Prinsip-Prinsip Realitas

Kapital Jiwa: Mutiara Kehidupan dari Filsafat Mulla Sadra

Prinsip-prinsip realitas. Kita perlu memahami dengan baik apa realitas sebenarnya yang sedang kita hadapi. Dengan demikian, jiwa bisa mempersiapkan diri.

Bagian 1: Prinsip-Prinsip Realitas
Wacana 1.1: Realitas adalah Eksistensi
Wacana 1.2: Individuasi adalah Eksistensi
Wacana 1.3: Gradasi Realitas
Wacana 1.4: Intensitas Realitas dan Gerak Substansi
Wacana 1.5: Form adalah Prinsip Realitas

Wacana Analisa
1. Eksistensi vs Esensi
2. Resiko Eksistensi
3. Posisi Esensi
4. Pengalaman Individuasi
5. Ukuran Gradasi
6. Gerak Substansial
7. Forma Penentu

Kita membahas prinsip-prinsip realitas dalam lima wacana.

Wacana 1.1: Realitas adalah Eksistensi membahas realitas paling nyata adalah realitas konkret yang nyata apa adanya. Sementara, konsep abstrak dari realitas kita sebut sebagai esensi, yang biasanya bersifat ideal. Esensi adalah idealisasi dari realitas. Jadi, esensi hanya ada dalam pikiran manusia. Sedangkan, realitas yang benar-benar nyata adalah eksistensi. Karena itu, kita akan membahas lebih banyak tentang eksistensi.

(314) The reality of everything is its own specific mode of existence, not its essence. What objectively exists of each thing is its mode of existence, not its thingness (shayʾiyya).

(314) Realitas segala sesuatu adalah milik khusus dari mode-wujud, bukan milik esensi. Apa yang ada secara obyektif dari segala sesuatu adalah mode-wujud atau mode-eksistensinya, bukan sesuatu-nya.

Realitas obyektif adalah mode-eksistensi. Anda bahagia bermakna eksis secara obyektif “Anda bahagia”. Bukan sebuah sesuatu berupa “Anda bahagia”. Bukan pula sesuatu berupa “Anda” dan sesuatu lain berupa “bahagia” kemudian mereka bergabung. Hasilnya, sesuatu yang baru yaitu “Anda bahagia.” Bukan seperti itu. Yang benar adalah “Anda bahagia” memang ada secara obyektif. Ada mode-eksistensi itulah “Anda bahagia” secara nyata.

Eksistensi: “Anda bahagia” ada secara nyata.
Esensi: “Anda bahagia” adalah konsep dari sesuatu.

Eksistensi adalah nyata. Beda dengan esensi yang hanya ada dalam pikiran saja.

Lebih penting eksistensi atau esensi?

Pertanyaan yang menarik. Pertama, yang paling penting adalah memahami ada perbedaan antara eksistensi dan esensi itu sendiri. Sementara, istilah eksistensi versus esensi bisa saja berbeda-beda atau, bahkan, bertentangan.

Kedua, yang penting adalah menyikapi eksistensi sebagai eksistensi dan menyikapi esensi sebagai esensi. Dengan demikian, kita perlu mengkaji mereka dengan teliti.

Ketiga, eksistensi lebih utama dari esensi karena eksistensi adalah konkret di dunia ini dan dunia nanti. Bagaimana pun, esensi juga eksis, yaitu, di pikiran manusia. Jadi, esensi adalah eksistensi yang bersifat mental. Karena itu, mengkaji esensi juga penting. Kita bisa menciptakan konsep esensi berupa desain mobil, kemudian, memproduksi mobil tersebut secara nyata. Bukankah konsep desain mobil menjadi sangat penting? Bukankah, di era digital, inovasi-inovasi konsep esensial abstrak menjadi andalan utama?

(314) Existence is not, as it has been mistakenly thought, one of the second intelligibles (al-maʿqūlāt al-thāniyya) or it is one of the abstract concepts that do not correspond to something outside the mind. Rather, the truth is that Existence is an objective reality and, there is nothing in the mind that corresponds to it.

(314) Eksistensi bukanlah sejenis inteligible kedua atau eksistensi [bukan juga] merupakan sebuah konsep abstrak yang tidak berhubungan dengan obyek luar pikiran – yang demikian adalah salah paham. Yang benar itu eksistensi adalah realitas obyektif dan, tidak ada sesuatu pun dalam pikiran yang berhubungan dengannya.

Kita tidak bisa memikirkan eksistensi karena eksistensi adalah realitas obyektif di alam eksternal yang berbeda dengan pikiran. Tetapi, kita bisa mengenali eksistensi realitas eksternal itu. Kita bisa mengalami langsung realitas obyektif. Pada pembahasan tahap ini, sementara, kita cukup memahami bahwa eksistensi berbeda dengan esensi.

Wacana 1.2: Individuasi adalah Eksistensi membahas realitas sebagai eksistensi unik yang nyata dalam masing-masing individu. “F: gadis cantik” adalah pernyataan yang tidak mewakili realitas sehingga tidak nyata. “G: gadis ini cantik” adalah pernyataan individu dari realitas yang nyata. Eksistensi individu seperti G adalah nyata. Bedakan dengan pernyataan umum F yang tidak nyata di atas.

(314) The individuality of each thing—I mean also its own specific being—is exactly its existence. The existence and individuation are essentially one, but they are different in respect of naming and [mental] consideration (ʿitibār).

(314) Segala yang bersifat individual – yaitu wujud khusus tertentu yang unik – adalah eksistensi nyata. Eksistensi dan individuasi sejatinya sama saja, hanya beda nama dan pertimbangan mental.

“Anda bahagia melihat senyum manis anak sulung Anda pagi tadi” adalah eksistensi nyata yang unik. “Anda, hari ini, bekerja 10 jam untuk menafkahi keluarga” adalah aktivitas sepesifik sehingga eksistensi sejati. “Kepala negara berjanji menciptakan negara adil makmur” bukan eksistensi nyata, bukan sesuatu yang real. Adil makmur adalah konsep umum sehingga bukan realitas. Demikian juga, kepala negara juga konsep umum belaka bukan eksistensi sejati. “Presiden Jokowi berbagi bingkisan lebaran tahun 2022 lalu” adalah realitas nyata dari eksistensi.

Tentu saja, contoh-contoh yang kita bahas di atas hanya kata-kata yang memicu makna dalam pikiran. Sehingga, contoh-contoh di atas hanya konsep bukan eksistensi nyata. Tetapi, kita paham bahwa maksud dari “Anda bekerja 10 jam hari ini tadi” adalah realitas eksistensi sejati secara individual. Itulah keunggulan manusia: bisa membedakan maksud dari bahasa sebagai eksistensi realitas atau esensi belaka.

(315) As for those that are named by the philosophers as “individuating accidents” (al-ʿawāriḍ al-mushakhkhiṣa,) they are only concomitants and signs of the individual being. [These accidents] endure not as they are; rather, they remain the same as they are changing. For each of these accidents there is a wide range of degrees from one limit to another similar to the wide range of the variation of the temperament (mizāj.) It is possible for that which is completely changed [i.e., the accident] to disappear and the individual remains the same individual, as is the case of the members of human being.


(315) Beberapa filsuf menyebut istilah “aksiden individuasi”, mereka hanya konsekuensi dan tanda dari wujud individual. [Aksiden-aksiden ini] bertahan tidak sebagaimana mereka; lebih tepatnya, mereka tetap sama ketika mereka berubah. Untuk masing-masing aksiden terdapat jangkauan derajat yang lebar dari satu batas ke jangkauan derajat lain yang lebar pula – mirip variasi temperamen. Mungkin saja perubahan [pada aksiden] benar-benar menjadikan [aksiden] tidak tampak dan masing-masing individu tetap individual yang sama, sebagaimana kasus anggota umat manusia.

Individu adalah eksistensi unik yang nyata, bahkan, ketika penampakan aksiden mereka tampak sama. Tetangga saya memiliki anak kembar yang sama persis – menurut pandangan umumnya orang – bernama Budi dan Hadi. Ketika kanak-kanak, Budi dan Hadi sering memakai seragam sekolah yang sama persis. Dari penampakan, Budi dan Hadi tidak bisa dibedakan. Tetapi, Budi dan Hadi memang berbeda sebagai individu, yang nyata, masing-masing mereka. Ibu bisa membedakan mereka, secara individual, dengan pasti. Meski baju seragam mereka adalah sama persis. Perlu kita catat bahwa individuasi adalah eksistensi realitas sejati. Sedangkan, individuasi aksiden adalah sekedar dampak atau tanda yang tampak.

“Wacana 1.3: Gradasi Realitas” membahas realitas sebagai gradasi dari eksistensi. Pandangan gradasi ini memberi banyak keunggulan bagi kita. Karena gradasi, maka eksistensi adalah tunggal. Di saat yang sama, karena gradasi maka eksistensi adalah beragam. Identitas wujud adalah beragam. Dan keragaman wujud adalah identik.

Kita mengakui realitas memang beragam. Masing-masing individu adalah unik. Anda berbeda dengan saya dan tetangga. Tetapi, kita semua adalah sama. Kita adalah sama-sama realitas eksistensi sebagai seorang manusia.

(315) Existence essentially admits of being stronger and weaker—that is, its reality is one, simple and has neither genus nor differentia, nor composition, whether mentally or extra—mentally. There is no difference between its members in virtue of essential or accidental differentia, or by an individualizing factor that is added to it. There is no difference between its members except in virtue of priority and posteriority, and strength and weakness.


(315) Secara hakiki, eksistensi ada yang lebih kuat dan lebih lemah – yaitu, realitas eksistensi adalah [1] tunggal, [2] sederhana, dan [3] tidak memiliki genus diferensia, [4] tidak ada komposisi, apakah mental atau eksternal. Tidak ada perbedaan antar anggota secara esensial atau diferensia aksidental, atau oleh faktor individual yang ditambahkan kepadanya. Tidak ada perbedaan antar anggota kecuali dalam hal [1] prioritas dan posterioritas, dan [2] kekuatan dan kelemahan.

Tidak ada perbedaan dalam realitas eksistensi. Hanya ada perbedaan antara prior (utama) dengan posterior (burit) atau antara kuat dan lemah. Semua manusia adalah sama-sama manusia. Hanya ada perbedaan kuat-manusiawinya atau lemah-manusiawinya. Yang kuat-manusiawi adalah mereka yang suka menolong orang lain, berbuat kebajikan, dan saling menasehati dalam kebenaran. Mereka yang lemah-manusiawi kadang ingkar janji, kadang mencuri, atau kadang korupsi. Bagaimana pun, mereka tetap sama-sama manusia yang berbeda gradasi.

(315) I mean, they differ in virtue of perfection and deficiency [in their existences]. But the concepts that are true of them [the individuals], which are abstracted from their different levels of strength and weakness, are different. These concepts are called “essences” (māhiyyāt.) That is why it is said: “the levels of strength and weakness of existence are different species.”

(315) Maksud saya, mereka berbeda dalam hal kesempurnaan dan kekurangan [dalam eksistensi mereka]. Tetapi memang benar bahwa konsep tentang hakikat mereka [individu-individu] adalah berbeda – karena merupakan abstraksi dari level kekuatan dan kelemahan eksistensi yang berbeda pula. Konsep semacam ini disebut sebagai “esensi.” Karena itu dikatakan: “tingkat kekuatan dan kelemahan eksistensi sebagai spesies yang berbeda.”

Tentu saja, kita sadar bahwa kita memiliki kebebasan memilih. Kita bebas memilih menjadi orang baik yang kuat-manusiawi. Orang lain juga bebas memilih atau tergoda menjadi orang jahat yang lemah-manusiawi. Jadi, kuat dan lemahnya realitas eksistensi manusia ada di tangan kita. Selanjutnya, kita bisa mengembangkan konsep orang baik adalah mereka yang kuat-manusiawi. Sedangkan orang jahat adalah mereka yang lemah-manusiawi. Konsep orang baik dan konsep orang jahat memang dua konsep yang berbeda. Esensi mereka berbeda.

Wacana 1.4: Intensitas Realita dan Gerak Substansi
membahas struktur realitas eksistensi yang terus-menerus bergerak dinamis. Karakter dinamis ini sudah menjadi karakter asli dari setiap realitas. Jika tidak dinamis maka pasti bukan realitas sejati, bisa jadi hanya ilusi. Kabar baiknya lagi, setiap gerak adalah perubahan menuju ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi, eksistensi dengan intensitas lebih kuat. Tidak ada gerak mundur ke arah eksistensi yang melemah. Setiap perubahan selalu menuju realitas yang lebih sempurna.

(315) Existence is receptive to intensity and weakness, and the substance in its substantiality is receptive to essential transformation and substantial motion. It is known that the parts and limits of one motion do not actually exist separated from each other. Rather, the whole is one existence, and none of these essences, which correspond to the existing levels, actually exists in a differentiated aspect. Rather, they exist indifferently, just like the parts of definition, as I have explained it in its place.

(315) Eksistensi terbuka terhadap penguatan intensitas dan kelemahan. Dan substansi, dalam substansialitasnya, terbuka terhadap transformasi esensial dan gerak substansial. Masing-masing bagian dan batas suatu gerak tidak eksis terpisah secara aktual. Lebih tepatnya, seluruhnya adalah satu eksistensi, tanpa esensi, yang berhubungan dengan suatu level eksistensi tertentu, secara aktual eksis dalam aspek yang berbeda. Mereka eksis seperti biasanya, sebagaimana bagian dari suatu definisi, yang sudah saya bahas pada tempatnya.

Wacana 1.5: Form adalah Prinsip Realitas” membahas keutamaan bentuk dalam realitas.

Form atau bentuk adalah yang menentukan realitas. Materi yang sama, bila bentuk berbeda maka menjadi realitas yang berbeda. Bahan bisa sama-sama kayu. Bentuk bisa beda menjadi meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Begitu juga, setiap orang bisa sama-sama sebagai manusia. Tetapi bentuk mereka bisa beda-beda. Ada manusia berbentuk pegawai, pengusaha, guru, petani, dan dokter. Di sisi lain, ada juga bentuk penipu, pencuri, dan sampai koruptur. Realitas ditentukan oleh bentuknya – form.

(315) The form in every composite thing is the principle of its reality by which it is what it is. Matter and its motions are dependent on form [in existence]. This is also true in case of the final differentia (al-faṣl al-akhīr) of everything that has genus and differentia, whether it is simple essence or compound.

(315) Bentuk adalah prinsip dari realitas yang dengannya terbentuk sesuatu dari setiap sesuatu yang komposit. Materi dan gerak tergantung pada bentuk [dalam eksistensi]. Hal ini juga benar dalam kasus diferensia akhir segala sesuatu bahwa memiliki genus dan diferensia, baik esensi sederhana atau tersusun.

Diferensia akhir adalah contoh bentuk yang paling menentukan realitas.

Diferensia akhir: Budi adalah siswa SMA pada tahun 2020.
Genus terdekat: Budi adalah siswa SMP pada tahun 2017.
Genus jauh: Budi adalah siswa SD pada tahun 2014.

Diferensia akhir “siswa SMA” adalah yang membentuk realitas Budi secara konkret di tahun 2020. Sebagai “siswa SMA”, kita memastikan bahwa Budi pernah jadi “siswa SMP” (genus terdekat) dan pernah “siswa SD” (genus jauh). Dan, kita masih bisa menganalisis genus-genus lebih jauh lagi. Bagaimana pun, diferensia akhir sudah memadai untuk menentukan realitas Budi.

Wacana Analisa

Di bagian bawah ini, kita akan membahas analisa dari setiap wacana. Seluruhnya, wacana di atas, adalah bersumber dari karya Mulla Sadra (1572 – 1640) yang berjudul Zaad Musafir atau Bekal Pengembara. Karena pelaku pengembara adalah setiap jiwa, termasuk jiwa kita, maka saya menyebutnya sebagai Kapital Jiwa.

Sadra menegaskan bahwa realitas adalah wujud. Realitas adalah eksistensi. Konsekuensi lanjutan dari eksistensi sebagai realitas adalah: (1) obyektif, (2) unik, (3) langsung, (4) gradasi, (5) tunggal, (6) prinsip, (7) jiwa.

Esensi, sebagai kebalikan dari eksistensi, bersifat: (1) subyektif, (2) universal, (3) asbtraksi, (4) diskrit, (5) beragam, (6) derivatif, (7) materi.

1. Eksistensi vs Esensi

Histori memberi banyak inspirasi. Sejenak, kita akan memperhatikan perdebatan eksistensi versus esensi sepanjang sejarah.

(a) Aristoteles (384 – 322 SM) adalah pemikir pertama yang membedakan eksistensi versus esensi. Konsep “kuda hitam” adalah esensi. Ketika kita berpikir esensi kuda hitam, maka, bisa saja kuda itu memang eksis. Tetapi, bisa juga kuda tidak eksis. Sehingga, esensi kuda hitam hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas kuda hitam, esensi dan eksistensi menyatu. Aristo, tampak, tidak melanjutkan kajian mana lebih prior antara eksistensi atau esensi.

(b) Plato (427 – 347 SM) adalah guru dari Aristo. Plato adalah pendukung esensialis, umumnya pandangan. Esensi kuda hitam adalah yang utama. Sementara, eksistensi hanya semacam tambahan kepada esensi sehingga kuda hitam menjadi ada di dunia nyata atau tidak ada di dunia nyata (bila tanpa tambahan eksistensi). Bagaimana pun, Plato tidak mengkaji secara mendalam perbedaan eksistensi dan esensi. Tetapi ajaran-ajaran Plato, umumnya, dimaknai sebagai esensialis.

(c) Ibnu Sina (980 – 1037) atau Avicena adalah pemikir pertama yang dengan tegas membedakan eksistensi dengan esensi. Semua realitas adalah gabungan dari eksistensi dan esensi. Kuda hitam yang pernah Anda lihat, misalnya, adalah esensi kuda hitam yang eksis. Atau eksistensi yang memiliki esensi kuda hitam. Hanya ada satu realitas yang bukan gabungan antara eksistensi dan esensi. Dia adalah tunggal. Dia adalah Tuhan yang eksistensiNya identik dengan esensiNya. Sementara, realitas lain adalah gabungan eksistensi dan esensi.

Mana lebih prior antara eksistensi dan esensi?

(1) Eksistensi lebih prior atau lebih utama. Umumnya, pendukung Ibnu Sina menyatakan bahwa eksistensi lebih utama. Esensi kuda hitam, misalnya, akan menggantung antara ada dan tiada selamanya. Dari sisi lain, eksistensi mendorong esensi kuda hitam menjadi eksis di dunia nyata. Jadi, eksistensi lebih utama karena eksistensi menjadi sebab bagi esensi agar menjadi eksis di dunia nyata.

(2) Esensi lebih prior. Sedikit pengkaji memaknai bahwa Ibnu Sina lebih mengutamakan esensi. Awalnya, hanya esensi kuda hitam. Kemudian ditambahkan eksistensi atau tidak ditambahkan. Jadi, eksistensi sekedar semacam aksidental bagi esensi.

Bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi adalah sama-sama nyata. Hanya saja, pandangan umumnya menyatakan, eksistensi lebih utama dari esensi. Pandangan Ibnu Sina ini memicu kajian lebih mendalam di Timur mau pun di Barat.

(d) Suhrawardi (1154 – 1191) menolak pandangan Ibnu Sina karena hanya bersifat mental. Eksistensi mau pun esensi hanya merupakan penilaian mental manusia terhadap realitas. Karena itu, untuk mengkaji realitas sejati, Suhrawardi mengembangkan ontologi cahaya sejati yang mengelaborasi metafisika dan ontologi dengan bahasa simbolis cahaya immateri.

Meski bersifat mental, bukan realitas, Suhrawardi menempatkan esensi lebih utama dari eksistensi. Karena esensi itu sendiri sudah meliputi eksistensi. Atau, eksistensi membutuhkan esensi untuk bisa dipahami. Sebaliknya, jika esensi membutuhkan eksistensi maka absurd. Harus ditolak. Asumsikan esensi membutuhkan eksistensi. Selanjutnya, mereka membutuhkan suatu relasi yang menghubungkan esensi dan eksistensi. Tetapi, relasi itu sendiri membutuhkan eksistensi dan seterusnya tanpa henti. Asumsi perlu ditolak.

(e) Ibnu Rushd (1126 – 1198) mendukung eksistensi lebih prior. Kelak, pandangan Ibnu Rushd berkembang pesat di Barat mempengaruhi Thomas Aquinas dan Descartes. Ibnu Rushd mengkritik Ibnu Sina karena Ibnu Sina menganggap eksistensi sebagai aksiden atau tambahan belaka. Padahal, eksistensi adalah paling utama.

(f) Ibnu Arabi (1165 – 1240) mendukung eksistensi lebih prior. Wujud adalah realitas utama. Esensi hanya bersifat mental. Meski bersifat mental, esensi memiliki peran penting dalam realitas. Dzat Tuhan, Realitas Sejati Tuhan, tidak boleh dipelajari. Tetapi, sifat-sifat Tuhan, nama-nama Tuhan, dan tindakan Tuhan harus dikaji dengan baik. Wujud Tuhan adalah paling utama. Seluruh realitas adalah manifestasi dari Wujud atau Eksistensi.

Istilah Eksistensi diterapkan kepada Tuhan dan realitas umum lainnya. Eksistensi murni hanya milik Tuhan. Sementara, realitas lain mendapat limpahan eksistensi dari Tuhan. Seluruh realitas, terus-menerus, bergerak menuju realitas yang lebih tinggi, yang sejatinya, menuju kepada Eksistensi Murni.

(g) Thomas Aquinas (1225 – 1274) mendukung eksistensi sebagai prior sebagaimana Ibnu Rushd. Mengikuti Ibnu Rushd, Aquinas juga mengkritik Ibnu Sina karena Ibnu Sina menilai eksistensi sebagai aksiden belaka. Pemikiran Aquinas ini berhasil menggulirkan kebangkitan kembali filsafat di dunia Barat dari tidur panjangnya.

(h) Sunan Kalijaga (1450 – 1513) mendukung eksistensi sebagai prior sebagaimana Ibnu Arabi. “Sangkan paraning dumadi” misalnya mengajarkan perjalanan wujud manusia dari awal sampai akhir sebagai realitas paling nyata.

(i) Mulla Sadra (1572 – 1640) mengambil alih semua ajaran filsafat yang ada, waktu itu, menjadi sistem filsafat yang kreatif: prioritas eksistensi. Eksistensi, atau wujud, adalah yang paling utama. Lebih dari itu, bahkan realitas sejati hanya wujud itu sendiri. Esensi semacam bayangan dari eksistensi belaka.

Kita akan bahas lebih lanjut di bawah, dan beberapa kutipan di atas, Sadra tidak hanya menempatkan eksistensi sebagai paling utama. Tetapi, Sadra menambahkan beragam kekuatan ontologis super kaya kepada eksistensi. Eksistensi menjadi realitas ontologis paling fundamental, paling kongkret, di saat yang sama, paling sederhana. Wujud munbasith kull syai. Eksistensi sederhana adalah segalanya. Identitas wujud adalah beragam. Dan keragaman wujud adalah identik. Seperti ada kontradiksi di sini. Wujud bersifat tasykik: ambigu sistematis. Konsekuensinya, setiap esensi bergerak, berubah, secara substansial berkat dari wujud. Kita perlu membahas filsafat wujud dengan cermat. Karena istilah yang dipakai Sadra bisa saja sudah bergeser makna di jaman kita saat ini. Sadra sendiri sering menulis ulang argumen-argumennya sehingga lebih tepat sasaran.

Sejenak, mari kita lanjut diskusi ke era setelah Sadra.

(j) Descartes (1596 – 1650) merupakan titik balik perdebatan eksistensi dan esensi. Cogito ergo sum. Aku berpikir maka aku ada. Awalnya, Descartes tampak mendukung eksistensi sebagai prior dengan menyatakan “Aku ada.” Tahap selanjutnya, terdapat dua esensi yang saling bebas: substansi jiwa dan substansi materi. Kajian selanjutnya lebih banyak membahas dua macam substansi tersebut. Dengan demikian, esensi menjadi lebih prior.

(k) Immanuel Kant (1720 – 1804), secara tegas, menolak pembahasan eksistensi. Realitas adalah eksistensi itu sendiri dan sudah jelas. Sehingga, tidak perlu pembahasan lebih lanjut. Kant lebih banyak membahas: (1) fenomena, thing-for-us, dunia penampakan dan (2) noumena, thing-in-itself, realitas dalam diri mereka sendiri. Seakan-akan, Kant menghormati eksistensi sebagai paling tinggi. Tetapi, pembahasan dia lebih banyak tentang esensi. Jadi, esensi lebih prior.

(l) Hegel (1770 – 1830) mengembangkan idealisme absolut yang mengutamakan esensi. Realitas manusia adalah spirit. Alam eksternal adalah spirit yang menampakkan diri. Spirit-diri berdialektika dengan spirit-eksternal menjadi spirit-baru yang merangkul mereka berdua. Spirit-baru adalah spirit-diri yang lebih sempurna. Karena itu, proses dialektika berlangsung lagi, terus-menerus, sampai mencapai spirit absolut. Dalam konteks ini, spirit adalah esensi.

(m) Kierkegaard (1813 – 1855) adalah tokoh utama eksistensialisme Barat. Tentu saja, eksistensi lebih prior. Eksistensi manusia yang konkret beserta konteks masalah yang melingkupinya adalah realitas paling prior. Dialektika versi Hegel adalah abstraksi belaka. Sementara, kegelisahan eksistensial seorang anak manusia untuk menghadapi hidup dan mati adalah realitas utama. Kierkegaard memberi contoh kisah Nabi Ibrahim yang harus mengambil keputusan penting dalam dilema antara mengorbankan hidup putranya atau melanggar perintah Tuhan. Manusia berada dalam dilema eksistensial yang nyata.

(n) Nietzsche (1844 – 1900) adalah titik temu eksistensialisme dan postmodernisme. Tentu saja, eksistensi adalah prior. Manusia adalah eksistensi yang menaklukkan segala kesulitan dengan bertabur suka mau pun duka. Bahkan, eksistensi manusia melampaui eksistensi nilai-nilai moral. Manusia adalah yang mewujudkan nilai-nilai moral tersebut. Bagaimana pun, sulit sekali memaknai karya Nietzsche secara koheren. Karena pilihan diksinya sangat kuat dan penuh pesan metaforis.

(o) Heidegger (1889 – 1976) adalah tokoh eksistensialisme Barat sejati. Bahkan, ungkapan eksistensi atau being atau sein tidak akan memadai untuk kajian eksistensialisme yang teramat penting ini. Heidegger memilih istilah dasein atau being-there atau eksistensi-konkret sebagai fokus kajian. Dasein adalah eksistensi yang, dengan peduli, mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri. Maha karya Heidegger berjudul “Eksistensi dan Waktu” atau “Being and Time” atau “Sein und Zeit”

Yang paling unik dari eksistensialisme Heidegger adalah menempatkan nilai penting kepada pertanyaan itu sendiri. Apa makna-eksistensi? Apa makna-wujud? Apa makna-being? Ada pohon. Ada manusia. Ada Tuhan. Tetapi, apa makna-ada?

(p) Sartre (1905 -1980) adalah pemikir eksistensialisme yang berhasil menjadikan eksistensialisme menjadi gerakan filsafat dan gerakan kemanusiaan secara luas. Sartre membedakan dua jenis eksistensi: (1) being-in dan (2) being-for.

Being-in adalah eksistensi yang meng-afirmasi diri mereka sendiri. Pohon, misalnya, meng-afirmasi, “Saya adalah pohon.” Dengan demikian, eksistensi pohon bersifat stabil. Berbeda dengan being-for yaitu eksistensi yang me-negasi diri mereka sendiri. Manusia menyatakan, “Saya bukan manusia yang seperti ini.” Dengan demikian, being-for selalu berubah. Being-for adalah freedom itu sendiri.

(q) Deleuze (1920 – 1995) adalah pemikir post-strukturalis atau post-modern atau posmo. Umumnya, pemikir posmo tidak peduli terhadap perdebatan eksistensi versus esensi. Tetapi, kita bisa melakukan analisis proyeksi. Realitas adalah chaos.

Umpamakan, hujan deras adalah chaos. Kita berlindung menggunakan payung di bawah guyuran derasnya hujan. Sains adalah menjulurkan tangan ke luar payung untuk mendapatkan beberapa titik air. Kemudian, sains menganalisis air terdiri dari H20 lengkap dengan sifat-sifatnya. Sains membatasi chaos dari realitas sehingga mudah dipahami dan mudah dikendalikan.

Seni menjulurkan tangan seperti sains. Kemudian, seni mengekspresikan air dengan ekspresi yang lebih kuat dari sekedar beberapa titik air. Seni menyadarkan kita bahwa ada realitas chaos yang jauh lebih dahsyat dari sekedar beberapa titik air, yaitu, hujan lebat yang deras.

Filsafat beda dengan seni mau pun sains. Filsafat tidak menjulurkan tangan. Filsafat justru melubangi payung. Terjadi kerusakan pada payung. Hujan deras itu menerobos payung melalui lubang filsafat. Realitas chaos menerobos diri manusia melalui lubang filsafat. Atau, manusia mengintip realitas chaos melalui lubang filsafat. Filsafat mengkaji realitas sebagaimana adanya realitas. Hanya saja, sebatas kemampuan manusia belaka.

Dengan memandang realitas sebagai chaos, posmo lebih dekat ke eksistensialis dari pada esensialis.

(r) Badiou (1937 – ) mengakui bahwa kajian filsafat harus dimulai dari pertanyaan apa makna-being seperti usul Heidegger. Eksistensialis. Kemudian, Badiou menjawab makna-being sebagai being qua being adalah matematika – lebih tepatnya teori himpunan. Matematika menyediakan “media” yang tepat untuk membahas realitas infinity (himpunan infinity) sampai realitas absolut (kelas absolut). Realitas absolut ini mengantarkan Badiou ke idealisme absolut ala Hegel atau Plato yang esensialis. Jadi, Badiou mengawali kajian sebagai eksistensialis dan berakhir sebagai esensialis.

Mencermati perdebatan eksistensi versus esensi seperti catatan ringkas sejarah di atas, kita menemukan keragaman kajian filsafat yang penuh makna. Mengapa kita tidak membuat definisi yang tegas tentang eksistensi dan esensi? Sehingga kita lebih mudah untuk mengkaji? Mari kita coba membuat definisi.

Eksistensi adalah aspek realitas paling konkret.
Esensi adalah aspek realitas paling utama.
Bilangan prima adalah bilangan bulat positif yang tepat memiliki dua faktor berbeda.

Definisi bilangan prima di atas sangat jelas. Bilangan 5 adalah prima karena memiliki dua faktor yaitu 1 dan 5. Bilangan 6 adalah bukan prima karena memiliki faktor lebih dari dua yaitu 1, 2, 3, dan 6. Tetapi bagaimana dengan definisi eksistensi dan esensi?

Definisi eksistensi gagal, yaitu, tidak bisa sejelas definisi bilangan prima. Karena melibatkan “realitas” dan “konkret”. Di mana, realitas itu sendiri akan membutuhkan definisi lanjutan tanpa henti. Jadi, pilihan terbaik bagi kita adalah mengkaji makna-eksistensi dan belajar dari histori.

2. Resiko Eksistensi

Tidak ada masalah tentang ontologi wujud atau metafisika wujud dari Sadra. Resiko muncul dari murid-murid Sadra yang salah paham terhadap ontologi eksistensi.

Morris mencatat 3 level dalam memahami ontologi eksistensi.

(1) Ajaran agama selaras dengan ontologi eksistensi. Tahap ini cukup sulit. Murid-murid Sadra perlu mengkaji ontologi eksistensi dengan teliti. Kemudian membandingkan dengan ajaran agama. Dalam hal ini, agama Islam khususnya madhab Syiah.

(2) Ajaran agama lebih tinggi dari ontologi eksistensi. Tahap ini sudah melampaui kesulitan sehingga murid Sadra menemukan kemudahan, yaitu, ontologi eksistensi berhasil membuktikan validitas ajaran agama. Bahkan ajaran agama saya, kitab suci dan hadis, lebih tinggi dari ontologi eksistensi. Agama orang lain tidak mengenal ontologi eksistensi sehingga agama orang lain, atau sistem filsafat orang lain, adalah salah. Mereka perlu ditolak.

Tahap dua ini resiko tinggi. Karena murid-murid tidak perlu repot-repot mengkaji ontologi eksistensi. Mereka hanya perlu mengkaji kitab suci dan hadis Nabi serta keluarga Nabi. Semua mudah saja.

(3) Ajaran agama saya benar dan jajaran agama lain juga bisa benar. Filsafat orang lain juga bisa sama benar. Saya perlu menghormati mereka. Saya perlu belajar banyak dari mereka. Murid Sadra yang mengkaji ontologi eksistensi lebih dalam, menyadari bahwa eksistensi adalah individuasi realitas konkret. Sehingga, di belahan bumi lain, pasti ada individuasi unik dari eksistensi yang berbeda dengan eksistensi di sini. Meski mereka berbeda-beda, semua sama-sama benar. Tahap tiga ini mengantar kita untuk berpikir terbuka.

Tantangan bagi murid-murid Sadra adalah melampaui tahap 2 untuk berlanjut sampai tahap 3. Tantangan ini, tampaknya, memang sulit diatasi. Dalam sejarah, penerus Sadra berhasil menghadirkan pemikir-pemikir besar misal Mulla Hadi Sabzivari, Allamah Thabathabai, Sayid Muthahhari, sampai Mehdi Haeri Yazdi. Pemikir-pemikir besar ini kadang berbeda pandangan dengan Sadra dalam persoalan detil. Apa respon murid Sadra? Mereka mengusulkan agar kembali merujuk ke pandangan Sadra yang asli. Jika penerus Sadra saja sulit berbeda pandangan, maka, bagaimana dengan pandangan agama lain dan sistem filsafat lain?

Sadra adalah pemikir inovatif yang brilian. Sejak muda, Sadra mendalami agama. Kemudian, Sadra memaknai ontologi Suhrawardi dengan cara berbeda. Sadra memaknai konsep wujud dari Ibnu Arabi dengan cara baru. Selanjutnya, Sadra menerapkan itu semua ke dalam sistem filsafat Ibnu Sina dan menghasilkan maha karya original filsafat wujud.

Murid-murid Sadra akan berhasil melompat jauh ke depan ketika meneladani kreativitas Sadra. Apakah Anda siap menerima tantangan?

3. Posisi Esensi

Eksistensi adalah prinsip. Esensi hanya turunan, hanya derivasi. Di mana tepatnya posisi esensi dalam filsafat wujud?

Posisi esensi adalah sangat tinggi. Bahkan, hampir sama tinggi dengan eksistensi. Mana mungkin?

Benar bahwa Sadra menolak esensi secara ontologis. Tetapi, Sadra memberi posisi penting kepada esensi ketika membahas epistemologi dan aksiologi. Berikut adalah beberapa posisi penting dari esensi yang perlu kita kaji.

(1) Esensi Tuhan adalah identik dengan Eksistensi Tuhan. Karena Tuhan adalah tunggal maka esensi menjadi sama saja dengan eksistensi.

(2) Esensi paling matang adalah diferensia akhir yang merupakan nama lain dari eksistensi individual. Definisi esensial terdiri dari genus dan diferensia.

genus = materi
diferensia = bertumbuh

Definisi tumbuhan adalah materi yang mampu bertumbuh misalnya dengan kemampuan nutrisi, organisasi diri, dan reproduksi.

genus = tumbuhan
diferensia = persepsi

Definisi hewan adalah tumbuhan yang mampu persepsi. Hewan mampu merespon situasi dengan bebas bergerak mendekati yang disukai atau menjauhi yang berbahaya. Seluruh kemampuan yang ada pada tumbuhan ada juga pada hewan: nutrisi, organisasi diri, reproduksi, dan lain-lain.

Kucing jantan di rumah Anda, misalnya, adalah spesies dengan diferensia akhir berupa hewan. Kucing jantan tersebut adalah eksistensi individual dan sekaligus diferensia akhir. Dalam kasus nyata “kucing jantan” di rumah Anda, esensi setara dengan eksistensi. Esensi dan eksistensi berada pada titik yang sama.

Tetapi, kita perlu hati-hati karena esensi kucing jantan bersifat stabil. Sedangkan, eksistensi kucing jantan lebih dinamis. Ketika kita membahas kucing jantan di rumah Anda, bisa jadi, dia masih bujang. Beberapa hari kemudian, kucing jantan itu mengawini kucing betina tetangga. Beberapa bulan kemudian, kucing itu beranak-pinak. Esensi kucing jantan yang sudah beranak pinak dianggap tetap sama dengan esensi kucing jantan yang masih bujang. Tetapi, eksistensi mereka sejatinya sudah berbeda. Dalam kasus ini, seharusnya, kita mengubah makna-esensi kucing jantan agar selaras dengan eksistensinya.

(3) Esensi manusia sempurna adalah diferensia akhir manusia. Manusia sempurna atau insan kamil, atau kamil saja, adalah diferensia akhir dari manusia. Jadi, kamil adalah esensi yang setara dengan eksistensi.

Diferensia akhir dari spesies manusia adalah rasional. Diferensia akhir ini, rasional, meliputi genus-genus sebelumnya. Akal rasional manusia sudah pasti mampu persepsi sebagaimana hewan. Sudah pasti mampu organisasi diri sebagaimana tumbuhan. Lebih dari itu, spesies manusia masih bisa melanjutkan individuasi misal menjadi kamil. Sudah pasti, kamil meliputi akal rasional.

Kamil adalah manusia yang mampu merangkul seluruh alam semesta untuk menghadap Tuhan. Dari sisi alam, kamil adalah pemimpin alam raya yang peduli dengan nasib seluruh alam, menjaga alam, dan membela alam. Dari sisi Tuhan, kamil adalah manifestasi dari sifat-sifat dan Nama-Nama Indah Tuhan. Salah satu kamil adalah manifestasi Nama Tuhan Yang Maha Berilmu. Kamil ini memiliki ilmu yang luas dan mendalam. Kamil membimbing umat manusia menjadi masyarakat berilmu. Kamil merenungi esensi dirinya sebagai manifestasi Tuhan Maha Berilmu dan bermanifestasi menjadi eksistensi berupa mendidik umat menjadi masyarakat berilmu secara nyata.

Konsep kamil barangkali terlalu idealis. Mari kita ambil contoh manusia menengah. Kamil kita ganti dengan menteri pendidikan di suatu negara – Indonesia atau mana pun. Menteri merenungi esensi dirinya berupa konsep zonasi. Kemudian, menteri menetapkan peraturan zonasi. Siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah maka cukup bermalas-malasan dia diterima di SMA favorit. Sementara, siswa yang rumahnya jauh dari sekolah, dia tidak bisa sekolah di SMA favorit atau bahkan SMA negeri mana pun. Esensi pikiran subyektif seorang menteri, tentang zonasi, berproses menjadi realitas nyata zonasi yang merugikan banyak pihak – dan menguntungkan segelintir orang.

Dalam kasus pribadi, Anda bisa saja punya cita-cita menjadi dokter ketika dewasa nanti. Esensi cita-cita Anda adalah menjadi dokter yang berguna dengan menolong menyelamatkan banyak orang. Kemudian, Anda berproses meraih cita-cita Anda. Terbukti cita-cita, yang semula esensi pikiran subyektif, menjadi eksistensi nyata sebagai seorang dokter.

Mari kita ringkas. Sadra memang menolak esensi secara ontologis karena lebih mengutamakan eksistensi. Tetapi, Sadra menempatkan esensi pada posisi penting secara epistemologis dan aksiologis. Kita, dalam kehidupan nyata, perlu menempatkan esensi pada posisi yang tepat.

4. Pengalaman Individuasi

Eksistensi tidak bisa dipikirkan. Esensi bisa dipikirkan. Tetapi, kita bisa mengalami eksistensi secara langsung. Bahkan, pengalaman eksistensi yang bersifat individual.

Eksistensi adalah individuasi. Dan individuasi adalah eksistensi. Mereka adalah realitas yang sama, hanya beda nama. Kesamaan yang sederhana ini jelas tetapi bisa membingungkan bila dipikirkan. Karena, individuasi memang tidak bisa dipikirkan. Hanya bisa dialami, dikenali, dirasakan, di-intuisi.

Pengalaman Anda bahagia menatap senyum manis anak pertama waktu itu adalah eksistensi nyata individual. Anda bahagia sebagai subyek, senyum anak sebagai obyek, dan lengkap dengan seluruh konteks. Anda tidak bisa memikirkan ulang pengalaman bahagia itu. Maksudnya, ketika Anda memikirkannya maka Anda hanya akses esensi bahagia. Sementara, pengalaman Anda waktu itu adalah eksistensi bahagia yang nyata. Bagaimana pun, esensi bahagia adalah kebaikan juga.

Jika hanya esensi yang bisa dipikirkan maka hasil pemikiran para saintis dan filsuf jaman dulu adalah suatu esensi? Bukan eksistensi?

Benar. Hasil pikiran ilmuwan jaman dulu adalah esensi. Persamaan Pythagoras adalah esensi dari ukuran sisi-sisi segitiga siku. Persamaan Aljabar adalah esensi dari problem aritmetika. Jika seseorang menyikapi Pythagoras dan Aljabar secara esensial maka memang tetap menjadi esensi. Tetapi, kita bisa menyikapi secara eksistensial. Saya merancang tiang dengan ketinggian 5 meter kemudian saya pasang tali-tali miring dari bagian atas tiang sampai menancap ke tanah sesuai Aljabar Pythagoras. Pengalaman individuasi saya itu adalah eksistensi yang nyata.

Kita bisa mengajukan pertanyaan: jika setiap pengalaman individuasi adalah eksistensi yang nyata maka apa yang membedakan individuasi kejahatan dengan individuasi kebaikan moral? Sangat berbeda. Dan, kita bebas untuk memilih individuasi kebaikan moral. Kita akan membahasnya, kebaikan moral, di bagian “Prinsip-Prinsip Jiwa” dan “Masa Depan Jiwa”.

Kita berada dalam situasi dinamis eksistensi dan esensi. Eksistensi individuasi adalah sumber gerak dinamika. Sedangkan esensi adalah subyek yang bergerak. Gerak ke arah mana?

5. Ukuran Gradasi

Eksistensi bergradasi dari lemah sampai kuat. Barangkali kita bisa membayangkan gradasi seperti gradasi cahaya. Ada cahaya dengan intensitas kuat dan ada cahaya dengan intensitas lemah. Cahaya lampu 20 W lebih kuat dari cahaya 10 W. Kita bisa menggabungkan mereka menjadi 30 W. Gabungan ini menjadi kesatuan tunggal 30 W. Gradasi ini, kita anggap, bersifat kontinyu bukan diskrit. Di antara 20 dan 30 W ada 21, 22, 23, dan seterusnya. Begitu juga di antara 20 dan 21 ada 20, 1 W; 20,2 W; 20,3 W dan seterus kontinyu tanpa henti.

Ilustrasi yang beda bisa membantu memahami gradasi eksistensi. Sebuah lampu menyala terang benderang. Pada jarak 1 meter dari lampu kita memasang papan yang luasnya 1 meter persegi. Papan itu menerima sinaran cahaya misal S(1) = 100 derajat. Kita bisa menggeser posisi papan menjauh menjadi 2 meter dari lampu. Berdasar sains, kita bisa menghitung, papan menerima sinaran S(2) = 25 derajat. Jika jarak 5 meter maka S(5) = 4 derajat.

S(1) = 100
S(2) = 25
S(3) = 4

Kita bisa mengatakan S(1) paling kuat, S(3) paling lemah, dan S(2) di tengah-tengah.

Kita masih perlu melanjutkan ilustrasi dengan cara mengganti papan dengan kaca-kaca yang transparan. Dan memasang kaca-kaca itu serentak bersamaan. Dengan cara ini, kita bisa menjelaskan hubungan kausalitas atau hubungan sebab-akibat.

S(2) = 25 adalah lebih kuat dari S(5) = 4 karena S(2) adalah sebab bagi S(5). Atau, S(5) adalah akibat dari S(2).

Jika kita berhasil mengamati S(5) = 4 maka kita tahu karena ada SEBAB yaitu S(2) = 25. Misal S(2) diganti dengan papan hitam tak tembus cahaya maka tidak ada cahaya S(2) dan, akibatnya, tidak ada S(5) juga. Jadi, S(5) yang lemah membutuhkan sebab yang lebih kuat yaitu S(2).

Tetapi S(2) yang kuat tidak membutuhkan S(5). Ketika benar ada S(2) = 25 maka kita tidak bisa memastikan apakah ada S(5)? Karena bisa saja dipasang penghalang antara mereka. Sehingga cahaya tidak sampai ke S(5).

Kembali ke gradasi eksistensi adalah eksistensi yang lemah membutuhkan eksistensi yang lebih kuat. Jika eksistensi yang lemah eksis maka itu karena ada SEBAB yaitu eksistensi yang lebih kuat. Puncak gradasi adalah eksistensi murni, eksistensi paling kuat, yaitu Tuhan Maha Sempurna.

6. Gerak Substansial

Umumnya, gerak adalah gerak aksidental. Gerak benda dari satu tempat ke tempat lain. Gerak substansial adalah substansinya yang berubah, substansinya yang bergerak. Gerak substansial adalah konsep baru dan orisinal dari Sadra.

Gerak aksidental tentu ada sebabnya, yaitu, gerak substansial. Lalu, apa sebab dari gerak substansial? Sebab dari gerak adalah wujud. Karakter wujud adalah dinamis. Wujud, atau eksistensi, yang kuat memancarkan cahaya kepada wujud yang lemah. Eksistensi yang lemah mengharapkan, dan merindukan, pancaran cahaya dari eksistensi yang lebih kuat. Pada gilirannya, aktivitas eksistensi menghasilkan gerak substansial dan aksidental.

(1) Gerak Aksidental dan Gravitasi

Apel jatuh dari pohon menuju tanah adalah contoh gerak aksidental, gerak perpindahan lokasi. Mengapa bisa terjadi? Karena ada gravitasi bumi. Gravitasi menarik setiap benda agar menempel, menuju pusat, bumi. Mengapa gravitasi bisa menggerakkan apel jatuh ke bawah? Fisika Newton sulit menjawab itu. Karena gravitasi adalah gaya fundamental. Sudah seperti itu adanya.

Einstein menjawab bahwa benda yang bermassa besar, misal bumi, bisa melengkungkan ruang. Ruang di dekat bumi melengkung menuju pusat bumi. Sehingga apel akan bergerak sesuai lengkungan ruang, yaitu, jatuh menuju bumi. Mengapa benda, misal bumi, bisa melengkungkan ruang? Kita, termasuk Einstein, sulit menjawab ini. Karena logika sebaliknya juga bisa valid. Ruang yang melengkung bisa menjerat materi atau, bahkan, cahaya.

Untuk keperluan kajian kita, cukup kita nyatakan bahwa sebab dari gerak aksidental bisa jadi bukan aksidental. Sebabnya bisa jadi suatu substansi semisal materi atau gravitasi.

(2) Gerak Nuklir

Reaksi nuklir barangkali bisa menjadi contoh nyata gerak substansial. Substansi Uranium terbelah menjadi dua substansi lain yang lebih ringan, misal, Sr dan Xe serta menghasilkan energi. Pembangkit listrik nuklir dan bom atom memanfaatkan perubahan substansi, gerak substansial, ini. Lebih dari itu, sebagian substansi materi bahkan berubah menjadi substansi energi. Kemudian, energi ini bisa digunakan untuk gerak aksidental, misal memutar baling-baling kipas angin.

(3) Bigbang

Bigbang adalah teori sains. Belum tentu benar. Tetapi diyakini banyak orang sebagai benar. Bigbang adalah ledakan besar dari “hampa” kemudian menghasilkan alam semesta ini. Bigbang adalah contoh tegas dari gerak substansial. Dari substansi “hampa” berubah menjadi substansi “awal”, kemudian, substansi “menengah”, sampai substansi “akhir” seperti alam raya sekarang ini. Substansi “awal” alam raya berbeda jauh dengan substansi alam raya masa kini. Telah terjadi perubahan substansial.

(4) Entropi

Alam raya terus-menerus bergerak menuju entropi yang lebih besar. Entropi adalah ukuran keacakan. Makin acak maka makin besar entropi. Jadi, alam semesta terus-menerus makin acak. Sampai, suatu saat, mencapai acak maksimal. Akibatnya, tidak bisa lagi lebih acak. Tidak bisa lagi ada gerak perubahan. Tetapi, saat ini, entropi masih jauh dari nilai maksimal. Estimasi perlu waktu lebih dari jutaan tahun agar entropi menjadi maksimal. Jadi, entropi terus bertambah. Alam raya terus berubah, bergerak, substansial dan aksidental.

Sedikit ilustrasi tentang entropi barangkali bisa membantu. Misalkan, kita memiliki 5 bata yang bisa ditumpuk vertikal saja.

5 bata tersusun; tidak ada acak; entropi = 0.
4 bata tersusun; 1 bata teracak; entropi = 1.
0 bata tersusun; 5 bata teracak; entropi = 5.

Pada posisi tertata rapi, 5 bata tersusun, tak ada bata acak, maka entropi = 0. Tidak bisa lebih rapi lagi. Entropi tidak bisa negatif. Tentu, entropi bisa positif. Misal 1 bata teracak jatuh maka entropi = 1. Bahkan bisa bertambah acak dengan 2 bata terjatuh. Entropi menjadi = 2.

Fenomena alam menunjukkan selalu terjadi penambahan entropi. Alam makin acak. Bisakah seseorang datang, kemudian, menata kembali semua bata? Sehingga, entropi kembali = 0? Tidak bisa. Karena ilustrasi kita di atas dengan asumsi hanya ada 5 bata tanpa ada manusia.

Asumsikan ada manusia sehingga bisa membuat entropi = 0 pada susunan bata. Dengan menata bata, manusia perlu energi. Manusia merusak struktur energi dengan satu dan lain cara. Sehingga, total entropi, bata dan manusia serta lingkungan, akan tetap naik. Bisa jadi, entropi total naik menjadi 100 atau lebih.

Perhatikan kasus mobil listrik di abad 21 ini. Beberapa pihak mengklaim mobil listrik ramah lingkungan. Mobil listrik tidak menghasilkan polusi udara. Mobil listrik tidak menambah entropi lingkungan. Benarkah? Jika kita mengamati lingkungan terdekat pemakai mobil listrik, barangkali, memang benar. Dari mana mobil listrik memperoleh energi listrik? Dari pembangkit listrik. Konsumsi mobil listrik mengakibatkan pembangkit listrik lebih banyak mengotori lingkungan. Secara total, entropi lingkungan tetap bertambah.

Kembali ke ilustrasi bata, bukankah kita bisa membuat semen beton pada bata sehingga bata tidak akan acak lagi? Semen beton hanya akan menunda 10 tahun, 100 tahun, atau 1000 tahun. Pada waktunya, semen beton akan hancur dan entropi tetap bertambah.

Yang lebih menarik lagi, kita bisa menghitung entropi seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Hal ini, justru, selaras dengan ontologi eksistensi sebagai satu kesatuan yang utuh bergradasi. Entropi terus bertambah. Demikian juga, gerak substansial terus menuju ke mode-eksistensi yang lebih tinggi.

Penambahan entropi semesta berlaku umum kepada seluruh obyek, aksiden mau pun substansi. Akibatnya, gerak terjadi secara aksidental dan substansial. Tentu saja, gerak substansial lebih prior dari gerak aksidental.

(5) Karakter

Gerak substansial makin jelas ketika kita menyelidiki karakter jiwa manusia. Karakter kita berubah secara substansial.

Karakter(0) = tidak punya pengetahuan
Karakter(5) = punya sedikit pengetahuan
Karakter(9) = punya beragam pengetahuan

Ketika lahir, kita tidak punya pengetahuan sama sekali atau nyaris tidak punya. Karakter(0). Kemudian, kita tumbuh sampai usia 5 tahun, karakter(5). Kita mulai mengenal sedikit pengetahuan. Sebagai kanak-kanak, kita mengenal keluarga terdekat, mengenal bahasa ibu, mengenali rasa lapar dan makanan nikmat, serta takut hantu atau ancaman. Pada usia 9 tahun, karakter(9), kita mulai memiliki beragam pengetahuan. Barangkali, kita duduk di kelas 3 atau 4 SD. Mengenal huruf untuk membaca dan menulis, mengenal matematika, mengenal teman-teman jauh, mengenal bahasa nasional dan, kadang, belajar bahasa internasional.

Karakter kita bergerak secara substansial dari karakter(0), menuju karakter(5), sampai karakter(9). Semua gerak substansial ini menuju ke derajat eksistensi yang lebih tinggi. Karakter(9) meliputi, dan mencakup, derajat eksistensi yang lebih rendah yaitu karakter(5), karakter(0), dan lain-lain. Karakter(9) tidak menolak karakter(5). Karakter(9) justru menguatkan dan melindungi karakter(5).

(6) Proses Gerak Substansial

Untuk memahami proses gerak substansial, kita kembali menggunakan ilustrasi cahaya di bagian atas. S(5) hanya menerima 4 derajat cahaya eksistensi karena berjarak 5 meter dari sumber. Sedangkan, S(2) menerima 25 derajat eksistensi karena berjarak 2 meter dari sumber. Sehingga, [1] dengan bergerak mendekat ke sumber cahaya maka kita bisa menerima cahaya eksistensi dengan derajat lebih tinggi. Perubahan ini, pada gilirannya, kita pahami sebagai gerak substansial dari substansi S(5) menjadi substansi S(2).

Tetapi, eksistensi lebih prior dari ruang dan waktu. Jadi, eksistensi tidak bisa bergerak lebih dekat menuju sumber cahaya. Karena, sumber cahaya itu sendiri, sejatinya tidak terpisah dengan masing-masing eksistensi yang terindividuasi. Gerak mendekat, di sini, bermakna metaforis.

Alternatif kedua [2] adalah dengan meluaskan kapasitas eksistensi S(5) – alternatif pertama adalah mendekat ke sumber. Luas semula 1 meter persegi, misal, diubah menjad 2 meter persegi. Memang benar meluaskan kapasitas menyebabkan lebih banyak cahaya yang diterima. Tetapi, intensitas cahaya tidak bertambah. Karena cahaya yang lebih banyak itu akan dibagi oleh luas yang lebih besar. Akibatnya, intensitas akhir akan sama saja.

Analogi dalam realitas kehidupan: menambah harta tidak membuat derajat eksistensi seseorang menjadi naik. Demikian juga, kecilnya kepemilikan harta tidak menjadikan derajat eksistensi menjadi turun. Menambah kekuasaan, menambah jabatan, menambah emas berlian dan lain-lain tidak menjadikan derajat eksistensi menjadi bertambah. Kita membutuhkan cara lain untuk meningkatkan derajat eksistensi.

Alternatif ketiga [3] adalah dengan membersihkan halangan antara eksistensi kita dengan sumber cahaya. Bila ada halangan, S(5) bisa jadi hanya menerima intensitas cahaya kurang dari 4 derajat. Dengan membersihkan semua halangan, maka eksistensi S(5) bisa mencapai 4 derajat atau sampai maksimal. Dalam eksistensi, apa saja yang bisa menjadi halangan? Tidak ada yang bisa menjadi halangan bagi eksistensi. Halangan hanya bisa terjadi berupa eksistensi tertentu yang bersifat aksidental belaka. Kita perlu membersihkan diri dari aksiden-aksiden ini.

Analogi dalam realitas kehidupan: kita bisa meningkatkan derajat cahaya eksistensi diri kita dengan cara membersihkan diri dari godaan-godaan kenikmatan sementara – godaan aksidental. Beberapa contoh godaan yang perlu dibersihkan adalah: menumpuk harta, berebut kekuasaan politik, berebut jabatan, makan minum berlebihan, bergunjing, menyebar fitnah, bebal terhadap penderitaan rakyat, dan lain-lain.

Alternatif keempat [4] adalah dengan menghadapkan eksistensi diri ke arah yang tepat kepada sumber cahaya. Jika S(5) membelakangi, atau miring horisontal, terhadap sumber cahaya maka S(5) bisa kehilangan seluruh cahaya. Atau, S(5) hanya sedikit sekali menerima cahaya – jauh di bawah 4 derajat. Dalam eksistensi, arah bermakna sikap eksistensi. S(5) bisa saja mengarahkan eksistensi ke cahaya aksidental. Padahal, kita perlu menatap arah yang tepat, yaitu, ke arah sumber cahaya.

Analogi dalam realitas kehidupan: kita bisa meningkatkan derajat cahaya eksistensi dengan cara meluruskan niat hanya kepada sumber cahaya. Sikap tulus ikhlas menjadi paling utama.

7. Forma Penentu

Bentuk, atau form atau forma, adalah penentu suatu realitas. Penentu realitas bukan materi penyusun mereka.

Materi bahan bisa sama-sama kayu. Bentuk bisa beda-beda: meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Kayu adalah potensi, atau bahan, untuk membuat kursi. Kursi adalah bentuk aktual dan real dari bahan yang semula kayu.

Lalu, apa yang dimaksud dengan bentuk? Bentuk adalah eksistensi itu sendiri. Bentuk adalah realitas individuasi. Bentuk terhadap materi adalah sama dengan diferensia terhadap genus. Bentuk adalah individuasi dari general.

Konsekuensinya, kita tidak bisa mendefinisikan bentuk atau forma. Tetapi, kita bisa mengenali bentuk secara langsung. Ini meja. Itu kursi. Kamu baik. Mereka tadi jahat kepadamu. Kamu memaafkan mereka semua adalah bentuk kebaikan. Kita merasakan bentuk. Kita meng-intuisi bentuk. Kita memahami bentuk.

Tentu saja, kita bisa menggambarkan bentuk. Kursi adalah tempat duduk, terdiri dari 4 kaki, dan ada papan datar sebagai bidang pertemuan kaki-kakinya. Yang demikian itu adalah definisi bentuk kursi. Bentuk adalah realitas yang kita kenali sebagaimana adanya. Yang demikian adalah definisi yang melibatkan logika melingkar.

Jiwa adalah bentuk bagi badan manusia. Semua badan manusia tersusun oleh bahan materi yang sama tetapi dalam bentuk yang berbeda. Jiwa setiap manusia berbeda-beda secara individual. Meski pun ketika jatuh cinta, Anda bisa mengatakan sebagai satu jiwa dengan pasangan.

Jiwa manusia adalah yang menentukan perubahan substansi manusia. Jiwa menentukan badan. Jiwa adalah bentuk kesempurnaan dari badan. Jiwa adalah penggerak badan. Kita akan membahas “Prinsip-Prinsip Jiwa” pada bagian selanjutnya. Karena jiwa manusia adalah bebas maka kita bebas membentuk diri kita sendiri akan seperti apa.

Lanjut ke: Bagian 2: Prinsip-Prinsip Jiwa
Kembali ke: Kapital Jiwa

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar