Prinsip-Prinsip Jiwa

Kapital Jiwa: Mutiara Kehidupan dari Filsafat Mulla Sadra

Prinsip-prinsip jiwa. Psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Seharusnya, kita bisa memanfaatkan sains psikologi untuk kapital jiwa. Kita membutuhkan kapital lebih dari itu.

1. Pendahuluan: Psikologi

2. Wacana Jiwa
Wacana 2.1: Jiwa adalah Penentu
Wacana 2.2: Kekuatan Imajinasi Melebihi Materi
Wacana 2.3: Imajinasi sebagai Dinamika Jiwa
Wacana 2.4: Visi adalah Kreativitas
Wacana 2.5: Perubahan Status Jiwa

3. Wacana Analisa
3.1 Alternatif Awal Mula Jiwa
3.2 Dari Materi Melebihi Materi
3.3 Organ-Organ Jiwa
3.4 Imajinasi adalah Pusat
3.5 Visi Eksistensial
3.6 Dialektika Futuristik
3.7 Lingkaran Status Jiwa

Kita akan membahas prinsip-prinsip jiwa dalam lima wacana. Kita tetap mendasarkan pembahasan kepada prinsip-prinsip realitas – yang sudah kita bahas di bagian sebelumnya. Dari prinsip-prinsip jiwa, kita akan berlanjut membahas lebih mendalam tentang masa depan jiwa.

1. Pendahuluan: Psikologi

Kajian tentang jiwa, kita kenal sebagai psikologi atau ilmu jiwa. Psikologi sudah berkembang sejak awal peradaban umat manusia. Hanya saja, di masa kini, pendekatan psikologi berbeda dengan era kuno. Saat ini, psikologi cenderung bersifat materialis. Fenomena psikologi dianalisis berdasar cara kerja sel-sel di otak. Pada gilirannya, cara kerja sel-sel otak, materi otak, bisa dikendalikan oleh obat-obat kimia. Ada yang menyindir bahwa psikologi lupa mengkaji jiwa. Psikologi jadi mengkaji fisika.

Sementara, psikologi kuno lebih terbuka dengan kajian jiwa secara luas. Bahkan barangkali melibatkan mitos-mitos dan dewa-dewa. Bagaimana pun, kita bisa bersikap terbuka terhadap kajian jiwa sejauh dapat dipertimbangkan secara rasional: materialis mau pun spiritualis. Jadi, kajian jiwa kita lebih bersifat rasional dalam makna luas.

2. Wacana Jiwa

Jiwa adalah diri kita sendiri. Sehingga, mengkaji jiwa adalah mengkaji diri kita sendiri. Kita perlu berpikir reflektif.

“Wacana 2.1: Jiwa adalah Penentu” membahas peran besar jiwa sebagai penentu kemanusiaan, jiwa sebagai penentu sejati manusia, atau manusia adalah jiwa. Jiwa tulus menjadikan orang tersebut jadi tulus. Jiwa pengasih menjadikan orang tersebut pengasih. Sebaliknya juga benar. Jiwa jahat menjadikan orang tersebut jahat. Jadi, jiwa adalah penentu hakikat manusia. Sementara, badan manusia mirip-mirip semua. Badan penjahat mirip saja dengan badan orang jujur. Badan mereka sama-sama tersusun oleh materi biologis, kimia, dan reaksi beragam energi.

(316) The being of the body and its individuation is by its soul, not by its material mass ( jirmuhu). For example, Zayd is Zayd by his soul, not by his body. Therefore, the existence and individuation of the body continue as long as the soul remains and exists in it despite the fact that its parts have been replaced and its concomitants such as its place, quantity, quality, and time have all changed during its life span.

(316) Jiwa adalah penentu wujud dari badan dan individuasinya, bukan materinya. Sebagai contoh, Zayd adalah Zayd karena jiwanya, bukan karena badannya. Karena itu, eksistensi dan individuasi badan terus berlanjut selama jiwa terjaga dan eksis padanya, bahkan, ketika [1] anggota-anggota badan diganti dan [2] dampak ikutan juga diganti misal tempat, jumlah, kualitas, dan waktu seluruhnya berubah selama perjalanan kehidupan.

Jiwa saya tetap jiwa saya. Jiwa Anda tetap jiwa Anda. Meski rambut Anda berganti dengan rambut yang baru, meski kuku Anda berganti dengan kuku yang baru, meski Anda berniat operasi plastik, Anda adalah tetap Anda. Karena jiwa Anda menjaga kesatuan diri Anda dari awal sampai akhir dan sampai masa depan.

(316) The same is true if its material form changed
into a celestial form (ṣūra barzakhiyya), such as in sleep (dream), and in the grave until the day of resurrection, or it is changed into a hereafter form (ṣūraʾukhrawiyya) in the hereafter. The human being is the same in all these changes and transformations because these changes take place in a continuous unified manner. This is because the specific modes of its existence and its degrees along the path [of development] are not significant [for its individuation and identity]. What is significant for its subsistence is the subsistence of its soul because the soul is its perfective form (ṣūratuhu al-tamāmiyya) which is the principle of its being, the locus of its essence, the source of its powers, and the locus and the sustainer of its mixture and organs as long as (the individual) is a natural being.

(316) Tetap benar ketika bentuk material badan berganti menjadi [1] bentuk barzakh, misal ketika tidur (mimpi), dan ketika di alam kubur sampai hari kebangkitan, atau berganti menjadi [2] bentuk ukhrawi ketika di akhirat. Seorang manusia tetap sama dalam seluruh perubahan dan transformasi tersebut karena perubahan tetap dalam kesatuan kontinyu [individu itu]. Hal ini karena perubahan mode eksistensi dan derajat eksistensi tertentu itu [sepanjang perjalanan] tidak signifikan [terhadap individuasi dan identitas seseorang]. Yang signifikan bagi keberadaan adalah keberadaan jiwanya karena jiwa adalah forma sempurna sebagai wujud alami. Jiwa adalah [1] prinsip wujud, [2] lokus esensi, [3] sumber kekuatan, [4] lokus dan pemersatu organ-organ selama [sebagai individu] alami.

Secara gradual, materi badan akan berganti dari materi fisik menjadi materi spiritual atau intelektual. Demikian juga, organ-organ materi fisik akan berganti.

(316) [The soul then] gradually replaces the natural material organs with spiritual organs and so on until these organs become intellectual and simple. For example, if one asks: Is Zayd’s body the same body at youth, childhood, and old age? The answer from both aspects of negation and affirmation is true according to two considerations: [The first is that] it is not the same body if the body is considered to mean the material body. [The second is that] it is the same body if the body is considered to mean a body as genus. But if one ask: Whether Zayd the youth is he who was a child and then he became an adult and then an old man, or not? The answer is one: Yes.

(316) [Kemudian jiwa] mengganti organ material alamiah dengan organ spiritual, secara gradual, sampai organ-oragan menjadi intelektual dan sederhana. Sebagai contoh, jika ditanya: Apakah badan Zayd tetap sama ketika kanak-kanak, remaja, dan tua? Dua macam jawaban sama benar baik negasi atau afirmasi sesuai pertimbangan: [1] badan itu tidak sama jika maksud badan adalah materi badan; [2] badan itu tetap sama jika maksud badan adalah genus. Tetapi jika ditanya: Apakah orangnya sama Zayd muda, dengan yang dulu kanak-kanak, kemudian dewasa, dan menjadi tua, atau berbeda? Jawabannya hanya satu: Ya. [Tetap Zayd yang sama]

Diri kita adalah tetap orang yang sama sejak bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan menjadi tua. Materi badan bisa saja berganti. Rambut hitam diganti rambut putih. Kadang ada yang diganti dengan mengkilap tanpa rambut. Tetapi, badan itu tetap badan kita. Apalagi, jiwa kita benar-benar tetap jiwa kita, diri kita sendiri.

(317) The difference between matter and genus is mentioned in books of logic and in the investigation of essence in first philosophy. This difference is just like the difference between essence that is considered absolutely (lā bi-sharṭ), regardless whether it is mixed or abstracted, and essence that is considered as abstracted. The same is true regarding the difference between species, form, genus, subject, accident and the accidental, self and the essential, and part and particular. All these are predicated of the thing in accordance with the first consideration but not according to the second consideration.

(317) Perbedaan antara materi dan genus sudah dibahas dalam buku logika dan dalam penyelidikan esensi dalam filsafat utama. Perbedaannya adalah sekedar mirip esensi apakah [1] esensi sebagai absolut, tak peduli campuran atau abstraksi, atau [2] esensi sebagai abstraksi saja. Perbedaan semacam ini juga berlaku pada spesies, forma, genus, subyek, aksiden dan aksidental, diri dan esensial, bagian dan partikular. Semua predikasi terhadap sesuatu adalah bersesuaian dengan pertimbangan yang pertama [1] dan bukan yang kedua [2].

Pembedaan materi dan genus dari badan mengajak kita mempertimbangkan perbedaan esensi sebagai [1] absolut, bisa campuran atau abstraksi atau [2] abstraksi saja.

“Wacana 2.2: Kekuatan Imajinasi Melebihi Materi” membahas kekuatan imajinasi melebihi materi. Kita berada di dunia materi. Tetapi, jiwa kita memiliki kemampuan imajinasi yang kreatif melampaui batasan-batasan materi. Imajinasi seorang sastrawan mendorongnya menulis puisi yang menyentuh hati. Imajinasi seorang musisi mendorongnya menciptakan musik yang begitu merdu. Imajinasi seorang teknolog mendorongnya menciptakan inovasi teknologi yang canggih.

(317) The imaginative faculty is a substance that does not subsist by the body or by any of its organs, and it does not exist in any place in this natural material world. Rather, it is an immaterial being. It exists in an intermediary world between two worlds: the intellectual immaterial world and the material world, which is the subject of corruption. We have proved this subject in our books by clear demonstrative reasoning and by conclusive evidences. One who wishes to know them must consult these books.

(317) Fakultas imajinasi adalah substansi yang [1] tidak berada pada badan atau organ, dan [2] tidak berada di suatu tempat di alam materi ini. Tetapi, imajinasi adalah wujud imaterial. Imajinasi eksis di dunia tengah antara dua dunia: [1] dunia intelektual immaterial dan [2] dunia material, yang bisa rusak. Kami telah membahas tema ini di buku kami dengan bukti analisis yang kuat dan kesimpulan yang terbukti jelas. Bagi yang berminat silakan merujuk ke buku-buku tersebut.

“Wacana 2.3: Imajinasi sebagai Dinamika Jiwa” membahas imajinasi yang dinamis adalah dinamika jiwa. Jiwa selalu bergerak dinamis menuju kepada yang lebih baik. Karena itu, imajinasi selalu dinamis. Dinamika ini mengajak jiwa untuk meraih kebahagiaan, prestasi, dan kebaikan. Sayangnya, di perjalanan ada beberapa godaan yang bisa menjerat jiwa. Kita perlu kembali membersihkan jiwa agar bisa bergerak dinamis di jalan lurus.

(317) The imaginative form (al-ṣūra al-khayāliyya) does not inhere in the soul. Rather, the imaginative form subsists by the soul just like the subsistence of the act by the agent, not like the subsistence of that which is received by the receiver.

(317) Bentuk-bentuk imajinasi bukan sudah ada pada jiwa. Tetapi, bentuk imajinasi baru ada karena tindakan jiwa seperti adanya perbuatan karena pelaku berbuat sesuatu, bukan seperti diterimanya sebuah paket oleh penerima.

“Wacana 2.4: Visi adalah Kreativitas” membahas bahwa aktivitas mata adalah aktivitas kreatif oleh jiwa dan imajinasi. Visi, atau penglihatan, bukanlah pasif saja. Bukan karena ada sinar masuk ke mata. Bukan pula karena ada sinar keluar dari mata. Kita melihat kebun teh yang indah adalah proses kreatif jiwa berinteraksi dengan obyek kebun teh kemudian menciptakan pengalaman langsung “kebun teh yang indah.”

(318) Vision does not take place by imprinting the visible image in an organ such as the cornea or something like that, as the materialists believe. And it is not by a light coming out [of the eye], as the mathematicians believes, nor does the soul acquire illuminative relation (ʾiḍāfa ishrāqiyya) to that which exists out side when certain conditions are fulfilled. All of these opinions are futile, as has been made clear in its place. Rather vision occurs by creating a form that is identical to the external form.

(318) Visi, penglihatan, bukan terjadi dengan [1] menempelkan citra pada organ seperti kornea atau sejenisnya, sebagaimana keyakinan materialis. Dan bukan juga karena [2] cahaya keluar [dari mata] sebagaimana keyakinan matematikawan, tidak juga karena [3] jiwa berhasil membuat relasi iluminasi terhadap obyek luar ketika kondisi terpenuhi. Semua pendapat seperti itu gagal, sebagaimana sudah dijelaskan di tempat lain. Yang lebih tepat, visi terjadi karena penciptaan forma yang identik dengan forma eksternal.

Ketika kita interaksi, pengalaman langsung, dengan “kebun teh yang indah” maka, saat itu juga, jiwa menciptakan forma “kebun teh yang indah” secara identik.

(318) [This created form] does not exist in a place or
in this world; rather, it exists in the soul, and the soul has creative and illuminative relations to this form. This is the relation that deserves to be called illuminative relation, not that which is so called by the master of the Illumintionists (Suhrawardī) since the soul do not have any relation to the external material objects except through its connection with (its) natural material body. Every relation that takes place through this aspect (i.e., its relation to the material body) is a materialistic relation and is bounded by a place; it is not perceptive and illuminative relation. Therefore, our opinion about the relation is better and is more proper to be called an “illuminative relation.” Moreover, we have demonstrated that the material form cannot be perceived as a material form. This was a matter of disagreement between the prestigious philosophers (muʿtabarī al-falāsifa), and therefore they have mentioned that every perception takes place by a kind of abstraction (tajrīd).

(318) [Forma yang diciptakan jiwa] ini tidak berada di suatu tempat di dunia ini. Lebih tepatnya, berada pada jiwa, dan jiwa memiliki relasi kreatif dan iluminatif dengan forma ini. Relasi ini tepat disebut sebagai relasi iluminatif, bukan relasi yang disebut Master Iluminasi (Suhrawardi) karena jiwa tidak memiliki relasi dengan obyek material selain hubungan [jiwa] dengan badan alamiahnya sendiri. Setiap relasi yang melaui aspek ini (yakni badan material) adalah relasi materialistik dan terikat pada tempat; yang demikian bukan relasi persepsi dan iluminasi. Karena itu, pendapat kami tentang relasi adalah lebih baik dan lebih pantas disebut “relasi iluminatif.” Lebih dari itu, kami sudah menunjukkan bahwa forma material tidak bisa dipersepsi sebagai forma material. Para filsuf besar berbeda pendapat tentang masalah ini, dan mereka menyebut setiap persepsi sebagai sejenis abstraksi.

Kita menghadapi kompleksitas di sini. Kita mengalami langsung, pengalaman individuasi, melihat “kebun teh yang indah,” di saat yang sama, jiwa menciptakan forma imajinatif “kebun teh yang indah” yang identik dengan forma realitas eksternal. Bagaimana pun, forma imajinatif ini bisa saja salah, dalam arti, tidak sesuai dengan forma realitas eksternal. Kita perlu waspada terhadap fenomena delusi atau ilusi.

(319) Know that the soul’s vision and all its senses, as long it is in this world, are something other than its imagination because in vision and sensing the soul needs external matter and special conditions, but in imagination it does not need that. Moreover, imagination here in this life is not a vision except some times when it sees the imaginative forms, but when the soul departs the body’s dust and when it peels itself from this shell (the body) as the snake peels off its skin, then there is no difference between vision and imagination since the imaginative faculty, which is the reservoir of the senses, becomes strong, weakness and deficiency having removed from it. The veil is removed, and all faculties united, then the soul does by the faculty of imagination what it does by other [faculties], it sees by the eye of imagination what it saw by the sensible eye, and its power, knowledge, and desires become one thing. Its perception of the desirable things is its ability to present them to itself. In other words, there is nothing in paradise except that which the soul desires, as the Exalted said: “In it (the paradise) all that the souls desire and the eyes delight in” (Q 43:71).

(319) Perhatikan bahwa penglihatan oleh jiwa [visi] dan seluruh indera, selama berada dalam dunia ini, adalah sesuatu yang berbeda dengan imajinasi karena, dalam visi dan indera, jiwa membutuhkan materi eksternal dan kondisi tertentu, tetapi imajinasi tidak membutuhkan itu. Lebih jauh, imajinasi di dunia ini bukanlah visi kecuali ketika [1] melihat forma imajinatif, tetapi ketika jiwa meninggalkan badan dan melepaskan kulitnya (badannya) seperti ular melepaskan kulitnya, maka [2] tidak ada perbedaan antara visi dan imajinasi karena fakultas imajinasi, yang merupakan sumber dari indera, menjadi kuat, kelemahan dan kekurangan sudah dibersihkan darinya. Penghalang dihilangkan, fakultas menyatu, dan jiwa melakukan semua dengan fakultas imajinasi apa yang sebelumnya dilakukan oleh [fakultas] lain, jiwa melihat dengan mata imajinasi terdahap apa yang dilihat dengan indera [1] mata, dan [2] kekuatan, [3] pengetahuan, dan [4] kehendak menjadi satu. Persepsi jiwa terhadap sesuatu yang dikehendaki merupakan kemampuan jiwa menghadirkan sesuatu itu kepada jiwa. Dengan kata lain, di surga, tidak ada apa pun kecuali yang dikehendaki oleh jiwa sebagai mana Yang Maha Tinggi berfirman: “Di sana (di surga) adalah semua yang diinginkan oleh jiwa dan indah di mata.” (Q 43:71).

Kompleksitas di atas (forma imajinatif oleh jiwa yang identik dengan realitas eksternal) membekali kita untuk mampu membahas nasib masa depan jiwa setelah kematian badan. Jiwa kita tetap kaya akan forma imajinatif meski jiwa sudah meninggalkan badan material. Justru, jiwa makin bening dalam memahami setiap forma imajinatif karena terbebas dari materi. Bahkan, persepsi jiwa adalah menjadi realitas itu sendiri. Di dunia kita saat ini, realitas “kebun teh yang indah” kemudian menjadi persepsi “kebun teh yang indah.” Di dunia sana, persepsi oleh jiwa tentang “kebun teh yang indah,” serentak menjadi realitas “kebun teh yang indah.”

Bagaimana pun, kita perlu waspada terhadap ilusi di dunia ini. Korupsi mencuri uang rakyat trilyunan rupiah tampak nikmat terbahak-bahak di dunia ini. Forma imajinasi dari korupsi, ketika di dunia sana, adalah realitas api neraka membara yang membakar jiwa mereka. Sementara, orang-orang yang beramal kebaikan telah berhasil membentuk forma imajinatif yang indah dan membahagiakan.

(319) In the holy tradition (ḥadīth qudsī) concerning the people of paradise, says: “The angel comes and, after he greets them, he hands them a letter from God, in which [it is written]: From the Living and the Sustainer to the living and the sustainer: Now, I say to the thing “be” and it is, and I have made you to say to the thing “be” and it is.” Then, the prophet, peace be upon him and upon his family, said: “Whenever a person from the inhabitants of paradise says to a thing “be”, this thing becomes being.”

(319) Dalam hadis qudsi, berkenaan dengan penduduk surga, dijelaskan: “Malaikat datang, mengucap salam kepada mereka, dan memberikan surat dari Tuhan kepada mereka, yang [tertulis dalam surat]: Dari Yang Maha Hidup dan Maha Kukuh kepada yang hidup dan kukuh: Sekarang, Saya katakan kepada sesuatu “Jadilah” maka “Menjadilah,” dan Saya telah menjadikan kamu untuk mengatakan kepada sesuatu “Jadilah” maka “Menjadilah.” Kemudian, Nabi, salam untuknya dan keluarganya, bersabda, “Kapan saja seorang penduduk surga mengatakan sesuatu “Jadilah” maka sesuatu itu menjadi kenyataan.”

Kekuatan jiwa adalah realitas eksistensi.

“Wacana 2.5: Perubahan Status Jiwa” membahas bahwa jiwa bisa berubah secara ekstrem. Jiwa seorang manusia bisa menjadi pejuang keadilan, kemudian beberapa jam, berubah menjadi koruptor. Bisa juga berubah ekstrem sebaliknya. Jiwa penjahat kelas kakap bisa tobat dalam sekejap menjadi jiwa yang suci. Secara umum, perubahan status jiwa terjadi secara perlahan dan lembut. Sehingga, kita bisa mengarahkan perubahan menuju ke arah yang positif.

(319) The human being, among many types of creatures, is peculiar in that it is possible for one of its members to have many instantiations one before the other, but in spite of that his individuality remains the same. A single human being has at the beginning of his childhood a material being according to which he is a human being, and then his (material) existence gradually moves and becomes pure and subtle until he acquires a hereafter psychic being (kawn ukhrawī nafsānī) in which he possesses psychic organs. This is the second human being.

(319) Manusia adalah spesial, di antara makhluk lain, karena memungkinkan untuk menjadi anggota satu model berubah ke anggota model lain, tetapi tetap menjadi individu yang sama. Seorang manusia, ketika lahir sebagai bayi, adalah anggota dari [1] model materi. Kemudian, eksistensi material ini bergerak dan menjadi murni sampai meraih [2] model wujud psikis di masa nanti, di mana, memiliki organ-organ psikis. Dia menjadi manusia tingkat kedua.

Perubahan status jiwa manusia dari model material menjadi model psikis berlangsung secara lembut gradual. Tetapi, hasil akhir bisa saja terlihat perbedaan ekstrem dari yang semula. Bagaimana pun, orang itu tetap menjadi pribadi yang sama, pribadi yang satu.

(319) Then, it is possible that he moves from this (psychic) being and acquires an intellectual being according to which he is an intellectual human being (insān ʿaqlī) that possesses intellectual organs. This is called the third human being, as the master of the philosophers (i.e., Aristotle) mentioned in the book of Theology (Uthūlūjiā.)

(319) Kemudian, mungkin saja, dia bergerak dari eksistensi (psikis) dan meraih suatu eksistensi intelektual yang bersesuaian; dia adalah [3] manusia intelektual yang memiliki organ intelektual. Yang demikian disebut sebagai manusia tingkat tiga, sebagaimana master filsuf (yakni Aristo) menyebutnya dalam buku Teologi.

Tiga tingkat mode-eksistensi manusia: (1) mode-eksistensi material yaitu manusia di alam ini; (2) mode-eksistensi psikis yaitu manusia memiliki organ psikis yang lebih kuat; (3) mode-eksistensi intelektual yaitu manusia paling sempurna.

(319) Know that although a human being acquires these two worlds (the psychic and intellectual worlds) after being a material being, these two worlds were in his possession before this origination (ḥudūth). Plato affirmed that the human soul has intellectual instantiation before the origination of this body. It also has been established in our true religion that for human individuals there is a particular and distinguished existence (kaynūna juzʾiyya mutamayyiza) before their material existence, as the Exalted said: “When your Lord took from the Children of Adam their descendants from their loins and made them bear witness over themselves, [He Said to them:] Am I not your Lord? They said ‘Yes indeed! We bear witness. [This, ] lest you should say on the Day of Rising, ‘indeed we were unaware of this” (Q7: 172).

(319) Ketahuilah meski manusia meraih dua dunia (psikis dan intelektual) setelah melalui menjadi wujud material, dua dunia ini sudah [pernah] menjadi milik manusia sebelum lahir [di dunia ini]. [1] Plato menyatakan bahwa jiwa manusia memiliki mode-intelektual sebelum lahir ke badan ini. Hal ini juga dikuatkan oleh [2] ajaran agama sejati kami yang menyatakan bahwa individu manusia memiliki eksistensi partikular dan tertentu sebelum lahir ke badan material ini, sebagai mana Yang Maha Suci berfirman: “Ketika Tuhan mengambil Anak Adam dan ketuturunannya dari sulbi mereka dan menjadikan saksi atas mereka, [Tuhan berkata kepada mereka]: Bukankah Aku adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab, “Ya, benar. Kami bersaksi.” [Yang demikian,] jangan sampai kalian mengatakan di Hari Kebangkitan, “Kami tidak tahu hal ini.” “(Q7: 172)

Manusia berhasil meraih mode-psikis dan mode-intelektual setelah melalui mode-material di dunia ini. Meski demikian, manusia sudah pernah berada pada dua mode di atas (psikis dan intelektual) sebelum lahir di dunia material ini.

(321) And there are many traditions from our Imams, peace is upon them, that point to this understanding. These traditions point to the fact that the Imams’ souls were created from the sublime clay (ṭīnat ʿlliyīn) before the creation of heaven and earth, and that their bodies were created from clay that is lower in rank than that one. In the same manner, the souls of their followers were created from the clay of Imams’ bodies, and the hearts of their opponents were created from clay of sijjīn and the hearts of their followers were created from the clay of their bodies. This tradition, and other similar to it, is explicit in pointing to the fact that there is a previous instantiation of the human being before the material instantiation.

(321) Dan terdapat banyak riwayat dari Imam kita, salam atasnya, yang menunjukkan pemahaman ini. Riwayat-riwayat ini menyatakan bahwa jiwa Imam tercipta dari tanah suci sebelum penciptaan langit dan bumi, dan mereka yang badannya tercipta dari tanah dengan derajat lebih rendah. Dengan cara yang sama, jiwa para pembela tercipta dari badan tanahnya Imam, dan hati para musuh tercipta dari tanah sijjiin [terendah] dan hati para pengikut mereka tercipta dari tanahnya badan mereka. Riwayat ini, dan yang serupa, menunjukkan bahwa ada mode eksistensi yang lebih awal dari mode material manusia.

3. Wacana Analisa

Kekuatan jiwa manusia lebih besar dari yang disangka. Jiwa mampu berpikir kreatif, mengembangkan imajinasi kreatif, menembus batas-batas. Lebih dari itu, jiwa manusia masih terus eksis ketika badan manusia mati. Awalnya, jiwa berkembang dari materi, bekerja melalui badan, akhirnya transenden lebih tinggi dari badan.

3.1 Alternatif Awal Mula Jiwa

Untuk memudahkan analisa, ada baiknya, kita survey beberapa pandangan tentang asal mula jiwa. Berikut saya kutipkan tulisan saya yang waktu itu membahas filsafat jiwa dari Suhrawardi.

Problem asal mula jiwa sudah menjadi tanda tanya abadi sampai masa kini. Pendekatan materialisme murni, atau bald naturalism, sulit menemukan solusi. Andai naturalisme berhasil menjawab asal mula jiwa, tetapi, sulit menjelaskan mengapa jiwa bisa bersikap spontan atau freedom? Cahaya sejati akan menjadi solusi. Bagaimana pun, peran materi atau badan manusia memang tetap penting untuk menghadirkan jiwa manusia.

Mari kita coba perhatikan beberapa alternatif solusi asal mula jiwa.

(a) Alam ideal Plato menyatakan bahwa jiwa sudah eksis di alam ideal. Kemudian, jiwa ini masuk ke badan manusia, mengendarai badan, tiba waktunya, meninggalkan badan untuk melanjutkan perjalanan abadi. Jiwa bagai seorang pilot. Badan bagai sebuah pesawat. Pilot dari luar masuk ke dalam pesawat, kemudian mengendarai pesawat. Setelah cukup perjalanan bersama pesawat, kemudian, pilot meninggalkan pesawat.

(b) Naturalisme atau sains menyatakan bahwa jiwa adalah gejala dari alam materi. Yang benar-benar nyata adalah materi atau sebut saja sains fisika. Jiwa muncul akibat dari interaksi materi-materi sel otak dengan materi-materi lainnya. Kita bisa mempelajari asal mula kesadaran jiwa dengan mempelajari cara kerja sel otak manusia. Psikologi, ilmu jiwa, perlu mempelajari cara kerja otak mekanis dihubungkan dengan reaksi bahan-bahan obat kimia. Dengan itu semua, kita bisa memahami jiwa. Lebih dari itu, kita bisa mengendalikan jiwa. Dari mana asal mula jiwa pada manusia pertama? Kita bisa mempelajarinya berdasar teori evolusi. Kita tahu bahwa teori evolusi juga mengalami evolusi.

Kita perhatikan, naturalisme sains tampak berlawanan dengan idealisme Plato. Wajar saja, banyak pemikir yang mengajukan jalan tengah di antara mereka. Bahkan, Aristo, murid Plato, sudah mengajukan solusi jalan tengah. Jiwa adalah bentuk penyempurnaan badan.

(c) Jiwa adalah enteleki (penyempurnaan) badan. Awalnya adalah badan. Kemudian badan bergerak, berubah, dan menyempurna. Hasil penyempurnaan ini adalah jiwa manusia. Selanjutnya, jiwa itu sendiri terus bergerak menyempurna – dengan merenung dan perilaku moral, misalnya. Sampai tingkat penyempurnaan tinggi, jiwa mampu hidup terbebas dari badan. Jiwa menjadi abadi setelah kematian badan.

(d) Teori emergent menyatakan bahwa jiwa muncul “emerge” begitu saja dari interaksi, relasi, dan koordinasi bagian-bagian yang berupa materi. Meski bagian-bagian dari jiwa adalah materi-materi badan, tetapi, sifat-sifat jiwa tidak bisa direduksi menjadi sifat-sifat materi. Misal, jiwa yang berpikir kreatif tidak bisa direduksi menjadi materi-materi sel otak. Sifat “emerge” dari jiwa adalah baru dan berbeda dari sifat penyusunnya yang materi. Seperti mobil adalah alat transportasi yang nyaman. Tidak bisa mobil ini direduksi menjadi roda, tempat duduk, bensin, dan kemudi. Menjumlahkan roda dengan bensin tidak akan menghasilkan transportasi. Kemampuan transportasi adalah sifat baru yang muncul “emerge” dari komponen-komponennya. Demikian juga dengan jiwa.

(e) Jiwa konseptual lahir ketika manusia mampu berpartisipasi secara konseptual. Ketika masih bayi, atau janin, jiwa manusia masih bersifat potensial. Jiwa baru menjadi jiwa seutuhnya ketika mampu berpartisipasi di alam konseptual, terutama, berupa bahasa. Awalnya, jiwa adalah anggota alam biasa sebagaimana batu, tumbuhan, dan hewan lainnya. Seiring perjalanan sejarah, seorang bocah belajar bahasa, kemudian memahami beragam konsep: adil, baik, buruk, bagus, jahat, salah, benar, dan lain-lain. Saat itu, seorang bocah mulai memiliki jiwa seutuhnya. Dengan demikian, jiwa manusia adalah anggota alam raya yang merupakan produk kompleks dari perjalanan sejarah. Bagaimana pun, alam konseptual jiwa berbeda dengan alam materi. Alam jiwa adalah alam normatif yang bebas untuk menentukan baik dan buruk. Sedangkan, alam materi adalah alam yang tunduk dengan aturan hukum alam.

Beberapa alternatif teori di atas membantu kita memahami asal mula jiwa, khususnya jiwa manusia, dengan pendekatan cahaya sejati berikut ini.

Asal mula jiwa adalah cahaya sejati tetapi penentunya adalah alam materi. Akibatnya, jiwa berasal dari materi. Kemudian, jiwa menjalani karir bersama materi. Sampai, akhirnya, jiwa kembali ke cahaya sejati menjadi abadi terbebas dari ikatan materi.

Dinamika cahaya sejati terjadi antara dominating-light dan managing-light. Pada tahap akhir, managing-light berperan besar mengatur dinamika cahaya. Semetara, dominating-light terus-menerus memancarkan kekuatan cahaya. Managing-light bermaksud mengatur materi melalui cahayanya. Tetapi, pengaturan semacam itu tidak bisa terjadi. Perlu relasi yang sesuai antara managing-light dengan materi. Kita tahu, bahwa sudah ada jiwa manusia sebelum jiwa diri kita, yaitu jiwa ibu dan bapak kita. Dengan demikian, managing-light meliputi cahaya proto-humanity secara universal. Untuk kasus manusia pertama, cahaya proto-humanity bersifat murni. Bagaimana pun, managing-light berhasil mewakili seluruh kompleksitas dinamika cahaya sejati.

Dari sisi materi, perlu kapasitas yang tepat untuk menghadirkan jiwa manusia yang baru. Sel sperma dari ayah cukup dekat dengan karakter dominating-light tetapi tidak memadai untuk menghasilkan jiwa. Sel telor dari ibu lebih sempurna karena bersifat managing-light. Bagaimana pun, sel telor belum siap menghadirkan jiwa.

Materi masih perlu terus bergerak, lebih sempurna, agar memiliki kapasitas menghadirkan jiwa. Sel sperma bertemu sel telur membentuk janin awal. Pertemuan karakter dominating dengan managing, pada akhirnya, menghasilkan karakter managing-light pada janin. Hal ini lebih tepat. Janin bertumbuh kembang di rahim ibu.

Perkembangan janin membuatnya siap untuk menghadirkan jiwa. Managing-light datang untuk mengatur, management, janin. Tetapi, managing-light tidak berhasil membangun relasi dengan janin. Pihak janin terus mengembangkan kapasitas untuk lebih berkembang. Janin berhasil membangun relasi dengan managing -light. Relasi ini adalah commanding-light yaitu awal dari jiwa manusia. Jadi, di tahap ini, janin material berhasil menghadirkan jiwa manusia.

Mari kita ringkas proses awal mula jiwa manusia dengan solusi cahaya sejati.

(a) Cahaya sejati berinteraksi dinamis dari Cahaya Maha Cahaya, dominating-light, sampai managing-light. Semua dinamika ini menjadi persiapan untuk menghadirkan jiwa.

(b) Alam materi bergerak menyempurna dengan mempertemukan sel sperma dan sel telor membentuk janin. Perkembangan kapasitas janin berhasil membangun relasi dengan managing-light yaitu jiwa manusia berupa commanding-light.

(c) Jiwa manusia adalah perkembangan dari janin material sebagai relasi dengan managing-light sampai Cahaya Maha Cahaya. Jadi, jiwa memiliki relasi yang kuat dengan materi dan cahaya sejati.

Jiwa memiliki kapasitas reseptif, imajinatif, dan rasional. Kapasitas reseptif memungkinkan jiwa berinteraksi dengan alam sekitar. Kapasitas rasional bebas menerapkan kemampuan freedom miliknya. Interaksi ini menghasil konsep-konsep imajinatif oleh jiwa.

3.2 Dari Materi Melebihi Materi

Sadra sepakat dengan Aristo dan Suhrawardi bahwa asal mula jiwa adalah penyempurnaan dari materi. Awalnya, jiwa adalah forma dari badan janin. Selanjutnya, jiwa adalah diferensia bagi genus badan manusia. Pergeseran dari forma menjadi diferensia berlangsung lembut.

Sebagai forma dari badan, jiwa selalu menyatu dengan badan. Forma tidak bisa terpisah dari materi badan manusia. Sebagai diferensia, jiwa adalah pembeda dari badan-badan manusia yang bersifat umum. Lebih dari itu, diferensia adalah penentu bagi genus. Diferensia meliputi genus. Genus, yaitu badan, bisa eksis karena ada diferensia, yaitu jiwa. Gradasi eksistensi dan gerak substansial menjadi dasar ini semua. Eksistensi yang lemah, yaitu genus badan, membutuhkan eksistensi yang kuat, yaitu diferensia jiwa. Tetapi tidak berlaku sebaliknya. Sementara, gerak substansial menjamin bahwa gerak badan, dan gerak jiwa, selalu menuju ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi.

Konsekuensi logis lanjutan adalah jiwa manusia tetap hidup dengan matinya badan manusia. Karena jiwa adalah diferensia bukan sekedar forma. Tentu saja, pemikir besar sejak jaman dulu, misal Plato dan Aristo sampai Farabi dan Suhrawardi, yakin bahwa jiwa tetap abadi setelah kematian badan. Tetapi, argumen Sadra memang paling istimewa.

Argumen Suhrawardi termasuk yang terbaik. Jiwa tetap eksis setelah kematian badan karena sebab eksistensi jiwa adalah Tuhan Sang Cahaya Maha Cahaya. Badan bukanlah sebab bagi eksistensi jiwa. Karena Tuhan tetap eksis, maka akibatnya tetap eksis, yaitu jiwa manusia tetap eksis.

Immanuel Kant perlu argumen moral untuk membuktikan keabadian jiwa setelah kematian badan. Tuhan Maha Adil. Di dunia ini, kita melihat banyak yang tidak adil. Orang-orang yang baik banyak yang hidupnya miskin. Sebaliknya, beberapa orang jahat justru hidup pesta pora berfoya-foya. Jika jiwa manusia hancur setelah matinya badan maka tidak adil. Jadi harus ditolak ide hancurnya jiwa. Kesimpulannya, jiwa pasti abadi setelah badan mati agar dapat memperoleh keadilan yang murni.

Tentu saja, Sadra juga yakin terhadap eksistensi dan Maha Adilnya Tuhan. Tetapi, cukup dengan argumen Sadra di atas kita bisa membuktikan keabadian jiwa: (1) gradasi eksistensi; (2) gerak substansial; (3) penyempurnaan forma menuju diferensia.

3.3 Organ-Organ Jiwa

Jiwa, sebagai diferensia, mengambil alih dominasi badan. Langkah ini menyelesaikan banyak problem sulit, termasuk, problem dari filosofi pikiran.

Sains naturalis menganggap mata adalah organ penglihatan bagi badan. Kita perlu merevisinya. Mata adalah organ penglihatan bagi jiwa. Badan adalah media bagi jiwa. Demikian juga seluruh organ-organ lain. Semua organ bukanlah organ dari badan. Semua organ adalah organ bagi jiwa.

David Chalmers(1966 – ) mengajukan dua problem bagi filosofi pikiran. (1) Hard problem: bagaimana kita bisa mengalami kesadaran sebagai subyek; bagaimana kita bisa sadar saya ini adalah saya? (2) Easy problem: bagaimana otak bisa mengolah data-data yang masuk melalui mata, kemudian, muncul citra atau impresi obyek eksternal; bagaimana otak memunculkan citra pohon ketika kita melihat pohon di depan rumah?

Problem itu sudah berlalu lebih dari 25 tahun. Sampai sekarang, tidak ada solusi yang memadai. Tentu saja, tidak akan pernah tercapai solusi yang memadai. Karena filosofi pikiran berasumsi bahwa mata adalah organ bagi badan. Mereka perlu mengubah asumsi, yaitu, asumsinya menjadi mata adalah organ bagi jiwa. Kita akan membahas lebih detil tema visi di bagian bawah: visi eksistensial.

3.4 Imajinasi adalah Pusat

Dari seluruh kekuatan jiwa, fakultas imajinasi adalah paling utama. Kita bisa menganalisis ini dari naturalisme sains mau pun dari eksistensialisme.

Sains menunjukkan bahwa cahaya dari obyek eksternal, misal pohon, masuk ke mata, diolah sistem syaraf. Kemudian, otak memunculkan imajinasi citra pohon. Jiwa memahami citra pohon, dalam imajinasi itu, sebagai ada pohon di alam eksternal. Pengenalan obyek suara, atau lainnya, secara prinsip sama saja. Gelombang suara masuk ke telinga, lalu, diolah oleh otak. Otak memunculkan citra atau sinyal suara. Kemudian, jiwa mengenali sinyal imajinasi itu sebagai suara. Jadi, fakultas imajinasi adalah paling utama.

Eksistensialisme juga menempatkan imajinasi sebagai paling utama. Ada subyek yaitu jiwa kita. Ada obyek, misal pohon di depan kita. Ada konteks, atau latar, atau situasi, yang saling berhubungan. Terjadi individuasi eksistensi di antara mereka. Fakultas imajinasi dari subyek menciptakan imajinasi pohon. Kita memahami imajinasi tersebut adalah pohon.

Kant mengusulkan pendekatan sintesa yang juga mengutamakan kekuatan imajinasi. Organ reseptor, misal mata, menerima sinyal-sinyal yang bersesuaian dari alam sekitar. Berdasar sinyal ini, fakultas imajinasi menciptakan sebuah citra, misal citra pohon. Akal, atau jiwa manusia, menerapkan konsep-konsep kepada citra pohon itu dan, akhirnya, akal memahami bahwa obyek tersebut adalah sebuah pohon.

Pendekatan sintesa dari Kant dan eksistensialisme meyakini bahwa kekuatan imajinasi adalah transendent(al) terhadap materi. Sementara, sains naturalisme meyakini bahwa imajinasi adalah efek dari materi. Bagaimana pun mereka sepakat bahwa fakultas imajinasi adalah paling penting.

Kita bisa melanjutkan analisis bahwa jiwa adalah diferensia dari badan sehingga fakultas imajinasi, fakultas jiwa, memiliki mode eksistensi yang lebih tinggi dari materi. Konsekuensinya, ketika jiwa terpisah dari badan, kematian badan, maka kekuatan imajinasi makin jernih. Imajinasi mampu menciptakan realitas secara kreatif tanpa halangan materi. Fakultas imajinasi menjadi kunci penghubung antara mode eksistensi material, di alam ini, dengan mode eksistensi yang lebih tinggi yaitu mode psikis dan intelektual.

3.5 Visi Eksistensial

Kali ini, kita akan mengambil kasus khusus yaitu penglihatan oleh kita atau visi.

(a) Visi adalah realitas eksistensial yang terindividuasi secara konkret. “Saya melihat pohon” adalah realitas nyata.

(b) Visi adalah aktivitas jiwa bukan aktivitas materi. Materi diperlukan hanya sebagai kondisi.

(c) Ketika terjadi visi “Saya melihat pohon” maka, saat itu juga, jiwa menciptakan imajinasi “Saya melihat pohon”.

(d) Ketika “Saya melihat pohon” memang benar saya melihat pohon yang ada di alam eksternal. Asumsikan sebagai kasus visi sejati, bukan ilusi atau delusi. Jadi, eksistensi konkret.

(e) Tetapi, jiwa menciptakan dan melihat imajinasi “Saya melihat pohon.”

(f) Kita berada dalam kompleksitas makrokosmos, makros, “Saya melihat pohon” di alam eksternal dan mikrokosmos, mikros, “Saya melihat pohon” di alam internal imajinasi.

(g) Mikros identik dengan makros.

Beberapa orang sepakat dan menerima pernyataan (g) mikros identik dengan makros. Beberapa orang lainnya, misal Fazlur Rahman, masih penasaran: “Bagaimana hubungan mikros dengan makros? Bagaimana hubungan imajinasi dengan realitas?”

Sadra menjawab, “Hubungan tersebut adalah aksidental.”

Rahman kecewa dengan jawaban tersebut. Rahman menyebut Sadra sebagai realis idealis. Realis karena mengakui alam eksternal sebagai eksistensi obyektif. Sadra dan murid-muridnya akan setuju ini. Idealis karena yang diketahui adalah imajinasi, atau mikros. Murid-murid Sadra bisa saja keberatan.

Lalu, jawaban apa yang diharapkan oleh Rahman? Relasi substansial? Relasi esensial? Relasi eksistensial? Saya tidak menemukan rekomendasi dari Rahman.

Solusi Sadra berupa relasi aksidental memberi keuntungan. Karena hanya aksidental maka mikros bisa melepaskan makros bila diperlukan. Ketika mikros sudah berkembang baik, makros tidak penting lagi. Jiwa bisa hidup di dunia mikros yang sudah berkembang itu. Hal ini terjadi ketika jiwa meninggalkan badan dalam peristiwa kematian badan. Jiwa terus maju bersama mikros dalam mode-psikis dan mode-intelektual. Jiwa bisa hidup di surga tanpa terbatasi oleh alam materi.

Rahman, barangkali, bisa mengusulkan solusi berupa relasi eksistensial sebagai mana konsep dasein dari Heidegger. Dasein, atau manusia ontologis, selalu peduli sebagai being-in-the-world. Manusia tidak bisa hidup hanya dengan dirinya sendiri. Manusia selalu berada dalam dunia. Andai manusia bisa lepas dari dunia ini, maka, dia akan berada dalam dunia yang lain. Relasi mikros dan makros adalah relasi eksistensial yang bersifat niscaya. Apakah Sadra akan setuju?

Kita akan mempertimbangkan solusi Hegel, dulu, berupa dialektika.

3.6 Dialektika Futuristik

Murid-murid Sadra, tampaknya, tidak setuju dengan Hegel. Lantaran Hegel menggunakan istilah kontradiksi sebagai landasan ontologi. Sementara, murid-murid Sadra lebih mendukung konsep non-kontradiksi sesuai logika Aristo. Andai, kita bersedia mendalami dialektika Hegel, maka, akan menemukan banyak ide menarik.

Tesis berdialektika dengan anti-tesis menghasilkan sintesis. Gambaran dialektika sintesis, seperti di atas, sering dikenal umum meski tidak tepat untuk menggambarkan dialektika Hegel. Di sini, saya juga akan memodifikasi dialektika Hegel agar lebih tepat menggambarkan relasi antara mikros dan makros adalah relasi dialektika.

(1) Realitas eksistensi adalah “Saya melihat pohon”. Eksistensi ini terindividuasi secara konkret lengkap dengan subyek, obyek, dan konteks. Makros. Selanjutnya, manusia berpikir.

(2) Esensi adalah yang paling utama dari realitas eksistensi di atas. Banyak aspek-aspek aksidental dari realitas perlu dibersihkan agar tersisa aspek esensial saja. Mikros. Terjadi pertentangan, Hegel menyebutnya kontradiksi, antara mikros dan makros.

(3) Becoming. Dialektika antara mikros yang kembali kepada makros menghasilkan sintesis baru yang merangkul mikros dan makros yaitu becoming. Tetapi, becoming ini adalah realitas eksistensi pada level yang lebih tinggi. Jadi, becoming adalah eksistensi itu sendiri. Proses kembali ke (1) realitas eksistensi.

Jadi relasi antara imajinasi dan realitas, antara esensi dan eksistensi, antara mikros dan makros, adalah relasi dialektika. Jika kita memulai dialektika dengan mengutamakan realitas eksistensi seperti di atas, maka, relasi dialektika adalah relasi eksistensial. Beberapa tulisan Hegel selaras dengan pandangan ini.

Tetapi, sebagian besar karya Hegel justru menunjukkan dialektika dimulai dari spirit, dimulai dari mikros. Spirit menemui anti-spirit, mereka berdialektika menghasilkan sintesis becoming yang merupakan spirit-baru. Dialektika berlanjut terus menuju spirit absolut. Dalam perspektif ini, spirit adalah esensi. Dengan demikian, kita bisa membaca relasi dialektika sebagai relasi esensial – dan relasi eksistensial.

Mikros adalah identik dengan makros. Relasi esensial, atau pun relasi eksistensial, antara mikros dan makros adalah relasi identitas atau relasi transparansi diri sendiri. Sehingga, kontradiksi hanya terjadi dari status mikros sebagai esensi dengan makros sebagai eksistensi. Di masa lebih awal, Porphyry (234 – 305) mengklaim identitas antara subyek akal dan obyek akal. Intellect identik dengan intelligible. Sadra setuju dengan konsep identitas ini.

Selanjutnya, kita akan membahas dasein dari Heidegger yang dengan tegas menyatakan relasi mikros dan makros adalah relasi eksistensial. Hanya saja, relasi eksistensial bisa dalam mode otentik atau mode tidak otentik.

Dasein adalah eksistensi yang peduli dengan eksistensi dirinya selalu dalam dunia, being-in-the-world, dan dalam rangkulan masa depan, masa lalu, dan masa kini. Dengan demikian, manusia ontologis memiliki relasi eksistensial yang sangat kuat dengan dunia dan waktu. Kesadaran diri seseorang sebagai subyek, yang berbeda dengan obyek eksternal, adalah reduksi yang tidak memadai terhadap dasein, being-in-the-world.

(a) Realitas adalah being atau eksistensi terindividuasi secara konkret. Tetapi, kita perlu bertanya apa makna-realitas? Apa makna-being? Apa makna-konkret? Apa makna-eksistensi? Apa makna-ada?

(b) Kita perlu memilih kajian awal terhadap realitas eksistensi. Eksistensi mana yang bisa menjadi awal kajian? Kita memilih dasein yaitu eksistensi yang bertanya tentang makna-eksistensi. Dan spesies manusia adalah eksistensi yang bisa bertanya tentang eksistensi. Jadi, manusia adalah dasein. Awal kajian kita adalah dasein sebagai manusia ontologis.

(c) Dasein sudah ada dalam dunia, being-in-the-world. Dasein, termasuk diri kita, tidak bisa membuktikan eksistensi dunia. Karena dunia sudah selalu mendahului bukti yang kita ajukan. Atau, setiap bukti justru membutuhkan eksistensi dunia. Tugas kita adalah memaknai dunia dan memaknai semua yang ada.

(d) Dasein memandang dunia sebagai (1) ready-at-hand yang bermakna bagi dasein. Kemudian, dasein memikirkan dunia sebagai (2) present-at-hand sebagai konsep umum. “Saya melihat pohon” adalah eksistensi konkret yang menghasilkan buah-buahan bagi saya. Dalam kasus ini, pohon adalah (1) ready-at-hand. Kemudian saya berpikir pohon adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang beda dengan binatang. Konsep pohon sebagai tumbuhan adalah (2) present-at-hand.

(e) Dasein memiliki relasi eksistensial dengan (1) ready-at-hand. Sementara, dengan (2) present-at-hand dasein terhubung secara aksidental.

(f) Dasein memaknai dunia berdasar horison waktu – masa depan, masa lalu, dan masa kini. Masa kini memaparkan suatu eksistensi dan menyembunyikan eksistensi lain – masa depan dan masa lalu. Bagaimana pun semua eksistensi memang eksis baik eksistensi masa kini, masa depan, mau pun masa lalu. Untuk menekankan nilai penting masa depan, saya menyebut dasein berorientasi futuristik.

(g) Mikros adalah dasein dan makros adalah dunia. Mikros terhubung dengan makros secara eksistensial bila makros adalah ready-at-hand; (1) mode otentik . Tetapi, hanya terhubung aksidental jika makros adalah present-at-hand; (2) mode tidak otentik.

Kesimpulan kita: relasi antara imajinasi yang identik dengan realitas adalah relasi eksistensial. Relasi antara mikros yang identik dengan makros adalah relasi eksistensial. Relasi antara esensi wujud mental yang identik dengan eksistensi konkret adalah relasi eksistensial. Hanya saja, manusia bisa memilih relasi aksidental terhadap dunia. Mereka terfokus, tergoda, kepada realitas-realitas aksidental. Kita akan membahas tema ini lebih detil pada “Bagian 3: Masa Depan Jiwa.”

Kita perlu mencatat perbedaan antara (1) dunia dan (2) lingkungan. Dunia melibatkan peran manusia meliputi alam dan budaya. Sedangkan lingkungan adalah alam secara alamiah. Kucing tidak eksis dalam dunia tetapi eksis dalam lingkungan. Hanya manusia yang hidup dalam dunia, dalam arti, sepenuhnya. Manusia menciptakan bahasa, matematika, seni, hukum, teknologi, politik, dan budaya secara luas, kemudian, manusia hidup di dalamnya, bersamanya.

3.7 Lingkaran Status Jiwa

Umumnya, kita memahami, jiwa manusia hadir di dunia ketika badan janin sudah siap secara sempurna.

(1) Mode eksistensi material. Jiwa manusia hadir di dunia material seperti kita saat ini. Jiwa memanfaatkan kekuatan badan untuk berhubungan dengan dunia material eksternal. Jiwa merasakan berbagai kekurangan, lapar, lemah, bodoh, derita, dan lain-lain, kemudian berjuang untuk meraih kesempurnaan.

(2) Mode eksistensi psikis. Mode psikis merupakan eksistensi yang lebih tinggi dari eksistensi material. Pengetahuan dan imajinasi berada dalam mode psikis. Tetapi, karena kita masih berada di alam material maka alam material adalah penghalang dan, sekaligus, sarana untuk kesempurnaan mode psikis. Suatu saat nanti, ketika jiwa sudah terbebas dari ikatan material maka mode psikis menjadi terang-benderang.

(3) Mode eksistensi intelektual. Jiwa meraih kesempurnaan tertinggi dalam mode intelektual.

Menariknya, Sadra meyakini bahwa jiwa manusia sebelum berada di mode (1) material, jiwa sudah pernah berada di mode (2) psikis dan mode (3) intelektual. Sadra mendasarkan argumen dengan membuat interpretasi terhadap Plato dan ajaran agama. Dengan demikian, status mode jiwa manusia bersifat melingkar. (a) Pre-eksistensi, yang berada, dalam mode psikis dan intelektual. (b) Kemudian, lahir ke dunia, gerak masuk ke mode eksistensi material. (c) Dan akhirnya, meninggal dunia, kembali ke mode eksistensi psikis dan intelektual. Kalijaga mengajarkan konsep “Sangkan Paraning Dumadi.” Kita berasal dari Tuhan dan sedang menempuh perjalanan menuju Tuhan.

Lanjut ke: Bagian 3: Masa Depan Jiwa
Kembali ke: Kapital Jiwa

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

3 Comments

Tinggalkan komentar