Ketika sains bertentangan dengan agama maka mana yang lebih benar? Larry Laudan melihat makin banyak orang yang lebih percaya kepada sains. Tetapi, apakah sains bisa berlawanan dengan agama? Bukankah agama dan sains adalah bidang yang berbeda? Bukankah sains dan agama bertemu dalam diri manusia dan alam raya?
“Einstein berkata, “Ilmu pengetahuan hanya bisa diciptakan oleh mereka yang dipenuhi oleh gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama.” (PA: 53).
Einstein yakin bahwa agama adalah sumber air bening; dan sains adalah aliran sungai yang menyegarkan. Air bening muncul dari sumbernya mengaliri sungai bercabang-cabang.

1. Integrasi
2. Konflik
3. Independensi
4. Dialog
5. Diskusi
Pada awalnya, sains menyatu dengan agama. Einstein dan Chardin yakin integrasi itu. Kemudian, terjadi konflik misal melalui pemikiran Freud dan Darwin. Selanjutnya, indenpendensi dan dialog menjadi pilihan yang baik.
1. Integrasi
“Saya tidak bisa menjawabnya dengan sederhana, ya atau tidak. Aku bukan ateis, aku tidak bisa juga disebut sebagai panteis. Kita ini mirip seperti seorang anak yang berada dalam perpustakaan besar; penuh dengan buku dalam berbagai bahasa. Anak itu tahu pasti ada seseorang yang pernah menulis buku-buku itu.“ (PA: 54)
Einstein membuat narasi yang menarik; kita, manusia, adalah bagai anak kecil yang berada dalam perpustakaan raksasa.
“Konon, perkembangan keagamaan Einstein bukan hanya karena pendidikan di masa kecilnya, tetapi juga karena pernikahannya dengan Mileva, kawannya dalam kelas fisika. Mileva adalah penganut Gereja Ortodoks Yunani yang saleh. Ketika mereka terpaksa bercerai, Einstein memanggil nama istrinya dengan mesra, “Engkau akan selalu menjadi tempat suci bagiku, yang tidak seorang pun bisa masuk ke situ.” … Ia mengirimkan hadiah (Nobel) uangnya kepada Mileva.” (PA: 55)
“Dalam integrasi, agama menyumbangkan ajarannya kepada ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan menghadiahkan penemuannya kepada agama. Agama dan ilmu pengetahuan tidak berperang, tetapi berkawin dalam perkawinan agung…” (PA: 56)
Beberapa saintis bangga berhasil merancang eksperimen kimia yang memungkinkan hadirnya kehidupan dari reaksi kimia. Mereka mengira tidak perlu ada Tuhan untuk menghadirkan kehidupan. Bukankah ada saintis yang merancang reaksi kimia itu?
“Agar senyawa kimia itu bisa terjadi, diperlukan tidak saja energi, tetapi keahlian, kecerdasan, dan rencana. Sintesis tidak terjadi “secara kebetulan.” Dalam eksperimen itu, peran eksperimenter dihapuskan. Dalam evolusi alam semesta, ilmu pengetahuan juga membuang peran Tuhan. Ilmu pengetahuan tidak beranjak dari tempat duduknya.” (PA: 58)
“Ian Barbour (1990) menyebut dua contoh: teologi alamiah (natural theology) dan teologi alam (theology of nature). Keduanya berbeda sedikit saja.” (PA: 59)
Tyson, peneliti abad 21, menunjukkan pentingnya integarasi sains dan agama.
Model ini memadukan ilmu matematika dan empiris dalam kerangka nalar dan keberadaan yang lebih luas. Tyson menjelajahi ranah kebijaksanaan, kepercayaan, pengalaman eksperimental, dan kesadaran sensorik, yang menyoroti kompleksitas yang melekat dalam tindakan kognitif.
Tyson menekankan perlunya memulihkan kesatuan antara mitos dan sejarah, teori dan praktik, yang menyediakan konteks kebenaran yang lebih tinggi untuk pemahaman yang terakhir. (https://reformedjournal.com/)
“Pada awal karirnya, Teilhard de Chardin, ahli paleontology dan pendeta Jesuit ini menjadikan misi pribadinya untuk merekonstruksi doktrin-doktrin Kristen paling pokok dari perspektif ilmu pengetahuan dan, pada saat yang sama, merekonstruksi ilmu pengetahuan dari perspektif iman.” (PA: 60)
“Teilhard dilihat oleh Vatikan sebagai ancaman terhadap iman. Roma memerintahkan agar tulisan-tulisannya tidak boleh diterbitkan… Sejumlah kecil ilmuwan kelas dunia telah mengambil gagasannya secara serius… tetapi mayoritas ilmuwan menghadapinya secara defensive, sama seperti teolog Vatikan.” (PA: 61)
“Ia menulis:
Segala apa pun di sekitar kita, di sebelah kanan dan kiri, di depan dan di belakang, di atas dan di bawah, kita hanya perlu bergerak sedikit melintasi batas penampakan indriawi untuk melihat yang Ilahi mencuat dan menampakkan diri.” (PA: 61)
Tahun 2024, diproduksi film dokumenter untuk mengembangkan inspirasi dari Teilhard de Chardin.
Sebagai sebuah film (2024), “Teilhard: Visionary Scientist” mencapai dua tujuan. Pertama, film ini merupakan narasi luar biasa yang dibuat dari rekaman dokumenter, wawancara terkini dengan para ahli utama dan kerabat Teilhard di Amerika Serikat, Prancis, dan Tiongkok; foto-foto lama dan foto-foto baru yang diambil selama pembuatan film; dan penggunaan tulisan-tulisan Jesuit secara khusus.
Dari semua itu, muncullah biografi yang substantif, menggugah pikiran, dan menginspirasi.
Kedua, film ini memperkenalkan ide-ide Teilhard — seperti “noosfer,” istilah yang ia ciptakan untuk merujuk pada ranah pikiran dan kesadaran manusia yang saling terhubung yang berevolusi menuju kesatuan spiritual kolektif.
Film yang mendalam ini mengungkap banyak hal tentang seorang pria yang kehidupan, karya, dan idenya semakin relevan dengan sains, filsafat, dan teologi. “Teilhard” tidak akan pernah melupakan Anda. (https://catholicoutlook.org/)
2. Konflik
Galielo menjadi kisah klasik konflik antara sains dan agama. Galileo mengalah meski belum tentu salah.
“Galileo menjadi korban perang sains dan agama yang paling sering diperingati. Pandangan Galileo jelas dan tidak dibuat-buat. Dengan teleskopnya yang baru ia sempurnakan, ia menemukan hal-hal yang tampaknya bertentangan dengan ajaran Alkitab.
… kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran.” (PA: 65)
“Benar” kata Bellarmine, “prinsip-prinsipmu bagus dan alasanmu kuat, tetapi apakah kamu betul-betul menemukan apa yang kamu kira sudah kamu temukan? Apakah kamu menyajikan kebenaran ilmiah yang dengan jelas didemonstrasikan ataukah semua itu hanya hipotesis yang memungkinkan kita menghitung posisi planet, tetapi tidak sedikitpun menyatakan secara pasti tentang struktur langit?
Jika bisa didemonstrasikan, yakinkan sesama ilmuwan tentang kebenarannya. Jika tidak, serahkan Alkitab kepada para ahli Alkitab, karena mereka lebih ahli dari pada kamu dalam menjelaskan makna firman Tuhan.” (PA: 66)
“Aku, Galileo… bertobat dari seluruh kesalahan dan bidat ini dengan hati yang tulus dan iman yang ikhlas. (PA: 66).
Temuan teleskop Galileo menunjukkan bahwa ada benda langit yang mengitari suatu planet bukan bumi; bumi bukan pusat; matahari adalah pusat tata surya sesuai model Copernicus.
Kisah Darwin, selanjutnya, menunjukkan konflik lebih parah antara sains dan agama; tampaknya, posisi sains makin menguat.
Darwin menerbitkan The Origins of Species pada tahun 1859. Buku ini mengguncang dunia ilmiah dan agama. Kehidupan berkembang tidak seperti yang diceritakan para ruhaniawan di gereja. Manusia bukan lagi keturunan nabi yang ditempatkan di surga. Ia tidak turun dari langit. Ia turun dari monyet. (PA: 67).
“Bishop Wilburforce… Sambil menghadap Huxley, ia bertanya, “Dari mana asal usul monyet itu datang, dari pihak kakekmu atau nenekmu?”
(Banyak orang melaporkannya secara singkat. Konon Huxley menjawab, “Lebih baik aku turun dari monyet ketimbang turun dari Bishop!” (PA: 67)
“Teori evolusi menjadi ajang peperangan sains dan agama. Sains menuduh agama sebagai ketinggalan kereta dan agama menyerang sains sebagai musuh Tuhan. Menurut Ian Barbour (1990), dari pihak sains pandangan ini diwakili oleh materialism ilmiah, dan dari pihak agama diwakili oleh literalisme biblical.” (PA: 68)
Kasus Galileo, agama menang.
Kasus teori evolusi, sains menang.
Abad 20 berkembang skripturalisme agama dan positivisme sains.
Ia sampai pada kesimpulan bahwa sebagian dari Bibel bertentangan dengan sains, sebagian dari hadis bertentangan dengan sains, tetapi tidak satu pun dari ayat Al Quran yang dibohongkan oleh sains.
Mengapa Bibel dan hadis bisa bertentangan dengan Al Quran – yang contoh-contohnya diberikan dalam buku itu. “Karena Al Quran autentik dari Allah, sedangkan Bibel dan hadis ditulis oleh manusia,” kata Bucaille. (PA: 69)
Di sisi lain, sains mengembangkan positivisme.
“Keimanan” yang berlebihan pada sains ini disebut sebagai positivism. Positivisme didefinisikan sebagai “sebagai suatu keluarga filsafat yang ditandai dengan penilaian yang sangat positif kepada sains dan metode ilmiah (Reese, 1980: 480) (PA: 74)
Positivisme menghadapi beragam klaim asumsi-asumsi mereka sendiri yang rapuh.

Posmodern bersikap lebih kritis dan terbuka.
Terpesona oleh kemajuan ilmiah terkini, bahkan beberapa filsuf saat ini mengklaim bahwa filsafat telah mati dan bahwa ilmu pengetahuan alam (kosmologi kuantum, ilmu pengetahuan kognitif) dapat menjawab pertanyaan yang pernah dianggap sebagai domain metafisika.
[1] mudah untuk menunjukkan bahwa sains modern sendiri bergantung pada serangkaian proposisi filosofis. [2] yang menjelaskan peran sains di dunia kita adalah hubungannya dengan kapitalisme. [3] kita harus membedakan antara pengetahuan dan kebenaran. (Zizek; philarchive.org)
3. Independensi
“Para penganut independensi percaya bahwa agama dan sains punya wilayah yurisdiksi masing-masing. Keduanya harus hidup bersanding, bukan bertanding. Sains tidak boleh memasuki kawasan agama, sebagaimana agama juga tidak boleh melakukan intervensi dalam wilayah sains.” (PA: 79)
“Muthahhari mengajak kita merenungkan sumbangan keduanya:
Sains memberi kita kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains menciptakan teknologi dan keimanan menciptakan tujuan. Sains memberi kita momentum dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan dan iman adalah kehendak baik. (PA: 81)
“Agama didasarkan pada kebenaran yang kita temukan pada kitab suci, the Scripture. Sains didasarkan pada kebenaran yang ditemukan manusia melalui akal dan pengamatan kepada alam semesta, the nature. … ayat Quraniyah dan Kauniyah.
Al Ghazali… dua dimensi… khalq dan khuluq. (PA: 82)
“(1) Sains berusaha menjelaskan data obyektif… agama mempertanyakan keteraturan dan keindahan.
(2) Sains mengajukan pertanyaan obyektif: how question, agama mengajukan pertanyaan subyektif: why question.
(3) Otoritas sains terletak pada koherensi logis, otoritas agama pada Tuhan dan wahyu. (PA: 84)
Agama dan sains mengembangkan sistem bahasa masing-masing yang kaya akan makna.
“(4) Sains membuat ramalan kuantitatif… Agama harus menggunakan bahasa analogis dan simbolis… “ (PA: 84)
Perbedaan keempat di atas merupakan perbedaan bahasa.
“… bahasa yang berbeda mempunyai fungsi yang berbeda. Dalam ungkapan Wittgenstein, “language game” dibedakan dari caranya digunakan dalam konteks social.
Sains tidak bisa dipaksa untuk memberikan pandangan hidup yang menyeluruh, filsafat hidup, atau norma-norma etis. … biarkan agama menanggapi masalah agama. (PA: 85)
Apakah dengan pandangan independensi sains dan agama maka masalah menjadi tuntas?
“Kemusykilan mempertahankan independensi justru terletak pada diri kita. Kita mengalami kehidupan sebagai keseluruhan, dan tidak memisah-misahkan sebagai bagian-bagian.
Pandangan dunia kita tidak kita pisahkan sebagai dua pecahan (sains dan agama). (PA: 86).
Mari kita coba berkaca pada sejarah.
“Aquinas, dan Ibn Rusyd: sintesa dan deduksi apriori.
Bacon: menolak Aristo dan mendukung induksi.
Copernicus, Kepler, Galileo: revolusi tatasurya.
… pemikiran ilmiah pada akhirnya menggantikan teologi…
Immanuel Kant: mengakhiri Abad Pertengahan.
Darwin: mekanisme tanpa Pencipta.
Freud: menghapus kredibilitas agama.
Einstein: relativitas; ilmuwan relijius.
Bohr: mekanika quantum; tentang alam.
Capra dan Zukav: sains butuh spiritual.
Hogan: gambaran muram sains ditindas biaya tinggi; super string, big bang, boson.
Kant mengulas sangat mendalam tentang watak akal manusia yang selalu bertanya. … sains…dihubungkan dengan teologi. (PA: 93)
Pada abad 21 ini bekembang:
Bila tidak ada hubungan substansial antara isi pengetahuan saintifik dan teologis, maka perlu sebagai hipotesis kerja ditegaskan bahwa hubungan keduanya merupakan hubungan independensi, tidak berpengaruh.
Namun, independensi tidak menciptakan konflik; sebaliknya, ia mencegahnya. “Konflik terjadi ketika orang-orang mengabaikan perbedaan-perbedaan ini [antara sains dan teologi]; ketika orang-orang dari posisi agama merumuskan klaim ilmiah, atau ketika para ilmuwan melewati batas bidang mereka…” Pembenaran atas independensi sains dan teologi bukanlah reduktif, juga tidak menghalangi otonomi sains atau teologi. (https://philosophia-bg.com/)
4. Dialog
Apa pun posisi Anda terhadap sains dan agama maka sikap terbuka untuk dialog adalah pilihan bijak
5. Diskusi
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar