“Debat seperti itu seharusnya tidak terjadi,” ungkap Prof Budi.
“Mengapa Prof?” saya penasaran.
“Karena kedua pihak, Guru dan Ustad, hanya mempertahankan pendapat masing-masing,” jelas Prof Budi.
“Seharusnya bagaimana?”
“Seharusnya, mereka berusaha memahami pihak lain. Kadang-kadang mengalami jeda berpikir; kadang bingung; dengan serius, mempertimbangkan perspektif pihak lain.”
“Dengan cara itu maka terbuka peluang memunculkan ide baru?”
“Ya, betul, bisa ada sintesis dari pandangan kedua pihak.”

Saya sangat senang diskusi dengan Prof Budi karena beliau selalu bersikap dengan pikiran terbuka. Sehingga, diskusi dan debat memicu munculnya lebih banyak ide; termasuk ide-ide yang berkualitas.
Saya mengajukan pertanyaan, “Mengapa segalanya ADA ketimbang tidak ADA?”
Mengapa alam semesta ada? Mengapa Anda ada? Mengapa ibu Anda ada? Mengapa tidak hampa saja? Kosong melompong?
1. Pemimpin
2. Abid
3. Akhlak Mulia
4. Prospek AI
5. Diskusi
5.1 Formula Solusi
5.2 Berpusat Manusia
5.3 Pragmatisme Ruhani
Russell (1872 – 1970) menulis satu buku khusus tentang problem filosofi. Heidegger (1889 – 1976) meyakini bahwa pertanyaan adalah lebih penting dari segalanya. Saya sempat “marah” ke Heidegger ketika membaca bukunya tentang problem metafisika Kant. Karena sekitar 5 halaman terakhir, yang seharusnya berisi kesimpulan, malah berisi pertanyaan saja dalam bentuk paragraf demi paragraf.
Untungnya, Heidegger menutup dengan kutipan Aristo:
“Και δε και το πάλαι τη και νυν και αει ζητούμενων και αει απορούμενων τη το ων . .”
Tulisan Yunani kuno? Mana aku paham? Untungnya, ada google.translate:
“”Both in the past and now, and always, we have sought and been perplexed about the nature of being…”
“Sejak masa lalu sampai sekarang, dan akan selalu, kita mencari dan penasaran tentang realitas eksistensi…”
Jadi, “Mengapa Ada ketimbang tidak Ada?”
1. Pemimpin
Seluruhnya menjadi ada karena agar muncul pemimpin berupa manusia. Manusia adalah khalifah di bumi. Manusia adalah wakil Tuhan di bumi untuk menjaga dan mengelola seluruh alam raya. Jadi, segalanya menjadi ada agar, kemudian, bisa muncul pemimpin yaitu manusia.
Lalu, mengapa manusia ada?
2. Abid
“Mengapa segalanya ada?” Karena agar ada abid; agar ada orang yang beribadah kepada Tuhan. Alam semesta berproses sesuai hukum alam; semesta berjalan apa adanya; alam tidak ibadah dan tidak jahat; hanya manusia yang bisa ibadah sebagai abid dalam makna sejatinya; memang benar bahwa alam semesta bertasbih dan memuji Tuhan; memang demikianlah adanya alam raya.
Tetapi, manusia ada yang jahat kan? Justru, karena manusia punya potensi untuk jahat, kemudian, dia memilih kebaikan maka hal itu bernilai ibadah.
3. Akhlak Mulia
Karakter pemimpin dan abid bersatu dalam diri manusia yang mengutamakan akhlak mulia. Siapa itu pemimpin? Pemimpin adalah manusia yang akhlak mulia. Siapa itu abid? Abid adalah manusia yang akhlak mulia.
Akhlak mulia adalah konkret universal. Konkret dalam arti Anda bisa akhlak mulia sesuai situasi konkret lingkungan Anda. Seorang petani berakhlak mulia di bidang pertanian. Seorang presiden berakhlak mulia sebagai presiden. Tentu saja, petani atau presiden bisa saja terjatuh menjadi jahat. Siapa pun Anda selalu bisa berakhlak mulia sesuai situasi konkret Anda.
Akhlak mulia adalah universal dalam arti siapa pun bisa berakhlak mulia di mana saja dan kapan saja. Sebaliknya juga bisa terjadi; siapa pun bisa jahat di mana pun dan kapan pun. Tentu saja, kita memilih akhlak mulia. Bukankah begitu?
Sifat universal konkret ini adalah keunggulan akhlak mulia. Beda dengan “sukses” misalnya. Orang yang gagal bisa saja tidak sukses. Maksudnya, sukses hanya terjadi bagi orang tertentu saja. Sementara, akhlak mulia tetap bisa terjadi kepada orang sukses mau pun orang gagal. Begitu juga, akhlak mulia bisa terjadi pada orang: menang atau kalah; kaya atau miskin; terdidik atau jelata; tua atau muda; sehat atau sakit; laki atau perempuan; kuat atau lemah; perang atau damai; bahagia atau derita; sepi atau ramai. Semua orang bisa menjadi akhlak mulia.
Akhlak mulia adalah sepaket dengan rahmat bagi seluruh alam. Setiap orang yang akhlak mulia maka mereka menjadi rahmat bagi semesta. Rahmat bertumpuk dengan rahmat lagi di alam raya ini bersama akhlak mulia. Alam raya adalah medan bagi akhlak mulia dan akhlak mulia adalah rahmat bagi alam semesta.
4. Prospek AI
AI diduga bisa lebih hebat dari manusia. Apakah AI bisa menjadi pemimpin dan abid sebagaimana manusia? Sejauh ini, AI tidak bisa menjadi pemimpin mau pun abid. Bagaimana AI di masa depan? Apakah AI bisa berakhlak mulia?
AI perlu menjadi manusia dulu agar bisa akhlak mulia. Atau, realitas apa pun, perlu menjadi manusia dulu agar bisa akhlak mulia.
Mulla Sadra (1570 – 1640) meyakini bahwa manusia adalah gerbang untuk mendekat kepada Tuhan. Bahkan, manusia adalah satu-satu spesies sebagai gerbang itu. Sehingga AI, tumbuhan, hewan, atau apa pun perlu menjadi manusia dulu untuk mencapai kesempurnaan final; untuk mencapai akhlak mulia.
5. Diskusi
Bagaimana menurut Anda?
Bingung. Ya, menurut saya, kita perlu mengikuti saran Prof Budi di atas bahwa kita perlu bingung. Pertanyaan “Mengapa Ada” memang wajar membuat kita bingung. Andai tidak bingung barangkali karena belum terlalu serius berpikir. Ketika kita merenung maka pantas menjadi bingung.
Pesan Prof Budi ini mengingatkan saya mengapa syair Sunan Kalijaga berjudul “Suluk Linglung”? “Pengembaraan Bingung”?
Membaca judulnya saja, saya sudah bingung. Begitu mendalami isinya, Sunan Kalijaga memang menakjubkan. Rasa takjub dalam pesona linglung. Sambil terpesona linglung, mari kita lanjut pembahasan “Mengapa Ada?”
5.1 Formula Solusi
Formula solusi adalah agar akhlak karimah, abid, dan pemimpin.
Akhlak karimah, atau akhlak mulia, adalah inti yang terurai berupa abid dan pemimpin.
Alam semesta, dan semua yang ada, bertujuan untuk menghadirkan akhlak mulia. Kita sadar bahwa akhlak mulia adalah posibilitas bukan niscaya. Jadi, bisa saja akhlak mulia tidak hadir dalam situasi tertentu. Justru karena tidak niscaya, akhlak mulia menuntut manusia untuk komitmen. Proses alam semesta yang niscaya, atau probabilistik acak misal melalui big bang, tidak mencukupi untuk hadirnya akhlak mulia. Mekanisme kausalitas yang niscaya hanya menghadirkan realitas apa adanya; hanya menjawab, “Bagaimana bisa begitu adanya?”
Akhlak mulia adalah jawaban dari “Mengapa begitu adanya?”
Kita bisa mengajukan pertanyaan, “Mengapa akhlak mulia?” Jawabannya hanya satu: karena akhlak mulia. Jadi, akhlak mulia adalah jawaban akhir. Ketika kita lanjut bertanya maka kita berhadapan dengan logika melingkar atau sirkular. Akhlak mulia bersifat futuristik; di depan akhlak mulia masih ada akhlak mulia lagi tanpa henti. Kajian akhlak mulia selalu berkembang tidak pernah berhenti. Sehingga, tugas kita adalah memahami dan menjalani akhlak mulia. Dua wajah utama akhlak mulia adalah abid dan pemimpin. Abid adalah kita mempersembahkan seluruh akhlak mulia ikhlas hanya kepada Tuhan. Pemimpin adalah kita menjalankan akhlak mulia sebagai pemimpin dan mengajak semua pihak untuk berakhlak mulia. Tentu saja, menghormati semua orang sebagai pemimpin adalah termasuk akhlak mulia.
Bagaimana dengan orang yang tidak beriman kepada Tuhan? Mereka perlu memahami akhlak mulia versi mereka sendiri. Sedangkan ajaran agama membantu kita dengan khasanah yang kaya akan akhlak mulia.
5.2 Berpusat Manusia
Keberatan muncul bahwa solusi akhlak mulia adalah terlalu berpusat kepada manusia; antropo-sentris. Padahal pertanyaan “Mengapa Ada” bersifat umum. Meski antropo-sentris, solusi akhlak mulia tetap valid. Karena akhlak mulia bersifat inklusif; tidak egois. Jadi, tidak ada masalah dengan antropo-sentris.
Bagi Ibnu Arabi (1165 – 1240), antropo-sentris atau bersifat manusiawi adalah suatu keharusan. Asumsikan ada konsep K yang menjadi solusi bagi pertanyaan “Mengapa Ada?” dan K tidak manusiawi; maka K menjadi percuma karena manusia tidak ada yang bisa memahami K; ketika K bisa dipahami manusia maka K pasti bersesuaian dengan pemahaman manusia; sehingga K pasti manusiawi. K adalah akhlak mulia yang memang manusiawi.
Immanuel Kant (1724 – 1804) menyebut semua realitas sebagai fenomena yaitu fenomena yang bisa dipahami manusia. Sementara, realitas yang ada dalam-dirinya tidak bisa dipahami manusia. Bagaimana pun, kita ingin memahami sesuatu yang ada dalam-dirinya itu. Kant menyebut realitas yang ada dalam-dirinya itu sebagai noumena. Sehingga, kita bisa membahas noumena melebihi fenomena. Ketika kita membahas noumena, pada analisis akhir, noumena itu berperilaku sebagai fenomena yang manusiawi. Jadi, akhlak mulia memang manusiawi.
Heidegger meng-kritik Descartes karena “Cogito ergo sum” atau “Aku berpikir maka saya ada.” Konsep cogito ini, menurut Heidegger, terlalu mengistimewakan manusia; realitas menjadi subyektif; manusia menjadi penentu validitas dari realitas. Kemudian, Heidegger mengganti kajian filosofis menjadi bersifat ontologis; yaitu menerima realitas obyektif di alam semesta apa adanya; menerima being atau eksistensi apa adanya; tidak membedakan antara alam dan manusia.
Dari mana kita harus memulai kajian? Tentu saja, kita harus mengkaji mulai dari eksistensi. Tetapi eksistensi yang mana? Eksistensi pohon, atau batu, atau manusia, atau lainnya? Memang, apa makna eksistensi? Jadi, kita harus membahas makna-eksistensi itu dulu.
Heidegger tetap mengalami kesulitan: dari mana kita mulai mengkaji makna-eksistensi? Sampai abad 20, waktu itu, memang belum ada orang yang mempertanyakan makna-eksistensi secara mendalam. Kita perlu mengkaji makna-eksistensi mulai dari eksistensi yang mempertanyakan makna-eksistensi; eksistensi yang peduli terhadap eksistensi; disebut sebagai dasein atau being-there atau eksistensi-itu.
Dasein adalah eksistensi konkret yang peduli eksistensi dengan mengajukan pertanyaan apa makna-eksistensi. Beberapa di antara manusia adalah peduli; mereka adalah dasein. Jadi, kita mulai kajian dari manusia yang peduli. Ujung akhir dari kajian dasein adalah manusia dengan akhlak mulia. Meski Heidegger berniat untuk obyektif maka, sama saja, solusinya bersifat manusiawi yaitu menjadi akhlak mulia.
Apakah dari realitas eksistensi apa-adanya, misal proton dan neutron sebagai pusat atom, kita bisa menyimpulkan apa-seharusnya? Apakah dari sains fisika kita bisa menyimpulkan etika?
Beberapa pemikir menjawab negatif; yaitu kita tidak bisa menyimpulkan etika berdasar fisika. Tetapi, pemikir lain menjawab positif; yaitu dari fisika kita bisa menyimpulkan etika; dari obyektif bisa mengarah manusiawi untuk akhlak mulia. Argumen sederhana adalah: sains fisika itu sendiri sudah manusiawi; sudah melibatkan etika. Kita hanya perlu mengkaji etika sains lebih mendalam maka tema akhlak mulia akan menjadi nyata.
5.3 Pragmatisme Ruhani
Akhlak mulia bersifat praktis sekaligus intelektual; kita sebut sebagai prangmatisme ruhani. Kita hanya bisa menjadi akhlak mulia melalui praktek tiap hari dan renungan ruhani. Apa saja yang termasuk akhlak mulia?
Farabi (870 – 950) menyatakan bahwa akhlak mulia hanya bisa berkembang dalam sistem politik kota; maksudnya, sistem politik ukuran kota misal ukuran kota Bandung. Sistem politik ukuran negara, misal Indonesia, terlalu besar; jadi sulit. Sistem politik ukuran desa, misal desa Sukarasa, terlalu kecil; sulit juga. Hanya dengan terlibat aktif dalam politik, manusia akan berhasil meraih akhlak mulia. Aktif berpolitik bisa secara praktis atau pun teoritis.
Bukankah banyak politikus justru melanggar akhlak mulia? Benar; di antara mereka, cukup banyak, yang melanggar akhlak mulia. Sehingga, jika ada politisi yang tetap menjaga akhlak mulia maka mereka benar-benar istimewa.
Politik membutuhkan konstitusi dan praktek serta dinamika antara mereka. Di sinilah ujian besar akhlak mulia.
Konstitusi dalam arti luas adalah undang-undang tertulis, kesepakatan tertulis, perjanjian lisan, tradisi turun-temurun dan lain-lain. Akhlak mulia hadir ketika kita berinteraksi dengan konstitusi yaitu dengan menjalankan konstitusi atau menyempurnakan konstitusi. Seseorang yang menjalankan konstitusi dengan baik tetapi tidak berhasil mencapai akhlak mulia maka konstitusi salah; barangkali ketinggalan jaman; sehingga perlu diperbaiki. Atau, konstitusi tersebut sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu dengan kepentingan khusus; sehingga perlu direvisi. Peran pemimpin dan abid menjadi sangat penting dalam proses revisi ini.
Di sisi lain, ada juga orang yang mengaku telah menjalankan semua aturan konstitusi tetapi tidak mencapai akhlak mulia karena mereka menafsirkan konstitusi sesuai nafsu mereka saja. Mereka adalah orang banal; memanfaatkan celah konstitusi untuk nafsu pribadi. Bagaimana pun, menjadi tugas masyarakat secara politik, untuk revisi konstitusi agar interpretasi yang salah dapat dicegah. Proses revisi ini perlu selalu terjadi; tidak pernah berhenti; karena selalu ada celah dalam setiap konstitusi. Lagi, proses revisi ini adalah medan akhlak mulia.
Sampai di sini, mari kita ringkas hasil diskusi. Kita mulai dengan pertanyaan besar, “Mengapa segalanya ADA ketimbang tidak ADA?”
Atau, lebih sederhana, “Mengapa Ada?”
Jawabannya: karena akhlak mulia.
Solusi akhlak mulia tampak terlalu sempit karena bersifat manusiawi. Sementara, pertanyaan kita bersifat universal, “Mengapa Ada?” Kita sudah bahas bahwa solusi akhlak mulia tetap valid dan berhasil mengatasi keberatan ini.
Proses akhlak mulia tampak berawal dari inisiatif personal diri kita masing-masing. Pada gilirannya, akhlak mulia membutuhkan sistem sosial; termasuk membutuhkan sistem politik. Dan tentu saja, akhlak mulia membutuhkan alam semesta.
Selamat berakhlak mulia!
Satu lagi, orang bisa mengajukan keberatan bahwa solusi akhlak mulia terlalu futuristik; terlalu mengandalkan masa depan. Orang bisa bertanya, “Mengapa Ada alam semesta pada awalnya?” Atau, dengan kata lain, akhlak mulia adalah “buah” dari realitas eksistensi. Orang bisa bertanya apa “akar” dari realitas eksistensi? Solusi akhlak mulia tetap bisa valid untuk pertanyaan ini. Barangkali kita akan membahas pada tulisan lainnya.
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar