Non-Filosofi Laruelle Menuju Osofi

Laruelle (1937 – 2024) mengusulkan Non-filosofi sebagai solusi seluruh problem filosofi. Saya menyebut solusi ini lebih tepat sebagai Osofi. O bermakna nol atau hampa; O bermakna singkatan One atau Esa. Mengapa ada dualisme jiwa dan raga? Osofi menjawabnya dengan tuntas.

Descartes mengenalkan, “Cogito ergo sum.” Aku berpikir maka saya ada. Bagaimana aku bisa hadir di dunia ini? Bagaimana aku bisa berbeda dengan seluruh dunia? Mengapa aku ada? Pertanyaan-pertannyaan eksistensial seperti di atas tidak bisa ditolak; setelah Anda mengajukan pertanyaan dengan peduli. Anda harus menghadapinya; Anda tidak bisa kembali seperti bocah kecil; yang bertanya “mengapa” kemudian lari-lari main ke taman bunga. Bila Anda lari maka pertanyaan itu akan tetap mengikuti.

1. Problem Osofi
2. Problem Identitas dan Solusi
3. Dari One ke Vision-in-One
4. Efektuasi Vision-in-One
5. Filosofi Cloning
6. Subyek dan Pikiran-Dunia
7. Ringkasan

Kita akan membahas Osofi secara bertahap.

1. Problem Osofi

Istilah non-filosofi berkesan memusuhi filosofi; anti filosofi; atau menolak filosofi. Tetapi, non-filosofi adalah filosofi yang melangkah lebih jauh dari filosofi pada umumnya; jadi, tidak memusuhi filosofi. Karena itu, Anda boleh mengganti istilah non-filosofi menjadi Osofi.

“1.1.1. Non-philosophy is a discipline born from reflection upon two problems whose solutions finally coincided: on the one hand, that of the One’s ontological status within philosophy, which associates it, whether explicitly or not, to Being and to the Other whilst forbidding it any measure of radical autonomy; on the other, that of philosophy’s
theoretical status, insofar as philosophy is practise, affect, existence, but lacking in a rigorous knowledge of itself, a field of objective phenomena not yet subject to theoretical overview.”

“1.1.1. Nonfilsafat (Osofi) adalah disiplin ilmu yang lahir dari refleksi atas dua masalah yang solusinya akhirnya bertepatan: di satu sisi, status ontologis Yang Esa dalam filsafat, yang mengaitkannya, baik secara eksplisit maupun tidak, dengan Ada dan Yang Lain sambil melarangnya melakukan segala ukuran (pembatasan) bentuk otonomi radikal; di sisi lain, status teoritis filsafat, sejauh filsafat adalah praktik, afek, eksistensi, tetapi tidak memiliki pengetahuan yang kuat tentang dirinya sendiri, bidang fenomena objektif yang belum tunduk pada tinjauan teoritis.”

Osofi membahas dua problem: [1] status ontologis Yang Esa; [2] status teoritis dari filosofi itu sendiri karena filosofi melibatkan aspek praktis; dan swa-referensi.

Selama ini, Yang Esa dibahas hanya sekilas oleh filosofi; itu pun, Yang Esa dibahas dari perspektif Being atau Other. Tiba saatnya, untuk membahas Yang Esa dari Yang Esa itu sendiri. Karena Being atau Other, Wujud atau Lian, tidak akan memadai bagi Yang Esa.

Yang Esa tidak bisa dipikirkan; tidak bisa dibicarakan; lalu bagaimana kita mengkaji Yang Esa? Kita mengkaji “selaras” dengan Yang Esa. Teori filosofi tidak akan memadai meski kita akan tetap memanfaatkan filosofi menuju non-filosofi; menuju Osofi.

Bagaimana status teoritis filosofi? Filosofi, pada akhirnya, harus bersandar kepada filosofi itu sendiri. Tentu saja, sikap seperti ini bisa sombong, falasi sirkular, halusinasi transendental, dan lain-lain.

2. Problem Identitas dan Solusi

Solusi paling prinsip: Yang Esa adalah Real, otonom radikal, menjadi sebab dan menyediakan kondisi bagi pengetahuan filosofi.

“2.1.1. The principle of the solution: this is the same thing as positing the One as the Real that is radically autonomous vis à vis philosophy, but a Real thought according to a new use of the latter’s now reformed means; the same thing as making of it the real condition or cause for a theoretical knowledge of philosophy. The solution constitutes a new problem: how, using the ordinary means of thought, to conceive of the One as no longer philosophizable or convertible with Being and, at the same time, as capable of determining an adequate theory of philosophy?”

“2.1.1. Prinsip solusi: ini sama saja dengan menempatkan Yang Esa sebagai Yang Real yang secara radikal otonom vis a vis filsafat, tetapi sebuah pemikiran Real menurut penggunaan baru dari sarana yang terakhir yang kini telah direformasi; sama saja dengan menjadikannya sebagai kondisi atau penyebab nyata bagi pengetahuan teoritis filsafat. Solusi ini menimbulkan masalah baru: bagaimana, dengan menggunakan sarana pemikiran biasa, untuk memahami Yang Esa sebagai sesuatu yang tidak lagi dapat difilsafatkan atau dapat diubah sebagai Ada dan, pada saat yang sama, sebagai sesuatu yang mampu menentukan teori filsafat yang memadai?”

Problem lanjutan: bagaimana cara memahami Yang Esa?

Osofi mengenalkan konsep dualitas-unilateral atau dwi-tunggal. Esa tetap Esa. Bukan membandingkan Esa-Lian tetapi Esa-dalam-Esa; One-in-One. Terjadi transformasi dari Esa sebagai obyek filosofi menjadi Vision-in-One.

Transformasi kedua adalah mengubah bahasa filosofi yang swa-referensi menjadi aksiomatis dan teorematis. Pernyataan tentang Yang Esa adalah aksiomatis dan teorematis yang menyempurna secara gradual; di satu sisi. Dan di sisi lain, terhubung kepada Sang Nyata membentuk eksistensi filosofi. Konsekuensinya, transformasi ini membentuk identitas dwi-tunggal. Apakah Yang Esa itu Identitas?

3. Dari One ke Vision-in-One

Yang Esa selalu hadir imanen; sehingga tidak bisa dipahami secara transenden saja. Kita perlu melangkah ke Vision-in-One.

“3.1.1. Immanence. The One is immanence and is not thinkable on the terrain of transcendence (ekstasis, scission, nothingness, objectivation, alterity, alienation, meta or epekeina). Corollary: the philosophies of immanence (Spinoza, Deleuze) posit immanence in a transcendent fashion. Even Henry posits in a quasi-transcendent fashion the unekstatic immanence he objectifies.”

“3.1.1. Imanensi. Yang Esa adalah imanensi dan tidak dapat dipikirkan di medan transendensi (ekstasis, pemisahan, ketiadaan, objektivasi, alteritas, alienasi, meta atau epekeina). Akibatnya: filsafat imanensi (Spinoza, Deleuze) menempatkan imanensi dalam cara yang transenden. Bahkan Henry menempatkan imanensi yang tidak ekstatik yang diobjektifkannya dalam cara yang hampir transenden.”

Alternatif nama dari Yang Esa: Identitas, Ego, dan Sang Nyata. Identitas bukan sifat dan bukan pelaku. Ego bukan subyek; subyek adalah kloning dari Ego. Sang Nyata adalah Nyata radikal; tidak ada yang setara dengan Sang Nyata.

“3.1.4. Non-intuitive phenomenality. The One is vision-in-One. The latter manifests the One alone and manifests it according to the mode of the One. Thus, it is not a mode of perception, its phenomenal-being falls neither within the purview of perception nor that of the phenomenological phenomenon. It is without intuitivity in general, neither an objective nor an intellectual intuition; and without thought or concept, it does not think but it ‘gives’ … without-givenness. Its radical non-intuitivity allows philosophical terms to be used according to a mode of axiomatic abstraction, but one which is transcendental.”

Vision-in-One bukanlah pikiran; tetapi “menganugerahi” … tanpa-anugerah.

Karena Yang Esa bukan being; bukan bahasa; bukan konsep maka selalu tidak-konsisten. Dengan kata lain, Yang Esa toleran terhadap segala bentuk partikular filosofi; karena setiap filosofi akan, sama saja, selalu berhadapan dengan yang tidak-konsisten. Tidak ada yang-mencukupi bagi Sang Nyata; maka Sang Nyata adalah kondisi-negatif tepat karena bukan negasi; juga bukan nothingness. Filosofi hanya bisa eksis ketika Vision-in-One menganugerahi mode yang bersesuaian.

4. Efektuasi Vision-in-One

Apa pengaruh Vision-in-One?

“4.1.1. The existence of philosophy or the affect of the World, and its real contingency. The vision-in-One gives philosophy if a philosophy presents itself. But philosophy gives itself according to the mode of its own selfpositing/givenness/reflection/naming, or according to that of a widened self-consciousness or universal cogito. It is, at best, existence and gives itself with the feeling or affect of its existence (I know, I feel that I philosophize), whilst taking the latter to be the Real as such and not merely its own reality. And existence cannot engender knowledge of existence, one that would not be viciously circular. Philosophy’s existence constitutes an automatism of repetition believing itself to be the Real in virtue of a well-founded hallucination, albeit one which only the vision-in-One can reveal.”

“4.1.1. Keberadaan filsafat atau pengaruh Dunia, dan kontingensinya yang nyata. Visi-dalam-Kesatuan memberikan filsafat jika sebuah filsafat menghadirkan dirinya sendiri. Namun, filsafat memberikan dirinya sendiri menurut cara penempatan/pemberian/refleksi/penamaannya sendiri, atau menurut cara kesadaran-diri yang diperluas atau cogito universal. Ia, paling banter, adalah keberadaan dan memberikan dirinya sendiri dengan perasaan atau pengaruh keberadaannya (saya tahu, saya merasa bahwa saya berfilsafat), sementara menganggap yang terakhir sebagai Realitas sebagaimana adanya dan bukan sekadar realitasnya sendiri. Dan keberadaan tidak dapat menimbulkan pengetahuan tentang keberadaan, agar tidak menjadi lingkaran setan. Keberadaan filsafat merupakan otomatisme pengulangan yang mempercayai dirinya sebagai Realitas berdasarkan halusinasi yang berdasar; hanya visi-dalam-Kesatuan yang dapat mengungkapkannya.”

Vision-in-One mengungkap halusinasi filosofi, sains, dan teknologi. Vision-in-One menyelesaikan lingkaran-setan pikiran; menganugerahi sesuai Yang Esa.

Filosofi memiliki otonomi relatif bukan absolut; dan menempatkan struktur konsistensi sebagai “keputusan filosofis.”

5. Filosofi Cloning

Otonomi relatif filosofi, dari kloning transendental, tidak kontradiksi dengan otonomi radikal Sang Nyata. Osofi tidak bergerak dari transendental menuju Sang Nyata, sebagaimana filosofi umum; tetapi dari Sang Nyata menuju transendental kemudian apriori.

“5.1.1. Effectuation is the taking into account of philosophy’s reality, of its relative autonomy. That reality and that autonomy imply that the One no longer gives philosophy merely as a simple ‘occasion’, but that it fulfils a new role vis à vis the latter, one which is now ‘decisive’ or which ‘intervenes’ within it in a positive manner. The real One thereby fulfils a transcendental function, while remaining the inalienable Real which it is, without changing in nature or ‘becoming’ an other ‘transcendental One’ beside the first. This transcendental cloning on the basis of a philosophical material is possible without contradicting the Real’s radical autonomy: philosophy is already given in-One and consequently the Real does not enter into contradiction with itself by playing a transcendental role vis à vis philosophy. Non-philosophy does not proceed from the transcendental to the Real (and from the a priori to the transcendental) in the manner of philosophy, but from the Real to the transcendental (and from the latter to the a priori).”

“5.1.1. Eksistensi adalah mempertimbangkan realitas filsafat, otonomi relatifnya. Realitas dan otonomi itu menyiratkan bahwa Yang Esa tidak lagi memberi filsafat hanya sebagai ‘kesempatan’ sederhana, tetapi bahwa ia memenuhi peran baru vis à vis yang terakhir, yang sekarang ‘menentukan’ atau yang ‘campur tangan’ di dalamnya dengan cara yang positif. Yang Esa yang nyata dengan demikian memenuhi fungsi transendental, sambil tetap menjadi Yang Nyata yang tidak dapat dicabut sebagaimana adanya, tanpa berubah dalam sifat atau ‘menjadi’ ‘Yang transendental’ lain di samping yang pertama. Pengklonan transendental ini berdasarkan bahan filosofis dimungkinkan tanpa bertentangan dengan otonomi radikal Yang Nyata: filsafat sudah diberikan dalam-Yang Esa dan akibatnya Yang Nyata tidak masuk ke dalam kontradiksi dengan dirinya sendiri dengan memainkan peran transendental vis à vis filsafat. Nonfilsafat tidak berproses dari yang transendental menuju yang Real (dan dari yang apriori menuju yang transendental) seperti halnya filsafat, melainkan dari yang Real menuju yang transendental (dan dari yang terakhir menuju yang apriori).”

Kloning adalah “transendental” bukan real; tetapi tetap real in-the-last-instance; kloning adalah konsentrasi dari seluruh struktur Determinasi in-the-last-instance.

Kloning tampak lebih banyak, lebih beragam, dari Yang Esa; tetapi, sejatinya, tidak lebih banyak. Kloning adalah mode yang bersesuaian dalam-Esa. Demikian juga, filosofi merasa melebihi Yang Esa adalah tidak benar, transendental melebihi Sang Nyata adalah tidak benar; mereka dalam rangkulan Vision-in-One.

Berikutnya, kita membahas dualisme pikiran-dunia.

6. Subyek dan Pikiran-Dunia

Osofi (non-filosofi) adalah disiplin transendental global; yaitu realisasi in-the-last-instance, determinasi teori in-the-last-instance, dan pragmatisme identik.

“6.1.1. Non-philosophy is a globally transcendental discipline, that is to say, one that is real-in-the-last-instance (making use of philosophy’s transcendental dimension in order to formulate itself). It is the determination-in-the-last-instance of a theory (of a knowledge that remains distinct from its object – a model taken from science), and identically of a pragmatics (of a usage of philosophy ‘with a view to’ the non-philosophical subject – a model taken from philosophy). It is theoretical by virtue of one of its models: science. But it is neither a philosophical and self-positing theoreticism, nor a philosophical and selfpositing pragmatics. It is theoretico-pragmatic only by virtue of its aspects as non-philosophical operation, but real or practical by virtue of its cause. Thus, it is not a ‘negative’ theory-pragmatics either, but rather one requiring that the vision-in-One be effectuated by invariant scientific and philosophical models.”

“6.1.1. Nonfilsafat adalah disiplin ilmu yang transendental secara global, yaitu disiplin ilmu yang riil-pada-saat-terakhir (memanfaatkan dimensi transendental filsafat untuk merumuskan dirinya sendiri). Nonfilsafat adalah penentuan-pada-saat-terakhir sebuah teori (pengetahuan yang tetap berbeda dari objeknya – model yang diambil dari sains), dan identik dengan pragmatik (penggunaan filsafat ‘dengan maksud’ subjek nonfilosofis – model yang diambil dari filsafat). Nonfilsafat bersifat teoritis berdasarkan salah satu modelnya: sains. Namun, nonfilsafat bukanlah teoretisisme yang filosofis dan yang menempatkan dirinya sendiri, juga bukan pragmatik yang filosofis dan menempatkan dirinya sendiri. Nonfilsafat bersifat teoretis-pragmatis hanya berdasarkan aspek-aspeknya sebagai operasi nonfilosofis, tetapi nyata atau praktis berdasarkan penyebabnya. Maka, ini bukanlah teori-pragmatik yang ‘negatif’, tetapi teori yang mengharuskan visi-dalam-Kesatuan diwujudkan melalui model-model ilmiah dan filosofis yang tidak berubah.”

Vision-in-One tetap kokoh, invarian, bersama dinamika keragaman sains dan filosofi. Osofi adalah teori performatif, bukan negatif: teoritis berdasar model sains; pragmatis berdasar operasi subyek filosofi; dan realisasi praktis berdasar sebab transendental.

“6.1.2 … Transcendental science, which is the clone of philosophy-science, is thus the subject as such (of) nonphilosophy (the ‘force (of) thought’). The subject is theoretical and pragmatic through the scientific and philosophical material according to which it varies, but it is globally transcendental as real-in-the-last-instance, or as Ego which clones the real subject transcendentally.”

“Ilmu pengetahuan transendental, yang merupakan tiruan dari filsafat-ilmu pengetahuan, dengan demikian merupakan subjek (dari) nonfilsafat (‘kekuatan (dari) pikiran’). Subjek bersifat teoritis dan pragmatis melalui materi ilmiah dan filosofis yang menjadi dasar variasinya, tetapi secara global bersifat transendental sebagai riil-dalam-keadaan-terakhir, atau sebagai Ego yang mengkloning subjek riil secara transendental.”

Sains transendental, yang merupakan kloning filosofi-sains, adalah subyek dari Osofi; sebagaimana Ego mengkloning subyek secara transendental. Ego dan Subyek adalah dwi-tunggal.

Subyek tidak “eksis” seperti pada umumnya; subyek adalah asist (asisten) dari, dan untuk, pikiran-dunia; mode teoritis dan pragmatis; mode esensi dan eksistensi. Apa makna asist? Subyek tidak bisa mencipta pikiran-dunia; subyek hanya bisa melakukan transformasi pikiran-dunia sesuai otonomi relatif yang dianugerahkan oleh Yang Esa. Subyek bisa halusinasi merasa mampu menciptakan sistem filosofi yang utuh; subyek perlu melepaskan diri dari jebakan halusinasi; subyek adalah asist.

7. Ringkasan

Osofi menyelesaikan dualisme pikiran-dunia dengan berpijak kepada Yang Esa yang Nyata. Untuk memahami Yang Esa kita perlu melangkah ke Vision-in-One. Keragaman teori sains adalah hasil dari kloning transendental tanpa kontradiksi dengan Sang Nyata.

Osofi adalah disiplin transendental yang merupakan kloning dari filosofi-sains. Sains adalah transendental secara global dan real in-last-instance. Osofi adalah teori sains yang identik dengan pragmatisme filosofi. Konsekuensinya, karena real dan pragmatis, filosofi-sains menjadi sangat beragam. Bagaimana pun, Vision-in-One tetap kokoh, invarian, merangkul dinamika filosofi-sains yang beragam.

Mengapa Anda hadir di dunia ini? Ringkasan dari Laruelle, di atas, tidak menjawabnya. Tetapi, kita bisa mengkajinya secara tidak langsung; atau mencoba merujuk ke tulisan Laruelle yang lain. Jawabannya adalah: Anda hadir di dunia ini karena Vision-in-One dan untuk “mengenali” Vision-in-One.

Apa bentuk konkret dari Vision-in-One yang amat penting itu? Saya tidak menemukan jawaban dari Laruelle. Vision-in-One masih bersifat universal abstrak. Bentuk konkret dari Vision-in-One adalah etika mulia atau akhlak mulia. Seluruh alam raya bermula dari akhlak mulia Sang Esa; berproses menuju cita akhlak mulia juga. Dalam perjalanan, sebagian orang gagal; sebagian yang lain berhasil menjadi akhlak mulia.

Bagaimana menurut Anda?

Edisi English

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar