Siklus Pemimpin: Leadership – Leaderless – Leaderness

Presiden Jokowi akan lengser 2024 secara konstitusional. Begitulah hebatnya demokrasi. Siklus pemimpin terjadi secara wajar. Tidak perlu kudeta. Tidak perlu pemakzulan. Tidak perlu protes. Tahun 2024, masa jabatan presiden habis maka presiden Jokowi lengser dari jabatan presiden untuk digantikan oleh presiden terpilih.

Rakyat Indonesia berpesta demokrasi 2024 untuk memilih pemimpin baru. Ada beberapa nama yang sudah mulai muncul: Anies, Ganjar, dan Prabowo. Biaya trilyunan rupiah disediakan untuk proses pemilu yang diharapkan jujur dan adil. Seberapa pentingkah pemilihan pemimpin?

Sangat penting. Memilih pemimpin yang jujur adil adalah sangat penting. Sayangnya, kita sering terjebak melihat pemimpin hanya melalui kaca mata leadership. Kita perlu menambah teleskop dan mikroskop untuk melihat pemimpin melalui lensa leaderless dan leaderness.

1. Leadership
2. Leaderless
3. Leaderness
4. Apa Perlu Ada Presiden atau Raja?
5. Sembilan Solusi
6. Siklus Lengkap Leaderness
7. Diskusi Lanjutan

Soekarno dengan penuh karisma membawa Indonesia merdeka. Mendengar pidato Soekarno, rakyat Indonesia terinspirasi untuk berjuang merebut kemerdekaan. Bahkan pencopet, misal Nagabonar, rela mempersembahkan jiwa raga demi Indonesia merdeka ketika mendengar pidato Soekarno. Leadership Soekarno adalah gaya kepemimpinan karismatik. Bagaimana dengan leaderless dan leaderness? Kita perlu mengkajinya.

1. Leadership

Ketika kita menyebut pemimpin maka pikiran kita memaknainya sebagai leader dan leadership. Makna ini sudah tertanam secara kuat dalam masyarakat. Sehingga, secara alamiah, kita menganggap makna itu sudah benar. Bahkan, kadang, kita merasa makna itu, leader dan leadership, sebagai satu-satunya yang benar.

Leader, atau pemimpin, adalah orang yang bisa mempengaruhi orang lain, yaitu, pengikut atau anggota atau rakyat atau follower. Sedangkan leadership, atau kepemimpinan, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pemimpin. Akibatnya, kajian leadership akan fokus kepada proses dan hasil bagaimana menghadirkan kepemimpinan yang efektif.

Ada pertanyaan yang belum dijawab. Bahkan belum diajukan.

(1) Apakah kepemimpinan atau leadership itu benar? Apakah valid? Apakah sah?

(2) Jika ada leadership yang sah maka bagaimana justifikasinya, bagaimana menguji keabsahannya, validitasnya?

(3) Bagaimana bentuk leadership terbaik? Bagaimana mengujinya?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mengajak kita untuk memikirkan siklus pemimpin melalui leadership – leaderless – leaderness.

2. Leaderless

Tanpa pemimpin atau leaderless adalah situasi tanpa ada pemimpin. Bukankah itu lebih alamiah?

Ketika siswa baru di SMP berkumpul di kelas 7 maka tercipta leaderless, yaitu, kelompok tanpa pemimpin. Kemudian, seorang guru datang. Guru meng-klaim dirinya sebagai leader. Berlanjut, di antara siswa, seseorang menjadi ketua kelas atau sebagai leader.

Partai politik, awalnya, terdiri dari beberapa orang tanpa pemimpin, leaderless. Diskusi antara mereka, kemudian, memilih seorang ketua parpol sebagai leader. Kita mengenal pernyataan umum yang bagus, “Jika ada tiga orang keluar untuk bepergian, hendaknya mereka mengangkat seorang dari mereka sebagai pemimpin.”

Kita masih bisa menambahkan beragam contoh di banyak bidang. Leaderless mendahului leadership secara alamiah. Bagaimana pun, situasi leaderless akan memicu leaderness untuk menghasilkan leadership. Siklus leader, pemimpin, menjadi lengkap sebagai lingkaran sempurna.

Karena leaderless mendahului leadership, maka, apakah leaderless lebih utama dari leadership?

3. Leaderness

Leaderness, atau pemimpinan, adalah dinamika pemimpin dalam situasi leaderless. Jadi, leaderness adalah awal terbentuknya seorang pemimpin. Setelah tercipta leaderness, berikutnya, pemimpin baru bisa menerapkan leadership. Dengan demikian, pada posisi ini, kita bisa mulai menjawab pertanyaan awal.

(1) Apakah kepemimpinan atau leadership itu benar? Apakah valid? Apakah sah?

Jawab: bisa benar dan bisa salah. Dengan demikian, leadership bisa ditolak pada situasi tertentu. Dan bisa diterima pada situasi yang lain.

(2) Jika ada leadership yang sah maka bagaimana justifikasinya, bagaimana menguji keabsahannya, validitasnya?

Jawab: kita bisa menguji validitas leadership dari sudut pandang “korban.” Karena leader bebas menerapkan atau mencegah leadership. Tetapi, “korban” tidak punya pilihan untuk menolak kekuatan leadership.

Ilustrasi, Anda sedang jalan-jalan bersama anak Anda yang masih kanak-kanak. Tiba-tiba, Anda menarik tangan anak Anda dengan kuat lalu memeluknya. Apakah tindakan Anda bisa dibenarkan? Kita analisa dengan siklus pemimpin: leaderless-leaderness-leadership.

(a) Awalnya, leaderless, tidak ada pemimpin. Anda jalan santai dengan anak tanpa ada klaim pemimpin salah satunya – dalam situasi wajar.

(b) Berikutnya, leaderness, Anda mengambil inisiatif menjadi pemimpin.

(c) Terakhir, leadership, Anda menerapkan peran pemimpin dengan “memaksa” merangkul anak secara tiba-tiba. Mengapa? Karena Anda melihat ada mobil melaju dengan kencang dari belakang. Dengan menarik dan merangkul anak, Anda menyelamatkan jiwanya. Leadership Anda mendapat justifikasi yang valid.

Tetapi, jika tidak ada mobil kencang, tidak ada ancaman apa pun, maka leadership Anda tidak valid. Leadership Anda salah.

Leader berkewajiban untuk membuktikan justifikasinya sebagai leader; apakah valid. Tanpa justifikasi, kita perlu kembali ke situasi dinamis leaderless menuju leaderness.

(3) Bagaimana bentuk leadership terbaik? Bagaimana mengujinya?

Jawab: Ada beragam bentuk leadership sehingga tersedia beragam cara untuk mengujinya. Karena itu, siklus leadership adalah dinamika abadi tanpa henti. Lengkap dengan beragam dilema. Kita bisa mengembangkan aneka teori dan model leadership yang bersifat univesal. Realitasnya, leadership bersifat partikular konkret sesuai situasi masing-masing. Sehingga justifikasi bentuk leadership terbaik akan melibatkan justifikasi partikular.

4. Apa Perlu Ada Presiden atau Raja?

Tidak perlu. Jawaban singkat: tidak perlu ada presiden; tidak perlu ada raja. Terutama jika makna presiden dan makna raja adalah seperti yang dipahami secara umum. Kita tidak memerlukan presiden atau raja. Andai tetap memerlukan presiden atau raja, maka, kita perlu makna baru tentang presiden dan raja. Demikian juga, tidak perlu gubernur; tidak perlu bupati; tidak perlu direksi. Bukankah akan menjadi anarkis?

Tepat, itu yang perlu kita kaji: anarkisme. Istilah anarkis tampak ngeri dan negatif. Tetapi, makna anarkis seperti itu tidak selalu tepat. Karena anarkis adalah tidak ada leader atau setara dengan situasi leaderless. Kita tahu, situasi leaderless bisa lebih bagus dari leadership yang banyak korupsi.

Munculnya pemimpin, melalui leaderness, perlu justifikasi. Hanya jika leader memberi manfaat terbaik kepada “korban” atau kepada “rakyat” maka leader bisa diterima. Jika tidak memberi manfaat maka leader ditolak dan kembali ke situasi leaderless. Apa lagi, leader korupsi, justru harus dibersihkan.

Pemandu Wisata

Pemimpin adalah pemandu; pemimpin adalah pemberi arah; pemandu wisata atau tour guide adalah contoh peran leader yang baik.

Adi, Budi, dan Cita hendak wisata ke kota Bandung dengan memilih Pak Pandu sebagai pemandu wisata. Pandu adalah pemimpin dalam contoh kita ini. Pandu memberi arahan kepada “rakyat” tentang potensi wisata di Bandung: Cihampelas, Sukajadi, Lembang, Pangalengan, dan lain-lain. Pengetahuan dan pengalaman Pandu menjadi sangat penting untuk mendukung peran sebagai pemimpin. Tujuan Pandu adalah memberikan pengalaman wisata terbaik kepada “rakyat” yaitu Adi, Budi, dan Cita. Tanpa Pandu, tanpa leader, pengalaman wisata terbaik itu sulit dicapai atau bahkan tidak bisa dicapai.

Kedaulatan pemimpin ada pada “rakyat” yaitu pada Adi, Budi, dan Cita. Pandu, sebagai pemimpin, mengajukan alternatif kunjungan pertama antara Sukajadi atau Lembang. Rakyat berdiskusi, termasuk diskusi bersama pemimpin, untuk menetapkan kunjungan pertama. Misal, rakyat sepakat bahwa kunjungan pertama adalah Lembang. Kemudian, Pandu mengarahkan perjalanan menuju Lembang. Kedaulatan ada pada “rakyat” kemudian pemimpin menjalankan kedaulatan “rakyat” untuk “rakyat”.

Situasi lebih menantang karena rakyat kadang sepakat dan kadang tidak sepakat.

[1] Konsensus adalah situasi di mana rakyat sepakat dalam menetapkan suatu keputusan. Selanjutnya, pemimpin mengarahkan seluruh daya untuk menjalankan konsensus tersebut dengan baik.

[2] Dissensus adalah situasi di mana rakyat tidak sepakat; atau rakyat sepakat untuk tidak sepakat. Misal, Adi ingin ke Lembang; Budi dan Cita ingin ke Sukajadi. Selanjutnya, sebagai pemimpin, Pandu menyediakan motor bagi Adi untuk ke Lembang; dan menyediakan mobil bagi Budi dan Cita untuk ke Sukajadi. Situasi dissensus lebih kompleks dari konsensus. Secara umum, kita akan sering menjumpai dissensus.

[3] Giliran adalah tidak tercapai konsensus mau pun dissensus. Hanya tersedia satu mobil saja; Adi ingin ke Lembang; tetapi Budi dan Cita ingin Sukajadi. Pandu, sebagai pemimpin, mengarahkan agar disepakati giliran: mengantar ke Sukajadi lalu ke Lembang atau, dibalik, ke Lembang lalu ke Sukajadi.

Bagaimana pun, akan terus terjadi dinamika konsensus, dissensus, giliran, dan beragam alternatif lainnya. Pemimpin otoriter bisa tergoda untuk memaksakan satu konsensus tertentu agar lebih efisien. Tetapi, kita tahu bahwa demokrasi lebih bernilai tinggi. Jadi, bersiaplah menghadapi dinamika abadi.

Pemimpin Doa

Dalam suatu acara, biasa, kita meminta salah satu orang untuk memimpin doa bersama. Selesai doa, kembali normal, tidak ada lagi pemimpin; leaderless, seperti sebelumnya.

Pemimpin doa adalah contoh pemimpin yang baik. Peran pemimpin adalah situasional; konkret; disesuaikan kebutuhan; bersifat sementara saja. Pemimpin memberi kebaikan kepada rakyat.

Perkembangan sains dan teknologi membuka peluang terbentuknya pemimpin terbaik: [1] pemimpin memberi arahan; dan kedaulatan ada pada rakyat; serta [2] pemimpin bersifat situasional, konkret, dan sementara.

Kita tidak perlu presiden; kita tidak perlu raja; kita tidak perlu pemimpin; kecuali pemimpin terbaik yang memberi kebaikan kepada rakyat seperti pemandu wisata dan pemimpin doa.

5. Sembilan Solusi

Apa yang bisa kita lakukan untuk memilih leader yang memberi manfaat kepada umat, khususnya, manfaat terbesar kepada rakyat, kepada para “korban”? Saya kira 9 ide dari Carne Ross (lahir 1966) patut kita kaji secara mendalam.

(a) Locate your convictions / Temukan Keyakinan Anda

Temukan apa keyakinan Anda yang sangat kuat. Temukan pemimpin terbaik versi Anda, melalui leaderness. Jika leader terbaik itu tidak ada, maka, seberapa yakin Anda kepada situasi leaderless? Temukan situasi leaderless yang paling kuat Anda yakini. Lebih khusus lagi, tetapkan bidang apa yang Anda pilih untuk memberi kontribusi terbaik kepada umat. Bidang ekonomi? Teknologi? Pendidikan? Hukum? Politik? Temukan keyakinan yang sangat kuat sehingga tidak ada apa pun yang bisa menggoyahkan keyakinan Anda. Bahkan, segala yang ada justru menguatkan keyakinan Anda.

Sayangnya, hanya Anda sendiri yang bisa menemukan keyakinan Anda. Maka temukan keyakinan itu. Orang lain, tentu saja, bisa membantu Anda.

Leader bukan hanya orang yang jauh di sana. Diri Anda sendiri adalah seorang leader. Konsekuensinya, Anda harus menjamin untuk memberi manfaat terbaik kepada para “korban” yaitu kepada “rakyat.” Jadi, tetapkan satu bidang atau beberapa bidang yang Anda penuh keyakinan; melalui bidang tersebut Anda akan memberi kontribusi terbaik; Anda bisa saja sebagai leader atau sebagai rakyat atau dalam situasi leaderless.

(b) Who’s got the money, who’s got the gun? / Siapa Pengendali Uang dan Senjata?

Sebelum bertindak, kaji secara mendalam siapa yang menguasai uang dan senjata?

Dengan internet, kita lebih mudah menemukan informasi tersebut – penguasa uang dan senjata. Anda perlu waspada, bahkan hati-hati, kepada mereka. Karena usaha Anda untuk mendukung leader yang baik bisa saja mengganggu aliran uang dan senjata mereka. Lebih dari itu, mereka bisa menyerang siapa saja dengan tangan mereka tetap bersih. Masih ingatkah Anda dengan kasus pembunuhan sang pejuang kemanusiaan almarhum Munir?

Susun strategi Anda dengan baik. Perjalanan Anda masih panjang – terutama jika melihat situasi awal abad 21 ini.

(c) Act as if the means are the end / Cara = Tujuan

Metode adalah tujuan itu sendiri. Cara Anda bertindak adalah tujuan itu sendiri.

Tujuan baik harus dicapai dengan cara yang baik. Tidak dibenarkan menghalalkan segala cara. Tujuan baik tidak boleh diraih dengan cara yang buruk. Karena suatu cara hanya sebuah metode bagi Anda; tetapi, suatu cara itu bisa menjadi tujuan banyak orang.

Lebih rumit lagi: jika ada orang, dengan cara jahat, berhasil melengserkan leader jahat, kemudian, memilih leader baru yang baik, maka, apa yang menjamin leader baru adalah baik? Sebelum berkuasa saja, leader baru menggunakan cara jahat, bagaimana jika sudah berkuasa?

Pastikan Anda punya tujuan baik dan mengejarnya dengan cara yang baik pula.

(d) Refer to the Cosmopolitan Criterion / Kriteria Warga Semesta

Kriteria kosmopolitan adalah kriteria yang bisa diterima oleh seluruh warga semesta. “Menghormati ibu” adalah kosmopolitan. Semua orang akan setuju bahwa “menghormati ibu” adalah baik. “Jangan korupsi” juga termasuk kosmopolitan. Semua orang akan sepakat tentang “jangan korupsi.”

“Naik jabatan” bukan kosmopolitan. “Menambah pendapatan” juga bukan kosmopolitan. Banyak orang yang tidak setuju. Karena, banyak orang bisa menjadi “korban.” Anda perlu justifikasi lebih hati-hati.

Ketika Anda “naik jabatan” misal menjadi direktur maka teman Anda menjadi tidak bisa menjabat direktur. Anda mengalahkan teman dalam kompetisi jabatan. Apakah Anda bisa menjamin hal itu berdampak baik kepada “korban”?

Jumlah uang beredar adalah konstan dalam rentang waktu tertentu yang relatif pendek. “Menambah pendapatan” berkonsekuensi mengurangi pendapatan orang lain. Bisa saja para pembesar sepakat menaikkan pendapatan melalui undang-undang atau lainnya. Bisa saja pemimpin menaikkan gaji pegawai negeri atau swasta semena-mena. Apakah itu baik bagi “korban”? Apakah itu baik bagi rakyat kecil?

Mudah sekali, bagi kita, untuk mengenali kriteria kosmopolitan. Situasi menjadi sulit bila ada pihak menyembunyikan kepentingan tertentu. Lebih sulit lagi bila pihak yang menyembunyikan kepentingan itu adalah diri kita sendiri. Solusinya adalah fokus kepada kebaikan untuk “korban.”

(e) Address those suffering the most / Perhatian Lebih Bagi Korban

Setiap orang, apa lagi pejabat, selalu punya dalih untuk setiap tindakan mereka. Mereka berdalih “menambah pendapatan” adalah agar bisa lebih baik melayani rakyat. “Menambah pendapatan” memang benar terjadi. Tetapi, “melayani rakyat” tidak terjadi.

Urutan berpikir perlu dibalik. Pastikan untuk “melayani rakyat” dengan lebih baik. Meski pun terjadi “menambah pendapatan” atau tidak; bagi pribadi Anda .

Kasus zonasi untuk menentukan sekolah SMP atau SMA merupakan contoh jelas para pemimpin gagal berbuat baik kepada “korban.” Dalih siswa terdekat mendapat sekolah terdekat sehingga hemat biaya serta mencegah polusi berkonsekuensi ribuan siswa sampai jutaan siswa tercabut hak mereka untuk sekolah dengan layak. Jutaan siswa menjadi “korban” zonasi. Pemimpin, dan kita, perlu lebih banyak peduli kepada “korban.”

(f) Consult and negotiate

Musyawarah dan negosiasi tetap menjadi solusi. Dialog adalah jalan keluar. Bahkan dialog adalah solusi itu sendiri. Semua pihak perlu dialog dari hati ke hati.

Dialog menambah kemampuan untuk saling memahami. Barangkali, kita salah sangka. Bisa juga, mereka salah sangka. Dialog bisa untuk klarifikasi. Memang, dialog menuntut sabar bagi semua pihak. Bukankah sabar itu baik?

(g) “Big picture, small deeds.” / Gambaran Besar Tindakan Kecil

Gambaran besar adalah wajib. Kita merencanakan masa depan cemerlang bagi seluruh semesta. Banyak kerikil-kerikil tajam dan tanjakan terjal di perjalanan adalah wajar. Kita tetap semangat menuju masa depan berbekal gambaran besar.

Tindakan kecil sama pentingnya. Sejatinya, semua tindakan kita adalah tindakan kecil. Ukuran badan kita adalah sangat kecil dibanding ukuran bumi, bulan, matahari, dan galaksi bimasakti. Sebaliknya, tindakan besar justru resiko besar. Karena, tindakan besar bisa berakibat buruk kepada banyak “korban.” Ingatkah Anda dengan bom atom yang jatuh di Nagasaki Hirosima pada tahun 1945?

(h) Use nonviolence / Hindari Kekerasan

Jelas: hindari kekerasan. Tujuan kebaikan perlu ditempuh dengan cara kebaikan juga. Kekerasan perlu dihindari. Karena, kekerasan hampir pasti merugikan “korban.” Sementara, tujuan leadership, yang berlandas leaderness, adalah untuk memberi kebaikan kepada “korban.”

Leadership bisa saja mendorong revolusi dalam beragam bentuk. Tetapi, leaderness hanya bisa mendorong revolusi tanpa kekerasan; Diawali dengan revolusi hati nurani.

(i) Kill the King! / Matikan Raja

Tujuan permainan catur adalah jelas: matikan raja lawan. Semua atraksi catur adalah bunga-bunga indah permainan. Gagal atau sukses suatu permainan catur ditentukan oleh “mematikan raja lawan.”

Tujuan utama leaderness adalah membantu “korban.” Ribuan cara adalah hanya metode. Jangan sampai Anda terlalu sibuk dengan metode lalu lupa dengan tujuan untuk membantu “korban.” Semua cara, tentu tanpa kekerasan, diukur efektifitasnya berdasar seberapa besar membantu “korban.”

Siapakah yang dimaksud dengan “korban?” Di jaman digital yang serba terhubung ini, siapa pun Anda pasti pernah menjadi “korban”. Sehingga, kita semua perlu membantu diri kita sendiri untuk menyadari bahwa kita punya misi untuk membantu “korban.” Dan, orang-orang di sekitar kita, mereka juga korban. Kita perlu membantu orang-orang di sekitar kita.

6. Siklus Lengkap Leaderness

Poin utama dari siklus pemimpin adalah proses dinamis leaderness; transisi dari leaderless ke leadership. Hanya fokus kepada leadership resiko memperparah “korban.” Bertahan terlalu lama di situasi leaderless juga resiko kekacauan, chaos. Kita butuh melengkapinya dengan leaderness: memastikan setiap leader memberi kebaikan kepada “korban.”

7. Diskusi Lanjutan

Masih banyak tema yang perlu kita kaji lebih lanjut. Bagaimana bentuk leadership yang bisa selaras dengan leaderness? Saya mengusulkan bentuk minori, yaitu, setiap organisasi berukuran minor atau berukuran kecil. Organisasi terbaik terbatas hanya maksimal 150 orang. Jika terpaksa harus lebih besar maka maksimal 500 orang.

Ketika perlu lebih besar lagi maka mengarah kepada antar-organisasi. Tentu saja relasi antar-organisasi adalah relasi yang lemah sekedar koordinasi, komunikasi, arbitrasi, atau sejenisnya. Karena ukuran negara hampir dipastikan berpenduduk ribuan atau jutaan orang, maka, relasi negara kepada warga seharusnya relasi yang lemah. Dalam arti, negara seharusnya tidak punya kuasa menindas warganya. Atau, seharusnya, negara tidak kuasa menjadikan warga sebagai “korban”-nya. Apakah cita-cita seperti itu bisa diwujudkan? Tentu saja bisa.

Kita sadar bahwa setiap manusia adalah pemimpin. “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin.”

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

2 Comments

Tinggalkan komentar