Umat manusia kagum dengan perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat di jaman sekarang. Apakah itu bagus? Apa sejatinya sains itu? Apakah sains tulus dan valid?
Beberapa orang tidak mempertanyakan sains. Padahal, kita perlu bertanya apa-makna-sains? Dalam tulisan ini, kita akan bertanya dan menjawab apa-makna-sains, khususnya, dalam perspektif histori.

Historical philosophy of science atau philosophical history of science barangkali istilah yang cukup tepat menggambarkan diskusi kita kali ini.
1. Pemikiran Sains Kuno
2. Pemikiran Sains Pertengahan
3. Pemikiran Sains Modern
4. Pemikiran Sains Kontemporer
5. Apa-Makna-Sains
Pertama, kita akan mecoba memahami bagaimana pemikir-pemikir kuno memahami sains. Pemikir kuno mencoba mengangkat rasionalitas bersanding dengan mitologi. Kedua, pemikir era pertengahan menyandingkan sains dengan agama. Ketiga, sains menjauh dan mendekat dengan filsafat serta nilai-nilai etika agama. Bagian akhir membahas apa-makna-sains.
1. Pemikiran Sains Kuno
Pra-Socrates
Thales (626 – 548 SM) adalah pemikir pertama yang menyarankan agar umat manusia berpikir menggunakan rasionalitasnya. Sebelum Thales, orang berpikir dengan memanfaatkan mitologi. Thales menyarankan agar manusia melakukan penyelidikan terhadap alam dan mengambil kesimpulan secara deduktif.
Anaximander (610 – 546) adalah murid dari Thales yang menyarankan manusia untuk menyelidiki alam semesta secara rasional. Anaximander meyakini bahwa hasil penyelidikan alam semesta akan berubah seiring waktu bersama perkembangan jaman.
Parmenides (abad 6 – abad 5 SM) adalah pemikir yang menyatakan hanya ada realitas tunggal yaitu wujud. Selain realitas wujud adalah opini yang, pada analisis akhir, bernilai salah. Kebenaran, bagi Parmenides, adalah tersingkapnya realitas.
Heraclitus (abad 6 – abad 5 SM ) pemikir yang menyatakan bahwa realitas selalu berubah bagai air sungai. “Anda tidak pernah bisa menyeberangi sungai yang sama dua kali.”
Pythagoras (570 – 495 SM) terkenal dengan formula matematika. Pythagoras adalah pemikir matematika dan spiritual. Pythagoras terbuka mengajarkan matematika dan spiritualitas kepada lelaki dan perempuan. Dikabarkan, Pythagoras melarang ajaran-ajarannya untuk ditulis. Pengajaran dilakukan melalui tradisi lisan.
Democritus (460 – 370 SM) adalah pencetus teori atom pertama. Democritus meyakini bahwa alam raya ini terdiri oleh partikel-partikel terkecil yang disebut sebagai atom. Democritus menyadari bahwa pengetahuan manusia terus bertumbuh dan pengetahuan yang lama bisa jadi salah. Ketika Anda sadar bahwa pengetahuan Anda salah maka, saran Democritus, tertawalah bahagia. Democritus dikenal sebagai filsuf paling banyak tertawa.
Socrates (470 – 399 SM) adalah pencetus metode dialog untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Hidup yang tidak diuji, tidak layak dijalani. Dialog adalah salah satu ujian hidup Anda. Anda perlu bersikap terbuka dalam dialog untuk menguji beragam pandangan.
Zoroaster (650 – 559 SM) adalah tokoh spiritual yang sudah mendapat pencerahan di kuil ibadah di puncak gunung. Panggilan spiritual, dan kesadaran intelektual, mengarahkan Zoroaster turun gunung untuk menggugah semangat rakyat guna meraih kemajuan tertinggi. Pesan-pesan Zoroaster menyadarkan masyarakat untuk teguh menghadapi beragam kesulitan: intelektual, praktikal, dan spiritual.
Confucius (551 – 479 SM) mengajarkan etika kepada setiap orang. Siapa pun Anda, kaya atau miskin, bangsawan atau jelata, cendekiawan atau awam, raja atau rakyat, semua wajib hidup sesuai standar moral yang luhur.
Para pemikir era pra-Socrates mengajarkan filosofi sebagai jalan hidup mencintai kebijaksanaan, mencintai kebenaran, dan mencintai kebaikan. Para pemikir mengajarkan filsafat dengan tradisi lisan. Dengan model ini, filsafat bersifat lentur, mudah dipahami, dan mudah diterapkan dalam kehidupan nyata. Beberapa di antara para pemikir, ada yang secara tegas melarang menuliskan ajaran-jaran filsafat mereka.
Penyelidikan alam raya dan ilmu pengetahuan, di era pra-Socrates, merupakan suatu sarana untuk menyempurnakan hidup manusia. Alam raya adalah rumah dan teman hidup bagi umat manusia. Pandangan filosofis seperti ini berbeda dengan pandangan era modern yang memandang alam raya sebagai sumber daya alam semata.
Meski kita menyebut sebagai pra-Socrates, mereka, para pemikir, tersebar di dunia Barat dan dunia Timur serta seluruh penjuru dunia.
Yunani
Socrates (470 – 399 SM) adalah pemikir pertama yang mengenalkan cara penelitian sistematis yaitu melalui dialog. Orang yang berdialog, tanya-jawab dengan pikiran terbuka, akan berhasil mengembangkan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan baik. Socrates mengajarkan filsafat melalui tradisi lisan.
Plato (428 – 438 SM) adalah murid Socrates, pendiri Academia, dan penulis buku tentang ajaran filsafat Socrates dan tokoh-tokoh lain. Plato menetapkan tujuan pengetahuan, dan tujuan hidup manusia, adalah untuk mengenal keindahan sejati yang abadi. Keindahan sejati ada di alam ideal. Sedangkan, alam materi ini adalah bayang-bayang indah dari alam keindahan.
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah murid Plato yang menulis karya filsafat, merespon Plato, dengan kedalaman dan keluasan luar biasa. Bagi Aristoteles, pengetahuan sejati eksis di alam ini. Demikian juga, keindahan sejati eksis di alam ini. Meski demikian, tetap ada keindahan sejati di alam ideal yang selaras dengan alam dunia ini. Manusia, dan alam raya, senantiasa bergerak untuk menjadi lebih sempurna.
Diogenes (412 – 323 SM) adalah murid Socrates, pendiri aliran filsafat sinisme yaitu filsafat yang mengajarkan manusia untuk hidup sederhana. Bagi Diogenes, manusia menjadi sempurna dengan cara membebaskan diri dari ikatan dunia, hidup tulus jujur, dan terus mengembangkan ilmu pengetahuan. Diogenes mengklaim dirinya sebagai penerus Socrates dan Diogenes menolak ajaran Plato. Diogenes tidak meninggalkan karya tulis.
Hellenistik
Zeno (334 – 262 SM) adalah pendiri filsafat Stoic atau filosofi Teras. Zeno mengajarkan manusia agar hidup bahagia melalui karakter utama (adil, berani, moderat, dan bijak) serta mengejar ilmu pengetahuan yang benar. Karakter utama yang kuat akan menjaga manusia tetap bahagia meski dalam kondisi sulit.
Epicurus (341 – 270 SM) adalah pendiri filsafat hedonism yaitu menikmati hidup dengan cara membatasi diri dan mengembangkan pengetahuan. Epicurus meyakini cara paling baik untuk hidup bahagia adalah dengan menjalin persahabatan yang bermakna.
Pyrrho (360 – 270 SM) adalah pendiri filsafat skeptic yaitu bersikap semangat untuk mencari pengetahuan dan menunda penilaian yang terburu-buru. Filsuf skeptic tidak pernah berhenti bertanya. Setiap memperoleh jawaban, dia akan mengajukan pertanyaan baru. Mereka bahagia dengan berpetualang dari satu pertanyaan ke pertanyaan berikutnya.
Plotinus (204 – 270) adalah pendiri filsafat neo-Platonisme yaitu sintesa pemikiran Plato dan Aristoteles. Sintesa ini menghasilkan sistem filsafat yang kreatif yaitu manusia mengembangkan pengetahuan sejati yang mendalam, pengetahuan ideal, melalui kombinasi dengan pengetahuan empiris dalam kehidupan sehari-hari. Tugas filsafat adalah membawa cahaya pengetahuan kepada manusia atau membawa manusia ke cahaya pengetahuan.
Beberapa catatan penting tentang perkembangan filsafat era Yunani dan Helenistik adalah mereka menuliskan ajaran-ajaran filsafat menjadi satu buku yang sistematis. Dengan demikian, masyarakat luas dan generasi selanjutnya bisa belajar dari sistem filsafat dan sistem pengetahuan mereka. Di antara filsuf-filsuf itu sebagian menuliskan karyanya sendiri, sebagian yang lain dituliskan oleh murid-murid mereka.
Penyebaran filsafat menjadi kombinasi antara tradisi lisan dan tradisi tulis. Di masa itu, biaya untuk mencetak buku adalah besar dan sulit. Sehingga, tradisi lisan tetap menjadi utama. Apakah tradisi tulis lebih baik dari tradisi lisan? Secara umum, mereka lebih mengutamakan tradisi lisan di atas tradisi tulis.
2. Pemikiran Sains Pertengahan
Islami
Al Kindi (801 – 873) adalah pemikir pertama yang berhasil menunjukkan bahwa ajaran filsafat dan ajaran agama adalah sama-sama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Filsafat menggunakan pendekatan rasional. Sementara, agama menggunakan bahasa symbol-simbol.
Al Farabi (870 – 950) adalah pemikir pertama yang mendalami music secara teoritis dan praktis. Al Farabi berhasil mengajarkan filsafat yang harmonis, bagai alunan music, antara filsafat, agama, politik, dan seni.
Al Khawarizmi (780 – 850) adalah pemikir pertama yang mengembangkan metode matematika secara sistematis. Algoritma (dari kata Al Khawarizmi) adalah langkah-langkah sistematis. Aljabar adalah cara sistematis menuliskan dan memecahkan problem matematika melalui manipulasi symbol yang canggih.
Ibnu Sina (980 – 1037) adalah pemikir pertama yang membahas konsep posibilitas, probabilitas, atau kontingensi secara rasional dan mendalam. Menurut Ibnu Sina, semua realitas di alam raya ini bersifat kontingen. Agar menjadi eksis, alam raya membutuhkan sebab yang bersifat niscaya. Ibnu Sina berhasil mengembangkan sains kedokteran dengan cemerlang.
Al Hazen (965 – 1040) adalah pemikir yang mengembangkan sains matematis teoritis kemudian melengkapinya dengan data eksperimen. Al Hazen mengembangkan berbagai macam formula sains optic secara matematis. Kemudian, menguji teori matematis dengan cara eksperimen di ruang gelap dilengkapi pencahayaan yang disesuaikan. Al Hazen melangkah dari sains teoritis, data empiris, sampai perancangan eksperimen.
Suhrawardi (1154 – 1191) mengembangkan konsep berpikir yang kritis salah satunya dengan konsep most-noble-contigency atau imkan al-ashraf (IA). Jika probabilitas yang rendah terbukti benar maka probabilitas yang lebih besar pasti juga benar. Pada analisis akhir, kita akan mencapai kepada probabilitas terbesar.
Ibnu Khaldun (1332 – 1406) mengembangkan pendekatan sosiologis pertama. Pemikiran rasional tentang masyarakat perlu didasarkan kepada data yang ada pada masyarakat, tidak cukup hanya berpikir spekulatif. Teliti apa yang terjadi pada masyarakat kemudian susun teori Anda.
Sadra (1572 – 1641) mengembangkan konsep pengetahuan sebagai pengetahuan realitas konkret terindividuasi sebagai eksistensi. Pengetahuan senantiasa berubah, begerak, menuju yang lebih sempurna. Pengetahuan yang lebih sempurna bersifat inklusif meliputi seluruh pengetahuan yang lebih awal, lebih konkret, dan lebih nyata.
Kalijaga (1450 – 1513) mengembangkan ajaran filsafat yang menyatu harmonis dengan budaya local. Kalijaga mengembangkan seni wayang kulit yang mengajarkan kebijaksanaan filsafat melalui media karya seni dan diskursus terbuka.
Iqbal (1877 – 1938) adalah filsuf special karena mengkaji filsuf Timur dan Barat secara bersamaan. Cinta kepada pengetahuan, cinta kepada kebaikan, dan cinta kepada perkembangan adalah paling utama bagi Iqbal. Filsafat mendorong pengetahuan untuk terus berkembang dengan menebarkan kebaikan kepada seluruh umat. Pada masa dewasa, Iqbal menuliskan ajaran filosofisnya dalam bentuk sastra.
Tabatabai (1903 – 1981) adalah filsuf yang berhasil memadukan sains dan agama dari dalam secara inheren. Bagi Tabatabai, orang yang mengkaji sains dengan rasionalitas tinggi akan menemukan keluhuran nilai-nilai agama. Orang yang menjalani nilai-nilai agama secara luhur maka akan menemukan kontribusi penting sains rasionalitas. Sains dan agama adalah kesatuan inheren.
Pertengahan
Augustine (354 – 430) adalah pemikir pertama yang berhasil menyelaraskan ajaran-ajaran filsafat dengan ajaran agama. Augustine memberi nilai penting kepada sikap berpikir terbuka terhadap beragam sumber pengetahuan. Kebebasan manusia adalah anugerah paling utama.
Aquinas (1225 – 1274) adalah pemikir yang berhasil melakukan analisis rasional terhadap ajaran-ajaran penting agama di Barat. Rasionalitas dan ajaran agama adalah seiring sejalan.
Ockham (1280 – 1349) adalah pemikir yang berhasil menyusun metode berpikir rasional yang efisien. Tidak perlu menambahkan argument yang tidak diperlukan. Susun argument rasional dalam kadar minimal. Metode ini, kelak, dikenal sebagai “pencukur Occam.”
Di era keemasan Islam dan Pertengahan, sains dan filsafat terus berkembang. Tantangan para pemikir masa itu adalah menentukan relasi antara rasionalitas filsafat dengan ajaran agama. Terbukti dalam histori, rasionalitas dan agama adalah seiring sejalan dalam beragam bentuk. Relasi harmonis ini menjamin filsafat, dan sains, makin maju sesuai nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Memang benar, terjadi beberapa konflik antara agama dan filsafat di beberapa catatan sejarah. Konflik ini, pada analisis lebih mendalam, bersumber dari kepentingan politik. Dalam diri mereka masing-masing, filsafat dan agama berinteraksi secara harmonis untuk memberi kontribusi kepada kemajuan umat manusia dan alam raya.
3. Pemikiran Sains Modern
Pencerahan
Descartes (1596 – 1650) adalah filsuf yang meragukan segala sesuatu sampai akhirnya tidak ragu dengan ungkapan, “Aku berpikir maka aku ada.” Descartes membedakan dua macam substansi: materi dan jiwa. Materi adalah kajian sains secara rasional dan empiris. Sedangkan, jiwa adalah kajian moral agama dan etika.
Leibniz (1646 – 1716) adalah filsuf rasionalis atau paling rasionalis sepanjang sejarah. Alam semesta tersusun sepenuhnya rasional. Setiap kejadian memiliki sebab rasional yang mencukupi. Tentu saja, Leibniz menyadari bahwa kejadian di alam semesta bersifat kontingen: bisa terjadi atau mungkin tidak terjadi. Tetapi, bagi Leibniz, Tuhan selalu memilihkan yang terbaik untuk seluruh alam semesta dari semua alternative yang mungkin.
Galileo (1564 – 1642) adalah filsuf dan ilmuwan yang berhasil melengkapi beragam teori matematis dengan pengamatan empiris. Atau, sebaliknya, Galileo berhasil melengkapi pengamatan empiris dengan teori matematis. Dengan teropong, Galileo berhasil mengamati ada satelit yang mengelilingi planet Yupiter. Pandangan umum, saat itu, meyakini bahwa satelit dan seluruh benda langit berputar mengelilingi bumi.
Newton (1643 – 1727) adalah filsuf dan ilmuwan yang berhasil menggulirkan revolusi ilmu pengetahuan dengan teori mekanika klasik Newton. Filsafat alam Newton merupakan sintesa antara pengamatan empiris dengan teori matematis berupa kalkulus. Newton adalah penemu kalkulus yang, sampai saat ini, menjadi mata kuliah wajib bagi hampir semua mahasiswa. Teknologi mesin, teknologi sipil, dan beragam teknologi lain hampir semua menerapkan teori mekanika klasik Newton. Newton adalah ilmuwan relijius yang menulis beberapa tafsir kitab suci.
Hume (1711 – 1776) adalah pemikir skeptic paling berpengaruh sepanjang sejarah. Hume meragukan kemampuan manusia untuk membuktikan kausalitas. Hume meragukan kemampuan rasio manusia untuk menarik kesimpulan secara induksi. Hume berhasil menyusun argument yang meyakinkan terhadap batas-batas rasio manusia. Konsekuensinya, pemikiran Hume menjadi perdebatan panjang sampai saat ini.
Kant (1720 – 1804) adalah pemikir besar yang berhasil membuat sintesa dari seluruh pandangan filsafat waktu itu menjadi trilogy kritik. Akal manusia memiliki beragam konsep kategori yang bersifat apriori dan transcendental. Sementara itu, pengetahuan membutuhkan konten berupa pengalaman empiris. Sintesa antara pengetahuan konsep apriori dengan pengamatan empiris menghasilkan pengetahuan yang sah. Dengan demikian, alam materi beroperasi dengan hukum alamnya, dan akal manusia memiliki kebebasan untuk memilih. Konsekuensinya, manusia perlu memilih beragam tindakan yang bernilai moral tinggi atas pertimbangan akal bebasnya.
Hegel (1770 – 1830) adalah pemikir besar yang terkenal dengan konsep dialektika. Setiap tesis (eksistensi) akan memicu anti-tesis (esensi), kemudian mereka berdialektika menghasilkan sintesis (being). Tetapi, sintesis itu sendiri adalah tesis dalam derajat baru. Sehingga, proses dialektika berlanjut tanpa henti sampai menuju spirit absolut. Dalam domain pengetahuan, juga terjadi dialektika tanpa henti.
Eksistensialisme
Kiekeergard (1813 – 1855) adalah pemikir eksistensialis awal yang meyakini bahwa tugas filsafat dan sains adalah menghadapi problem konkret umat manusia, problem eksistensial. Rasionalitas manusia, pada analisis akhir, akan menghadapi problem eksistensial yang tidak bisa diselesaikan secara rasional. Manusia membutuhkan lompatan keyakinan. Manusia, filsuf dan saintis, perlu berpegang teguh kepada nilai-nilai luhur etika dan agama.
Heidegger (1889 – 1976) adalah filsuf eksistensialis paling berpengaruh sepanjang sejarah. Pengetahuan manusia perlu bergerak menuju pengetahuan otentik. Pengetahuan pada umumnya, termasuk sains, tidak otentik. Karena sains hanya mengkaji obyek-obyek atau entitas-entitas belaka. Agar sains menjadi otentik maka sains perlu mengkaji apa makna dari sains. Demikian juga, secara umum, setiap pengetahuan perlu mengkaji apa makna pengetahuan agar menjadi otentik.
Analityc
Russell (1872 – 1970) adalah pemikir rasional terbesar di era modern. Russell mengembangkan sistem rasional menjadi satu sistem logika yang padu dan konsisten. Metode induksi sains adalah valid sejauh sampai berhasil mengungkap kausalitas yang meyakinkan. Setiap klaim sains perlu dinalisis secara detil bagian demi bagian. Kelak, metode ini dikenal sebagai metode analitic.
Wittgenstein (1889 – 1951) adalah pemikir analitik yang mengembangkan filsafat bahasa. Bahasa memiliki struktur khusus yang menghadirkan makna. Masing-masing kata merujuk ke suatu rujukan. Cara berpikir ini dikenal sebagai logika atomisme. Di masa dewasa, Wittgenstein memandang bahasa sebagai language game yang memiliki makna hanya sesuai konteks.
Carnap (1891 – 1970) adalah pemikir utama pendukung positivism. Suatu proposisi memiliki makna hanya jika bisa diverifikasi empiris atau analisis logis sesuai definisi. Cara pandang positivism ini membatasi sains menjadi hanya satu domain khusus yang sempit.
Einstein (1879 – 1955) adalah pemikir filsafat dan sains terbesar pada masanya atau sepanjang sejarah. Einstein memanfaatkan wawasan luas filosofis untuk mengembangkan sains. Sejarah mencatat sukses Einstein dengan merumuskan teori relativitas khusus dan relativitas umum yang revolusioner; berbeda dengan teori fisika klasik.
Popper (1902 – 1994) adalah filsuf sains terbesar abad-20 yang merumuskan metode falsifikasi. Teori sains tidak bisa dibuktikan sebagai benar melalui verifikasi empiris. Teori sains hanya bisa difalsifikasi, yaitu, dibuktikan salah berdasar uji empiris. Teori sains diterima sebagai benar hanya karena lulus dari setiap uji falsifikasi empiris sejauh itu.
Kuhn (1922 – 1996) adalah filsuf sains paling revolusioner. Perkembangan sains bukan melalui evolusi tetapi melalui revolusi, yaitu, pergeseran paradigm. Histori menjadi pendorong utama apakah suatu paradigm akan dipertahankan atau digeser oleh paradigm baru. Dengan demikian, setiap klaim sains berada dalam konteks histori masing-masing.
Lakatos (1922 – 1974) adalah penggagas ide program riset yang terdiri dari hipotesis inti dan hipotesis pengaman. Hipotesis inti cenderung bisa dipertahankan dalam jangka waktu tertentu. Sementara, hipotesis pengaman bisa secara fleksibel difalsifikasi dan diganti dengan hipotesis lain.
Hacking (1936 – 2023) filsuf sains yang mengkaji hubungan histori dengan sains lebih mendalam. Ontologi historis adalah salah satu gagasan Hacking dengan cara sintesa pemikiran analitic dengan pemikiran continental. Apriori historis, misal, adalah konsep apriori yang berkembang melalui perjalanan histori. Konsep apriori ini bernilai universal dan pasti; sulit diubah. Tetapi, seiring perjalanan histori, mungkin saja konsep apriori tersebut berubah secara radikal.
4. Pemikiran Sains Kontemporer
Postmodern
Lyotard (1924 – 1998) adalah pemikir pertama yang menjadikan istilah postmodern menjadi wacana serius dalam kancah fisafat. Lyotard menolak meta-narasi dan menggantinya dengan mikro-narasi. Klaim sains sebagai kebenaran universal perlu ditolak. Kebenaran hanya valid secara mikro sesuai konteks. Lyotard mengusulkan pendekatan dissensus dari pada consensus.
Derrida (1930 – 2004) adalah pemikir postmodern paling terkenal dengan teori dekonstuksi. Semua teks, termasuk sains, bisa di-dekonstruksi sehingga struktur runtuh. Sehingga, dari reruntuhan, kita bisa mengkaji kebenaran yang tersembunyi selama ini dibalik struktur tertentu. Dengan dekonstruksi, kita akan menemukan beragam ide segar dan teori-teori baru.
Kontemporer
Hilary Putnam (1926 – 2016)Filsuf kontemporer yang mengkaji filsafat matematika, bahasa, dan sistem komputer. Setiap sains, atau teori, bersifat internalis dan eksternalis. Internalis adalah menjaga konsistensi secara internal. Dan eksternalis adalah merujuk kepada realitas eksternal yang kaya akan keragaman. Pada analisis akhir, sertiap fakta rujukan selalu berkelindan dengan nilai-nilai. Karena itu, filsafat sains perlu untuk mengkaji nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai agama.
John McDowell (lahir 1949) Filsuf kontemporer yang meyakini bahwa setiap pengetahuan, misal pengetahuan tentang fakta empiris, selalu bersifat penilaian “tribunal” yaitu penilaian konseptual yang melibatkan banyak faktor secara luas. Konsekuensinya, sains itu sendiri sudah merupakan penilaian yang perlu mempertimbangkan nilai-nilai etika.
Charles Taylor (lahir 1931) adalah filsuf kontemporer yang meyakini filsafat, sains, dan histori merupakan satu kesatuan. Sehingga, kita perlu mengkajinya dengan pertimbangan saling interaksi. Nilai-nilai etika, spiritual, dan agama sudah terbukti dalam sejarah memberi kontribusi besar untuk kemajuan alam raya. Sehingga, filsafat sains perlu untuk terus mempertimbangkan nilai-nilai luhur dalam setiap kajian.
Armahedi (lahir 1942) adalah pemikir asal Indonesia yang mengembangkan konsep integralisme yaitu kesatuan dan penyatuan antara sains, filsafat, teknologi, seni, agama dan beragam ajaran penting lainnya. Integralisme terbuka terhadap aneka keragaman dan menyatukan dalam dinamika harmonis.
Dimitri (lahir 1968) adalah pemikir asal Indonesia yang mengembangkan filsafat sains, kearifan filosofis, dan pengembangan teknologi secara terbuka. Filsafat sains berkembang secara dinamis dengan bekal rasionalitas, progresivitas, dan kontekstualisasi histori. Sementara, kearifan filosofis membentang dari filsafat Timur sampai filsafat Barat dan dari filsafat kuno sampai filsafat kontemporer. Lebih dari itu, Dimitri mengembangkan teknologi sebagai salah satu aktualisasi pemikiran filosofis.
Dari paparan singkat di atas, kita melihat relasi pasang-surut antara sains dan filsafat. Di era pencerahan, sains memiliki ikatan erat dengan filsafat. Di awal abad-20, sains tampak agak menjaga jarak dengan filsafat. Tetapi, sains tetap membutuhkan filsafat. Pertengahan awal abad-20, makin jelas, bahwa sains membutuhkan filsafat dan nilai-nilai luhur etika serta agama. Kita bisa menyatakan bahwa filsafat tanpa sains adalah hampa dan sains tanpa filsafat adalah buta.
5. Apa-Makna-Sains
5.1 Relasi Sains dan Histori
Klaim kebenaran sains sebagai universal menghadapi banyak tantangan. Singkatnya, sains gagal menjadi kebenaran universal karena terikat dalam suatu konteks histori. Bagaimana tepatnya relasi sains dan histori? Kita akan segera diskusi.
1) Karl Popper
Kontribusi utama Popper adalah mengembalikan epistemologi sains ke jalur rasionalisme, tepatnya, rasionalisme kritis. Popper menyatakan bahwa proposisi sains tidak bisa dibuktikan nilai kebenarannya melalui verifikasi empiris. Peran verifikasi empiris adalah untuk falsifikasi [13].
Falsifikasi adalah konsep penting yang dikemukakan oleh filsuf sains Karl Popper sebagai salah satu prinsip penting dalam metode ilmiah. Falsifikasi menyiratkan bahwa suatu teori atau hipotesis ilmiah harus dapat diuji secara objektif dengan menghasilkan prediksi yang dapat dipalsukan atau dibantah oleh data empiris. Dalam konteks falsifikasi, sebuah teori atau hipotesis dianggap ilmiah jika ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa teori atau hipotesis tersebut salah atau tidak benar.
| Popper menekankan bahwa tidak mungkin membuktikan kebenaran absolut dari sebuah teori ilmiah karena kita tidak dapat menguji semua kemungkinan. Namun, kita dapat melakukan upaya untuk memfalsifikasi teori atau hipotesis tersebut dengan mencari bukti atau data yang dapat menentang atau membantahnya. |
Jika suatu teori atau hipotesis berhasil melewati serangkaian pengujian dan tidak dapat difalsifikasi, hal ini memberikan kekuatan pada teori tersebut dan dapat dianggap lebih dapat diandalkan secara sementara. Dalam pendekatan falsifikasi Popper, teori atau hipotesis yang dapat diuji dan difalsifikasi dianggap lebih ilmiah dan dapat memberikan dasar untuk kemajuan ilmiah. Pendekatan ini membedakannya dari pendekatan verifikasi yang mencoba membuktikan kebenaran suatu teori melalui akumulasi bukti yang mendukung. Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina (Vienna Circle) tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi. Lingkaran Wina adalah sekelompok filsuf dan ilmuwan radikal yang lahir pada tahun 1923 seusai Perang Dunia I melalui Moritz Schlick (1882-1936), sewaktu ia menjadi profesor filsafat ilmu pengetahuan induktif di Unversitas Wina dan mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1960-an. Lingkaran Wina merupakan kelompok neo-positivisme (positivisme logis) yang melanjutkan proyek positivisme. Positivisme adalah wacana yang mendominasi ilmu pengetahuan selama paruhan pertama abad ke-19. Tokoh positivisme yang paling terkenal adalah Auguste Comte.
Falsifikasi oleh Popper bertujuan untuk menghasilkan kemajuan ilmiah dengan mengeliminasi teori yang tidak konsisten dengan data empiris. Dalam praktiknya, teori atau hipotesis yang mampu bertahan dari upaya falsifikasi dan memiliki dukungan yang kuat dari berbagai pengujian dianggap sebagai penjelasan yang lebih dapat diterima atau lebih dekat dengan kebenaran sementara. Namun, falsifikasi tidak memberikan kepastian mutlak tentang kebenaran suatu teori, tetapi lebih pada upaya untuk mengevaluasi dan memperbaiki pengetahuan ilmiah kita secara berkelanjutan.
2) Thomas Kuhn
Thomas Kuhn dikenal melalui konsepnya tentang “pergeseran paradigma” (paradigm shift) dalam perkembangan ilmiah. Kuhn adalah seorang filsuf dan sejarawan sains yang terkenal dengan bukunya yang berjudul “The Structure of Scientific Revolutions” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1962 [3].
Menurut Kuhn, paradigma merujuk pada kumpulan keyakinan, konsep, metode, dan praktik yang menjadi kerangka kerja bagi sebuah disiplin ilmiah tertentu pada suatu waktu. Paradigma mengatur cara para ilmuwan memandang dunia, merumuskan pertanyaan penelitian, dan mengembangkan teori serta metode untuk menjawab pertanyaan tersebut.
| Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan tidak berkembang sepenuhnya secara linear melalui akumulasi pengetahuan, tetapi pada situasi tertentu terjadi melalui perubahan paradigma. Paradigma dapat diartikan sebagai kerangka konseptual dan teoritis yang mendefinisikan pemahaman umum dan metode penelitian dalam suatu bidang ilmu. Pergeseran paradigma terjadi ketika paradigma lama tidak dapat lagi menjelaskan fenomena atau mengatasi pertanyaan dan anomali-anomali dalam ilmu pengetahuan. |
Kuhn menggambarkan perubahan paradigma sebagai revolusi ilmiah yang melibatkan perubahan fundamental dalam cara peneliti memahami dunia. Pergeseran paradigma sering kali melibatkan perubahan mendasar dalam konsep-konsep, teori-teori, metode penelitian, dan bahkan cara berpikir ilmiah itu sendiri. Ketika pergeseran paradigma terjadi, terjadi perubahan dari satu kerangka pemikiran dan metode ke yang lain yang mungkin sangat berbeda.
Kuhn juga menyoroti peran komunitas ilmiah dalam menerima atau menolak perubahan paradigma. Dia berargumen bahwa komunitas ilmiah cenderung mempertahankan paradigma yang ada, dan pergeseran paradigma sering kali melibatkan konflik dan perjuangan antara para pendukung paradigma lama dan para pendukung paradigma baru.
Filsafat Kuhn menggugah minat dan perdebatan yang luas dalam komunitas ilmiah dan filsafat sains. Konsep pergeseran paradigma memberikan pemahaman yang lebih kompleks tentang perkembangan ilmiah, peran teori, dan perubahan dalam ilmu pengetahuan. Namun, juga ada kritik terhadap pandangan Kuhn, termasuk pertanyaan tentang objektivitas ilmiah dan bagaimana pergeseran paradigma sebenarnya terjadi dalam praktik ilmiah.
Kuhn mengidentifikasi dua keadaan utama dalam perkembangan ilmiah: periode “normal science” dan “revolusi ilmiah” atau “pergantian paradigma“.
Sekali lagi, siklus Kuhn (hasil revolusi, akhirnya, menjadi normal) menunjukkan bahwa perkembangan ilmiah tidak berlangsung secara linier, tetapi melalui perubahan paradigma yang fundamental. Perubahan paradigma ini muncul sebagai respons terhadap krisis dalam paradigma yang ada dan membawa perubahan besar dalam cara komunitas ilmiah memandang dan memahami dunia.
Penting untuk dicatat bahwa konsep paradigma Kuhn awalnya dikembangkan untuk menjelaskan perkembangan dalam ilmu alam. Namun, paradigma ini juga dapat diterapkan pada bidang lain, seperti ilmu sosial, humaniora, dan manajemen, untuk memahami perubahan dalam pemahaman dan pendekatan yang mendasari praktik-praktik di dalamnya.
3) Imre Lakatos
Lakatos mengembangkan metodologi ilmiah berupa program riset. Tujuan program riset adalah untuk mempertahankan rasionalitas dan progresivitas dari sains. Kajian utama dari program riset adalah serangkaian teori sains, bukan hanya satu teori sains, dan tentu bukan hanya satu pengujian empiris sains [15].
Program riset terdiri dari dua bagian: inti dan pengaman. Inti adalah teori inti, atau hipotesis inti, yang hendak diuji. Teori inti, saat pengujian, diterima sebagai benar. Sedangkan, pengaman adalah uji hipotesis empiris yang bisa diverifikasi sebagai terbukti benar atau, justru, terbukti salah (terfalsifikasi). Hipotesis pengaman merupakan konsekuensi logis dari hipotesis inti. Kombinasi antara inti dan pengaman akan menentukan apakah suatu program riset sebagai progresif atau degeneratif.
Skenario-1. Pengujian empiris terhadap hipotesis pengaman konsisten bernilai benar. Program riset diterima sebagai progresif dan layak untuk kajian lebih lanjut.
Skenario-2. Pengujian empiris terhadap hipotesis pengaman bernilai salah atau tidak lolos falsifikasi. Ada dua kemungkinan: teori inti ditolak atau skenario pengaman ditolak. Umumnya, kita akan memilih untuk menolak skenario uji empiris pengaman. Kita bisa merancang scenario alternative untuk pengujian ulang. Sementara, teori inti masih diterima sebagaimana di awal.
Skenario-2 belum berhasil memutuskan apakah program riset tersebut sebagai progresif atau degenerative.
Skenario-3. Pengujian empiris berulang-ulang, lanjutan dari scenario-2, menunjukkan bahwa hipotesis pengaman adalah salah. Konsekuensinya, hipotesis inti ditolak. Program riset masuk kategori degenerative.
Program riset berhasil menggabungkan keunggulan falsifikasi Popper dan pergeseran paradigm Kuhn. Fokus hipotesis pengaman adalah untuk falsifikasi. Sementara, kombinasi hipotesis inti dan pengaman berada dalam suatu paradigm tertentu. Dengan demikian, program riset merupakan model saintifik yang mendekati ideal sebagai rasional dan progresif.
Bagaimana pun, program riset masih menghadapi problem rasionalitas yaitu proses heuristic.
Heuristik negatif terjadi ketika hipotesis pengaman gagal dalam verifikasi empiris, seperti skenario-2, tetapi selalu diarahkan kepada kesalahan hipotesis pengaman. Sementara, hipotesis inti tetap aman. Padahal ada posibilitas hipotesis inti bergeser menjadi program riset degeneratif.
Heuristik positif adalah secara sengaja mengkaji posibilitas teori inti gugur sebagai konsekuensi hipotesis pengaman yang gagal dalam uji empiris. Program riset terbuka terhadap posibilitas menjadi degenerative.
4) Feyerabend
Feyerabend melangkah lebih jauh dari program riset dengan menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah. “Anything goes” segala metode adalah boleh. “Freedom” semua pihak boleh mengkaji apa pun. “Prolifiration” proses menuju penyempurnaan. Pendekatan Feyerabend ini dikenal sebagai anarkisme ilmiah.
Feyerabend mempertanyakan mengapa metode ilmiah bisa mengklaim lebih unggul dari metode yang tidak ilmiah? Sebuah klaim yang tidak valid. Feyerabend mengkritik falsifikasi sebagai terlalu membatasi. Bahkan, konsistensi logika kadang perlu dilanggar untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Perkembangan konsep anarkisme ilmiah ini lebih radikal dari perkiraan awal Feyerabend [15].
Feyerabend memuji program riset dari Lakatos. Karena, menurut Feyerabend, program riset adalah anarkisme yang terselubung. Heuristik, positif atau negatif, adalah anarkisme. Demikian juga, ketika seorang peneliti menetapkan akan menetapkan hipotesis inti dan pengaman, maka peneliti tersebut akan menerapkan anarkisme ilmiah. Hanya saja, anarkisme ilmiah jauh lebih luas dari program riset rumusan Lakatos.
Jika anarkisme mengijinkan semua metode maka bagaimana kita bisa membedakan sains dengan bukan sains, sains baik dengan sains buruk, atau sains palsu? Feyerabend meyakini jika semua orang bebas untuk melakukan penelitian, bebas untuk berbagi informasi, mengejar kemajuan, maka perbedaan sains buruk dengan sains baik akan tampak jelas. Sebaliknya, justru bisa terjadi. Bila ada lembaga tertentu menetapkan bahwa metode yang mereka terapkan adalah sains baik, maka mereka bisa kamuflase menyembunyikan sains buruk di balik klaim sains baik.
Tentu saja, banyak kritik diarahkan kepada Feyerabend sebagaimana kepada Kuhn dan Lakatos. Seperti pada umumnya, pengkritik menuduh Feyerabend sebagai tidak rasional dan relativis. Feyerabend meyakini bahwa anarkisme ilmiah adalah rasional. Karena, setiap peneliti pasti mengembangkan pendekatan rasional dengan satu dan lain cara. Tetapi, Feyerabend mengakui bahwa dia menempatkan sisi kemanusiaan di atas rasionalitas itu sendiri. Untuk tuduhan relativisme memang setiap peneliti dalam kadar sedikit atau banyak pasti ada sisi relative. Karena, setiap penelitian sains akan berada dalam histori, sejarah, tertentu. Sains selalu memiliki relasi dengan histori.
5) Laudan
Laudan mengajukan konsep tradisi riset yang ada beberapa kemiripan dengan program riset Lakatos mau pun paradigm Kuhn [15]. Lebih dari itu, tradisi riset mampu mengakomodasi anarkisme ilmiah dari Feyerabend. Konsekuensinya, tradisi riset menolak konsep demarkasi dari Popper.
Tradisi riset terdiri dari sekumpulan asumsi, kebiasaan, model, praktek, histori, beragam contoh dan sebagainya dari suatu komunitas. Suatu tradisi bisa saja sangat berbeda dengan tradisi lain. Satu tradisi mungkin saja bisa berkomunikasi atau tidak bisa berkomunikasi dengan tradisi lain. Masing-masing tradisi mengembangkan kriteria rasionalitas dan progresivitasnya.
Laudan bertanya mana yang lebih fundamental antara rasionalitas dan progresivitas? Popper dan Lakatos akan lebih mengutamakan rasionalitas. Riset sains yang rasional akan mendorong progresivitas. Kuhn dan Feyerabend, barangkali, akan menempatkan posisi seimbang antara rasionalitas dan progresivitas. Laudan mengusulkan bahwa progresivitas lebih utama dari rasionalitas. Maksudnya, karena riset sains bersifat progresif maka riset tersebut adalah rasional.
Bagaimana cara menentukan suatu tradisi riset sebagai baik atau tidak? Kita bisa memilih suatu tradisi riset yang lebih baik dengan pertimbangan bahwa tradisi tersebut meliputi lebih banyak teori yang sukses. Dan, di dalam masing-masing teori terdapat riset dengan tingkat sukses yang tinggi. Bagaimana pun, tidak ada formula baku untuk saling membandingkan antara beberapa tradisi riset. Secara prinsip, tradisi riset dengan tingkat sukses lebih tinggi adalah layak untuk menjadi pilihan.
Bagaimana pun, tradisi riset menghadapi kritik dianggap sebagai tidak rasional dan relativis. Laudan bisa menjawab kritik tersebut sama sebagaimana Kuhn atau Feyerabend menjawabnya. Tradisi riset adalah rasional dengan mengembangkan kriteria rasionalitas sendiri terutama berdasar progresivitas. Relativisme dalam kadar tertentu bisa terjadi karena setiap riset berada dalam suatu tradisi.
6) Toulmin
Toulmin merespon ide Kuhn yang menyatakan perubahan sains terjadi secara revolusioner. Bagi Toulmin, perubahan sains terjadi melalui evolusi. Toulmin secara tegas mengambil analogi evolusi Darwin untuk menjelaskan evolusi sains [15]. Terdapat banyak spesies dan individu sains. Di antara sains-sains itu terjadi variasi atau mutasi acak. Kemudian, sains-sains itu akan menghadapi seleksi alam, diterima atau ditolak oleh komunitas. Bagi sains yang tidak lolos seleksi akan punah. Sementara, bagi sains yang berhasil lolos seleksi akan terus berkembang secara evolusi.
Rasionalitas dan progresivitas sains berkembang di dalam masing-masing spesies sains. Sebagaimana kita melihat keragaman makhluk hidup, demikian juga, kita melihat keragaman sains. Evolusi sains ini tampak bisa selaras dengan falsifikasi Popper, program riset Lakatos, anarkisme ilmiah Feyerabend, mau pun tradisi riset Laudan. Evolusi sains hanya bertentangan dengan revolusi sains Kuhn.
Menariknya, bagi Kuhn, evolusi sains Toulmin adalah tidak bertentangan dengan revolusi sains. Revolusi terjadi jika kita mengamati perubahan sains dari jarak jauh. Misal, teori relativitas Einstein adalah revolusi terhadap mekanika klasik Newton. Tetapi, bagi pelaku sains, misal bagi Einstein dan saintis di dekatnya, perkembangan teori relativitas berlangsung secara evolusi. Einstein sejak muda, akhir abad-19, mengkaji teori fisika klasik dan metafisika secara umum. Beberapa tahun berlalu, Einstein mengkaji teori gelombang elektromagnetik Maxwell. Kecepatan gelombang elektromagnetik, termasuk cahaya, adalah konstan. Einstein melakukan beragam kajian untuk mendamaikan gelombang elektromagnetik dengan mekanika klasik.
Perubahan evolusi ini berlangsung bertahun-tahun. Einstein berkomunikasi dengan banyak saintis lainnya semisal Schrodinger, Poincare, Lorent, dan lain-lain. Baru, pada abad-20, Einstein menetapkan postulat relativitas yang berbeda dengan asumsi mekanika klasik. Dengan demikian, setelah puluhan tahun, evolusi yang panjang ini berhasil memunculkan teori baru berupa teori relativitas Einstein.
Jadi, menurut Kuhn, evolusi sains terjadi secara internal bagi para pelaku sains. Sementara, revolusi sains terjadi jika kita mengamati dari jauh secara eksternal. Apakah Kuhn berpandangan seperti ini sejak awal 1960-an atau setelah menerima kritik dari Toulmin pada 1970-an, hasil akhirnya adalah evolusi sains diterima oleh kedua pihak.
Kita bisa menduga teori evolusi sains dari Toulmin menghadapi kritik dianggap sebagai tidak rasional dan relativis. Dan, seperti pemikir lainnya, Toulmin bisa menjawab bahwa masaing-masing spesies sains mengembangkan rasionalitas dan progresivitasnya. Sementara, relativisme dalam kadar tertentu bisa terjadi karena masing-masing episode evolusi sains menghadapi tantangan alam yang berbeda-beda.
7) Hacking
Ian Hacking, dan Michael Friedman, secara mandiri mengembangkan epistemology historis. Pendekatan epistemology historis ini mengkaji lebih dalam, dan lebih erat, relasi antara sains dan histori [15]. Pemikir sebelumnya dari Kuhn, Lakatos, Feyerabend, Laudan, dan Toulmin berhasil menunjukkan ada relasi antara sains dengan histori. Tetapi mereka tidak berhasil mengidentifikasi bagaimana relasi tersebut secara spesifik. Sementara, Popper dan Lingkaran Wina justru tidak mengenali relasi tersebut. Hacking merumuskan apriori historis dan gaya berpikir (style thinking) yang mengidentifikasi relasi histori dan sains secara spesifik.
Secara umum ada dua pendekatan epistemology historis. Pertama, philosophical history of science, atau PHS, mengkaji histori sains secara filosofis. Kedua, historical philosophy of science, atau HPS, mengkaji filsafat sains secara historis. Baik PHS mau pun HPS melibatkan filsuf dan ahli sejarah. Banyak pihak optimis bahwa para filsuf yang akan berhasil mengkaji dengan baik semisal Hacking [15].
Hacking bertanya apa yang memungkinkan sains bisa terjadi? Pertanyaan ini mengulangi pertanyaan Immanuel Kant bagaimana manusia bisa mengetahui? Hanya saja, Hacking lebih spesifik kepada sains.
Kant menjawab bahwa pengetahuan empiris hanya mungkin terjadi jika manusia sudah memiliki pengetahuan apriori berupa kategori transcendental semisal kualitas, kuantitas, relasi, dan modalitas. Kategori ini bersifat transcendental sehingga tidak memerlukan pengalaman empiris. Sebaliknya yang terjadi, yaitu setiap pengalaman empiris memerlukan kategori transcendental secara apriori.
Hacking menjawab bahwa sains hanya mungkin terjadi jika sains memiliki pengetahuan apriori yaitu apriori historis. Apriori historis merupakan syarat perlu dan tak bisa dihindari oleh sains. Di saat yang sama, apriori historis terbentuk melalui histori. Sehingga, suatu apriori historis bisa digantikan oleh apriori historis lain melalui perubahan yang radikal.
Barangkali, kita bisa membuat ilustrasi untuk memudahkan pemahaman. Konsep bilangan negatif baru bisa diterima komunitas sains, secara luas, beberapa ratus tahun terakhir ini. Sementara, ribuan tahun yang lalu, masyarakat menolak konsep bilangan negatif. Meski pun mereka merasa perlu dengan bilangan negatif semisal ketika untuk menghitung utang-piutang. Masyarakat mudah memahami bahwa operasi bilangan 2 + 3 = 5 tetapi menolak operasi bilangan 2 – 3 = N. Karena mereka masih menolak eksistensi bilangan negatif.
Sejarah terus bergulir. Konsep bilangan negatif mulai diterima oleh komunitas. Sehingga, operasi bilangan 2 – 3 = -1 adalah valid. Bahkan, valid secara apriori tanpa harus ada pengamatan empiris. Jika 100 tahun yang akan datang, misal di tahun 2123, ada orang menghitung operasi bilangan bulat 2 – 3 = N, maka dia akan menemukan hasil N = -1. Pasti benar dijamin secara apriori.
Konsep bilangan negatif adalah apriori historis; bersifat apriori tetapi terbentuk melalui proses histori. Demikian juga, hukum Newton tentang gaya adalah apriori historis.
Hacking juga mengenalkan konsep gaya berpikir dalam perjalanan histori sains. Aristoteles dan Ibnu Sina tidak memerlukan gaya berpikir probabilistic. Karena mereka, Aristoteles dan Ibnu Sina, tidak mengenal gaya berpikir probabilistic. Sementara, kita mengenal dan memerlukan gaya berpikir probabilistic. Pengolahan data yang besar perlu gaya berpikir probabilistic, dan statistic. Apakah 1000 tahun mendatang umat manusia masih memerlukan gaya berpikir probabilistic? Atau sudah digantikan oleh gaya berpikir yang lain?
Berpikir ilmiah adalah gaya berpikir yang kita butuhkan di jaman ini. Bukan karena berpikir ilmiah mengantarkan kita mencapai kebenaran tetapi berpikir ilmiah menjadi bagian dari standar kita untuk mendekati kebenaran.
8) Sosiologi
Sosiolog jaman dulu sepakat dengan para filsuf bahwa peran social, misal ekonomi dan politik, adalah membelokkan cara berpikir rasional yang semula ilmiah. Tentu saja, cara berpikir ini mulai terkikis sejak Kuhn mengenalkan konsep pergeseran paradigm. Aspek social memberi konteks bagi perkembangan sains.
Sosiolog generasi baru, akhir abad-20, melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa konteks social adalah aspek internal bagi sains itu sendiri. Konteks social membentuk rasionalitas sains. Rorty memandang rasionalitas bukanlah sebuah pikiran yang terhubung dengan realitas obyektif. Tetapi, rasionalitas adalah bersikap terbuka dan antusias terhadap suatu tema, lebih mengutamakan persuasi dari pada tekanan [15].
9) Artifisial
Secara tidak langsung, sains artifisial berhubungan dengan filsafat sains. Simon mengembangkan sains artifisial dengan tujuan menemukan cara membuat keputusan (decision making) yang tepat [15]. Untuk mengambil keputusan, kita perlu menerapkan kemampuan rasionalitas. Simon menemukan bahwa rasionalitas manusia selalu terbatas (bounded rasionality). Selalu ada informasi, ada aspek tertentu, yang berada di luar jangkauan kita. Dengan situasi bahwa informasi tidak lengkap, kita harus mengambil keputusan maka kita berpikir heuristic.
Ke arah mana cara berpikir heuristic itu? Apakah heuristic akan mengantar manusia kepada kebenaran? Heuristik hanya bisa mengantar manusia kepada kecukupan (satisficing). Maksudnya, heuristic tidak menjamin keputusan bernilai benar, tetapi heuristic memastikan keputusan tersebut mencukupi kebutuhan individu, kebutuhan social, dan kebutuhan lainnya.
Cara berpikir heuristic berkembang lebih luas dari sekedar kasus pengambilan keputusan. Komputer atau sistem digital, sains artifisial, mengambil keputusan juga menggunakan konsep heuristic. Karena, computer juga memiliki keterbatasan data, keterbatasan waktu, dan keterbatasan energi. Sementara itu, computer harus mengambil keputusan. Sehingga, computer dan sains artifisial secara umum menerapkan cara berpikir heuristic.
Sebagaimana sudah kita bahas di atas, epistemology sains juga menerapkan berpikir heuristic dalam beberapa kesempatan. Sehingga, kita perlu mempertimbangkan sains artifisial dalam penelitian desain dengan mengkaji buku “The Science of The Artificial.”
“The Science of The Artificial” adalah sebuah buku yang ditulis oleh Herbert A. Simon, seorang ahli ilmu sosial dan penerima Nobel Ekonomi. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1969, diikuti edisi kedua dan ketiga yang diterbitkan pada tahun 1981 dan 1996. Herbert Alexander Simon (15 Juni 1916 – 9 Februari 2001) adalah seorang ilmuwan politik Amerika, dengan gelar Ph.D. dalam ilmu politik, yang karyanya juga memengaruhi bidang ilmu komputer, ekonomi, dan psikologi kognitif. Minat penelitian utamanya adalah “decision making” dalam organisasi dan dia terkenal karena teori “bounded rationality” dan “satisficing“.
Dari pembahasan kita di atas, tampak jelas bahwa sains memiliki relasi dengan histori. Relasi mereka tampak bersifat historis juga. Konsekuensinya, sains menjadi lebih dinamis.
5.2 Makna Sains Otentik
Sains tidak otentik. Andai sains berhasil meraih kebenaran, maka kebenaran sains adalah tidak otentik. Di saat yang sama, sains menyimpan banyak dogma-dogma.
5.3 Solusi Sains Futuristik

Tinggalkan komentar