Siapa pemenang debat capres 2024? Siapa pemenang debat cawapres 2024?

Pemenang debat capres adalah Anies. Karena Anies berhasil menunjukkan jawaban yang pintar, cerdas, dan cepat. Mengapa begitu? Karena saya pendukung Anies.
Pemenang debat capres 2024 adalah Prabowo. Karena Prabowo berhasil menunjukkan sikap patriot rela berkorban untuk Indonesia, adil, dan terbuka. Mengapa begitu? Karena saya pendukung Prabowo.
Pemenang debat capres 2024 ini adalah Ganjar. Karena Ganjar berhasil menunjukkan sebagai pemimpin demokratis, merakyat, dan membela wong cilik. Mengapa begitu? Karena saya pendukung Ganjar.
1. Perbedaan
2. Pembedaan
3. Serasi
4. Lebih Baik
5. Pilih Kasih
6. Diskusi
6.1 Komparasi
6.2 Satu Dimensi
6.3 Preferensi
6.4 Etika
7. Penutup
Adakah cara menentukan pemenang debat capres dan cawapres yang obyektif? Ada. Kita akan membahasnya di tulisan ini. Tentu saja, tidak mudah menentukan pemenang debat capres mau pun cawapres. Karena, setiap penilaian obyektif akan melibatkan sisi subyektif dengan satu dan lain cara.
Rakyat sebagai penonton dan pemilih berhak menentukan pemenang debat. KPU wajib, atau seharusnya, menunjukkan capres cawapres yang menang debat. Timses masing-masing paslon juga seharusnya menunjukkan kemenangan masing-masing capres dengan tegas. Bagaimana pun, kita hanya bisa estimasi pemenang debat; tidak sampai hasil final sejelas sepak bola dengan adu pinalti, misalnya.
1. Perbedaan
Problem pertama dari debat capres adalah gagal menunjukkan perbedaan capres. Semua capres tampak sama saja. Misal menang Anies, maka bisa saja Prabowo dan Ganjar jadi menteri. Begitu juga bila menang Prabowo atau Ganjar, lainnya bisa jadi menteri. Jadi apa perbedaan mereka? Tidak jelas.
KPU, paslon, dan timses perlu memastikan bahwa capres mereka pasti beda dengan capres cawapres lainnya. Bagaimana caranya?
Ide saya: persilakan capres memilih hanya 1 sila dari 5 sila Pancasila yang paling utama bagi capres tersebut. Bisa ditulis di kertas tertutup, kemudian dibacakan oleh moderator. Apakah semua capres akan memilih 1 sila yang sama? Tampaknya, akan ada pilihan yang berbeda.
Selanjutnya, silakan capres mengurutkan 4 sila dari Pancasila, yang belum dipilihnya, dari yang paling utama. Tentu, akan menghasilkan urutan yang berbeda. Beri waktu 1 atau 2 menit bagi masing-masing capres, untuk menjelaskan, mengapa mereka membuat urutan prioritas sila-sila Pancasila seperti itu.
Pada tahap ini, kita sudah bisa melihat perbedaan dari masing-masing capres. Meski, kita belum bisa menentukan siapa pemenang di antara mereka. Tetapi, rakyat sudah bisa mulai membedakan karakter dan sikap para capres atau cawapres 2024 berdasar urutan sila-sila Pancasila.
2. Pembedaan
Beri tugas masing-masing capres untuk membedakan program kerjanya dengan program kerja capres lainnya. Capres perlu menegaskan: [1] program atau visi yang akan dia lakukan dan pasti capres lain tidak akan melakukannya; [2] program kerja yang akan dilakukan capres lain tetapi pasti tidak saya lakukan (sebagai capres bila terpilih).
Pada tahap ini, capres tidak boleh mengatakan setuju dengan capres lain. Karena program yang sama-sama setuju tidak perlu diperdebatkan; biarkan jadi catatan saja. Justru, masing-masing capres harus klaim bahwa program pilihannya lebih bagus dari capres lain; atau program capres lain lebih buruk dari program pilihannya.
Tentu saja, debat menjadi seru; memang itu yang rakyat tunggu. Meski seru, semua calon presiden perlu menunjukkan sikap sopan. Sikap emosional justru akan merugikan diri mereka sendiri.
Problem Teknis
Banyak problem teknis di debat capres kemarin. Salah satunya adalah masalah “waktu” dan minimnya peran moderator mau pun panelis.
Usulan Timer
Timer 2 menit dan 1 menit sebaiknya digabung menjadi 3 menit; kendali timer ada pada capres dan cawapres; mirip timer pada permainan catur.
Bila capres ingin bicara maka dia tekan timer; mikrofon aktif; timer aktif menghitung waktu mundur.
Bila capres ingin diam maka dia tekan mematikan timer; mikrofon mati; timer berhenti.
Dengan demikian, capres benar-benar memiliki waktu bicara 3 menit; dan bisa berdebat saling menyahut; bisa saling kritis; bisa saling menimpali. Debat menjadi lebih hidup.
Usulan Pilihan Ganda
Di bagian akhir setiap sesi, moderator atau panelis perlu untuk memberi pertanyaan konkrit kepada masing-masing paslon dengan pilihan ganda: [a] setuju; [b] tidak setuju; [c] ragu-ragu. Capres diberi waktu 30 detik untuk menjelaskan alasan pilihannya.
Sampai tahap ini, rakyat akan berhasil membedakan masing-masing capres. Rakyat berhasil menentukan siapa pemenang debat capres cawapres 2024. Tentu saja, penilaian ini bersifat obyektif yang berpadu dengan penilaian subyektif.
3. Serasi
Capres deklarasi dengan tegas, “Siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden maka kita akan mendukung pemerintahan yang sah tersebut.” Semua capres-cawapres komitmen manjaga harmoni dan serasinya seluruh negeri. Pilpres memang bertujuan untuk “membedakan” di antara semua capres dan cawapres. Tetapi, setelah terpilih presiden resmi maka semua kembali serasi membangun negeri. Sebagian duduk di jabatan kursi. Sebagian yang lain bisa menjadi oposisi.
4. Lebih Baik
Di antara semua paslon capres-cawapres 2024 mana yang lebih baik? Mana yang paling baik?
Lederman menulis makalah yang membahas epistemologi: [1] better-ness; kelebihan; menentukan suatu pilihan mana yang lebih baik dari pilihan lain; [2] preferensi; pilihan mana yang akhirnya disukai atau dipilih oleh seseorang. Makalah Lederman ini menjadi makalah epistemologi terbaik di tahun 2023.
Pertama, kita bisa mengurutkan paslon cawapres untuk menentukan better-ness; mana yang lebih baik. Ada 6 macam urutan dari yang terbaik: 123; 132; atau 213; 231 atau 312; 321.
Berbagai macam kriteria bisa kita kembangkan untuk membandingkan better-ness paslon: pengalaman, rekam jejak, komitmen, sikap, dan lain-lain. Untuk penentuan ini, kita bisa diskusi atau berdebat sampai pagi; bisa juga melakukan suatu studi.
Kesimpulan akhir dari better-ness adalah selalu tidak lengkap; selalu ada lubang kelemahan rasional; selalu ada celah logika. Jadi, tidak pernah ada kesimpulan akhir yang bersifat pasti. Setiap kesimpulan, selalu, bisa diperdebatkan lagi.
Apa pun kesimpulan Anda, tentang kelebihan capres, selalu tidak pernah lengkap.
Tetapi, meski tidak lengkap, bukankah kita bisa memilih berdasar selera masing-masing? Kita perlu membahas preferensi atau pilih kasih.
5. Pilih Kasih
Kedua, benar bahwa setiap orang bisa menentukan pilihan berdasar selera atau pilih kasih atau preferensi. Saya memilih paslon capres-cawapres 2024 karena saya suka dia dan wakilnya. Sudah, begitu saja.
Preferensi ini bisa saja bias, tidak adil, dan tidak bertanggung jawab. Tetapi, bukankah realitas memang seperti itu?
Di sinilah peran penting KPU, Bawaslu, dan segenap warga untuk menjaga pemilu berjalan dengan jujur adil. Perlu pencegahan dan tindakan tegas terhadap kecurangan, money politic, bagi-bagi sembako, dan lain-lain.
Asumsikan tidak ada kecurangan; asumsikan proses pilpres berlangsung jujur adil; apakah preferensi bisa dibenarkan? apakah pilih kasih bisa dipertanggung-jawabkan?
Tidak bisa. Pilih kasih tidak bisa dijustifikasi rasional. Preferensi selalu tidak lengkap. Pilih kasih selalu tidak logis.
[1] Preferensi hanya bisa bersifat rasional bila didasarkan pada data better-ness yang lengkap. Tetapi, data better-ness dari masing-masing capres tidak pernah lengkap. Jadi, preferensi tidak pernah lengkap.
[2] Asumsikan data better-ness dari masing-masing calon sudah lengkap; tetap ada kesulitan logis bagaimana kita membuat relasi dari better-ness ke preferensi; jadi preferensi tetap tidak lengkap.
Hanya ada satu solusi tersisa: tanggung jawab moral. Apa pun pilihan Anda dalam pilpres, Anda tetap wajib tanggung jawab. Lebih-lebih, presiden yang terpilih, dia paling besar memikul tanggung jawab masa depan Indonesia.
Bagaimana menurut Anda?
6. Diskusi
Di bagian ini, kita akan diskusi lebih jauh tentang pilpres berkenaan better-ness (komparasi; kelebihan) dan pilih kasih (preferensi). Saya menambahkan pentingnya etika di bagian akhir diskusi.
6.1 Komparasi
Mengapa seseorang memilih capres K bukan capres M? Karena capres K lebih baik dari capres M. Mengapa capres K lebih baik dari M?
Kita akan menjawab dengan membandingkan empat model komparasi: [1] harapan; [2] tekanan; [3] imbang; [4] mandiri.
[1] Harapan. Seseorang akan memilih sesuatu bila sesuatu itu memberi harapan lebih baik.
Capres K memberi harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 9%; capres M memberi harapan pertumbuhan ekonomi 7%. Karena itu, saya memilih capres K.
[2] Tekanan. Seseorang tidak memilih sesuatu bila sesuatu itu mengakibatkan tekanan atau mengakibatkan kerugian.
Saya tidak memilih capres M karena capres M tidak memperhatikan bidang pendidikan. Capres M hanya fokus ekonomi; tetapi bidang pendidikan telantar; pendidikan makin terpuruk.
Apakah seseorang akan hadir untuk memberikan suara pada hari pemungutan suara pilpres nanti? Mereka akan memberikan suara bila pilpres memberi “harapan.” Mereka tidak akan memberikan suara bila pilpres hanya berisi “tekanan.” Orang-orang yang mengatakan, “Di antara para capres, kita memilih yang keburukan mereka paling kecil,” seharusnya mereka tidak memberikan suara saat pemilu nanti. Karena pemilu hanya merupakan “tekanan.”
Kita mengenal golput atau golongan putih yaitu orang-orang yang tidak memberikan suara pada pemilu. Tentu, hak pribadi seseorang untuk memilih golput. Bisa jadi, golput berkontribusi positif bagi demokrasi. Bagaimana pun, KPU dan partai politik perlu meningkatkan partisipasi masyarakat.
[3] Imbang. Seseorang tidak perlu memilih sesuatu bila pilihan itu berimbang antara harapan dan tekanan.
Saya tidak perlu memilih capres K karena capres K memberi harapan pertumbuhan ekonomi tetapi bisa juga capres K mengakibatkan korupsi melalui birokrasi. Saya bahkan bisa saja golput karena pilpres berimbang antara harapan dan tekanan.
[4] Mandiri. Seseorang memilih K dari pada M dengan resiko yang sama yaitu kehilangan hak pilih jika seseorang itu tidak menentukan pilihan.
Pilihan K bisa saja sulit dibandingkan dengan pilihan M. Tetapi, seseorang harus menentukan pilihan dengan resiko yang sama bila tidak memilih. Jadi, K mandiri terhadap M tetapi resiko K sama persis dengan resiko M bila tidak terjadi pemilihan tersebut.
Mari kita terapkan 4 model komparasi di atas untuk menentukan pilihan capres cawapres 2024. Untuk memudahkan diskusi, saya memberikan angka ke masing-masing capres sebagai simulasi.
Anies = [1, 6];
Jasmani = 1 bermakna pembangunan ekonomi, jembatan, dan gedung adalah biasa-biasa saja; ruhani = 6 bermakna penegakan keadilan, pengembangan pendidikan, dan aspek spiritual sangat bagus.
Prabowo = [6, 1];
Jasmani = 6 bermakna pembangunan ekonomi, jembatan, dan gedung sangat baik; ruhani = 1 bermakna penegakan keadilan, pengembangan pendidikan, dan aspek spiritual biasa-biasa saja.
Ganjar = [4, 3];
Jasmani = 4 bermakna pembangunan ekonomi, jembatan, dan gedung baik; ruhani = 3 bermakna penegakan keadilan, pengembangan pendidikan, dan aspek spiritual cukup baik.
Secara komparasi di atas, siapa capres yang paling baik? Anies terbaik dari aspek pengembangan ruhani; Prabowo terbaik dari aspek pengembangan jasmani; Ganjar terbaik dalam aspek keseimbangan jasmani dan ruhani. Tetapi, bila jasmani dan ruhani digabungkan maka semua capres sama-sama mendapat nilai 7.
Menariknya, semua capres mendapat nilai total positif yaitu 7; sehingga, harapan rakyat ikut positif; rakyat akan berbondong-bondong menuju bilik suara untuk memberikan suaranya. Model komparasi yang sesuai adalah model-harapan; sementara, model-tekanan tidak sesuai di contoh simulasi kita kali ini. KPU berhasil meloloskan capres dengan kualitas tinggi. Partai politik berhasil dengan baik dalam kaderisasi. Indonesia akan segera menjadi negara adil makmur. Benarkah itu semua?
Bisa saja, ada orang yang berpikir kritis. Mereka memberi nilai negatif kepada semua pasangan capres cawapres. Mereka mengatakan bahwa memilih capres adalah memilih capres yang paling kecil bahayanya. Bila demikian, model-tekanan adalah yang paling sesuai; model-harapan tidak lagi sesuai. Seharusnya, rakyat tidak perlu datang memberikan suara ketika pemilu nanti; rakyat lebih banyak yang golput. Benarkah seperti itu?
Model-imbang barangkali memang lebih imbang dalam menilai situasi pilpres 2024. Masing-masing capres memiliki nilai positif dan negatif. Jadi, memang imbang. Lalu, mengapa harus ada pilpres? Mending status quo saja. Atau sengaja golput?
Model-mandiri barangkali bisa bersikap optimis. Masing-masing capres bisa saja bernilai positif atau negatif secara mandiri. Karena mandiri maka masing-masing rakyat bebas untuk memberikan suara ketika pilpres 2024; bebas juga tidak memberi suara atau golput.
Golput perlu kita perhatikan karena memiliki peran penting dalam demokrasi. Golput, besar atau kecil, menunjukkan bahwa presiden terpilih atau pejabat terpilih hanyalah dipilih oleh sebagian kecil rakyat. Sehingga, presiden dan pejabat tetap perlu mendengarkan suara rakyat banyak dengan hati terbuka; menciptakan ruang publik yang baik; banyak melakukan konsultasi publik yang bermakna. Di sisi lain, KPU dan partai politik perlu meningkatkan dukungan dan partisipasi publik untuk meningkatkan legitimasi politik.
Kembali ke pertanyaan utama: siapa capres terbaik antara Anies, Prabowo, dan Ganjar?
Karena masing-masing capres mendapat poin 7 maka kita perlu kriteria lanjutan (dari jasmani dan ruhani). Secara matematis, resultan vektor sudah sering dipakai, misal dikuadratkan.
Anies = 1^2 + 6^2 = 37
Prabowo = 6^2 + 1^2 = 37
Ganjar = 4^2 + 3^2 = 25
Anies (37) dan Prabowo (37) lolos ke putaran dua; Ganjar (25) tereleminasi. Apakah valid menetapkan resultan vektor dengan 1 dimensi seperti itu? Orang-orang bisa mengajukan keberatan.
Alternatif kriteria lanjutan adalah keseimbangan dengan cara mengalikan.
Anies = 1 x 6 = 6.
Prabowo = 6 x 1 = 6.
Ganjar = 4 x 3 = 12.
Ganjar unggul menjadi yang terbaik. Anies dan Prabowo pada urutan berikutnya.
6.2 Satu Dimensi
Kriteria akhir sudah bagus berupa 1 dimensi saja; sebuah angka bilangan saja. Dengan demikian menjadi jelas; siapa capres yang menang dan siapa yang kalah. Tetapi, kriteria 1 dimensi mengakibatkan manusia teralihkan dari pemahaman mendalam; menjadi hanya fokus menang vs kalah. Padahal kemampuan memahami suatu masalah dengan mendalam adalah nilai penting bagi setiap manusia. Kriteria 1 dimensi beresiko salah arah.
Contoh pernyataan yang salah karena satu dimensi adalah S = Tidak penting etika; tidak penting teori; tidak penting spekulasi; tidak penting pemahaman. Jika rakyat suka, biarkan rakyat memilih capresnya. Suara terbanyak dari rakyat adalah penentu seorang capres sebagai pemenangnya.
Pernyataan S menjadi salah karena satu dimensi; menentukan segalanya hanya dari perolehan suara rakyat. Pilpres lebih dari sekedar suara; pilpres lebih dari sekedar menang kalah; pilpres lebih dari sekedar kompetisi. Pilpres adalah proses bagi rakyat untuk memahami nasib dirinya; rakyat untuk memahami pemimpin politik selama ini; rakyat untuk memahami calon pemimpin masa depan; pemimpin untuk memahami dirinya sendiri; pemimpin untuk memahami rakyatnya; dan calon pemimpin untuk memahami rakyat dan negara.
Contoh lagi, pernyataan yang salah karena satu dimensi adalah U = uang adalah segalanya; tidak penting teori; tidak penting susah atau mudah; tidak penting etika atau politik; tidak penting pertanian atau industri; tidak penting kerja atau dagang; yang penting adalah menghasilkan uang besar.
Pernyataan U menjadi salah karena menganggap uang adalah satu-satunya dimensi penentu bagi segalanya. Yang benar, manusia membutuhkan banyak hal yang bernilai lebih dari sekedar uang. Manusia butuh berkarya; manusia butuh olah raga; manusia butuh sastra; manusia butuh makna. Manusia memang bukan satu dimensi; manusia adalah banyak dimensi.
Kita menghadapi kontradiksi dari satu dimensi. Di satu sisi, kita butuh 1 dimensi agar bisa menentukan mana pilihan terbaik. Di sisi lain, kita selalu salah arah dalam menentukan pilihan berdasar 1 dimensi itu; karena penetapan kriteria 1 dimensi tidak bisa dijustifikasi secara rasional logis. Kontradiksi selalu terjadi.
C = Capres yang memperoleh suara lebih dari 50% adalah pemenang pilpres.
Pernyataan C di atas tidak bisa dijustifikasi secara logis; selalu ada lubang logika; selalu ada kelemahan rasional. Tetapi, bukankah Indonesia meyakini dan menerapkan C? Capres yang meraih suara lebih dari 50% adalah menang?
Pernyataan C menjadi benar karena Indonesia sepakat tentang C. Setelah syarat dan ketentuan dipenuhi, capres dengan suara lebih dari 50% adalah pemenang sebagai presiden terpilih.
Beda dengan US. Trump hanya memperoleh 62 juta suara; sementara Hillary memperoleh 65 juta suara. Tetapi, Trump adalah pemenang terpilih menjadi presiden Amerika pada tahun 2016. Jadi, US tidak menetapkan suara terbanyak sebagai penentu kemenangan pilpres. US menetapkan electoral vote sebagai penentu.
Indonesia beda dengan US. Lalu mana yang lebih baik dari Indonesia dengan US? Tidak bisa dipastikan secara logis. Maksudnya, Indonesia bisa saja lebih baik atau setara atau lebih buruk dari US dalam menentukan kemenangan pilpres.
Kriteria satu dimensi selalu menghadapi kontradiksi. Saya tambahkan contoh lagi: lebih besar mana jam 3 atau jam 9?
Umumnya, jam 9 adalah lebih besar; pukul 9 lebih besar dari pukul 3; yaitu, awalnya pukul 3, kemudian waktu berjalan, akhirnya pukul 9.
Kita mudah memahami, dengan melihat jam dinding, bahwa jam 3 lebih besar dari jam 9; awalnya jam 9 malam, kemudian waktu berjalan, akhirnya jam 3 dini hari. Ada kontradiksi. Angka-angka pada jam dinding tidak bersifat linear; tetapi jam adalah berputar; jam adalah melingkar. Jadi, suara terbanyak sebagai penentu kemenangan bukanlah suatu kebenaran; tetapi hanya prosedural.
6.3 Preferensi
Pokoknya, saya memilih presiden yang saya suka. Sudah, itu saja. Mengapa Anda suka kepada capres yang itu bukan capres yang lain? Preferensi atau pilih kasih bisa terjadi sejak lama; bisa juga terjadi sesaat begitu saja; bisa juga karena rekayasa.
Anak kecil yang sering mendengar kisah kepahlawanan proklamator Soekarno bisa dengan mudah suka kepada capres yang meneruskan karakter Soekarno. Anak kecil yang sering mendengar, dan merasakan, manfaat pembangunan era Soeharto bisa dengan mudah mendukung capres yang meneruskan karakter Soeharto. Preferensi terbentuk sejak kecil dan makin kuat sampai dewasa.
Bagi-bagi uang kepada rakyat kecil bisa menjadikan rakyat kecil memilih capres tersebut. Membuka lapangan kerja bagi pemuda bisa menjadikan masyarakat memilih capres itu. Memperbaiki jalan berlubang dengan aspal yang mulus bisa menjadikan rakyat mendukung capres bersangkutan. Tentu saja, ancaman keselamatan kepada anggota keluarga pasti memaksa kepala keluarga menurut memilih capres tertentu.
Apakah preferensi terhadap capres bisa dijustifikasi secara logis? Dijustifikasi secara rasional? Tidak bisa. Preferensi kepada capres tertentu tidak bisa dijustifikasi secara rasional.
Sudah kita bahas, di atas, preferensi tidak bisa dijustifikasi rasional karena beberapa hal. [1] Preferensi rasional membutuhkan adanya komparasi antar capres yang tuntas. Sementara, komparasi antar capres tidak pernah tuntas. [2] Andai terdapat komparasi capres yang tuntas maka kita perlu membangun relasi yang memadai antara pikiran dengan komparasi. Relasi yang memadai ini tidak pernah tercapai. [3] Konsekuensi dari gagalnya justifikasi rasional maka manusia perlu bergeser kepada justifikasi moral dalam preferensi capres. Meski justifikasi rasional tidak sempurna, kita tetap memerlukan analisis rasional; bahkan analisis rasional adalah analisis paling penting.
Debat capres adalah tanggung jawab moral; agar masyarakat memahami capres dan capres memahami rakyat. Demikian juga, kampanye secara umum adalah tanggung jawab moral; bukan hanya rasional; bukan pula hanya untuk meraih kemenangan suara.
Saya mengembangkan 5 kriteria yang memudahkan bagi Anda untuk menentukan preferensi yaitu EKPRO = etika, komparasi, progresif, rasional, dan obyektif.
[1] Obyektif. Apakah teori ini, atau janji oleh capres, bersifat obyektif? Apakah bisa diuji oleh orang-orang yang berbeda? Apakah bisa diulangi di beberapa ruang dan waktu yang berbeda?
[2] Rasionalitas. Apakah teori ini, atau janji capres, masuk akal sehat? Apakah dengan kajian yang mendalam, makin kokoh? Apakah teori dan janji ini bisa dibuatkan struktur logika untuk memudahkan pemahaman?
[3] Progresif. Apakah teori, atau realisasi janji, makin berkembang? Apakah sebagian dari janji disingkirkan karena salah? Apakah ditambahkan bagian janji baru yang lebih bagus?
[4] Komparasi. Apakah teori dari capres ini lebih baik dibanding teori dari pesaing? Apakah efektif dan efisien? Apakah lebih murah dan bermanfaat?
[5] Etika. Apakah pendukung capres ini menjunjung tinggi nilai-nilai etika? Apakah mereka jujur terpercaya? Apakah mereka adil?
Penetapan kriteria di atas berupa interpretasi. Sehingga, peran manusia sangat penting. Anda bisa mengembangkan kriteria yang berbeda dari contoh saya di atas.
6.4 Etika
Anda memilih capres yang mana pun maka Anda wajib tanggung jawab terhadap pilihan Anda itu. Lebih-lebih, capres yang terpilih menjadi presiden adalah yang paling besar bertanggung jawab untuk mewujudkan Indonesia adil makmur. Andai Anda golput pada pemilu maka, tetap saja, Anda bertanggung jawab atas golput itu.
Etika seperti apa yang menjamin preferensi kita kepada capres bisa dipertanggung-jawabkan?
Ketika menghadapi realitas yang sama, masing-masing orang bisa menghasilkan respon penilaian-cantik dan cinta yang berbeda; menghasilkan preferensi berbeda-beda terhadap capres cawapres.
Melihat kebun teh yang indah, seseorang bisa berpikir untuk menguasainya. Ketika melihat tambang emas berlimpah, seseorang bisa berpikir untuk eksploitasi. Ketika melihat gadis cantik, seseorang bisa berpikir untuk memperdayanya.
Tetapi, orang lain bisa merespon dengan lebih baik. Melihat kebun teh yang indah, dia berpikir untuk menjaga alam semesta. Melihat tambang emas, dia berpikir untuk mensejahterakan masyarakat sekitar. Melihat gadis cantik, dia berpikir mendukungnya dengan memfasilitasi edukasi terbaik.
Mengapa bisa jauh berbeda? Mengapa preferensi saling kontradiksi?
Ontologi cahaya menunjukkan pentingnya etika untuk mengembangkan pengetahuan dan intuisi preferensi. Kita hanya bisa meraih cahaya yang lebih tinggi, cahaya yang lebih kuat, melalui perilaku etis yang layak. Pertama, etika ekonomi. Kita perlu melatih diri hidup sederhana. Mengejar kebutuhan ekonomi hanya sekedarnya saja. Lebih banyak memanfaatkan sumber ekonomi untuk membantu kehidupan sesama dan alam raya.
Kedua, etika politik. Kita hanya perlu memanfaatkan kekuatan politik sekedarnya saja. Tidak perlu sombong, tidak perlu merasa paling mampu menguasai alam raya. Kita memanfaatkan kekuatan politik untuk membangun kekuatan rakyat. Sehingga, setiap orang mampu berkembang meraih bakat-bakat terbaik mereka. Pada gilirannya, kita bersama masyarakat membangun alam raya dengan segala kekuatan, dan kelemahan, yang ada.
Ketiga, etika berpikir terbuka. Kita perlu membuka pikiran, membuka hati, dan membuka diri. Cahaya yang tinggi hanya datang kepada mereka yang membuka hati. Bagaimana cahaya akan masuk jika pintu hati kau tutup rapat-rapat? Mari bersikap terbuka terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat sekitar, terhadap alam raya, dan paling penting, terbuka kepada Cahaya Tertinggi.
Kita sadar, sebagai rakyat, kita perlu mengembangkan tiga etika di atas: etika-ekonomi; etika-politik; dan etika-berpikir-terbuka. Tetapi, bukankah paslon capres cawapres adalah yang paling perlu mengembangkan etika tersebut? Pertanyaan ini valid dan membutuhkan jawaban yang solid.
7. Ringkasan
[1] Debat capres cawapres adalah media untuk pembedaan antara capres. Jadi, debat capres dan kampanye adalah sengaja untuk membandingkan satu capres dengan capres lainnya. Bukan untuk menemukan kesepakatan. Program yang disepakati oleh para capres biarkan jadi catatan masing-masing. Program yang menjadi perbedaan, itulah yang perlu diperdebatkan.
[2] Rakyat perlu membuat komparasi untuk menentukan capres terbaik. Capres sendiri boleh meng-klaim dirinya sebagai capres terbaik dengan beragam argumen. KPU dan panitia debat perlu untuk menunjukkan komparasi ini secara eksplisit. Saya mengusulkan beberapa strategi agar komparasi menjadi eksplisit: timer dikendalikan oleh capres; urutkan sila Pancasila; program unik capres.
[3] Dari analisis komparasi, rakyat bisa menetapkan pilihan berdasar preferensi terhadap satu capres. Tetapi, komparasi mau pun preferensi tidak pernah lengkap. Sehingga, preferensi selalu tidak bisa dijustifikasi secara logis. Preferensi hanya bisa dijusitifikasi secara moral. Konsekuensinya, setiap orang bertanggung jawab secara etika.
Semoga Indonesia makin adil makmur. Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar