“Kata psikolog, anak saya ini berbakat matematika. Jadi, saya daftarkan anak saya untuk ikut les bersama Paman APIQ,” seorang ibu bertutur.
“Alhamdulillah… bahagia punya anak berbakat matematika. Ayo, kita berpetualang matematika,” saya menyambut anak itu dan saya berperan sebagai paman APIQ.
Di kesempatan lain, seorang ibu bercerita,
“Hasil tes psikologi, anak saya kurang konsentrasi belajar. Maka saya daftarkan untuk belajar di les paman APIQ agar bisa konsentrasi belajar matematika dengan game-game yang seru itu.”
“Siap… mari kita mainkan game matematika.”

Berpuluh-puluh tahun, saya berkecimpung di dunia pendidikan, menunjukkan banyak ibu-ibu sangat percaya dengan psikologi. Secara umum, masyarakat makin percaya terhadap sains yang berupa psikologi. Jadi, bila Anda menghadapi masalah maka cobalah konsultasi dengan psikolog. Semoga Anda memperoleh solusi. Tetapi, benarkah semacam itu?
Lalu, di mana peran agama?
“Benar yang disampaikan ustadz!”
“Seperti apa itu?”
“Perbanyaklah sedekah maka rejeki makin berkah dan berlimpah; dan selalu memperoleh jalan yang dipermudah.”
Saya setuju dengan ustadz bahwa kita perlu memperbanyak sedekah agar rejeki berlimpah berkah. Baik rejeki bagi orang lain, rejeki bagi tetangga kita, mau pun rejeki untuk seluruh alam semesta. Memang benar, sesuai ajaran agama dan realitas nyata, sedekah menjadikan rejeki makin berlimpah.
1. Relasi Psikologi dan Agama
2. Pengalaman Beragama
3. Agama Kanak-Kanak
4. Patologi Agama
5. Masa Depan
Jadi siapa pemenang kompetisi? Agama atau psikologi? Atau, mana yang kalah?
Kompetisi agama dengan psikologi pernah terjadi; kadang sampai konflik; kadang tercipta harmoni. Kita akan mencoba diskusi dari beberapa sisi.
1. Relasi Psikologi dan Agama
Di era kuno, terjadi harmoni antara agama dan psikologi; atau integrasi. Psikologi adalah ilmu jiwa. Agama membimbing jiwa menjadi sempurna. Jadi, psikologi dan agama sama-sama membantu manusia untuk memperkaya jiwa. Psikologi lebih detil dengan data-data konkret. Agama lebih luas dan mendalam dengan perspektif ruhani. Kita membutuhkan keduanya: psikologi dan agama.
Tetapi konflik terjadi di berbagai arena. Misal, otoritas agama melarang psikologi yang berbeda dengan ajaran agama baku. Di sisi lain, psikologi menyingkirkan agama; Freud menyebut agama sebagai ilusi. Sementara, bagi Freud, psikologi adalah sains obyektif tentang pengalaman psikologis. Jung adalah teman, kadang jadi lawan, bagi Freud. Jung meyakini bahwa psikologi adalah menyatu dengan agama. Psikologi perlu mempertimbangkan aspek spiritual.
Pfister adalah murid Freud dan setia menjadi murid Freud sampai akhir hayat. Ketika riset psikoanalisis oleh Freud menunjukkan bahwa perasaan psikologis dikendalikan oleh nafsu bawah sadar; terutama nafsu libido; maka Pfister menafsirkan ajaran gurunya sebagai langkah awal untuk membuka tabir-tabir ruhani.
Di abad 21 ini, tampak banyak pemikir yang setuju dengan Freud; mereka menyingkirkan peran agama dari sains psikologi. Tetapi, banyak juga pemikir yang yakin bahwa agama adalah cahaya penerang bagi psikologi; sampai hari ini.
“… ilmu dan agama tidak henti-hentinya berinteraksi satu sama lain sepanjang sejarah umat manusia. Bab Dua akan mengulas pola-pola interaksi agama dan sains. ” (PA: 09)
“Atau kita bisa bersikap moderat seperti Freeman Dyson: “Ilmu dan agama adalah dua jendela untuk melihat ke luar, untuk memahami semesta luas di luar,… Keduanya perlu dihormati.” (PA: 10).
Apakah evolusi memiliki tujuan bermakna? Penelitiannya tentang alat pacu jantung menunjukkan prioritas organisme secara keseluruhan, bukan hanya gennya saja.
“Beberapa gen dapat disingkirkan secara individual, tetapi prosesnya terus berlanjut,” kata Denis Noble. Gen-gen ini bertanggung jawab atas ritme jantung, tetapi mekanisme lain dapat mengambil alih untuk menyelesaikan tugas tersebut. (www.forbes.com)
2. Pengalaman Beragama
Apa itu agama? Apa itu psikologi? Bagaimana kita bisa membahasnya bila tanpa definisi?
Definisi adalah masalah itu sendiri. Kita hanya bisa membuat definisi sebagai definisi awal agar mudah untuk memahami. Definisi ini, agama atau psikologi, bisa untuk terus direvisi.
Psikologi adalah ilmu jiwa. Definisi ilmu bisa saja berupa sains; atau bisa lebih luas melibatkan pengalaman subyektif, sosial, sejarah dan lain-lain. Definisi jiwa makin luas lagi.
Agama adalah ajaran utama dan praktik secara personal dan sosial. Agama meliputi ajaran-ajaran konseptual sampai tataran praktis dalam kehidupan sehari-hari; bahkan, sampai kehidupan setelah mati.
Membahas agama, kita perlu mempertimbangkan pengalaman agama. Tidak cukup sekedar teori agama saja. Bahkan kita perlu mengkaji pengalaman beragama yang merentang ribuan tahun sepanjang sejarah.
“Proses penyucian itu terbilang lancar. Tidak ada korban terbakar. Sebagian ada yang bibirnya jontor; itu karena dosa yang mereka lakukan. Bahwa api itu tidak membakar badan mereka adalah karena kehendak Tuhan yang melembutkan api.” (sumber: Gatra, 12 Mei 2001).
“Bukankah Al Quran menjelaskan: Sesungguhnya, setan memberikan wahyu kepada para kekasihnya (Al anam [6]: 121). Kemampuan mendatangkan keajaiban bukan tanda kebenaran. Ukuran kebenaran agama tentu saja adalah teks-teks suci agama. Ini penjelasan agama!” (PA: 05).
Ia (Abdus Salam) sering mengatakan bahwa Al-Quran adalah inspirasinya. Berikut ini adalah kata-kata persis yang diucapkannya,
“Jika Anda seorang fisikawan partikel, Anda ingin memiliki hanya satu gaya fundamental dan bukan empat. Itulah kesatuan sejati antara gaya-gaya tersebut. Jika Anda seorang fisikawan partikel Muslim, tentu saja Anda akan sangat, sangat percaya pada hal ini karena kesatuan adalah sebuah ide yang sangat menarik bagi Anda secara budaya. Saya tidak akan pernah mulai mengerjakan subjek ini jika saya bukan seorang Muslim.”
3. Agama Kanak-Kanak
Sebagai anak-anak, kita percaya kepada orang tua. Ketika ibu mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta maka kita percaya. Ketika bapak beribadah sesuai ajaran agama maka kita ikut ibadah agama. Semudah itu, umumnya, kita meyakini agama.
Freud menyerang agama dengan mengatakan bahwa agama adalah ilusi kanak-kanak. Ketika kanak-kanak, kita mengidolakan ayah yang kuat, hebat, dan menjaga kita. Ketika dewasa, menurut Freud, kita memproyeksikan ilusi Tuhan sebagai ayah yang kuat, hebat, dan melindungi kita. Secara bertahap ilusi agama ini akan musnah dengan berkembangnya sains rasional.
Freud sudah meninggal hampir 100 tahun yang lalu dan agama tetap eksis sampai masa kini; bahkan agama mengalami pertumbuhan di banyak belahan dunia. Meski sains berkembang, psikologi berkembang, agama tetap bisa berkembang.
Barangkali memang ada pemeluk agama yang bersikap kanak-kanak sesuai tuduhan Freud. Tetapi, lebih banyak pemeluk agama yang cerdas dan rasional. Peraih Nobel Fisika teoritis, yaitu Abdus Salam, adalah pemeluk agama yang taat. Jadi tidak benar bahwa agama adalah sikap kanak-kanak. Justru agama adalah sikap dewasa, rasional, dan matang.
“Dalam psikoanalisis, psikologi kehilangan kesadarannya. Dalam behaviorisme, psikologi kehilangan jiwanya sama sekali. Psikologi menjadi ilmu perilaku.” (PA: 11)
“Bab satu akan menjelajah makna agama sepanjang literatur psikologi (dan filsafat). Kita akan mendefinisikan agama dari sudut pandang yang berbeda.” (PA: 09)
4. Patologi Agama
Tentu saja ada pihak-pihak tertentu berperilaku jahat dengan atas nama agama; sebagian teroris atas nama agama; sebagian kekerasan atas nama agama; sebagian eksploitasi hasrat seksual atas nama agama; sebagian penindasan ekonomi atas nama agama; dan masih ada lainnya. Penyimpangan atas nama agama ini kita kenal sebagai patologi agama.
Kita perlu mengkaji penyimpangan-penyimpangan, dan kejahatan, kemudian merumuskan solusinya. Bisa jadi, solusi tersebut tersedia dalam ajaran agama. Bisa juga solusi perlu bantuan psikologi, sosiologi, sains, dan lainnya.
Alkisah, seseorang sakit jiwa yakin bahwa dirinya sudah mati. Dokter meyakinkan bahwa dia masih hidup tetapi sia-sia.
Orang mati tidak berdarahkan? Lalu ditusuk jarum, tangan berdarah. “Oh… orang mati bisa berdarah,” katanya.
“… ubahlah paradigm yang kini Anda yakini. Lalu, masuklah bersama saya ke dalam alam psikologi agama yang menakjubkan!” (PA: 13)
Terjadi pro kontra antara sains dan agama di media social. Habib Jafar menghadirkan wawasan yang luas berikut ini.
Jika akal rasional hanya untuk mengakali.
Jika otoritas agama hanya untuk klaim suci.
Jika hati dan pikiran tetap dikunci.
Kita perlu membuka pikiran dan hati.
5. Masa Depan
Bagaimana masa depan agama?
Mari kita cermati melalui kisah tiga tokoh: Sigmund Freud, Jacques Derrida, dan August Comte.
Freud (1856 – 1939) dengan tegas menggambarkan masa depan agama adalah musnah. Agama adalah ilusi kanak-kanak yang akan diganti oleh sains rasional umat manusia. Ramalan ini sudah berlangsung sekitar 100 tahun dan terbukti agama tetap eksis sampai masa kini.
Derrida (1930 – 2004) memberikan gambaran bahwa agama akan makin menguat di masa depan. Agama telah mengalami “penindasan” beberapa ratus tahun ini. Tetapi, sejatinya, agama selalu hadir dalam kehidupan umat manusia. Umat manusia akan makin rindu dengan kehadiran agama.
Comte (1798 – 1857) adalah pemikir yang memberi gambaran besar tentang nasib agama di masa depan. Analisis sejarah menunjukkan bahwa peradaban bergerak melalui tiga tahap makin sempurna: tahap agama, tahap metafisika, dan akhirnya tahap sains. Pada tahap paling matang, manusia akan hidup berdasar sains rasional saja. Pandangan Comte muda ini dikoreksi oleh pandangan Comte dewasa yang mengatakan setelah sains maju maka manusia akan kembali membutuhkan agama. Jadi, agama akan berkembang di masa depan.
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar