Jalur Lotere Masuk Universitas

Biaya kuliah makin mahal. Jalur lotere untuk masuk universitas adalah lebih baik dari jalur mandiri. Karena jalur mandiri biayanya mahal. Bahkan jalur lotere masih lebih bagus dari jalur prestasi mau pun jalur tes, jalur ujian.

Bagaimana jalur lotere, atau jalur undian, bisa lebih baik?

Ada 3 jawaban utama.

[1] Jalur lotere lebih adil proporsional.
[2] Jalur lotere menghormati banyak pihak.
[3] Jalur lotere lebih murah biayanya.

Kita akan mengkaji keunggulan jalur lotere. Kemudian, mencoba mengembangkan jalur masuk universitas yang lebih baik dari jalur lotere. Tentu saja, juga lebih baik dari jalur prestasi, tes, mau pun mandiri.

1. Argumen Jalur Lotere
2. Argumen Freedom
3. Solusi Kompetisi Fair

Argumen-argumen dan ide-ide yang kita kembangkan, di sini, terbuka untuk revisi demi kebaikan bersama. Sehingga, jika Anda memiliki ide berbeda maka silakan kembangkan lebih lanjut.

1. Argumen Jalur Lotere

Jalur lotere jelas merupakan jalur yang adil. Pikirkan lotere yang tidak adil, lotere yang curang, maka tidak ada orang yang berminat main lotere tersebut. Asumsi dasar dari lotere adalah adil. Meski peluang menang adalah kecil, misal hanya 1/6 untuk lotere dadu, tetap saja, lotere menjamin situasi adil. Jalur masuk universitas yang adil adalah idaman banyak orang.

Pemenang lotere tidak bisa sombong; karena dia menang hanya faktor keberuntungan. Mahasiswa yang masuk universitas jalur lotere tidak perlu sombong. Karena, masih banyak calon mahasiswa, di luar sana, yang lebih cerdas dan lebih rajin.

Tentu saja, biaya lotere murah saja. Hanya dengan 5 dadu, misalnya, kita sudah bisa seleksi 6^5 calon mahasiswa = 7776 calon mahasiswa. Menghemat banyak anggaran kan?

[1] Jalur lotere lebih adil proporsional.

Fakultas kedokteran dan informatika, saat ini, menjadi primadona calon mahasiswa dan para orang tua. Misalkan ada 5000 calon mahasiswa, sementara, daya tampung fakultas hanya 100 mahasiswa baru. Jadi, ada 4900 calon mahasiswa yang pasti gagal.

Jalur lotere menjamin 100 mahasiwa baru terpilih secara adil dan proporsional.

Asumsikan:

4500 calon mahasiswa adalah miskin (90%)
500 calon mahasiswa adalah kaya (10%)

Dengan melempar 6 dadu, jalur lotere, maka diharapkan akan terpilih:

90% = 90 mahasiswa adalah miskin
10% = 10 mahasiwa adalah kaya

Hasil di atas adalah adil dan proporsional. Bandingkan, misal, dengan hasil jalur mandiri atau tes. Jalur mandiri tentu bisa mempertimbangkan besar sumbangan orang tua kepada kampus. Jalur tes, beberapa calon mahasiswa yang kaya bisa bimbingan belajar tambahan yang mahal.

Misal dengan jalur mandiri diperoleh

40 mahasiswa adalah miskin
60 mahasiswa adalah kaya

Hasil ini tidak adil dan tidak proporsional.

40 mahasiswa miskin dari total 4500 setara dengan = 0,9% atau di bawah 1%.

60 mahasiswa kaya dari total 500 setara dengan = 12%.

Proporsi mahasiswa kaya 12% adalah terlalu besar dibanding dengan mahasiswa miskin 1%. Jadi, jalur mandiri gagal untuk memenuhi prinsip adil dan gagal memenuhi prinsip proporsional. Sementara, jalur lotere behasil mencapai adil dan mencapai proporsional.

Tentu saja, contoh-contoh angka di atas bisa berbeda-beda sesuai situasi nyata. Bagaimana pun, jalur lotere lebih adil dari jalur mandiri mau pun jalur tes.

[2] Jalur lotere menghormati banyak pihak.

Keunggulan jalur lotere, kedua, adalah menghormati semua pihak. Mahasiswa baru yang lulus diterima di fakultas kedokteran atau informatika sadar bahwa dia diterima karena lotere belaka. Dia diterima hanya faktor keberuntungan, faktor kebetulan, atau faktor luck. Karena itu, mahasiswa baru tidak bisa membanggakan diri merasa lebih pintar, lebih kaya, atau lebih khusuk dalam doa. Justru, mahasiswa baru perlu lebih rendah hati, menghormati sesama mahasiswa baru, dan menghormati mereka yang tidak lolos melalui jalur lotere.

Di antara mereka yang tidak lolos bisa saja ada yang lebih pintar, lebih kaya, dan lebih besar komitmennya.

Berbeda dengan mereka yang lolos jalur mandiri. Sebagian menyumbang kampus 200 juta rupiah – sampai 700 juta rupiah. Bahkan, ada yang menyumbang ke kampus sampai orde milyard rupiah. Konsekuensinya, mahasiswa baru jalur mandiri punya alasan untuk sombong sebagai orang kaya, sebagai orang yang berkontribusi membangun kampus, sebagai orang yang berkuasa dan lain-lain.

Ditambah lagi, jalur mandiri juga mempertimbangkan nilai raport mau pun hasil tes. Maka mahasiswa baru jalur mandiri, wajar, merasa sombong bahwa dirinya adalah lebih pintar dari mereka yang tidak lolos.

Lebih dari itu, karena biaya jalur mandiri ratusan juta sampai milyaran rupiah, maka mahasiswa berpikir bagaimana cara untuk balik modal. Saatnya lulus, mereka punya peluang mengeruk keuntungan besar dari sistem sosial yang ada. Bisa halal, bisa haram. Bisa legal, bisa tidak legal.

Sebaliknya, mahasiswa baru hasil jalur lotere tidak perlu sombong juga tidak perlu balik modal. Mereka, mahasiswa hasil lotere, hanya perlu menghormati seluruh orang. Kemudian, setelah lulus, mengabdi demi kepentingan orang banyak yang telah memberi keberuntungan melalui lotere.

[3] Jalur lotere lebih murah biayanya.

Hanya dengan 5 dadu, jalur lotere sudah bisa seleksi 5000 calon mahasiswa atau lebih. Pertama, setiap pendaftar diberi kode urutan mendaftar dari 11.111 sampai dengan 66.666; tentu tidak ada angka 0, 7, 8, dan 9. Kedua, lima dadu dilempar dengan nilai tempat masing-masing, atau dilempar satu demi satu. Ketiga, diperoleh 100 angka unik dinyatakan sebagai mahasiwa yang lulus diterima berdasar jalur lotere. Selesai.

Biaya jalur lotere lebih murah karena tidak perlu membentuk panitia ujian, panitia seleksi, soal ujian, penilaian, pengawasan, dan lain-lain.

Dari calon mahasiswa, dan orang tua, tidak perlu biaya bimbingan belajar tambahan, tidak perlu menghabiskan banyak waktu menghafal rumus-rumus, tidak perlu bertengkar antara orang tua dengan anak karena malas belajar.

Jadi, bisa kita ringkas, jalur lotere lebih bagus dari jalur mandiri, jalur prestasi, mau pun jalur tes. Dengan redaksi negatif, bisa dikatakan, jalur mandiri lebih buruk dari jalur lotere.

Tentu saja, ada argumen yang menyatakan bahwa jalur mandiri lebih baik dari jalur lotere. Tema seperti ini memang perlu dikaji di ruang publik secara transparan. Analisis singkat di atas, sudah cukup membuktikan bahwa jalur lotere lebih bagus.

Di bagian bawah, kita akan membahas beberapa solusi alternatif yang lebih bagus dari jalur lotere.

2. Argumen Freedom

Setiap anak punya hak untuk mengembangkan dirinya masuk kuliah di fakultas yang dia idamkan. Setiap anak memiliki freedom, memiliki kebebasan. Setiap anak adalah bebas untuk mengembangkan kebebasan. Setiap anak adalah merdeka. Saya kira, Mas Menteri Nadiem akan sepakat bahwa setiap anak adalah merdeka.

Tetapi, mengapa calon mahasiswa menjadi tidak merdeka dalam memilih fakultas yang mereka idamkan? Lebih banyak calon mahasiswa ditolak oleh universitas daripada yang diterima.

Tentu saja, alasan penolakan mudah saja: kursi yang tersedia terbatas, terlalu sedikit, dibanding jumlah calon mahasiswa. Alasan ini bertentangan dengan argumen freedom: setiap anak adalah merdeka.

Bukankah itu ironis banget? Ketika anak muda, calon mahasiswa, berniat untuk belajar di universitas, justru ditolak oleh universitas?

Beberapa puluh tahun lalu, setiap anak muda yang berniat kuliah di pesantren selalu bisa diterima. Bahkan, pesantren-pesantren membuka pintu seluas-luasnya bagi setiap anak muda untuk belajar. Mengapa pesantren mampu membuka pintu seluas-luasnya sedangkan universitas menutup pintu rapat-rapat? Ada yang salah dalam sistem pendidikan kita!

Salah satu masalah tersebut adalah paradigma pendidikan masa kini lebih berorientasi ekonomis-materialis. Fakultas favorit, misal kedokteran dan informatika, menjadi rebutan calon mahasiswa lantaran prospek kerja lulusannya bagus untuk keuntungan finansial. Sementara, pesantren menawarkan kualitas hidup dengan akhlak tinggi. Sayangnya, beberapa pesantren masa kini, justru meninggalkan akhlak dan ikut terjebak mengejar keuntungan materialis. Kita perlu membahas tema ini lebih mendalam pada kesempatan yang berbeda. Yang jelas, kita dan pemerintah, seharusnya, mampu menyediakan daya tampung kuliah untuk semua generasi muda yang berminat untuk belajar di universitas.

Andai daya tampung universitas berlimpah sehingga mampu menampung seluruh calon mahasiswa baru, maka, tetap muncul persaingan. Karena, beberapa kampus menjadi idola bagi mahasiswa dan beberapa kampus lain sepi peminat. Kita perlu membahas jalur masuk universitas yang lebih baik dari jalur lotere. Jalur masuk universitas yang selaras dengan argumen freedom. Merdeka!

3. Solusi Kompetisi Fair

Jalur lotere terbukti lebih bagus dari jalur mandiri, jalur tes, mau pun jalur prestasi. Problem jalur lotere: bagaimana jika mahasiswa yang diterima dari jalur lotere, ternyata, tidak mampu menyelesaikan pendidikan sarjana?

Berikut ini adalah beberapa ide solusi untuk menciptakan kompetisi yang fair.

[a] Seleksi Awal

Mudahnya, setiap calon mahasiswa pasti sudah melalui seleksi awal. Dari 5000 calon mahasiswa yang mendaftar ke fakultas kedokteran, atau informatika, mereka telah lulus SMA dan pantas sebagai mahasiswa (eligible). Konsekuensinya, universitas bebas memilih 100 mahasiswa mana pun dari 5000 calon yang tersedia. Banyaknya pilihan sah bagi universitas ini adalah trilyunan pilihan. Sangat banyak.

Ilustrasi, misal, setiap calon mahasiswa mendapat nomor urut dari 1 sampai 5000. Universitas bisa memilih 1 – 100; atau 2 – 101; atau 3 – 102; atau 4901 – 5000. Banyaknya pilihan sah ini adalah sampai trilyunan. Tepatnya, menurut wolframalpha, adalah 212 desimal, atau 212 angka, banyaknya pilihan sah. Dengan kata lain, universitas bisa memilih calon mahasiswa sambil memejamkan mata. Jalur lotere menjadi masuk akal.

Beberapa orang bisa mengajukan keberatan: tidak semua dari 5000 calon mahasiswa itu eligible. Universitas bisa membuat seleksi awal untuk menyingkirkan mereka yang tidak eligible. Misal tersingkir 1000 calon mahasiswa dan tersisa 4000 calon mahasiswa. Jumlah ini masih sangat besar.

Mengapa seleksi awal tidak langsung saja menyingkirkan yang 4900 calon mahasiswa dan menerima 100 calon mahasiswa dengan skor terbaik? Tidak bisa seperti itu. Karena ranking 100 dan 101 memiliki kemampuan yang mirip, sulit dibedakan. Bahkan ranking 1 sampai 4900, sejatinya, kemampuan mereka mirip dan sama-sama berpotensi sukses menyelesaikan program sarjana di fakultas kedokteran atau informatika.

Alternatif yang lebih menarik dari seleksi awal oleh universitas adalah SKN = Sensus Kompetensi Nasional.

[b] Sensus Kompetensi Nasional

Menteri pendidikan tahun 2014 – 2015, Anies Baswedan, menghapus UN (ujian nasional) untuk tingkat SMA. Mas Menteri Nadiem menghapus total UN untuk seluruh jenjang pendidikan pada tahun 2020. Di tahun 2023 ini, menghapus kewajiban skripsi, tesis, dan disertasi. Secara umum, kebijakan menteri seperti ini berdampak bagus untuk mendukung generasi muda yang merdeka. Tetapi, apa ukuran keberhasilan pendidikan nasional?

Sensus Kompetensi Nasional (SKN) menjadi ukuran keberhasilan pendidikan nasional – salah satu ukuran penting. Secara personal, bagi masing-masing siswa, skor SKN adalah bekal untuk melanjutkan pengembangan diri. SKN tidak menghukum siswa mau pun sekolah penyelenggara pendidikan.

SKN adalah sensus kepada setiap siswa. Beda dengan survey atau assessment yang cukup dengan beberapa sample. SKN menguji kemampuan matematika dasar dan bahasa Indonesia – fokus numerasi dan literasi.

[1] SKN dilaksanakan setiap tahun bagi seluruh siswa kelas 3, 6, 9, dan 12 secara gratis – dibiayai APBN.

[2] Skor minimal SKN adalah 500 dan maksimal 1500 poin. Tidak ada hukuman apa pun bagi siswa atau sekolah yang memperoleh skor rendah SKN. Karena itu tidak perlu curang bagi siswa atau pihak mana pun. Meski, tindakan curang dapat diancam pidana dan lain-lain.

[3] Bagi yang memperoleh skor SKN tinggi, mereka bisa memanfaatkan skor SKN untuk melamar kerja, melanjutkan kuliah, melamar beasiswa, melanjutkan sekolah, dan lain-lain.

Misal skor rata-rata SKN adalah 900 – atau median. Kita bisa mengkaji dengan teliti skor SKN yang diperlukan untuk bisa menyelesaikan program sarjana fakultas kedokteran, atau informatika, diperoleh skor SKN minimal 925. Jadi, 5000 calon mahasiswa yang mendaftar memiliki skor minimal 925. Universitas bebas memilih siapa saja di antara mereka melalui jalur lotere atau analisis proporsional seperti di bagian bawah ini.

Mari sedikit kita bahas manfaat SKN terhadap pendidikan nasional.

Sejak UN dihapus, kita tidak memiliki ukuran obyektif terhadap keberhasilan pendidikan. Asesmen Nasional, PISA, TIMSS, dan lain-lain cukup membantu tetapi tidak memadai. Andai UN dipertahankan, tetap tidak memadai. Terjadi kecurangan UN secara meluas. Serta, UN tidak fair bagi beberapa siswa di pelosok.

SKN adalah solusi. Setiap siswa berkesempatan mengikuti SKN 4 kali yaitu kelas 3, 6, 9, dan 12. Dengan demikian, siswa bisa belajar dari pengalaman. Dari sisi konten, SKN sengaja bersih dari “beban muatan” dan fokus kepada “proses berpikir”. “Beban muatan” dipercayakan kepada masing-masing lembaga pendidikan. Sementara, kematangan “proses berpikir” adalah fokus utama SKN dan menjadi ukuran kematangan pendidikan yang cukup fair. Tentu saja, lembaga pendidikan juga mengembangkan “proses berpikir.”

Lebih lanjut, skor SKN bisa menggantikan kriteria radius dalam konsep zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB). Sehingga, konsep zonasi benar-benar menjadi zonasi bukan suatu radiusi.

[c] Analisis Proporsional dan Terbuka

Dengan SKN, kita memiliki justifikasi yang kuat untuk memilih mahasiswa baru baik menggunakan jalur lotere atau pun jalur alternatif.

[1] Analisis Proporsional

Saya pikir analisis proporsional adalah bagian tugas paling penting.

Diskusi Lanjut

[1] Kapasitas Cukup

[2] Leaderness

[3] Kebaikan Berdasar Keadilan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar