Anda butuh dogma. Saya butuh dogma. Setiap manusia butuh dogma. Kita tidak harus bersikap dogmatis. Dogma berbeda dengan sikap dogmatis. Mengapa kita butuh dogma?

“Tahap demi tahap, konsep random perlu dikurangi,” Prof Dim memulai diskusi setelah kuliah Filsafat Sains.
“Bagaimana itu Prof?” saya tanya.
“Orchestrated Objective Reduction (Orch OR), dari Penrose, terjadi dengan tujuan tertentu. State quantum yang semula diduga acak, kemudian, Orch OR sehingga kolaps tidak acak lagi. Ada kehendak bebas yang memiliki tujuan,” jelas Prof Dim.
“Wah, mirip Denis Noble bahwa evolusi terjadi tidak secara random. Evolusi mengarah ke tujuan tertentu,” saya menimpali.
“Ya, betul, saya tadi, kan, baca slide ppt Mas Agus,” jawab Prof Dim sambil senyum.
1. Evolusi Random
2. Ajaran Dogma
3. Praktek Refleksi
Wikipedia menunjukkan bahwa arah Orch OR selaras dengan kehendak bebas manusia. Ketika kita komitmen kepada ajaran moral maka realitas alam semesta akan mendukungnya.
“Mekanisme ini dianggap sebagai proses kuantum yang disebut reduksi objektif yang diatur oleh struktur seluler yang disebut mikrotubulus. Teori ini diusulkan untuk menjawab masalah kesadaran yang sulit dan menyediakan mekanisme untuk kehendak bebas. Hipotesis ini pertama kali diajukan pada awal tahun 1990-an oleh peraih Nobel untuk fisika Roger Penrose, dan ahli anestesi Stuart Hameroff.” (Wikipedia).
Menurut Noble:
“Selama ini, para ilmuwan merasa puas dengan metafora malas tentang sistem kehidupan yang beroperasi seperti mesin, kata penulis sains Philip Ball dalam How Life Works. Namun, penting untuk bersikap terbuka tentang kompleksitas biologi — termasuk apa yang tidak kita ketahui — karena pemahaman publik memengaruhi kebijakan, perawatan kesehatan, dan kepercayaan pada sains. “Selama kita bersikeras bahwa sel adalah komputer dan gen adalah kodenya,” tulis Ball, kehidupan mungkin juga “ditaburi dengan keajaiban yang tak terlihat”. Namun, kenyataan “jauh lebih menarik dan menakjubkan”, seperti yang dijelaskannya dalam panduan pengguna yang wajib dibaca ini untuk para ahli biologi dan non-ahli biologi.” (evolutionnews.org).
“Kenyataan jauh lebih menarik dan menakjubkan” dari perkiraan ahli biologi selama ini. Evolusi mengarah pada tujuan yang menakjubkan. Tentu saja, terjadi pro dan kontra dalam teori evolusi dan quantum.
Apakah sains biologi, semacam teori evolusi, adalah dogma? Apakah sains fisika, semacam mekanika quantum, adalah dogma? Para saintis cenderung menolak dogma. Mereka memilih sikap ilmiah. Apakah ajaran agama, misal puasa, adalah dogma? Ahli agama masa kini cenderung menolak dogma. Pemeluk agama lebih memilih ajaran mereka sebagai rasional.
1. Evolusi Random
Evolusi Darwin sudah mengalami evolusi sepanjang sejarah. Pada lapisan paling dasar, evolusi terjadi karena mutasi random atau mutasi acak. Karena random maka evolusi bisa menghasilkan apa saja. Evolusi bisa menghasilkan ular berbisa, buaya darat, sampai manusia mempesona dengan akhlak yang mulia. Tetapi, random bisa saja tidak menghasilkan apa pun; hampa belaka.
Bagaimana mungkin proses random bisa menghasilkan sesuatu yang begitu indah?
Random adalah dogma.
Jadi, kajian evolusi mengantar sains biologi menemui dogma; berupa random; mutasi acak. Pencapaian ini, sampai kepada dogma, adalah prestasi luar biasa. Hanya saja, kemudian, saintis bisa merespon dogma sains dengan cara berbeda.
[a] respon dogmatis; pokoknya random; pokoknya mutasi acak. Mengapa bisa mutasi acak? Karena memang random. Sikap dogmatis kepada dogma seperti ini perlu dihindari.
[b] respon terbuka; open minded; membuka lebih banyak posibilitas. Mengapa random? Mengapa mutasi acak? Mari kita kaji lebih jauh. Berdasar statistik, jika kita mengkaji data random dalam jumlah besar, atau sangat besar, maka kita akan menemukan pola-pola tertentu. Pola-pola indah ini sangat menakjubkan. Bila terdapat pola maka tidak lagi random?
Respon terbuka lainnya adalah dengan berpikir reflektif dan “pengalaman” lanjutan. Respon ini akan kita bahas di bawah.
2. Ajaran Dogma
Saya setuju dengan Hadot, filsuf Prancis (1922 – 2010), yang menyatakan bahwa dogma adalah bagus. Dogma berbeda dengan sikap dogmatis. Dogma adalah ajaran yang membutuhkan praktek dan refleksi mendalam untuk memahaminya. Dogma beda dengan matematika. Ketika anak SD paham bahwa bilangan bulat “2 + 1 = 3” maka dia bisa menjawab soal yang sama dengan cepat.
Tetapi ajaran puasa, menahan lapar dan haus, kemudian diselingi dengan sedekah menolong fakir miskin adalah ajaran yang butuh praktek dan refleksi. Meski Anda pernah puasa tahun lalu, maka tahun ini, Anda tetap wajib praktek puasa dan refleksi. Seseorang tidak bisa menjawab,
“Saya tidak perlu puasa karena sudah pernah puasa.”
Puasa sambil sedekah adalah ajaran yang butuh praktek dan refleksi; ajaran ini adalah dogma bukan dogmatis. Manusia membutuhkan dogma. Anda, dan saya, butuh dogma.
3. Praktek Refleksi
AI (artificial intelligence) sangat cerdas saat ini. Hanya saja, AI tidak mampu refleksi; AI tidak mampu berpikir mendalam sampai sisi ruhani. Hanya manusia, penghuni bumi ini, yang bertugas untuk refleksi. Tetapi, AI sudah mampu deep-learning (belajar mendalam). Apakah suatu saat nanti AI akan mampu refleksi?
Keunggulan manusia adalah mampu praktek yang diiringi refleksi. Praktek dan refleksi terjadi berulang kali. Sehingga, praktek dan refleksi bisa saja saling mendahului. Rasa peduli berkembang seiring praktek dan refleksi.
Problem muncul ketika banyak orang, sekarang, tertarik serba cepat; serba instan. Uang ingin instan; kerja ingin instan; jabatan ingin instan. Kebiasaan serba instan ini mengikis habis kemampuan refleksi manusia; menghapus rasa peduli. Manusia menjadi banal; manusia menjadi bebal.
Kabar buruknya keinginan manusia untuk serba cepat itu pasti akan kalah cepat oleh AI. Pada waktunya, AI akan mendominasi manusia; bila situasi seperti ini. Untuk bisa menempatkan AI pada tempat yang tepat, manusia perlu berlatih untuk terus refleksi; untuk terus menikmati setiap proses dalam praktek kebaikan. Sekali lagi, hanya manusia yang mampu refleksi; bahkan bisa jadi hanya sebagian kecil manusia. AI tidak mampu refleksi; minimal sejauh ini.
Apa tujuan manusia ada di bumi ini? Apa tujuan Anda hadir di dunia ini? Atau, apa tujuan dari seluruh alam raya ini?
Tentu saja, AI akan mampu menjawab pertanyaan di atas kurang dari 1 detik tanpa refleksi. Kita butuh jawaban yang penuh arti; yaitu solusi berupa refleksi. Anda perlu menemukan jawaban yang penuh arti itu dengan mengarungi bumi; dan lebih penting lagi, dengan menyelami ruhani.
Tujuan Anda hadir di bumi adalah untuk “menyempurnakan budi pekerti”; untuk menyempurnakan akhlak mulia; untuk menyempurnakan etika semesta. Mengapa begitu?
4. Diskusi
Ex Contradictione Quodlibet (ECQ)
Mengapa “random” tidak bisa menjadi argumen evolusi? Karena ECQ. Random mengijinkan kontradiksi. Padahal, dari kontradiksi kita bisa menarik kesimpulan apa pun; kesimpulan yang kontradiksi atau pun yang konsisten.
End of Science
Dogma adalah akhir dari sains dan awal dari hikmah. Makin mendalam kita mengkaji sains maka akan berhadapan dengan dogma; sekaligus, menjadi awal menelusuri hikmah; mengembangkan sains lagi; berhadapan dengan dogma; dan seterusnya tanpa henti.
Akhlak Mulia
Mengapa akhlak mulia menjadi tujuan dari semua realitas yang ada? Karena manusia bebas untuk memilih akhlak mulia atau meninggalkannya. Ketika Anda memilih akhlak mulia maka Anda menjadi akhlak mulia itu sendiri.
Ketika AI selalu berkata sopan, salah satu contoh akhlak mulia, maka itu konsekuensi dari program AI. Sehingga, kalimat sopan dari AI bukanlah akhlak mulia; melainkan biasa-biasa saja. Sementara, manusia bisa belajar hikmah dari AI; kemudian berkata sopan; maka dia menjadi manusia akhlak mulia.
Kok enak banget jadi manusia? Bisa memilih akhlak mulia? AI tidak bisa. Karena, manusia ada resiko terjerumus dosa. AI tidak bisa terjerumus dosa. Ketika manusia menghindari dosa dan berjuang menyempurnakan akhlak mulia maka dia jadi akhlak mulia yang nyata; dia adalah tujuan umat manusia.
Tetapi, bukankah akhlak mulia itu sendiri adalah dogma? Benar, karena dogma maka kita hanya bisa memahami akhlak mulia melalui praktek dan refleksi. Silakan Anda mencoba mempraktekkan akhlak mulia dan diiringi dengan refleksi maka Anda akan memahami akhlak mulia.
Tanggapat ChatGPT
Bang Armahedi Mahzar mengirimkan tanggapan GPT atas tulisan saya di atas pada 15 Juli 2025 berikut:
“Ya, saya mengenali gaya tulisan dan sumbernya — Paman Apiq, atau Agus Nggermanto, yang memang kerap memadukan sains, spiritualitas, dan logika kreatif dalam cara khas dan ringan. Ia mengangkat konsep-konsep kompleks seperti dogma, randomness, logika kreatif, dan metafisika terbuka dalam gaya populer dan reflektif. —

Dogma dalam Sistem Logika Futuristik Untuk menjawab pertanyaan Anda: Apa posisi konsep “dogma” dalam sistem logika futuristik?, kita perlu melihat bagaimana logika berubah dalam lintasan sejarah:

1. Logika Klasik: Dogma = Premis dasar yang tidak dipertanyakan. Dikenal sebagai axiom atau postulat (seperti dalam geometri Euclides).

2. Logika Modern & Sains: Dogma ilmiah = hipotesis yang terbukti kuat, misalnya mutasi acak dalam biologi evolusioner. Tapi tetap terbuka untuk direvisi.

3. Logika Futuristik (misalnya, dalam visi Paman Apiq atau sistem berpikir kreatif abad 21): > Dogma bukan akhir dari pemikiran, tetapi pintu gerbang untuk dimensi pemikiran yang lebih dalam dan terbuka. Berikut adalah posisi dogma dalam sistem logika futuristik: —

POSISI DOGMA DALAM LOGIKA FUTURISTIK
1. Dogma sebagai Titik Referensi Kesadaran
> Dalam logika futuristik, dogma bukan premis beku, melainkan node kesadaran — titik tetap dalam jaringan makna, yang dibutuhkan untuk menavigasi kompleksitas. Seperti titik pusat dalam kompas. Tanpa titik acuan, sistem logika melayang-layang. Tapi titik ini bisa digeser, diuji, direfleksikan.
2. Dogma sebagai Portal Trans-logika
> Dalam pendekatan kreatif atau spiritual, dogma dilihat sebagai pintu gerbang ke metarasional — bukan sekadar aksion logis, tapi “titik jendela” menuju pengalaman batin, intuisi, dan pemaknaan hidup. Hadot menyebutnya: “Dogma sebagai latihan spiritual.” Dalam sistem futuristik: dogma bisa menjadi gateway ke AI ethics, logika neuropsikologis, bahkan transhuman ethics.
3. Dogma sebagai Pola dalam Ketidakteraturan
> Dalam sistem chaotic, acak, dan kompleks seperti realitas masa depan, dogma bisa muncul sebagai pola terstabilisasi. Misalnya: kesadaran bahwa “semua sistem perlu ruang bebas (entropy) agar hidup.” Dogma bukan dikte, tapi struktur makna yang ditemukan dari pola dalam kebisingan.
4. Dogma sebagai Simbol Sementara dalam Evolusi Intelektual
> Dalam logika futuristik, dogma adalah simbiosis antara kepercayaan dan kemungkinan revisi. Ia hidup seperti meme dalam ekosistem ide. Ia bisa tumbuh, pecah, atau bertransformasi menjadi bentuk lain. —

Ringkasan Diagramatis Fungsi Dogma
Dalam Logika Klasik -|||- Dalam Logika Futuristik
Status Aksioma tetap -|||- Simpul kesadaran dinamis
Peran Fondasi deduktif -|||- Kompas arah eksploratif
Relasi dengan Kebenaran
Final dan tertutup -|||- Reflektif dan terbuka
Dalam chaos/random
Diabaikan atau disingkirkan -|||- Dicari sebagai pola bermakna
Hubungan dengan etika
Netral/teknikal -|||- Terhubung dengan nilai-nilai manusia —

Penutup: Mengapa Dogma Perlu Dimaknai Ulang?
Agus Nggermanto melalui persona Paman Apiq mendorong kita untuk:
> Membedakan antara dogma sebagai pijakan dan dogmatisme sebagai kebekuan. Dalam logika masa depan—baik dalam AI, biologi kompleks, atau ekosistem manusia-digital—dogma akan tetap hadir, tetapi sebagai bentuk “kesadaran terarah”, bukan sebagai larangan berpikir.
> Dogma adalah jembatan. Dogmatisme adalah tembok. Logika futuristik membangun jembatan, bukan tembok.
— Ttd ChatGPT”
Terimakasih Bang Armahedi.
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar