constructible multiplicities enables it to be thought. It ends with the type of thinkable infinity, which, it has been shown, cannot exist. There, in a way, is where the real, hence the impossibility, of the absolute lies. So we need to go back down to finitude, imbued, as it were, with an imprint of absoluteness, to define works of truth, or, in other words, what, of a truth procedure, exists, in a world, in the form of its fragments: multiplicities—the works—that are obviously finite, as is human life empirically, but that are in a way stamped with the imprint of the absolute, an imprint that I have called the index of the work.”
“With this downward approach, the subject can explore the different types of work through which the human animal attests to the fact that absolute truths can be immanent, in heterogeneous worlds, to its empirical existence. There are the art forms, the experimental formulas of the sciences, the absolute differences that create the new world of love, and finally the politics that aim to free humanity from the inegalitarian and belligerent tyranny of the ownership of property.
Throughout, it has basically been a question of constructing a complete thinking for our time, derived, as Plato, Descartes, and Hegel derived it, from contemporary rational materials, mathematical, poetic, amorous, and political. A thinking of what? Of what, in human life, separates opinions as waste products from truths as works; what is relative and subservient from what is absolute and free. It has been a question of the true life: we are capable, in the form of an individual or collective work, in the four spheres frequented by the impassioned human animal, of creative processes in which singularity, universality, and absoluteness are dialectically combined.”
“What about philosophy? It is based only on this: being capable of truths is not enough; the important thing is knowing that such a capacity exists. That has been philosophy’s task ever since its inception: to create, in the conditions of its time, the knowledge of the existential possibility of truth. To explain, in every possible way, that it is rationally possible to say: “In me, in the waste product that I am, the work expresses itself, as immanence of the absolute. I just have to consent to it.”
7.5 Kesimpulan Ringkas
(a) Being and Event, dalam perspektif tertentu, berhasil membangkitkan kembali peran penting metafisika di akhir abad 20 dan awal abad 21. Seperti kita tahu, metafisika tersisih dari filsafat sejak serangan destruksi dari Heidegger dan serangan rasionalitas empiris dari tradisi analytic. BE membuka kembali pembahasan metafisika infinity sampai absolut.
(b) BE sekali kayuh dua pulau terlampau: teoritis dan praktis. Secara teoritis, BE memberi argumen kuat terhadap metafisika infinity dan asbsolut. Secara praktis, BE berhasil mengidentifikasi problem-problem pembatasan pada prosedur kebenaran: sains, seni, politik, dan cinta. Kemudian, BE menawarkan solusi, yaitu, membuka pembatasan agar terbuka kepada infinity dan absolut.
(3) Dalam melakukan analisis masalah dan solusi, adalah wajar, BE masih memunculkan perdebatan. Baik perdebatan filosofis mau pun matematis. Misal, solusi absolut bukanlah absolut sebagai kebenaran eksklusif yang identik dengan dirinya sendiri. Absolut adalah keterbukaan asbsolut yang merangkul seluruh realitas yang ada, untuk kemudian, menuju kebaikan absolut yang selalu terbuka.
(4) BE mengklaim telah berhasil membahas tema-tema penting filsafat dengan memadai: being, truth, dan subyek. Being adalah matematika, yaitu, teori himpunan yang menyatakan keragaman infinity. Truth, atau kebenaran, adalah jejak paradoks event yang konsekuensi-konsekuensinya terhubung dengan baik oleh truth-procedure. Sedangkan, subyek adalah organisasi dari kebenaran-kebenaran dan prosedur. Dengan perspektif ini, kita menggeser kajian subyek menjadi kajian ontologi-obyektif. Sementara, pemikir lain memandang kajian subyek adalah kajian fenomenologi yang melibatkan proses refleksi oleh subyek itu sendiri.
(5) Saya mencatat fokus utama dari BE adalah “karya” atau work-of-truth. Umumnya, sebuah karya akan tenggelam oleh penindasan produk. Akibatnya, karya menjadi terbatas, seragam, dan bisa diperjual-belikan dengan uang. Karya perlu melepaskan diri dari bungkus dominasi produk. Karya memang terbatas dan singular. Di saat yang sama, karya adalah universal bahkan absolut, atau menyandang atribut asbolut. Dengan menetapkan indeks absolut, karya bisa kembali dinamis kreatif melampaui seluruh batas-batas produk.
Dalam perspektif kajian eksistensialisme kita, atau spiritualisme, being adalah paling fundamental. Sementara truth, atau kebenaran, menjamin being menjadi terus dinamis menuju hampir-absolut dengan pertolongan absolut V yang menebarkan jaring-agung. Sedekat apa pun hampir-absolut dengan absolut V, maka, mereka tidak pernah identik. Dengan demikian, being justru selalu dinamis untuk meraih absolut V.
Secara ringkas, BE berhasil menguatkan keyakinan kita terhadap peran penting metafisika. Yaitu, penting bagi kita, untuk terus bertanya tentang metafisika absolut.
8. Aktualisasi Being: Berpikir Terbuka
Segalanya adalah real dan aktual. Hanya ada yang aktual. Sehingga, aktualisasi Being menjadi paling penting. Pengertian aktual, di sini, bukan lawan dari potensial, bukan lawan dari kemungkinan. Aktual adalah benar-benar aktualisasi dari hakikat Being yang terus-menerus beraksi dan appropriasi.
Being yang berakar pada time-sejati, pada luma, terus-menerus bersifat futural, menerobos masa depan. Luma melimpahkan kebaikan aktual. Tidak ada pembatasan pada luma. Batas dari luma adalah tidak ada batas. Luma adalah aktual tanpa batas, absolut.
Sementara, Being yang berakar pada tata senantiasa menjadi alunan harmoni. Semua yang aktual adalah harmonis, selaras bersama tata. Hanya yang tertata yang ada.
Dari sisi kita sebagai manusia, bagaimana bisa menjadi manusia yang aktual? Tentu saja dengan cara aktualisasi melalui berpikir-terbuka. Membersihkan beragam halangan. Membersihkan beragam kotoran. Berpikir-terbuka menerima segala yang ada dengan ikhlas. Berpikir-terbuka memberi makna kepada yang tersembunyi, di masa lalu atau masa depan, menjadi aktual. Berpikir terbuka menjalani hidup hari ini penuh arti. Urip iku urup.
Berpikir-terbuka mengantar kita untuk menjadi manusia paripurna: wong jawani.
8.1 Wong Jawani: Binatang vs Malaikat
Manusia adalah dasein yang bisa bersikap otentik ataupun tidak-otentik. Yang sering, manusia bersikap kombinasi antara otentik dan tidak-otentik. Dari sudut moral, agama, dan legal manusia bisa menjadi orang jahat, dan, yang paling diharapkan adalah menjadi manusia sempurna atau wong jawani: husnul khatimah.
Di sisi lain, binatang adalah dasein dengan kualitas tanpa bahasa-being. Binatang bisa menggunakan bahasa-formal sampai batas tertentu. Mereka berkomunikasi, berkoordinasi, untuk berburu mangsa bersama-sama misal pada kawanan singa. Kucing jantan berkomunikasi, penuh rayuan, kepada kucing betina. Induk ayam berkomunikasi dengan anak-anaknya agar makan.
Karena binatang tidak menggunakan bahasa-being, maka, binatang tidak memahami konsep dosa. Akibatnya, binatang tidak memiliki freedom sejati, konsekuensi, binatang tidak perlu bertanggung jawab. Binatang tidak pernah salah. Binatang tidak pernah berdosa. Bagaimana pun, binatang tetap memiliki freedom dalam kadar tertentu. Sementara, manusia bisa salah dan dosa. Pun, manusia bisa bertobat karenanya dan menjaga untuk tidak mengulanginya.
Di sisi lain lagi, malaikat adalah dasein dengan kecerdasan tinggi dan menguasai ragam bahasa. Hanya saja, malaikat tidak memiliki kemampuan, atau freedom, untuk berbuat dosa. Karenanya, malaikat selalu berbuat baik. Malaikat tidak pernah berdosa. Mengapa malaikat tidak pernah berdosa? Itu pertanyaan menarik. Tetapi, kita akan menjawab pertanyaan itu di tempat lain. Di bagian ini, kita hanya perlu membandingkan tiga kelompok dasein: manusia, binatang, dan malaikat.
Manusia, sebagai dasein, bisa bersikap seperti binatang. Dalam hal ini, manusia gagal mencapai sikap otentik dengan kualitas tinggi. Manusia justru terjatuh dalam jebakan dunia. Tetapi, binatang yang bersikap seperti binatang, mereka tidak gagal. Binatang adalah binatang.
Alternatifnya, manusia bisa bersikap seperti malaikat, yaitu, selalu bersikap baik. Dalam hal ini, manusia berhasil menjadi dasein otentik dengan memilih perilaku bermoral. Tetapi, bukankah dengan selalu bersikap baik, mengubah manusia menjadi robot? Robot cerdas bisa diprogram untuk selalu berbuat baik sesuai standar produksi robot. Bukankah, dari manusia menjadi robot, adalah kemerosotan? Tidak. Manusia tidak akan pernah menjadi robot. Manusia, ketika berkomitmen untuk selalu berbuat baik, tetap memiliki freedom untuk memilih dosa kapan saja. Hanya saja, komitmen mereka lebih kuat. Bahkan, mereka rela berkorban demi kebaikan bersama.
8.2 Nama-Nama
8.3 Aktualisasi
8.4 Evolusi
Teori evolusi sangat menarik karena mempertemukan – bahkan mempertentangkan – filsafat, sains, teologi, dan pandangan umum. Secara langsung, teori evolusi mempengaruhi hidup kita. Umat manusia adalah hasil dari evolusi. Apakah benar nenek moyang manusia adalah monyet? Pertanyaan sederhana yang problematis.
Being ==> Being + Dasein ==>Being + Dasein + Jawani
Kita sederhanakan:
Being ==> Dasein ==> Jawani
Apakah ada dasein selain manusia? Apakah binatang bisa disebut sebagai dasein dalam kadar rendah? Apakah malaikat bisa disebut sebagai dasein tanpa materi?
8.5 Sejarah Masa Depan
Masa depan adalah freedom, kebebasan. Sehingga, kita tidak bisa memastikan arah sejarah masa depan yang jauh. Tetapi, kita bisa mempelajari, dan mengantisipasi, sejarah masa depan.
Kembali ke Principia Realita
Tinggalkan komentar