Psikologi Modern Menghadapi Agama

Psikologi berinteraksi dengan agama secara pasang surut. Kadang mereka harmonis; kadang bertengkar; kadang berpisah; lalu bersatu lagi. Psikologi merupakan sains dengan disiplin ilmiah. Sementara, agama dalah ajaran tertulis dan praktek yang utuh.

1. Freud dan Pfister
2. Konflik
3. Integrasi Lagi
4. Bentuk-bentuk Interaksi
5. Diskusi

Sampai sekarang, interaksi psikologi dengan agama tetap dinamis. Jadi tidak ada, atau belum ada, bentuk final dari interaksi ini.

1. Freud dan Pfister

Di tengah-tengah kaum intelektual yang ateis, di rumah yang betul-betul sekuler, Pfister satu-satunya pastur. (PA: 94)

“Sigmund Freud tidak saja dianggap sebagai bapak psikoanalisis, tetapi ia juga tokoh ateisme terbesar sepanjang abad 20…

“Pfister meneruskan penelitian dan praktek psikoakalisis dan menulis buku teks pertama… dan tetap menjadi sahabat Freud.

Sebagaimana Freud yakin bahwa psikoanalisis adalah alat untuk membasmi agama dan takhayul lainnya, Pfister juga sangat yakin bahwa sang guru telah menemukan kunci perkembangan ruhaniah. (PA: 95)

“Freud mewakili psikologi yang memusuhi agama. Sains sudah menjadi agama Freud. Darwin dan para ilmuwan lainnya adalah “para santo modern.”

… kontribusainya kepada sains terletak pada perluasan penelitian sampai ke dalam alam mental.” (PA: 98)

“Jika kita ingin mengetahui jiwa kita sendiri… kita harus berpedoman kepada sains.

Lalu di mana posisi agama? Agama hanyalah ilusi, delusi, “universal obsessional neurosis”, proyeksi dari keinginan masa kanak-kanak.” (PA: 98)

“Pfister, seperti ahli Aikido, menggunakan tenaga lawan untuk menampilkan jalan cinta… psikoanalisis menjadi pendukung agama.

Tahun 1983, The American Psichyatric Association mulai memberikan hadiah tahunan Oskar Pfister Award kepada siapa saja yang memberikan “important contributions to the humanistic and spiritual side of psichyatric issues”. (PA: 99)

“Tanpa bantuan psikologi, para tokoh agama akan salah melakukan diagnosis, dan karena itu juga tidak dapat membantu umatnya. … makna integrasi adalah memasukkan sumbangan agama pada kotak psikoterapi.

Makna kedua… (1) Usia 60 belum menikahkan anak perempuan… (2) Ruh saya di mana setelah mati… (3) dekat keluarga… (4) banyak dosa. Saya menjawab dengan jawaban agama… dan “intervensi spiritual.” Integrasi dalam penderitaan. (PA: 103)

Dinamika psikologi sang guru Freud dengan sang murid Pfister menjaga psikologi tetap bersatu dengan agama. Integrasi ini sulit untuk dipertahankan; meski selalu ada peluang untuk integrasi.

2. Konflik

Konflik psikologi lawan agama menjadi tajam ketika psikologi mengambil pendekatan sains positivisme; sains yang mengandalkan bukti empiris dan menolak metafisika. Awal abad 19, August Comte mengembangkan filsafat sains positivisme; Lingkaran Wina merupakan pelopor logiko positivis di kisaran 1920 – 1950.

“…1879, … Wilhem Wundt dianggap sebagai bapak psikologi modern, psikologi yang ditegakkan di atas landasan ilmiah.

… Tidak ada yang bisa dipahami dari perubahan sistem filsafat. Psikologi modern harus mengambil watak yang betul-betul ilmiah dan bisa melepaskan diri dari kontroversi metafisis.” (PA: 105)

“Karena kesadaran dianggap sebagai ilusi subyektif, psikologi tidak lagi berhubungan dengan psyche. Pada saat itulah, psikologi mengambil jalan yang bertentangan dengan agama. Para tokoh psikoanalisis dan behaviorial menegakkan teori mereka di atas asumsi-asumsi sains modern. (Karier, 1966, Leahey,1991) (PA: 107).

Makna empiris secara ilmiah adalah beragam: [1] empiris secara fisika; misal pengukuran posisi apel jatuh berdasar mekanika Newton; [2] empiris secara pengalaman manusia; misal mengukur tingkat kebahagiaan warga kota seperti pandangan John Mill.

Psikologi mengambil jalan murni ilmiah, dengan membuang sisi metafisika, makna empiris seakan-akan hanya pengukuran fisika, mengakibatkan konflik makin tajam antara psikologi dan agama.

“Psikoanalisis dan behaviorisme…sangat dominan dalam lingkungan sains modern.

… ada arus bawah gerakan “budaya kontra” yang tetap berusaha mengintegrasikan psikologi dan agama. … Pada paruh kedua Abad ke-20, …orang berbicara tentang kebangkitan kembali spiritualitas… “(PA: 113)

Aakhir abad 20, masyarakat sadar bahwa behaviorisme dan psikoanalisis tidak memadai untuk memahami psikologi. Manusia membutuhkan sumber ruhani, pesona spiritual, dan petualangan intelektual. Psikologi makin mendekat ke agama lagi.

3. Integrasi Lagi

Era ini, banyak orang hidup dalam kemewahan, fasilitas teknologi canggih, dan kekuasaan politik yang besar. Mengapa mereka merasa gersang? Hidup hilang makna? Ancaman narkoba ada di mana-mana?

“Di tengah limpahan kehidupan material, tiba-tiba orang merasa kehausan. …

Begitu banyak di antara kita yang kaya – tetapi kita masih juga tidak puas.

Kenyataannya, jutaan manusia kini hidup lebih baik – secara materi – dari para ratu dan raja pada zaman dahulu. Tetapi kita masih juga tidak puas.

“Sindrom ini disebut “existential neurosis”, ketidakbahagiaan yang bersumber pada pertanyaan-pertanyaan tentang makna. Dewasa ini, bahkan penyakit ini tersebar lebih luas…

Agak aneh menyebut penyakit ini sebagai neurosis eksistensial. … Sungguh sangat tragis kalau kita berusaha menyembuhkan kekecewaan eksistensial ini. (PA: 116).

Dahaga dari kehampaan eksistensial sains modern, umat manusia kembali mencari sumber-sumber makna manusiawi sampai ruhani. Psikologi mengajukan pertanyaan riset yang lebih berani.

“Psikologi humanistic punya akar sejarah yang cukup tua. Tetapi bersama psikologi eksistensialis, ia baru muncul pada 1960-an, membentuk “angkatan ketiga” dalam psikologi. …

Kekosongan ini terjadi, kata Maslow, karena kekosongan nilai (valuelessness). Tidak ada lagi yang dikagumi, dirindukan, atau diperjuangkan. (PA: 119).

Keyakinan mendasar dari psikologi humanistik adalah bahwa manusia pada dasarnya baik; dan bahwa masalah mental dan sosial merupakan hasil dari penyimpangan dari kecenderungan alami ini.

Kebutuhan akan pemenuhan dan pertumbuhan pribadi merupakan motivator utama dari semua perilaku. Manusia terus mencari cara baru untuk tumbuh, menjadi lebih baik, mempelajari hal-hal baru, dan mengalami pertumbuhan psikologis dan aktualisasi diri. (www.verywellmind.com/)

“Kalau psikologi menanggalkan metode ilmiah yang positivistis (sains modern), dengan metode apa psikologi melanjutkan perjalanan? Dengan fenomenologi, … berpendapat bahwa bagaimana kita dan apa yang kita lakukan adalah refleksi dari pengalaman subyektif kita terhadap dunia dan diri kita sendiri. … Tidak (ada yang)… dapat mengungguli pengalaman-langsung saya (Rogers, 1961; 23-24) (PA: 121)

“Psikologi transpersonal lahir dan tumbuh di tengah-tengah perubahan politik, budaya, dan agama di Amerika pada tahun 1960an dan 1970-an.

…empat asumsi…

(1) pendekatan kepada penyembuhan dan pertumbuhan yang menyentuh semua tingkat spectrum identitas – prapersonal, personal, dan transpersonal. (PA: 130)

“(2) mengakui terurainya kesadaran diri sang terapis serta pandangan-dunia spiritualnya sebagai hal utama dalam membentuk sifat proses dan hasil terapi.

(3) adalah proses “kebangkitan (pecerahan, awakening) dari identitas kecil menuju identitas yang lebih besar.

(4) membantu proses “kebangkitan” dengan menggunakan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri.” (PA: 131)

Di abad 21 ini, psikologi terus berkembang.

Selama tiga hari, di lingkungan Cober Hill yang luas di Scarborough, kami akan berusaha untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi kembali pengaruh mendalam dari Tradisi Spiritual Timur (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme), Tradisi Mistik (Kabbalistik, Sufi dan Kontemplatif Kristen) dan tradisi Shamanistik pada Psikologi Transpersonal, …

Kami juga akan berusaha untuk menyeimbangkan kegiatan ilmiah kami dengan penekanan yang sama pada elemen-elemen sosial, komunal dan pembangunan komunitas dari Psikologi Transpersonal, melalui pertemuan yang lebih informal, dan hiburan malam yang berkesan yang terdiri dari puisi, musik dan sihir. (www.bps.org.uk).

4. Bentuk-bentuk Interaksi

Terdapat tiga bentuk awal interaksi.

“[1] Studi agama yang dilakukan oleh para psikolog.

[2] Pengetahuan psikologis dipergunakan untuk membimbing pekerjaan para pastor.

[3] Menggunakan penemuan psikologi untuk “merevisi, menafsirkan kembali, meredifinisi, mendukung, atau membuang tradisi-tradisi agama yang sudah ada. “ (PA: 138)

“Jones menganggap tiga bentuk interaksi ini memperlakukan agama sebagai obyek, untuk penelitian, untuk pembinaan, dan penyediaan jasa atau untuk pembaharuan untuk pemikiran keagamaan. Dalam ketiga-ketiganya, agama tidak pernah menjadi mitra yang sejajar. (PA: 139)

Berikut beragam alternatif interaksi.

“[1] Interaksi kritis-evaluative. Di sini peneliti menguji dan mengevaluasi teori-teori psikologi apakah teori-teori itu tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya.” (PA: 139)

Kini psikologi di bawah “mikroskop” agama bukan agama di bawah psikologi.

“[2] interaksi konstruktif. Di sini, keyakinan dan pandangan keagamaan memberi kontribusi yang positif untuk kemajuan sains. Agama membantu psikolog untuk melihat dunia dengan cara yang baru.” (PA: 142)

Agama tidak menjadi sumber data tetapi menjadi “kacamata” untuk melihat data atau merumuskan teori baru. Contoh meditasi.

“[3] interaksi dialogis dan dialektis. (PA: 142)

Dialogis: agama dan psikologi saling memperkaya pemahaman.

Dialektis: agama memperluas perspektif; psikologi menambah data-data konkrit.

Fenomenologi bisa menjembatani di abad 21 ini.

Penggunaan psikedelik yang dilembagakan dalam agama-agama masyarakat pra-modern di seluruh dunia mengungkapkan peran utama zat-zat ini dalam evolusi pengalaman spiritual, budaya, dan agama…

Penjelasan neurofarmakologis tentang efek psikedelik pada pengalaman manusia dapat ditemukan dalam pendekatan neurofenomenologi,

“Program penelitian yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan penjelasan antara pengalaman subjektif orang pertama dan data orang ketiga neurofisiologis, melalui pendekatan yang berwujud dan enaktif terhadap biologi kesadaran…

{N}eurofenomenologi kemudian dipandang sebagai metode ilmiah baru yang dibangun di atas korpus laporan orang pertama yang invarian secara intersubjektif yang dapat memperluas cakrawala ilmu objektif”

 (Khachouf et al., 2013, hlm. 1). (www.frontiersin.org).

5. Diskusi

Kondisi posmodern menarik untuk menjadi bahan diskusi.

Terdapat 5 situasi mengantar posmo:

“[1] Sains menolak keabsahan agama. Inilah pendekatan baku dari kaum positivis dan empiris yang menjadi aliran utama modernitas. … Comte, Freud, Marx, Russell … agama hanyalah sisa-sisa dari pengalaman masa kecil. (PA: 132)

“[2] Agama menolak keabsahan sains. Pandangan ini diwakili oleh reaksi kaum fundamentalis terhadap modernitas.” (PA: 132).

Agama klasik tidak menolak sains karena: sains tidak menolak agama dan sains salah satu bentuk pengetahuan. Tetapi ketika sains modern menganggap agama sebagai ilusi maka kaum fundamentalis menolak sains; teori mau pun fakta sains.

“[3] Sains hanyalah salah satu cara untuk mengetahui di antara beberapa cara yang absah, dan karena itu keduanya bisa koeksistensi secara damai.” (PA: 133).

Pertimbangkan tiga jenis mata: mata daging; mata jiwa; dan mata kontemplasi. 

“[4] Sains menawarkan “plausibility arguments” tentang eksistensi ruh (spirit). Ini adalah variasi dari pluralism epistemologis. … sains … perlu mengikutkan Sang Maha Intelegensi… “(PA: 134).

Bagaimana big bang bisa terjadi? Apa yang terhadi sebelum big bang? Apa partikel terkecil?

“[5] Sains itu sendiri bukanlah pengetahuan tentang dunia, tetapi hanyalah penafsiran tentang dunia, dan karena itu dari segi keabsahan, sains tidak lebih dan tidak kurang dari puisi dan seni. Ini adalah esensi dari postmodernisme. Posmodernisme mengatakan bahwa dunia tidak dipersepsi tetapi ditafsirkan.” (PA: 135)

Sikap ilmuwan abad 21 makin dinamis.

Kerahasiaan, kata Ecklund, memungkinkan para ilmuwan yang disurveinya untuk lebih terbuka tentang keyakinan mereka daripada yang mungkin mereka lakukan sebelumnya.

“Mereka menunggu untuk membicarakannya,” katanya. “Mereka merasa ada begitu banyak keheningan dalam komunitas ilmiah tentang agama — rasanya agak melegakan untuk membicarakan pendekatan mereka sendiri terhadap agama dalam lingkungan yang aman.”

Ecklund juga menemukan bahwa banyak ilmuwan cukup terbuka terhadap keyakinan rekan-rekan mereka. “Ilmuwan ateis jauh lebih tidak negatif tentang agama daripada yang mungkin kita yakini dari suara-suara paling keras, yang sering kita anggap paling banyak jumlahnya.

Dan itu sering kali tidak terjadi,” katanya. Misalnya, penelitiannya tahun 2016 menemukan bahwa di Amerika Serikat, dua pertiga ilmuwan tidak memandang hubungan sains-agama sebagai konflik. (mindmatters.ai)

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar