Apa Makna Agama Secara Psikologi?

Psikologi versi Freud memaknai agama sebagai ilusi kanak-kanak. Orang beragama adalah orang yang berjiwa kanak-kanak; takut menghadapi realitas. Psikologi versi Jung memaknai agama sebagai ruh transenden yang menyatukan jiwa, badan, dan realitas kehidupan. Orang beragama adalah orang yang berjiwa dewasa.

Mana yang benar? Freud atau Jung? Ataukah William James?

James meneliti bahwa banyak orang beragama berperilaku sopan, semangat, jujur, dan sehat. Bagi James, agama adalah kebaikan tertinggi. James adalah salah satu pendiri filsafat pragmatisme yang berkembang di Amerika.

1. Penampakan dan Hakikat
2. Perspektif Psikologi
3. Substansi dan Fungsi
4. Psikografi
5. Berpikir Terbuka

Mahasiswa ITB wajib mengambil mata kuliah agama. Menariknya, beberapa mahasiswa yang beragama Islam justru tidak memilih mata kuliah agama Islam. Mereka memilih mata kuliah agama Hindu atau Budha, misalnya. Mengapa?

“Karena mata kuliah agama Hindu atau Budha lebih mudah untuk mendapatkan nilai A,” jawab mereka.

Sementara, mata kuliah agama Islam kadang sulit mendapat nilai A. Anda bisa membayangkan betapa sulitnya bila dosen berpandangan Idul Fitri bertepatan 5 Maret; di sisi lain, mahasiwa yakin bahwa Idul Fitri bertepatan 6 Maret. Lalu dosen memberi soal ujian, “Jelaskan hari raya Idul Fitri bertepatan dengan tanggal berapa Masehi pada tahun ini?” Para ahli agama di Indonesia berbeda pendapat antara 5 atau 6 Maret sebagai Idul Fitri. Karena pandangan mahasiswa berbeda dengan pandangan dosen maka hampir pasti mahasiswa gagal mendapat nilai A. Tentu saja, masih banyak problem lainnya.

Apakah mahasiwa tidak berdosa? Mereka mengambil mata kuliah agama yang berbeda dengan agama yang mereka anut? Mata kuliah agama adalah agama sebagai teori; sedangkan agama yang dianut mahasiswa adalah agama sebagai jalan hidup. Terdapat beragam dimensi dalam agama. Kita akan membahas secara bertahap.

1. Penampakan dan Hakikat

Terdapat beragam penampakan kehidupan agama dan lebih beragam lagi makna agama.

“Dalam definisi Nabi Muhammad SAW, agama adalah perilaku yang baik. Dalam kejadian Asyura, agama menjadi inspirasi untuk kegiatan revolusioner. Pada ilustrasi ketiga, agama sebagai perjalanan spiritual, untuk mencapai kesadaran yang tinggi.

Pada ilustrasi keempat, agama tampak sebagai bentuk pengkhidmatan kepada sesama manusia. Pada acara Ngaben, agama mengikatkan pengikutnya dengan kekuatan supranatural, melalui upacara yang diwariskan secara turun-temurun. Untuk kasus Serbia, agama dijadikan pembenaran untuk tindakan kekerasan dan kekejaman. Pada akhirnya, atas nama agama, Pat Robertson mengecam agama-agama lain (termasuk pengikut denominasi agama Kristen lainnya yang tidak sejalan dengan pendapatnya).” (PA: 19 – 20).

Serangan oleh Freud menjadi tidak valid. Freud terlalu buru-buru mengatakan bahwa agama adalah ilusi kanak-kanak. Karena makna agama berupa spektrum yang teramat luas. Agama adalah akhlak yang baik; budi pekerti yang lembut; tata cara yang penuh makna. Agama adalah jiwa yang dewasa. Yang demikian baru salah satu makna agama.

Derrida, tokoh posmo, memandang agama sebagai suplemen bagi peradaban. Suplemen adalah realitas penting yang ditindas, disembunyikan, tetapi akan selalu eksis. Agama akan tetap ada bahkan berkembang.

Sebagai nabi postmodernisme, Jacques Derrida sendiri telah berbicara banyak, jika tidak secara delfik, tentang “kembalinya” agama, seolah-olah agama dan filsafat merupakan semacam ekonomi subintelligible aneh yang telah melalui tekanan “dekonstruksi” tekstual yang tak kenal ampun menyelinap ke dalam cahaya teori. Agama, bagi Derrida, ternyata menjadi jenis suplemennya sendiri—bukan suplemen tulisan, tetapi suplemen “Latinitas.“ (www.jcrt.org)

“Etnosenstrisme. Agama selalu diterima dan dialami secara subyektif. Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai pengalaman dan penghayatan agama yang dianutnya.” Pendekatan etnosentris ini seirama dengan pedekatan fenomenologi. Kita memahami fenomena dengan cara mengijinkan fenomena itu hadir apa adanya pada kesadaran diri kita. Kemudian, kita menganalisis dengan teliti, jujur, dan mendalam.

“Mukti Ali, mantan menag, menuliskan, “Agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utausanNya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.” ” (PA: 20). Definisi ini tampak jelas selaras dengan dasar negara Pancasila.

“Pendeta itu menjawab, “Kami tidak memiliki teologi; kami menari.” (h xix). Para pengikut Shinto tidak mau membicarakan Tuhan, dan apa saja namanya, karena semuanya tidak dapat digambarkan, tidak dapat diceritakan, tidak dapat diuraikan. Mereka tidak ingin membahas agama, mereka ingin mengamalkannya.” (PA: 22).

Barat memiliki kecenderungan memaknai agama sebagai teistik. “Selain sifatnya yang sangat teistis, mengakui adanya Tuhan atau Yang Ilahi, agama-agama Barat ditandai dengan pandangan hidupnya yang dikotomis: memisahkan antara yang sakral dengan yang profan; antara Wujud transendental dengan yang lainnya; antara langit dan bumi, antara duniawi dan ukhrawi, antara Tuhan dan manusia.” (PA: 24).

Konsekuensi wajar dari teistik adalah perlawanan berupa sekularisasi. Taylor mendefinisikan “sekularitas” dengan cara yang baru. Ia tidak melihatnya sebagai ketiadaan agama, tetapi sebagai situasi di mana kepercayaan kepada Tuhan adalah satu di antara banyak pilihan. Definisi ini kontras dengan era sebelumnya ketika kepercayaan kepada Tuhan merupakan sikap yang lazim dalam masyarakat Barat. Istilah sekularisasi ini lebih menarik dari ateisme. Karena istilah sekular bisa mandiri; sedangkan ateisme harus numpang ke istilah teisme.

Untuk merangkum kompleksitas dari makna agama, mari kita kumpulkan beragam unsur-unsur yang umumnya ada pada agama.

“1) Kepercayaan pada wujud supranatural (Tuhan).

2) Pembedaan antara obyek sakral dan profan.

3) Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral.

4) Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan.

5) Perasaan yang khas agama… yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan.

6) Sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.

7) Pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia yang menyeluruh dan tempat individu di dalamnya…

8) Pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh yang didasarkan pandangan dunia tersebut.

9) Kelompok sosial yang diikat oleh hal-hal di atas.” (PA: 28)

“Ada ribuan agama di dunia… kita melihat keragaman yang luar biasa. Apalagi bila kita melihat cara masing-masing orang menjalankan agamanya.” (PA: 29). Di Indonesia, kita mengenal Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan adalah ajaran agama dengan unsur monoteisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud dan disebut “Sang Hyang Kersa” yang setara dengan “Tuhan Yang Maha Esa” di dalam ideologi Pancasila. (Wikipedia).

Dari makna agama yang sangat kompleks, kita akan mendekatinya melalui perspektif psikologi.

2. Perspektif Psikologi

“Saya dengan sengaja tidak membuat definisi agama secara formal… definisi selalu mempersulit bab-bab pendahuluan ini.” (PA: 30).

Sebagai definisi awal, agama adalah fenomena psikologis yang muncul sebagai pengalaman personal dan sosial.

“Agama muncul di tengah-tengah kita sebagai pengalaman personal dan lembaga sosial…

Pada tingkat sosial, agama dapat kita lihat pada kegiatan kelompok-kelompok sosial keagamaan. Mereka bisa saja berafiliasi dengan agama-agama dunia atau sekedar berkaitan dengan sekte atau kelompok sempalan tertentu.” (PA: 33).

Perspektif psikologi ini akan memudahkan diskusi kita kerena fenomena agama menjadi fenomena psikologis setiap umat manusia. Agama bukan hanya teori abstrak; bukan hanya perdebatan teologis; bukan juga sekedar dalil-dalil masa lalu. Agama adalah fenomena nyata bagi kita semua.

3. Substansi dan Fungsi

Definisi konsep atau substansi agama akan menghadapi beragam paradoks.

“Agama disebut sebagai pengetahuan, dan agama disebut sebagai kebodohan. Agama disebut sebagai kebebasan dan ia disebut juga sebagai kebergantungan. Agama disebut sebagai keinginan, dan ia disebut juga sebagai kebebasan dari segala keinginan. Agama disebut sebagai renungan sunyi, dan ia disebut juga sebagai pemujaan Tuhan yang indah dan meriah.” (PA: 35).

“Jika definisi substantive menghubungkan agama dengan Tuhan dan konsep-konsep sejenis, definisi fungsional menghubungkan agama dengan upaya manusia menjawab masalah-masalah kehidupan, masalah eksistensial.” (PA: 35)

Masalah kehidupan manusia beragam; masalah ekonomi, masalah keluarga, masalah politik, dan lain-lain. Konsekuensinya, fungsi agama menjadi sangat beragam juga. Barangkali, agama harus menjawab masalah eksistensial yang besar: mengapa saya hidup kemudian mati? Di saat yang sama, agama kadang harus menjawab masalah yang biasa-biasa saja: haruskah makan pakai tangan kanan?

Kita bisa memasangkan definisi substansi-fungsi dengan pengalaman personal-sosial; terbentuk matriks dengan empat wilayah (kuadran).

Seiring sejarah bergulir, makna agama makin kaya. Apakah keyakinan agama menjadi berubah?

Itu bukan berarti kita harus mengubah keyakinan agama kita, tetapi kita harus mempertimbangkan dengan saksama dalam diri kita sendiri apa yang sebenarnya diperlukan untuk memperbarui keyakinan tersebut. Terlepas dari keyakinan tertentu kita — Kristen, Yahudi, Hindu, Muslim, ateis, atau agnostik — ini adalah sesuatu yang perlu kita pertimbangkan. (Ian Church).

Riset tentang pengalaman beragama terus bergulir sampai saat ini, tahun 2024.

“Proyek ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap argumen kosmologis, bagaimana kita berpikir tentang kehendak bebas dan pengetahuan ilahi, masalah kejahatan, epistemologi, dan kepercayaan agama,” kata Church. “Ini adalah beberapa isu inti dalam filsafat agama (eksperensial).”

Proyek filsafat tiga tahun yang didanai oleh hibah penelitian senilai $2,5 juta — hibah terbesar yang pernah diberikan kepada profesor Hillsdale College — selesai pada bulan Agustus 2024 ini.

4. Psikografi

“Psikografi adalah peta keberagamaan. Dalam peta itu, kita menguraikan keberagamaan dalam rangkaian-rangkaiannya.” (PA: 43).

Berikut beberapa rangkaian dimensi-dimensi agama.

Dimensi ideologis. Doktrin-doktrin yang membedakan antar agama atau aliran.

Dimensi ritual. Perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama.

Dimensi eksperensial. Perasaan-perasaan yang dialami oleh penganut agama.

Dimensi intelektual. Informasi khusus yang perlu diketahui oleh pengikutnya.

Dimensi konsekuensial. Efek ajaran agama terhadap perilaku individu sehari-hari.

5. Berpikir Terbuka

Jadi, apa makna agama? Kita perlu berpikir terbuka untuk bisa menjawabnya.

Barangkali Anda berminat, mari kita diskusi lebih jauh tentang Freud dan Jung. Tentu, kita butuh berpikir terbuka dalam diskusi ini.

Banyak orang mengira bahwa Freud terus dihantui oleh libido; masa tua berbeda dengan masa muda. Di masa tua, mungkin tidak terlalu tua, Freud paham bahwa banyak fenomena psikologi tidak bisa dijelaskan berdasar libido seksualitas. Freud mengganti libido dengan tarikan menuju mati. Jadi, semua fenomena psikologi bisa dijelaskan sebagai gejala orang tersebut sedang menuju mati; baik fenomenologi positif bahagia atau pun negatif semacam derita.

Tarikan menuju mati bersifat ruhani atau spiritual. Sehingga benar dugaan Jung dan Pfister bahwa psikonalisis akan membuka tabir ruhani. Pada masa tua, Freud harus menerima tantangan spiritual.

Meski sama-sama spiritual, Freud berbeda dengan Jung. Bagi Freud, ruh adalah de-substansi atau bukan substansi. Bagi Jung, ruh adalah substansi paling sempurna.

Menurut Freud, Anda akan jatuh cinta kepada Tuhan. Cinta Anda ini tidak akan pernah terpuaskan. Makin kenal dengan Tuhan maka Anda makin rindu. Karena Tuhan akan selalu tersembunyi dari substansi manusia. Demikian juga cinta Anda kepada pasangan atau kepada anak atau kepada alam raya; tidak pernah terpuaskan. Makin cinta, Anda, kepada pasangan maka makin rindu menderu.

Menurut Jung, Anda akan jatuh cinta kepada Tuhan. Cinta Anda kepada Tuhan adalah sempurna; Anda bahagia dalam cinta Tuhan. Kemudian, Anda sadar bahwa Tuhan lebih sempurna dari cinta Anda; Anda bergerak untuk makin cinta kepada Tuhan; untuk menyadari bahwa cinta Anda belum sempurna. Demikian juga kepada pasangan; Anda cinta kepada istri. Cinta Anda adalah sempurna. Kemudian, Anda sadar bahwa ada cinta yang lebih sempurna dari itu. Anda memberi cinta yang lebih besar lagi. Tetap saja, cinta Anda belum sempurna.

Apa masalahnya? Apa bedanya Freud dengan Jung?

Untuk memahami pengalaman agama secara kritis, pandangan Freud lebih unggul. Sementara, untuk mengembangkan optimisme pengalaman beragama, pandangan Jung lebih unggul. Kepada diri sendiri, gunakan pandangan kritis Freud. Kepada pihak lain, gunakan pandangan optimis Jung.

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar