Sistem Zonasi: Studi Kasus Terbaik Aturan Hukum

Peraturan menteri menetapkan sistem zonasi untuk sekolah dasar dan menengah. Terjadi pro kontra sejak awal, tahun 2019, sampai sekarang tahun 2024. Secara prinsip, zonasi menetapkan bahwa sekolah hanya bisa menerima siswa dari zona tertentu. Dalam prakteknya, maksud zona adalah jarak atau radius antara sekolah dengan rumah calon siswa. Tulisan ini akan mengkaji zonasi secara reflektif paradigmatik. Pertama, zonasi menghadapi paradoks aturan hukum. Kedua, dalam prakteknya, zonasi merugikan lebih banyak pihak. Ketiga, kita mengusulkan beberapa alternatif solusi.

Tujuan zonasi adalah agar sekolah memperoleh siswa dari jarak, atau radius, paling dekat. Kenyataannya, banyak siswa yang berjarak 700 meter dengan sekolah tertolak oleh sekolah tersebut; kemudian, terpaksa dia harus sekolah swasta yang lebih mahal dengan jarak lebih jauh, sampai 3000 meter. Lebih banyak lagi, siswa yang tinggal di kampung, bahkan, sudah dihapuskan hak mereka untuk daftar ke sekolah terdekat karena sekolah terdekat berjarak bisa 10 km atau lebih; andai diijinkan mendaftar, siswa tersebut juga akan ditolak karena jarak yang lebih dekat dari 1 km saja banyak yang terbukti ditolak. Apa masalah zonasi? Apa solusi zonasi?

1. Paradoks Aturan Hukum
1.1 Paradoks Penetapan
1.2 Paradoks Mengikuti Aturan
1.3 Paradoks Keterbatasan dan Tidak Lengkap
2. Praktek Zonasi Gelap
2.1 Penentuan Radius
2.2 Penetapan KK
2.3 Pembelian KK
2.4 Prestasi Raport
2.5 Prestasi Lomba
3. Alternatif Solusi
3.1 Gratis Sampai Sarjana
3.2 Lotere Seleksi Universitas
3.3 Swasta Jadi Negeri
3.4 Zonasi Siswa
3.5 Seleksi Proporsi
4. Dialog Lagi
4.1 WKR: Wrong Kind of Reason
4.2 Khatir Ghazali
4.3 Visi Futuristik Biopolitik

Paradoks aturan hukum adalah inheren dalam setiap aturan. Sehingga, para pejabat perlu terbuka terhadap problem paradoks dan merespon dengan layak demi membantu para korban aturan zonasi. Praktek zonasi makin rumit karena radius ditentukan oleh KK (kartu keluarga); sementara, kemendikbud bisa percaya sepenuhnya bahwa KK adalah tanggung jawab Dukcapil. Akibatnya, banyak siswa bisa pindah KK agar bisa diterima di sekolah idaman padahal rumah siswa itu di provinsi berbeda dan jauh. Jadi, radius adalah radius semu atau radius gelap. Solusi alternatif berupa lotere untuk menerima calon siswa baru bahkan bisa lebih baik dari zonasi. Tentu, kita perlu mempertimbangkan solusi yang lebih baik dari sekedar lotere.

1. Paradoks Aturan Hukum

Setiap aturan hukum adalah paradoks: [1] paradoks ketika penetapan; [2] paradoks mengikuti aturan hukum; [3] paradoks tidak lengkap.

1.1 Paradoks Penetapan

Aturan zonasi ditetapkan pada tahun 2019. Jadi tahun 2018 dan sebelumnya, tidak ada zonasi; masyarakat tidak butuh zonasi waktu itu. Apakah pada tahun 2019 tiba-tiba kita butuh zonasi? Jawabannya adalah paradoks: ada pro dan kontra.

Kemudian, menteri menetapkan aturan zonasi pada tahun 2019. Apakah peraturan menteri itu sudah dijamin benar dan adil bagi rakyat? Jawabannya pasti paradoks: pro dan kontra. Bagaimana jika tahun 2024 atau 2025, menteri membatalkan aturan zonasi? Apakah bisa? Bisa. Karena kewenangan seorang menteri untuk menetapkan aturan (peraturan menteri) tersebut. Apakah pembatalan zonasi seperti itu benar dan adil bagi rakyat? Jawabannya sama juga: paradoks.

Karakter paradoks bukanlah cacat dari aturan hukum; karena aturan hukum memang selalu paradoks. Hanya saja, kita dan terutama para pejabat, perlu merespon paradoks dengan bijak.

1.2 Paradoks Mengikuti Aturan

Apakah suatu perilaku sesuai aturan zonasi atau pelanggaran? Jawabannya: paradoks juga.

Misal seorang siswa SMP di Medan, Sumatera Utara, kelas 8 tinggal bersama orang tuanya di kota Medan. Kemudian, dia pindah KK ke Bandung sehingga radius KK itu 150 meter terhadap SMA 3 Bandung; yang termasuk SMA favorit paling diidamkan semua orang; karena dari SMA 3 Bandung banyak siswa diterima kuliah di kedokteran dan informatika tanpa tes. Lulus SMP di Medan, kemudian, siswa itu mendaftar ke SMA 3 Bandung. Berdasar radius KK, yang hanya 150 meter, maka dia diterima di SMA 3 Bandung.

Apakah terjadi pelanggaran oleh siswa dari Medan di atas? Jawabannya selalu paradoks. Pihak pro mengatakan bahwa itu sesuai aturan. Pihak kontra mengatakan bahwa itu melanggar aturan bahkan melanggar inti dari aturan zonasi. Lagi, paradoks seperti ini adalah inheren, pasti ada, dalam aturan hukum zonasi. Kita perlu merespon dengan bijak.

Pertanyaan mendasar: apakah penetapan peraturan menteri tentang zonasi melanggar HAM (hak asasi manusia)? Jawabannya akan paradoks juga.

Perlu kita tambahkan bahwa penegakan hukum, atau law enforcement, juga mengalami paradoks yang sama. Apakah aparat memiliki hak untuk “memaksakan” suatu aturan hukum? Apa dasarnya? Apakah bisa dibenarkan? Jawabannya berupa paradoks dalam dilema.

1.3 Paradoks Keterbatasan dan Tidak Lengkap

Ketika menteri menetapkan aturan zonasi di 2019, barangkali menteri sudah mengumpulkan dan mengkaji hampir semua informasi yang tersedia. Tetapi, apakah kajian itu sudah lengkap? Pasti tidak lengkap. Andai, menteri menambah waktu 1 tahun untuk mengkaji, berencana menetapkan aturan zonasi menjadi 2020, apakah kajian menjadi lengkap? Tetap tidak lengkap.

Bagaimana pun, seorang menteri punya batasan waktu untuk menetapkan aturan hukum seperti zonasi. Jadi, menteri terbatas secara waktu, sumber daya, informasi dan lain-lain. Bila batasan ini dilonggarkan; ditambah sumber daya dan informasi, apakah penetapan aturan hukum menjadi sempurna? Tidak sempurna.

Sifat tidak lengkap dan terbatasnya waktu makin menguatkan karakter paradoks dari setiap aturan hukum; sistem zonasi memang paradoks. Lagi, kita perlu merespon dengan bijak.

2. Praktek Zonasi Gelap

Zonasi menghadapi praktek-praktek gelap: [1] penentuan radius; [2] penetapan KK; [3] pembelian KK; [4] prestasi raport; [5] prestasi lomba.

2.1 Penentuan Radius

Meski tampak mudah mengukur radius rumah ke sekolah, dalam prakteknya, adalah gelap; sulit sekali. Misal rumah Adi 350 meter sebelah timur sekolah sedangkan rumah Budi 351 meter sebelah barat sekolah, maka siapa lebih dekat? Titik sebelah mana menjadi acuan ukur bagi sekolah. Jika titik sebelah timur akan menguntungkan Adi; jika titik sebelah barat akan menguntungkan Budi; jika titik tengah maka titik tengah yang mana? Demikian juga titik rumah Adi dan Budi yang sebelah mana menjadi titik acuan?

Pertanyaan reflektif paradigmatik lebih sulit: apakah jarak menjadi penentu yang adil bagi siswa untuk diterima di suatu sekolah? Jawaban singkat: tidak tepat.

2.2 Penetapan KK

Penentuan radius berdasar KK tampak mudah; lagi, hal ini adalah gelap. KK adalah urusan Dukcapil sehingga kemendikbud merasa aman; tetapi, bukankah kemendikbud seharusnya tetap bertanggung jawab?

Perpindahan KK dibatasi minimal 6 bulan atau 12 bulan. Mengapa tidak 24 bulan atau 36 bulan? Berapa pun batasan bulannya maka, dalam praktek, akan tetap gelap. Sejatinya, kemendikbud bisa monitoring terhadap KK ini. Tetapi paradoks muncul: KK adalah wewenang Dukcapil.

Problem reflektif paradigmatik lebih sulit lagi: bagaimana nasib seorang bocah yang tidak punya KK? Apakah bocah itu kehilangan hak untuk sekolah? Lagi, apakah KK menjadi penentu hak sekolah warga secara adil? Jawaban singkat: tidak adil.

2.3 Pembelian KK

Problem lebih rumit terjadi adalah dikabarkan ada pembelian KK. Untuk pindah KK ke jarak yang dekat dengan sekolah idaman maka seseorang hanya perlu membayar uang kepada pemilik KK. Seseorang tidak harus memiliki hubungan keluarga atau lainnya; cukup transaksi finansial belaka.

Secara aturan hukum tidak ada larangan transaksi KK. Di media sosial tersebar kabar bahwa orang tua perlu menyiapkan dana kisaran 20 juta sampai 40 juta rupiah untuk pindah KK.

Problem reflektif paradigmatik makin sulit: apakah jual beli KK menjadi penentu yang adil bagi diterimanya seorang siswa di sekolah? Jawaban singkat: tidak adil.

2.4 Prestasi Raport

Prestasi raport sebagai penentu diterimanya siswa, tampak, baik-baik saja. Sejatinya, nilai raport adalah gelap. Lebih bagus mana nilai 95 dari SMP 1 dengan nilai 96 dari SMP 2? Tidak bisa ditentukan!

Beda sekolah maka beda nilai raport. Bahkan di satu sekolah saja, beda guru bisa beda nilai raportnya.

Problem paradigmatik: apakah ada standard penilaian raport? Tidak ada.

2.5 Prestasi Lomba

Barangkali prestasi lomba, semacam OSN (olimpiade sains nasional), adalah ukuran prestasi paling valid. Tetapi, OSN hanya melibatkan segelintir siswa. Misal untuk matematika, OSN hanya memberi sekitar 15 medali saja dari puluhan juta siswa di Indonesia.

Wajar, prestasi lomba diperluas ke jenis lomba yang lebih beragam. Bagaimana menentukan jenis lomba yang valid? Gelap sama sekali. Kementerian menyediakan badan kurasi; ide bagus tetapi menambah komplikasi; menambah biaya; dan cenderung tidak efektif.

Jadi, sampai di sini, sistem zonasi menghadapi problem serius secara paradigmatik mau pun praktek.

Kabar baiknya, sistem zonasi bisa menjadi studi kasus terbaik tentang aturan hukum. Kita bisa membaca peraturan menteri tentang zonasi; kita bisa mengamati dan mengalami praktek zonasi; dan kita bisa eksperimen tentang zonasi. Sementara, aturan hukum yang lain tidak sejelas sistem zonasi. Jadi, sistem zonasi adalah barang istimewa bagi studi kasus aturan hukum; sampai kapan pun.

3. Alternatif Solusi

Mempertimbangkan kompleksitas sistem zonasi, kita menyarankan agar peraturan menteri sistem zonasi diganti dengan yang lebih baik. Secara praktis, menteri atau presiden bisa membatalkan sistem zonasi dan mengganti dengan yang lebih baik. Alternatif yang lebih baik dari zonasi adalah zonasi-siswa; maksudnya, mengganti sistem zonasi-sekolah dengan sistem zonasi-siswa.

Zonasi-siswa adalah setiap siswa memiliki hak untuk mendaftar ke sekolah sesuai zonasi siswa; kemudian, seleksi ditentukan oleh profil-siswa baik dari sisi bakat, minat, kemampuan ekonomi, dan lain-lain; seleksi tidak ditentukan oleh radius jarak. Andai sulit melakukan seleksi yang rasional maka seleksi berdasar lotere, misal lempar dadu, adalah lebih baik dari radius jarak. Tentu, kita bisa mengembangkan sistem seleksi yang lebih baik dari sekedar lotere.

3.1 Gratis Sampai Sarjana

Solusi paling jelas adalah menyelenggarakan pendidikan SD, SMP, SMA/SMK, sampai sarjana/diploma dibiayai sepenuhnya oleh APBN; oleh uang rakyat atau uang negara. Dengan kata lain, pendidikan gratis untuk seluruh warga. Penggantian sistem zonasi menjadi lebih mudah pada situasi seperti ini; karena semua warga merasa aman bisa sekolah gratis. Apakah APBN mampu membiayai? Mampu! Dengan syarat pendidikan berkualitas tanpa foya-foya. Jika pejabat dan tenaga pendidikan ingin foya-foya dan mewah maka APBN tidak akan mampu. Singkatnya, APBN kita mampu untuk menyelenggarakan pendidikan gratis; hanya butuh komitmen.

3.2 Lotere Seleksi Universitas

Problem zonasi saat ini adalah karena SMA idaman tertentu memiliki peluang lebih besar untuk masuk universitas terbaik melalui jalur tanpa tes. Konsekuensinya, SMA idaman menjadi rebutan; sehingga gagal total tujuan zonasi pendidikan. Solusi sederhana: hilangkan jalur tanpa tes untuk seleksi universitas dan ganti dengan jalur lotere saja, misal, lempar dadu. Dengan demikian, zonasi tidak akan jadi masalah lagi. (Di bagian bawah kita akan bahas solusi yang lebih baik dari lotere dadu).

3.3 Swasta Jadi Negeri

Solusi yang cukup mudah adalah jadikan sekolah swasta sebagai sekolah negeri (tentu, bagi sekolah swasta yang bersedia). Dengan demikian, kita memiliki sekolah negeri SD, SMP, SMA/K, dan universitas yang berlimpah. Zonasi tidak lagi jadi masalah. Yayasan atau pengelola sekolah swasta merasa senang karena mendapat dukungan penuh dari APBN.

Pemerataan kualitas sekolah SMA mudah dilaksanakan dengan cara menetapkan batas maksimal mahasiswa baru di universitas yang sama; yang berasal dari SMA yang sama. Misal setiap universitas maksimal bisa menerima mahasiswa baru 5 orang dari SMA yang sama. Siswa SMP akan berpikir panjang untuk berkumpul masuk ke SMA favorit dengan adanya aturan maksimal ini. Siswa SMP akan cenderung menyebar ke berbagai SMA. Konsekuensinya, kualitas SMA akan merata dan meningkat.

3.4 Zonasi Siswa

Zonasi-siswa adalah solusi sejati bagi sistem zonasi yang berlaku masa kini; kita sebut zonasi masa kini sebagai zonasi-sekolah.

Setiap aturan hukum pasti menguntungkan bagi pemenang dan, dalam kadar tertentu, merugikan pihak yang kalah. Zonasi-siswa fokus kepada pihak yang kalah agar tidak menderita rugi yang tidak adil; tentu pihak yang menang tetap untung.

Zona-siswa memastikan setiap siswa SMP, tinggal di kota atau di pucuk gunung, memiliki 3 pilihan SMA dengan kualitas yang layak. Berbeda dengan zona-sekolah yang menjamin sekolah memiliki zona calon siswa di wilayah dekat sekolah. Zona-siswa menjamin setiap siswa memiliki pilihan sekolah “terdekat”nya.

Misal siswa SMP di pucuk gunung memiliki hak masuk ke SMA 1 jarak 15 km; SMA 2 jarak 20 km; SMA 3 jarak 22 km. (SMA 4 dan SMA lain jaraknya lebih dari 25 km). Beda jika zona-sekolah, karena, SMA-SMA itu sudah menutup kesempatan bagi siswa pucuk gunung; lantaran jaraknya lebih dari 5 km; atau kalau pun boleh daftar pasti tertolak karena yang diterima adalah jarak kurang dari 1 km. Zona-siswa menjamin hak sekolah bagi setiap warga. Zona-sekolah merampas hak banyak warga.

Selanjutnya, zonasi-siswa melaksanakan seleksi berdasar lotere; atau, lebih baik lagi, memakai seleksi proporsi; radius atau jarak tidak digunakan dalam seleksi. Radius atau jarak hanya digunakan untuk menentukan zonasi bagi setiap siswa.

3.5 Seleksi Proporsi

Seleksi proporsi menjadi alternatif terbaik. Tetapi, yang lebih mudah adalah seleksi melalui lotere sudah lebih baik dari berdasar radius atau seleksi tanpa tes. Kita perlu mengembangkan sistem seleksi-proporsi yang sesuai situasi kondisi terkini.

Pertama kita membedakan seleksi umum dengan seleksi khusus. Porsi seleksi khusus adalah sangat kecil, misal di bawah 5%, sehingga menjadi benar-benar istimewa. Asumsikan seleksi khusus 5%. Kedua, kita perlu memikirkan cara membagi proporsi seleksi umum.

Seleksi khusus = 5%
Kelompok kuat = 10%
Kelompok menengah = 30%
Kelompok dasar = 55%

Jika ada proporsi yang tidak terpenuhi maka dilimpahkan menjadi bagian dari kelompok dasar.

Proses klasifikasi kelompok seperti ini adalah sudah biasa dalam kajian statistik; lebih-lebih, dalam kajian artificial intelligence (AI). Kita ambil contoh klasifikasi berdasar daya ekonomi; berdasar pengeluaran-pendapatan-kekayaan. Kemudian dilaksanakan tes, semacam TOEFL, disebut SKN = sensus kompetensi nasional; atau, tes SKN ini bisa dilaksanakan rutin beberapa bulan sebelum seleksi siswa baru. Terakhir, kita mendapatkan proporsi siswa baru sesuai harapan. Semua pihak bisa merasa menjalani proses dengan adil.

Sedikit tambahan ilustrasi bahwa sistem klasifikasi adalah wajar di dunia olah raga, misal tinju. Kelas berat hanya bertarung petinju dengan bobot sangat berat; kelas ringan hanya bertarung petinju yang bobotnya ringan. Terdapat kelas menengah, kelas bulu, kelas terbang, dan lain-lain.

Berikut usulan proses seleksi proporsi.

(a) Setiap siswa memperoleh zona dengan adil. Ada kemungkinan seorang siswa ingin berpindah ke zona lain; diperbolehkan saja. Karena, pada dasarnya, setiap zona memiliki prospek yang sama. Jika ditemukan ada zona tertentu lebih menguntungkan maka bisa dilakukan revisi pada tahun berikutnya agar lebih adil.

(b) Setiap siswa bisa berjuang untuk memperoleh nilai SKN tertinggi. Sebaliknya, bagi siswa dengan SKN rendah tidak ada ancaman apa pun; layaknya tes TOEFL yang memberi keuntungan bagi skor tinggi dan tidak menghukum skor rendah.

(c) Siswa dan guru adalah satu tim untuk memperoleh nilai SKN tertinggi. Beda dengan raport, dimana guru bisa suka-suka memberi nilai tinggi atau tinggi sekali. SKN dilaksanakan oleh lembaga independen; lagi, layaknya TOEFL dilaksanakan oleh lembaga independen.

(d) Materi yang diujikan dalam SKN adalah yang paling dasar saja, misal, literasi dan numerasi saja. Bagi siswa yang memperoleh nilai SKN tertinggi, misal 25 siswa terbaik nasional, bisa menggunakan sebagai prestasi untuk jalur seleksi khusus.

(e) Nilai SKN bisa digunakan untuk seleksi SMP, SMA, dan universitas.

Diskusi kita di atas, kiranya, cukup untuk membatalkan zonasi-sekolah dan menggantinya dengan zonasi-siswa. Lebih bagus lagi bila dilaksanakan pendidikan gratis sampai sarjana/diploma.

4. Dialog Lagi

Jika zonasi-siswa lebih baik dari zonasi-sekolah maka mengapa kita tidak memilih zonasi-siswa saja? Mengapa pejabat tidak memilih zona-siswa? Mengapa rakyat tidak demo menuntut agar diberlakukan zona-siswa?

Kita akan mendiskusikannya dengan meminjam teori etika mutakhir WKR (wrong-kind-of-reason) dan teori khatir dari Ghazali serta komitmen visi futuristik.

Anda diberi uang 50 ribu rupiah dan wajib memilih satu harus dibeli dengan uang 50 ribu itu; apa pilihan Anda?

(a) Buku berkualitas.

(b) Makanan sehat.

(c) Petasan.

Membeli buku berkualitas barangkali menjadi pilihan terbaik. Makanan sehat juga bagus bila sedang lapar. Tetapi, kenyataannya banyak yang memilih petasan; petasan tidak berguna; petasan hanya main-main belaka; petasan adalah membakar uang secara nyata. Mengapa banyak yang memilih petasan?

4.1 WKR: Wrong Kind of Reason

Mereka yang memilih petasan adalah sudah bertindak salah karena didorong oleh WKR (wrong kind of reason). Sementara, mereka yang memilih buku berkualitas sudah bertindak benar karena didorong oleh RKR (right kind of reason). Meski kategori WKR dan RKR bersifat paradoks, kita akan menganggap WKR sebagai salah demi kemudahan. Demikian juga, pejabat yang mendukung zonasi-sekolah adalah salah karena WKR; sedangkan mereka yang mendukung zona-siswa adalah benar karena RKR.

Mengapa orang bisa memiliki WKR sehingga salah memilih?

Diduga karena nafsu mengambil keuntungan. Mereka adalah orang-orang yang rumahnya (KK) dekat dengan sekolah idaman. Sehingga, dengan zonasi-sekolah mereka diuntungkan; anak-anak mereka bisa langsung diterima di sekolah favorit secara otomatis berdasar radius. Jika rumah mereka jauh maka mereka bisa pindah KK dengan mudah. Apakah mereka tidak memikirkan nasib anak-anak yang rumahnya jauh? Apa lagi yang rumahnya di puncak gunung?

Tetapi mereka memiliki alasan yang rasional – bukan masalah nafsu. Jadi, sementara, alasan karena nafsu keuntungan kita tolak. Waktu itu, menteri punya alasan bahwa zona sekolah akan menjamin sekolah mendapatkan siswa-siswa yang rumahnya dekat dengan sekolah. Sehingga, siswa hemat biaya, hemat energi, dan memudahkan. Tampaknya masuk akal.

Lima tahun sudah berlalu hingga 2024 ini dan hasil zonasi-sekolah tidak seperti yang dipikirkan. Banyak siswa yang sekolahnya, terpaksa, jauh dari rumah. Dan banyak pula yang kehilangan hak untuk dapat daftar ke sekolah idaman, misal, karena rumahnya di puncak gunung. Jadi, tujuan zonasi-sekolah tidak tercapai.

Kita mengusulkan alternatif yang lebih baik yaitu zonasi-siswa sebagai pengganti dari zonasi-sekolah. Mengapa mereka tetap memilih zonasi-sekolah yang lebih buruk itu? Karena WKR. Karena mereka digerakkan oleh suatu alasan yang salah yaitu WKR.

Mengapa mereka mendapat WKR bukan RKR? Kita jawab dengan teori khatir dari Ghazali.

4.2 Khatir Ghazali

Imam Ghazali merumuskan tiga jenis khatir: khatir qalbi, khatir aqli, dan khatir rabani.

Khatir qalbi, atau persepsi-indera, adalah ide yang muncul begitu saja ketika seseorang mendapat pemicu; baik pemicu indera mau pun imajinatif.

Ketika seseorang mendengar pilihan zonasi-sekolah atau zonasi -siswa maka, refleks, dia memilih zonasi-sekolah; dia digerakkan WKR; orang lain, refleks memilih zonasi-siswa; dia RKR.

Bukan masalah sulit dalam tahap persepsi-indera ini; karena persepsi indera masih bisa diatur oleh khatir aqli atau persepsi-akal.

Persepsi-akal mengumpulkan dan menganalisis seluruh data yang ada kemudian mengambil keputusan logis rasional. Bisa saja, pada tahap persepsi-indera, memilih zonasi-sekolah; kemudian, dikoreksi persepsi-akal menjadi memilih zona-siswa; dia RKR. Tetapi, bisa juga, pada tahap persepsi-akal justru makin kukuh dengan zonasi-sekolah; dia WKR.

Khatir rabani, atau persepsi-futuristik, menjadi harapan akhir. Persepsi-futuristik memiliki tujuan masa depan terbaik bagi dirinya, bagi orang sekitar, dan alam semesta. Persepsi-futuristik melihat visi masa depan terbaik meski banyak rintangan menghadang.

Persepsi-futuristik, pada akhirnya, mengarahkan setiap orang untuk memilih zonasi-siswa; setiap orang memiliki RKR bersama persepsi-futuristik. Masalahnya, tidak semua orang berjalan sampai persepsi futuristik.

Ketiga persepsi ini, indera-akal-futuristik, terhubung secara dinamis. Hanya saja, beberapa orang dominan persepsi-indera; sehingga dia memanjakan kenikmatan indera dan keuntungan jasmani. Orang lain dominan persepsi-indera dan persepsi-akal; sehingga dia mengambil keputusan secara rasional logis. Orang lain lagi harmonis seluruhnya sampai persepsi-futuristik; sehingga dia adalah orang yang komitmen kepada kebaikan bersama.

4.3 Visi Futuristik Biopolitik

Komitmen terhadap visi futuristik menjadi penentu kita untuk memilih yang benar. Tidak mudah untuk menjaga komitmen ini karena komitmen ini bersifat politis; bukan sekedar komitmen personal. Manusia adalah biopolitik yaitu hanya bisa menjadi sempurna melalui dunia politik. Aristo, Farabi, Foucault, sampai Agamben mengembangkan konsep biopolitik yang beragam.

Menganggap aturan hukum, semisal zonasi-sekolah, sebagai urusan administrasi pemerintahan adalah reduksi yang tidak tepat. Zonasi-sekolah bermuatan politis dan berpotensi terjadi penindasan politis. Agamben memandang aspek inti biopolitik adalah eksepsi atau pengecualian. Zonasi-sekolah melakukan eksepsi; siswa yang berada dalam zona boleh daftar tetapi luar zona tidak boleh daftar; kemudian, siswa dalam radius kurang 1 km diterima tetapi lebih dari 1 km ditolak. Kita perlu waspada terhadap aspek biopolitik dari zonasi-sekolah.

Dampak lanjutan dari eksepsi adalah penindasan politik. Ribuan siswa yang tinggal di pucuk gunung dirampas haknya untuk daftar ke sekolah favorit yang ada di kota. Mereka gagal masuk SMP favorit; gagal masuk SMA favorit; gagal masuk universitas favorit. Mereka gagal mendapat pendidikan terbaik bahkan sebelum mencoba bersaing. Banyak juga siswa yang tinggal di kota tetapi tidak kebagian zona mana pun; mereka dirampas haknya. Bisakah mereka untuk tidak frustasi?

Bukankah solusinya sederhana? Menteri atau presiden tinggal membatalkan permen zonasi-sekolah kemudian menggantinya dengan permen zonasi-siswa. Tampak sederhana. Tetapi, presiden dan menteri adalah pejabat politik. Sehingga, mereka akan memperhitungkan untung rugi politis. Tidak ada jaminan presiden setuju dengan usulan masyarakat bawah yang jumlahnya jutaan itu tersebar di media sosial.

Jalan yang tersisa adalah setiap dari kita perlu aktif partisipasi dalam dunia politik; baik politik praktis mau pun politik non-praktis. Kita perlu terus menyuarakan visi futuristik yang adil makmur. Perjuangan ini bisa jadi perlu waktu beberapa bulan, beberapa tahun, atau bahkan beberapa dekade. Perjuangan harus tetap berkobar.

5. Ringkasan

Zonasi-sekolah berhasil menjadi studi kasus terbaik berkenaan dengan aturan hukum; andai, zonasi-sekolah tidak lagi berlaku, kita tetap bisa mengkajinya sebagai histori aturan hukum.

Pertama, setiap aturan hukum menghadapi beberapa paradoks yang menjadi dilema. Paradoks penetapan terjadi ketika penetapan aturan-hukum yaitu apakah aturan hukum bisa dijustifkasi. Paradoks mengikuti aturan terjadi apakah aturan hukum tersebut mengikuti aturan atau tidak. Terakhir, paradoks terjadi karena aturan hukum selalu tidak lengkap.

Kedua, kita mencermati aturan hukum zonasi dalam tataran praktek yang gelap. Dilema dan pro kontra bertebaran di mana-mana. Secara umum, zonasi-sekolah merugikan pihak korban dengan proses yang tidak adil. Hal yang sama, yaitu tataran praktek yang gelap, juga terjadi pada aturan hukum secara umum. Sehingga, kita membutuhkan alternatif solusi tanpa henti.

Ketiga, kita mengusulkan alternatif solusi berupa zonasi-siswa dan seleksi proporsi. Solusi ini berhasil melindungi pihak korban dengan cara memberi kesempatan kepada semua pihak untuk berjuang sesuai kapasitas masing-masing. Meski tetap ada korban, jumlahnya minimal dan prosesnya adil.

Bagian diskusi membahas mengapa beberapa orang mengambil keputusan salah; atau, mengapa memilih keputusan yang salah. Proses keputusan yang salah dipicu oleh WKR (wrong kind of reason). Solusinya adalah dengan mengembangkan komitmen terhadap visi futuristik. Solusi ini melibatkan komitmen personal dan politis. Jadi, aturan hukum adalah problem biopolitik bukan sekedar administrasi pemerintahan. Konsekuensinya, Anda perlu ikut aktif berpartisipasi dalam dunia politik; baik politik praktis mau pun non-praktis.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar