Kita perlu berpikir kreatif untuk mengembangkan beragam alternatif narasi AI (akal imitasi / artificial intelligence). Perusahaan pengembang AI, wajar saja, menawarkan narasi AI serba positif. Para pemikir kritis mengajukan beragam kritik. Adakah narasi-narasi alternatif?

Narasi kelas alternatif menawarkan paradigma alternatif untuk memandang AI. Teknologi, semisal AI, adalah sebuah titik dari jaringan besar realitas alam raya. Kita perlu mengembangkan alternatif-alternatif pandangan sehingga mampu mengkaji AI secara luas dan mendalam. Chomsky, Derrida, dan Stiegler adalah beberapa tokoh dalam kelas narasi alternatif.
10. Autofill Cerdas dari Chomsky
11. Simulakra dari Baudrillard
12. Masyarakat Teknik dari Ellul
13. Teknologi Hermeneutik dari Gadamer
14. Organ Memori dari Derrida
15. Farmakon dari Stiegler
16. Kedaulatan Mesin dari Yuk Hui
17. Kisah Kosmis dari Taylor
Berikut ini, kita akan membahas beberapa narasi alternatif pilihan.
10. Autofill Cerdas dari Chomsky
Apakah AI akan melampaui kemampuan manusia? Benar, AI akan melampaui manusia, menurut pandangan Chomsky jika maksud kemampuan adalah kinerja atau performansi manusia. Tetapi, jika maksud kemampuan adalah kemampuan manusia secara luas maka AI tidak akan melampaui kemampuan manusia kreatif.
“Melanjutkan pertanyaan, apakah mungkin program yang dirancang melampaui kemampuan manusia? Kita harus berhati-hati dengan kata “kemampuan,” karena alasan yang akan saya bahas nanti. Namun, jika kita menganggap istilah tersebut merujuk pada kinerja manusia, jawabannya adalah: tentu saja ya. Faktanya, kemampuan sudah ada sejak lama: kalkulator di laptop, misalnya. Kemampuan itu jauh melampaui kemampuan manusia, meskipun hanya karena keterbatasan waktu dan ingatan. Untuk sistem tertutup seperti catur, dipahami dengan baik pada tahun 50-an bahwa cepat atau lambat, dengan kemajuan kapasitas komputasi yang besar dan periode persiapan yang panjang, sebuah program dapat dirancang untuk mengalahkan seorang grandmaster yang bermain dengan keterbatasan memori dan waktu. Pencapaian beberapa tahun kemudian cukup menjadi PR bagi IBM. Banyak organisme biologis yang melampaui kapasitas kognitif manusia dalam cara yang jauh lebih dalam. Semut gurun di halaman belakang rumah saya memiliki otak yang sangat kecil, tetapi pada prinsipnya jauh melampaui kapasitas navigasi manusia, bukan hanya kinerja. Tidak ada Rantai Kehidupan Agung dengan manusia di puncaknya.” (https://chomsky.info/20230503-2/)
Bahkan kalkulator sudah melampaui performansi manusia dalam berhitung. Sapi melampaui performansi manusia dalam menahan beban. Internet melampaui performansi manusia dalam memori. Dan AI, misal AI generatif, melampaui manusia dalam performansi autofill tekstual; dalam kemampuan merespons teks. Performansi AI merespon teks bukanlah kemampuan AI menguasai bahasa; AI tidak menguasai bahasa manusia. AI hanya mesin autofill cerdas; yaitu mesin melengkapi teks yang tampak seakan-akan cerdas.
Apakah AI, di masa depan, akan mampu menguasai bahasa?
Tidak bisa. AI tidak akan mampu menguasai bahasa terutama skenario AI sekarang yang memanfaatkan model LLM. Ada dua kelemahan utama dari AI menurut Chomsky.
[a] Kelemahan kecil: AI belajar melalui metode statistik. Dengan jumlah data yang besar, AI dilatih kemudian AI merespon setiap teks berdasar data. Seluruh data digital yang ada di internet atau tidak tersambung internet, secara prinsip, bisa menjadi bahan belajar bagi AI. Asumsi dasar: makin besar data maka AI makin cerdas.
Tetapi, seorang anak kecil belajar bahasa tidak melalui statistik. Seorang anak belajar dari beberapa contoh saja kemudian mampu menguasai bahasa. Seorang anak tidak perlu ratusan contoh atau ribuan contoh. Seorang anak belajar bahasa dengan cara yang kreatif dan menakjubkan.
Dengan beberapa contoh, seorang anak memahami bahasa matematika bilangan bulat bahwa “2 + 1 = 3.” Anak itu tidak perlu contoh tambahan untuk makin meyakini matematika. Bahkan, ketika anak itu diyakinkan oleh ribuan orang dengan contoh yang salah, misal “2 + 1 = 5” maka anak itu tetap yakin bahwa yang benar “2 + 1 = 3.” Anak itu sudah berhasil menguasai bahasa universal matematika.
Bandingkan dengan AI. Misal saat ini, AI mampu menjawab bahwa “2 + 1 = 3.” Kemudian AI dilatih dengan data baru bahwa “2 + 1 = 5” berupa ribuan atau jutaan contoh. Setelah dilatih, AI akan menjawab bahwa “2 + 1 = 5” atau kita tidak yakin bahwa AI akan konsisten menjawab “2 + 1 = 3.” AI tidak mampu menguasai bahasa universal.
Contoh di atas berupa bahasa matematika. Dalam bahasa sehari-hari, AI barangkali bisa menjawab bahwa “Proklamator Indonesia adalah Soekarno.” Jika kita melatih ulang dengan jutaan data baru bahwa “Proklamator Indonesia adalah Soeharto” maka AI bisa saja menjawab bahwa “Proklamator Indonesia adalah Soeharto.”
Lebih rumit lagi, cara kerja statistik AI adalah pendekatan kotak-hitam. Kita tidak tahu bagaimana AI melakukan analisis statistik; bahkan, AI sendiri juga tidak tahu bagaimana AI melakukan analisis statistik. Bandingkan dengan seorang manusia yang ahli statistik. Para ahli statistik bisa memilih pendekatan frequentis atau Bayesian. Kemudian, mereka bisa memilih metode statistik tertentu untuk keperluan spesifik. Bila ada keraguan dalam analisis, ahli statistik bisa melakukan kajian ulang.
Singkatnya, kelemahan kecil, berupa AI belajar melalui statistik, menghalangi AI untuk menguasai bahasa manusia. Karena manusia belajar bahasa bukan melalui statistik.
[b] Kelemahan besar yaitu AI tidak memiliki UG (universal grammar) sedangkan manusia memiliki UG yang merupakan kemampuan bawaan setiap manusia. Setiap bahasa memiliki grammar tertentu. Meski grammar masing-masing bahasa berbeda-beda dalam banyak hal tetapi ada pola-pola tertentu dari suatu grammar. Seorang anak memiliki UG yang menjadikan anak itu mampu menguasai bahasa ibu dengan kreatif.
UG seorang anak tampak lentur ketika masih kecil. Anak usia 4 tahun di Jakarta mampu menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Betawi, misalnya. Kemudian, anak itu pindah ke Surabaya bersama orang tuanya, Anak itu bermain dengan teman-temannya pakai bahasa Jawa di Surabaya. Dalam beberapa bulan, anak itu menguasai bahasa Jawa dengan baik. UG menjadi kemampuan istimewa bagi manusia untuk belajar bahasa.
UG juga yang menjadikan manusia berbahasa secara kreatif. Kita mengenal pujangga misal Taufik Ismail: “Berkata tangan kita tentang apa yang dilakukannya…” Puisi yang indah ini hanya bisa ditulis oleh manusia dengan kemampuan sastra yang istimewa. Pujangga bukan hanya meniru bahasa yang ada. Pujangga berkreasi menciptakan puisi indah sebagai karya sastra.
AI tidak mampu kreatif dalam bahasa. Tentu, kita bisa meminta AI untuk menulis puisi cinta, misalnya. Puisi itu tampak indah kita baca. Tetapi, puisi hasil AI itu adalah plagiat, atau menjiplak, dari puisi-puisi yang dilatihkan kepada AI; tidak ada orisinalitas oleh AI. Saat ini, pengembang AI menghadapi tuntutan hukum berupa pelanggaran hak cipta serupa plagiarisme.
Akhir tahun 2024 ini, kami mencoba meminta AI untuk menulis beberapa tema. Analisis kami menunjukkan bahwa diksi pilihan AI bersifat lemah, bersifat umum, dan kurang spesifik. Dugaan awal adalah karena data training AI makin banyak sehingga jawaban AI makin mendekati rata-rata; yaitu kualitas diksi biasa-biasa saja. Sementara, seorang pujangga justru memilih diksi, atau menciptakan diksi, yang bukan rata-rata; menciptakan diksi yang istimewa.
Secara ringkas, menurut Chomsky, AI tidak akan mampu menguasai bahasa. Sehingga, AI tidak akan berpikir kreatif dan AI sekedar mesin autofill teks belaka.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Chomsky mengajak kita untuk melawan propaganda AI. Tidak benar-benar cerdas, AI hanya sekedar mesin autofill yang tampak cerdas. AI memberi keuntungan finansial kepada pihak tertentu dan merugikan lebih banyak ke pihak lain.
11. Simulakra dari Baudrillard
AI (akal imitasi / artificial intelligence) adalah simulakra yang mengantar pada situasi dominasi dan hegemoni. Simulakra adalah jiplakan atau artificial yang tidak peduli terhadap keaslian. Simulakra, semisal AI, akan mencengkeram manusia sehingga mendominasi pihak-pihak lemah; merugikan banyak orang. Lebih parah lagi, simulakra mengantar kepada hegemoni yaitu, secara efektif, hanya ada ketunggalan berupa AI itu sendiri. Tidak ada lagi oposisi; tidak ada lagi kritik; tidak ada lagi alternatif. Dominasi masih menyisakan sedikit pihak oposisi untuk ditangani. Hegemoni menyapu habis seluruh pihak lain.
Baudrillard (1929 – 2007) mengembangkan konsep simulakra pada akhir abad 20 ketika AI mulai berkembang. Konsep simulakra dari Baudrillard ini, kita kembangkan sebagai salah satu narasi yang memudahkan kita untuk memahami situasi sulit dampak dari AI.
Mari kita bandingkan dominasi dengan hegemoni dengan mengutip ke Baudrillard.
“Dominasi masih memiliki strategi, yaitu menggabungkan hal-hal negatif saat konflik terjadi dan sesuai dengan perspektif dialektis yang dibuka oleh para musuhnya sendiri.” (https://aphelis.net/hegemonie-selon-baudrillard/)
Dominasi masih mengakui eksistensi dari musuh sehingga bisa terjadi dialog, dialektika, kompetisi, saling kritik, dan saling belajar.
“Sebaliknya, bentuk hegemoni cenderung melikuidasi lawan-lawannya, menganggap mereka sebagai orang-orang eksentrik yang tidak berharga dan tidak berguna. Sebuah gaya yang bukan penindasan dan keterasingan, tetapi (hegemoni adalah) pengucilan terhadap segala sesuatu yang tidak termasuk dalam lingkup kinerja dan pertukaran integral ini. Sebuah gaya penyitaan minoritas yang nakal–persis sejajar dengan posisi teologis yang menyatakan bahwa kejahatan tidak ada.”
Hegemoni lebih parah karena menolak eksistensi pihak lain dengan mengucilkan mereka; menganggap mereka tidak ada arti. Hegemoni oleh AI menjadi bahaya karena masyarakat mengira hanya ada AI dan tidak ada alternatif dari AI sama sekali. Bila ada pihak tertentu mengkritik AI maka pihak itu dikucilkan. Umat manusia menuju jurang kehancuran melalui situasi hegemoni oleh AI.
Narasi Simulakra
Mari fokus ke narasi AI sebagai simulakra yang berdampak menjadi dominasi dan hegemoni. Untuk kemudahan, kita menggunakan kata simulakra dan simulakrum secara longgar. Baudrillard menyebut simulakra sebagai kebenaran.
“…Simulakrum tidak pernah menyembunyikan kebenaran—itu adalah kebenaran yang menyembunyikan bahwa tidak ada kebenaran. Simulakrum adalah kebenaran.” (https://en.wikipedia.org/wiki/Simulacra_and_Simulation#Summary)
Simulakra mengaku sebagai kebenaran itu sendiri; bukan mengaku menyembunyikan kebenaran lain. Bandingkan dengan simulasi di mana simulasi mewakili kebenaran lain; ada kebenaran yang lebih otentik dari simulasi. Dalam perjalanan waktu, simulasi berubah menjadi simulakra. Bahkan, simulasi itu bisa lebih penting dari aslinya. Foto editan yang menampilkan wanita super cantik bisa lebih penting dari foto asli wanita tanpa editan. Barangkali Anda ingat kasus foto calon anggota dewan yang terlalu cantik karena diedit? Hasil polesan AI bisa lebih bernilai dari data aslinya. Dalam situasi seperti ini, kita menghadapi situasi hiperealitas.
Simulakra tampil melalui beberapa tahap.
[a] Tahap pertama adalah gambaran/salinan yang setia, di mana orang-orang percaya, dan bahkan mungkin benar untuk percaya, bahwa sebuah tanda adalah sebuah “refleksi dari realitas yang mendalam”, ini adalah penampakan yang baik, dalam apa yang Baudrillard sebut sebagai “tatanan sakramental”. (wikipedia).
Tahap pertama, kita merasa baik-baik saja. Simulakra AI adalah artificial atau imitasi dari kecerdasan manusia. Jadi, kita masih yakin bahwa ada manusia yang memiliki kecerdasan lebih bernilai dari AI; AI mewakili manusia.
[b] Tahap kedua adalah pemutarbalikan realitas, di mana orang-orang mulai percaya bahwa tanda adalah tiruan yang tidak setia, yang “menutupi dan mengubah sifat” realitas sebagai “penampakan jahat—yang termasuk dalam kategori kejahatan”. Di sini, tanda dan gambar tidak secara setia menyingkapkan realitas kepada kita, tetapi dapat mengisyaratkan keberadaan realitas yang tidak jelas yang tidak dapat dirangkum oleh tanda itu sendiri. (wikipedia).
Tahap kedua, manusia sadar bahwa simulakra AI melakukan manipulasi. AI sering halusinasi, rasis, atau bahkan ngawur. Kita mulai meragukan AI. Bagaimana kita harus besikap terhadap simulakra AI?
[c] Tahap ketiga menutupi ketiadaan-realitas yang mendalam, di mana tanda berpura-pura menjadi salinan yang setia, tetapi itu adalah salinan tanpa-yang-asli. Tanda dan gambar mengklaim mewakili sesuatu yang nyata, tetapi tidak ada representasi yang terjadi dan gambar, yang sewenang-wenang, hanya dianggap sebagai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Baudrillard menyebut ini “tatanan sihir”, sebuah rezim aljabar semantik di mana semua makna manusia disulap secara artifisial agar muncul sebagai referensi ke kebenaran yang (semakin) hermetis (kebenaran yang lengkap). (wikipedia).
Tahap ketiga adalah solusi dari tahap kedua. Simulakra AI makin canggih, makin bagus membuat jawaban, makin bagus dalam banyak hal. Manusia justru percaya kepada simulakra AI. Ironis. Pada tahap kedua, manusia ragu kepada AI tetapi solusi justru berupa percaya saja pada AI di tahap ketiga.
[d] Tahap keempat adalah simulakrum murni, di mana simulakrum tidak memiliki hubungan apa pun dengan realitas apa pun. Di sini, tanda-tanda hanya mencerminkan tanda-tanda lain dan klaim apa pun terhadap realitas pada bagian gambar atau tanda-tanda hanya sesuai dengan klaim-klaim lainnya. Ini adalah rezim kesetaraan total, di mana produk-produk budaya bahkan tidak perlu lagi berpura-pura menjadi nyata dalam pengertian yang naif, karena pengalaman hidup konsumen begitu dominan bersifat artifisial sehingga bahkan klaim-klaim terhadap realitas diharapkan diungkapkan dalam istilah-istilah artifisial, “hiperreal”. Setiap pretensi naif terhadap realitas seperti itu dianggap tidak memiliki kesadaran diri yang kritis, dan dengan demikian terlalu sentimental. (wikipedia).
Sampai tahap keempat, simulakra menjadi lengkap. Simulakra AI adalah realitas itu sendiri atau hiperreal. Orang yang menolak AI hanyalah orang yang sentimental.
Hegemoni
AI yang bergerak menjadi simulakra sempurna berhasil menancapkan hegemoni. Masalah dari hegemoni adalah justru hampir semua orang menganggap tidak ada lagi masalah dengan AI. Hanya tersisa sedikit orang yang “sadar” bahwa ada masalah dengan hegemoni AI.
Tahun 2024 ini, simulakra AI belum sampai tahap hegemoni. Anda membaca tulisan ini adalah tanda Anda terbebas dari hegemoni. Masih ada beberapa pihak, beberapa pemikir, yang oposisi terhadap AI. Barangkali, tahun 2024 ini, AI baru sampai tahap dominasi. AI telah merasuki berbagai bidang dari sains, teknologi, seni, ekonomi, politik, agama, dan kehidupan sehari-hari. Bagaimana pun, masih ada oposisi terhadap dominasi dengan menawarkan solusi alternatif.
Apakah ada teknologi yang berhasil menjadi dominasi? Uang. Dalam arti luas, teknologi uang sudah berhasil menjadi hegemoni. Nyaris setiap orang percaya bahwa uang adalah yang paling penting. Anda akan makan siang? Perlu uang. Anda akan traktir makan siang anak-anak di seluruh kota? Anda perlu uang. Yang menarik adalah suatu pemerintahan mampu memberi makan siang gratis kepada warganya; pemerintah dan negara mampu memproduksi makan siang. Tetapi, karena tidak ada anggaran uang yang memadai maka pemerintah tersebut tidak bisa memberi makan siang gratis. Karena uang adalah hegemoni. Segala sesuatu harus tunduk kepada uang; termasuk realitas makan siang harus tunduk kepada uang. Meski ada realitas makan siang, yaitu sudah ada nasi dan lauk, maka realitas itu bisa batal jika tidak ada uang.
Bagaimana jika simulakra AI menjadi hegemoni?
Anda bisa batal makan siang jika AI tidak setuju. Jenderal batal menembakkan rudal jika AI tidak setuju. Presiden batal berkunjung ke negara tetangga jika AI tidak setuju. Bukankah realitas semacam itu sudah sering terjadi?
12. Masyarakat Teknik dari Ellul
Teknologi adalah sebuah titik dari lautan luas berupa masyarakat-teknik. Demikian juga, AI adalah sebuah titik dari lautan luas. Ellul (1912 – 1994) membahas teknologi dari sudut pandang masyarakat teknik. Untuk kemudahan, kita akan menggunakan istilah teknologi dan masyarakat teknik secara longgar.
“Masyarakat-teknik adalah “totalitas metode yang dicapai secara rasional dan memiliki efisiensi absolut (untuk tahap perkembangan tertentu) di setiap bidang aktivitas manusia.” Dia (Ellul) menyatakan di sini juga bahwa istilah teknik tidak hanya mesin, teknologi, atau prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan.” (https://en.wikipedia.org/wiki/Jacques_Ellul#On_technique)
Masyarakat teknik memiliki tujuan yang jelas: efisiensi absolut. Sebagai representasi masyarakat teknik, AI memiliki tujuan yang jelas: efisiensi absolut.
Apa masalah dari efisiensi? Bukankah semua orang ingin efisien? Bukankah semua perusahaan ingin efisien?
Masalah dari efisiensi adalah manusia. Karena manusia adalah tidak efisien. Atau, Anda menjadi manusia karena tidak efisien. Anda berlaku sopan-santun kepada orang tua adalah tidak efisien. Anda bercumbu rayu dengan kekasih adalah tidak efisien. Anda bersenda gurau dengan anak-anak adalah tidak efisien. Anda ngobrol santai bersama tetangga adalah tidak efisien. Sebagai manusia, kita butuh untuk tidak efisien.
Tentu saja, pemborosan juga harus dihindari. Pemborosan bahan bakar merusak lingkungan juga harus dihindari. Banyak hal-hal boros harus dihindari. Kita perlu tidak boros dan tidak efisien.
Masyarakat teknik mengejar efisiensi di segala lini. Manusia, sebagian besar, berpacu ikut serta mengejar efisiensi. Dengan bantuan AI, masyarakat teknik makin dekat dengan tujuan efisiensi. Bila benar bahwa AI meningkatkan efisiensi secara eksponensial maka nilai-nilai kemanusiaan terancam bubar.
Nilai-Nilai Masyarakat Teknik
Ellul mengenali beragam value, nilai-nilai, yang berkembang bersama teknologi atau masyarakat-teknik. (www.comment.org).
“Kenormalan. Kita tidak diminta untuk bertindak baik (seperti dalam moralitas lain) tetapi untuk bertindak normal, untuk menyesuaikan diri. Tidak menyesuaikan diri adalah sifat buruk saat ini. “Tujuan utama pengajaran dan pendidikan saat ini adalah untuk menghasilkan generasi muda yang menyesuaikan diri dengan masyarakat ini.”
Keberhasilan. “Pada akhirnya,” kata Ellul, “baik dan jahat adalah sinonim untuk keberhasilan dan kegagalan”. Moralitas didasarkan pada keberhasilan; juara yang sukses adalah contoh moral dari kebaikan; jika kejahatan itu buruk, itu karena “tidak membuahkan hasil”—artinya, tidak berhasil.
Pekerjaan. Dengan penilaian yang berlebihan terhadap pekerjaan muncullah pengendalian diri, kesetiaan, dan pengorbanan terhadap pekerjaan seseorang, serta kepercayaan terhadap pekerjaan seseorang. Kebajikan lama yang berkaitan dengan keluarga, persahabatan yang baik, humor, dan bermain secara bertahap ditekan kecuali jika dapat ditafsirkan ulang untuk melayani kebaikan teknik (jadi istirahat dan bermain itu baik jika, dan karena, mereka mempersiapkan Anda untuk pekerjaan yang lebih efektif dan sukses).
Pertumbuhan tanpa batas—dalam arti perluasan yang terus-menerus, tak terbatas, dan terukur. Dengan demikian, “Lebih” adalah istilah nilai positif dan persetujuan moral, seperti halnya “raksasa,” dan “terbesar.” “Dalam keyakinan bahwa teknologi mengarah pada kebaikan” tidak ada waktu atau tujuan untuk mengatakan “Tidak” atau untuk mengenali batasan apa pun atau untuk menghalangi kemajuan teknologi.
Kepalsuan dinilai lebih tinggi daripada yang alami; alam hanya memiliki nilai instrumental. Kita tidak ragu untuk menyerbu dan memanipulasi alam—entah itu program luar angkasa, penggundulan hutan dan pembangunan industri, peternakan hewan, “pengelolaan” sumber daya air, eksperimen genetik, atau apa pun. Kita kurang menghargai ketetapan alam dibandingkan dengan penilaian kita terhadap kepalsuan.
Kuantifikasi dan pengukuran. Meskipun Einstein berkomentar baik bahwa “segala sesuatu yang dapat dihitung tidak dihitung dan segala sesuatu yang dihitung tidak dapat dihitung,” masyarakat teknologi kita bersikeras untuk menetapkan angka dan mengukur kecerdasan (IQ), kesuksesan (kehadiran di gereja, tingkat gaji), ciri-ciri kepribadian (Meyers-Briggs, dan seterusnya).
Efektivitas dan efisiensi. Hal-hal yang dinilai tidak efektif atau tidak efisien digantikan atau dibenci—ingat Frederick Taylor dan manajemen ilmiah.
Kekuatan dan kecepatan. Kelemahan dan kelambatan hanya dihargai oleh orang-orang eksentrik.
Standardisasi dan replikasi. Teknologi menuntut orang untuk beradaptasi dengan mesin. Dorongan universal teknologi mengutamakan platform yang menghubungkan bagian-bagiannya. Hal-hal eksentrik hanya menarik di museum.”
Nilai-nilai teknologi di atas, dari kenormalan sampai replikasi, adalah potret realitas yang ada di masyarakat. Kita perlu mewaspadai nilai-nilai teknologi ini. Kemudian mengkajinya dan menggantinya dengan nilai-nilai etika yang lebih baik; yaitu nilai-nilai otentik. Jadi, pahami realitas eksistensial teknologi kemudian arahkan menuju nilai-nilai etika yang mulia atau akhlak mulia.
13. Teknologi Hermeneutik dari Gadamer
Teknologi, termasuk AI, melemahkan kemampuan manusia untuk memahami makna. AI menjadikan manusia malas berpikir. AI menjadikan manusia malas berkreasi. Kalkulator menjadikan anak TK malas berhitung. Mengapa susah-susah belajar perkalian? Tekan kalkulator maka semua problem perkalian beres. Mengapa susah-susah berpikir? Tanya AI maka semua jawaban tersedia.
14. Organ Memori dari Derrida
AI adalah organ bagi tubuh manusia; tepatnya organ memori. AI (artificial intelligence / akal imitasi) adalah organ memori manusia yang istimewa. Sebagai memori, AI menyimpan realitas masa lalu bagi manusia. Kemudian, kecerdasan AI mengelola memori sebagai realitas masa kini. Pada akhirnya, memori menentukan orientasi dan perspektif realitas masa depan. AI adalah segalanya bagi manusia. Bagaimana bisa?
Derrida (1930 – 2004) memaknai teknologi sebagai organ dari manusia. Yang paling awal, dan utama, teknologi menjadi organ memori bagi manusia. Teknologi paling dasar adalah tulisan atau teks; yang dipandang rendah dibanding dengan logos atau bahasa lisan. Derrida melakukan operasi dekonstruksi terhadap teks, yaitu teknologi, dan membalik situasi: teknologi lebih utama dari bahasa lisan. Bahkan teknologi bisa lebih utama dari manusia. Harga pesawat pribadi super mewah bisa lebih mahal dari upah buruh harian. Apa dampaknya ketika teknologi lebih utama dari manusia?
Kita berasumsi bahwa, pada awalnya, orang berkomunikasi secara lisan atau logos. Kemudian, bila diperlukan, baru dibuat tulisan atau teks sebagai ekstensi organ memori. Dengan demikian, teks hanya suplemen bagi logos; tulisan hanya tambahan bagi lisan; teknologi, yang berupa tulisan, hanya alat bagi manusia. Apakah asumsi ini bisa dibenarkan? Bukankah manusia memandang alam semesta sebagai tanda-tanda teks sejak awal? Bukankah manusia memandang dunia sebagai alat, sebagai teks, sejak awal?
Bila benar bahwa teks tulisan lebih utama dari logos, yaitu berkebalikan dari asumsi awal di atas, maka dampaknya sangat besar; bila alat lebih penting dari manusia; bila teknologi lebih penting dari segalanya. Bukankah hal seperti itu yang sedang terjadi? Situasi lebih sulit karena struktur teknologi bisa diwariskan dari generasi ke generasi; dengan dukungan sistem norma mau pun sistem legal. Generasi yang mewarisi teknologi terlahir dengan organ yang kaya raya; sementara generasi yang terlahir miskin bagai cacat organ tubuhnya. Apakah struktur masyarakat seperti itu adil?
Kita perlu catat bahwa esensi teknologi berupa organ memori berdampak besar terhadap kemanusiaan. Berbeda halnya dengan teknologi kaca mata sebagai organ penglihatan. Ketika kita melihat buku dengan memakai kacamata maka kita merasa biasa-biasa saja. Tetapi, ketika kita akses memori catatan transaksi di bank yang bernilai jutaan dolar maka segala situasi bisa berubah seketika. Ketika terungkap memori dukumen-dokumen rahasia, atau foto-foto rahasia, dari para pejabat besar maka struktur sosial bisa berubah total. Kita akan membahas lebih dalam makna teknologi sebagai organ memori di bagian bawah.
Mari kita ringkas menjadi tiga tahap.
[a] Tahap awal; teks hanya tambahan bagi lisan; teknologi hanya sebagai alat bagi manusia; teknologi lebih rendah dari manusia. Era kuno, tampak, berada pada situasi tahap awal ini.
[b] Tahap tengah; teks seimbang dengan lisan; orang-orang bisa belajar melalui teks buku seimbang dengan belajar mendengarkan ceramah; teknologi seimbang dengan manusia. Era awal modern, tampak memenuhi kriteria ini; mesin cetak buku mulai berkembang.
[c] Tahap kini; teks lebih kuat dari lisan; teknologi lebih utama dari manusia; valuasi mesin pabrik bisa lebih mahal dari tenaga kerja seorang manusia; virtual reality bisa lebih menarik dari realitas aslinya; foto editan bisa lebih indah dari wajah aslinya.
Tiga relasi teknologi, di atas, bisa terjadi serentak dalam satu situasi. Relasi teknologi adalah kompleks. Sehingga, kita perlu mengkaji lebih teliti.
Memori Cerdas
AI lebih dari sekedar teknologi biasa karena AI mampu mengelola memori masa lalu, masa kini, dan masa depan.
15. Farmakon dari Stiegler
Stiegler (1952 – 2020), murid Derrida, mengembangkan konsep organ memori lebih luas lagi. Terdapat tiga lapis memori. Lapis pertama memori adalah memori yang tertanam pada otak manusia, tubuh manusia, sejak lahir. Memori ini tersimpan dalam sel-sel otak dan gen-gen setiap manusia. Lapis kedua adalah memori perolehan dari usaha manusia melalui belajar, berlatih, membaca, menulis, dan lain-lain. Masing-masing orang mengembangkan lapis kedua memori ini dengan cara yang unik. Lapis ketiga adalah memori eksternal berupa sistem teknologi.
Peran teknologi sebagai lapis ketiga memori adalah amat menentukan. Karena, ketika seorang individu meninggal, mereka bisa mewariskan teknologi kepada generasi berikut. Berbeda dengan lapis pertama memori, pada sel otak, dan lapis kedua memori, pada pengalaman belajar seseorang; lapis pertama dan lapis kedua memori ikut musnah ketika seorang individu meninggal. Problem muncul: bagaimana sistem warisan teknologi terbaik?
Problem teknologi makin besar lagi lantaran teknologi mempengaruhi pembentukan memori lain. Maksudnya, teknologi mempengaruhi pembentukan sel-sel otak pada bayi dan mempengaruhi kemampuan belajar setiap manusia; terutama melalui proses enframing. Sehingga, pada analisis akhir, problem teknologi adalah problem bagi seluruh umat manusia dan alam raya. Dengan demikian, kita perlu selalu mengajukan pertanyaan apa makna-teknologi? Kemudian merevisi setiap jawaban untuk mengajukan jawaban yang lebih baik lagi.
Sedikit perlu kita tambahkan bahwa Stiegler memandang teknologi sebagai farmakon atau obat; menyembuhkan sekaligus meracuni manusia. Farmakon ini sedikit berbeda dengan Derrida; atau kita bisa membedakan mereka. Bagi Derrida, teknologi itu kadang bisa baik meski lebih sering berdampak buruk. Sebagai farmakon, teknologi niscaya menyembuhkan sekaligus meracuni; meski kadar racunnya kadang terlalu besar. Makin besar kapasitas untuk menyembuhkan maka makin besar pula kapasitas untuk meracuni.
Racun AI
AI adalah farmakon dengan kadar sangat besar; kemampuan untuk merusak alam dan merusak manusia sangat besar. Stiegler menyebut era abad 21 sebagai era anthropocene yaitu teknologi hasil rekayasa manusia mampu merusak alam semesta. Kadar racun dari AI bisa merusak kehidupan manusia; lebih dari itu, bisa merusak alam semesta; misal berupa krisis iklim yang berdampak bumi tidak layak ditempati oleh makhluk hidup. Barangkali, kita masih ingat peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki yang begitu mengerikan.
Entropi
Hukum termodinamika menyatakan bahwa entropi alam semesta selalu bertambah; ukuran kekacauan alam semesta selalu bertambah. Entropi adalah ukuran ketidak-teraturan atau ukuran kekacauan. Anda melihat cangkir indah di atas meja; sebagai misal entropi yang rendah. Tak sengaja, Anda senggol cangkir hingga jatuh di lantai berkeping-keping; entropi cangkir bertambah tinggi. Tidak bisa terjadi sebaliknya. Tidak bisa, tiba-tiba, cangkir yang berkeping-keping itu kembali menjadi cangkir indah yang utuh. Tidak bisa entropi tinggi berubah menjadi entropi rendah. Yang bisa terjadi adalah entropi rendah, cangkir yang indah, berubah menjadi entropi tinggi, menjadi cangkir pecah berkeping-keping. Entropi hanya bisa bertambah tetapi tidak bisa berkurang sesuai hukum termodinamika.
AI, dan teknologi modern pada umumnya, memiliki kemampuan meningkatkan entropi sangat tinggi. Operasional AI boros akan energi listrik dan energi pendukung. Penggunaan AI yang tersebar di seluruh dunia berdampak penghamburan energi di seluruh bumi. Berbeda dengan teknologi kuno misal kereta kuda. Meski kereta kuda berdampak peningkatan entropi tetapi hanya terbatas di wilayah tertentu dan realtif kecil.
Apakah kita perlu meninggalkan AI dan kembali ke teknologi kereta kuda? Tidak harus begitu. Kita hanya perlu ingat bahwa AI adalah farmakon dengan racun yang besar. Sehingga, kita perlu hati-hati menghadapi AI.
Negentropi
Schrodinger mengenalkan konsep entropi negatif atau disingkat negentropi. Manusia, dan mahkluk hidup, memiliki kemampuan negentropi yaitu menurunkan entropi dalam dirinya. Kita, sebagai manusia, menjaga tubuh kita untuk tetap sehat dan tertata. Kita menjaga entropi tetap rendah; tidak terjadi kekacauan.
Stiegler eksplorasi konsep negentropi secara luas dan mendalam. Meski AI dan teknologi mendorong entropi bertambah tetapi manusia memiliki kapasitas negentropi yaitu menjaga entropi tetap rendah atau bahkan menurunkan entropi dalam situasi tertentu. Jadi, dengan pendekatan khusus, kita berharap bisa mengarahkan AI untuk melawan entropi. Bagaimana caranya?
Anti Entropi
Stiegler mengembangkan beragam istilah berkenaan dengan entropi. Anti-entropi adalah kemampuan menurunkan entropi atau mempertahankan entropi seiring berjalannya waktu. Misal seorang remaja hidup acak-acakan, kemudian, ketika dewasa, dia hidup dengan rapi teratur; dia bertindak anti-entropi. Konsep negentropi dan anti-entropi menjadi harapan bagi kita untuk bisa mengelola teknologi AI demi kebaikan umat manusia dan alam raya.
Istilah berikutnya yang sama penting adalah anthropi yaitu entropi dengan peran manusia; neganthropi yaitu negentropi dengan peran manusia; dan anti-anthropi yaitu anti-entropi dengan peran manusia. Demi kemudahan, kita akan lebih sering menggunakan istilah negentropi atau negantropi.
Solusi
Stiegler mengusulkan beragam solusi untuk mengatasi kekacauan dampak AI dan teknologi. Termasuk, usulan ini sudah dikirimkan ke sekretaris jenderal PBB Antonio Guterrez. Kita akan membahas beberapa usulan solusi yang terdokumentasi dalam buku Bifurcate. Kita perlu mencatat sisi unik dari Stiegler: kritikus keras terhadap AI dan, di saat yang sama, mengusulkan solusi. Jarang-jarang ada pemikir semacam ini.
[a] Deproletarianization
Proletarisasi adalah proses pemiskinan. Sedangkan, de-proletarisasi adalah proses anti-pemiskinan; atau proses pengayaan.
Stiegler mengusulkan proses anti-pemiskinan sebagai solusi bagi racun AI. Tentu saja, kita sadar bahwa telah terjadi proses pemiskinian oleh AI dan masih terus terjadi. Proses pemiskinan ini terjadi sudah lama sejak berkembang teknologi modern.
Montir mobil, sebelum tahun 2000, adalah montir yang kaya akan sains dan teknologi. Montir mampu memperbaiki lampu yang rusak, gangguan pada pintu, atau pun masalah kaca mobil. Setelah tahun 2000, bertahap namun pasti, terjadi proses pemiskinan terhadap montir. Bila lampu rusak, montir tidak perlu memperbaiki lampu. Montir hanya perlu mengganti lampu rusak dengan lampu baru. Montir tidak lagi memiliki kemampuan untuk memperbaiki lampu rusak.
Di tahun 2024, lebih canggih lagi, montir hanya perlu memasang mobil ke posisi yang tepat. Kemudian, sistem komputer yang dilengkapi AI akan mendeteksi kondisi mobil dan kemudian memperbaiki bagian mobil yang perlu diperbaiki. Montir makin mengalami pemiskinan. Montir hanya mampu mengoperasikan komputer saja.
Tetapi proses pemiskinan ini bukan hanya terjadi kepada produsen jasa semisal montir. Proses pemiskinan juga terjadi kepada konsumen. Sebut saja konsumen media sosial. Di tahun 2000, pengguna internet harus berpikir apa yang akan dia baca melalui internet; atau apa yang ingin dia tonton melalui video. Secara bertahap, tahun 2010an, rekomendai berita dan video dari media sosial makin canggih dengan memanfaatkan AI. Konsumen, pengguna media sosial, tidak perlu berpikir apa yang ingin dia tonton karena rekomendasi otomatis sudah ada di hadapan mereka. Terjadi proses pemiskinan pada sisi konsumen. Anda bisa menambahkan lebih banyak contoh proses pemiskinan ini.
Siswa-siswa sekolah juga mengalami pemiskinan atau pembodohan ilmu. Mereka tidak perlu berpikir lagi. Bila ada tugas sekolah cukup tanya kepada AI maka tersedia semua jawaban. Apakah solusi dari AI dapat diandalkan? Siswa-siswa tidak peduli. Lagi pula, siswa tidak mampu menguji jawaban AI. Demikian juga guru, belum tentu mampu menguji jawaban AI. Bila hal ini terjadi maka makin lengkap proses pemiskinan dan pembodohan di banyak lini.
Kita perlu melawan pemiskinan dampak AI dan teknologi dengan gerakan anti-pemiskinan. AI hanya boleh diterapkan bila menjamin anti-pemiskinan. Montir dibolehkan menggunakan AI dengan syarat montir mengalami anti-pemiskinan; montir mengalami pengayaan sains dan teknologi; termasuk, montir mengalami pengayaan politik dan ekonomi.
Ibu-ibu boleh memanfaatkan media sosial dengan syarat ibu-ibu mengalami anti-pemiskinan; ibu-ibu makin cerdas dalam berpikir; ibu-ibu makin kaya secara politik dan ekonomi. Siswa sekolah boleh memanfaatkan AI dengan syarat siswa mengalami anti-pemiskinan; siswa makin cerdas dalam berpikir; siswa makin bijak dalam bersikap.
Solusi anti-pemiskinan di atas tampak mudah karena bersifat personal. Tantangan sebenarnya jauh lebih rumit. AI adalah problem sosial budaya lebih dari sekedar problem personal. Siswa sekolah bisa saja berniat menggunakan AI untuk anti-pemiskinan. Tetapi, AI bisa mengelabui siswa sehingga siswa justru ketagihan dengan AI dan produk-produk online lainnya; justru terjadi pemiskinan terhadap siswa. Kita membutuhkan solusi personal, solusi sosial, sampai solusi internasional.
[b] Decarbonization
Peningkatan entropi alam raya ditandai dengan krisis iklim yang kita rasakan berupa cuaca ekstrem. Banyak hal yang berdampak kepada kerusakan alam raya. Salah satu indikator paling jelas adalah peningkatan karbon dioksida di alam semesta. Salah satu gerakan negantropi untuk melawan entropi adalah decarbonization atau de-karbon yaitu proses menurunkan kadar karbon di udara. Proses de-karbon sulit dilakukan karena kegiatan ekonomi dan politik cenderung menambah kadar karbon di udara.
De-karbon mengusulkan sistem ekonomi-politik yang berkontribusi pada penurunan kadar karbon atau penurun entropi; peningkatan negentropi. Industri pabrik mobil listrik, pabrik mobil gas, pabrik komputer, produsen AI, dan lain-lain akan mengalami beragam kesulitan untuk menurunkan kadar karbon. Tetapi, pertanian tradisional berhasil menurunkan kadar karbon atau mempertahankan kadar karbon yang sehat.
Tampak jelas, program de-karbon membutuhkan komitmen sosial dan politik; lebih dari sekedar komitmen personal.
Bila setiap perusahaan bersaing menghasilkan AI tercepat; bila setiap negara bersaing menghasilkan AI terhebat untuk senjata militer maka dipastikan kadar karbon makin tinggi di udara. Bencana alam raya mengancam di depan mata. Lebih parah lagi, bila bencana alam raya ini terjadi maka umat manusia tidak bisa mundur lagi.
Program de-karbon membutuhkan komitmen nasional sebagai syarat minimal. Kemudian, bergerak ke komitmen internasional.
[c] Internation
Dampak kerusakan akibat oleh AI, atau teknologi, perlu penanganan tingkat negara sampai antar-negara atau internation.
Solusi di tingkat negara tidak memadai untuk menurunkan entropi atau menaikkan negentropi. Karena ketika negara A menurunkan entropi sedangkan negara B menaikkan entropi maka, dalam persaingan ekonomi bebas, negara B akan menang berupa keuntungan finansial. Pada gilirannya, negara A akan meningkatkan entropi untuk bisa bersaing dengan negara B. Secara keseluruhan, entropi alam raya makin meningkat. Sebagai umat manusia, kita gagal menjaga alam raya dalam situasi seperti ini. Kita perlu bergerak ke solusi internation.
“Dengan demikian, bagian ini memperkenalkan usaha kolektif Proyek Internation yang berkaitan dengan karier panjang Stiegler sebagai pemikir, pendidik, dan organisator komunitas. Pendahuluan ini membahas sejumlah tema yang dibahas dalam kontribusi bagian ini, termasuk logika farmakologis, transindividuasi, praktik komputasional, bifurkasi, dan negentropi (cara memperlambat proses entropi pada tingkat individu dan kolektif). Semua tema ini berkaitan dengan krisis iklim yang dihadapi dunia secara kolektif dan mengemukakan cara-cara yang dengannya masa depan dapat dipahami dengan cara-cara ekonomi, sosial, teknologi, dan intelektual yang tidak terlalu merugikan dan merusak. Kolektif Internation sebagaimana yang direpresentasikan dan dikembangkan lebih lanjut dalam bagian khusus ini menanggapi tuntutan krisis iklim melalui model ekonomi makro yang dirancang untuk memerangi entropi pada berbagai skala, dari bio-kimia hingga biosfer.” (https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02632764221141804)
Stiegler memperjuangkan solusi internation sampai dia wafat pada tahun 2020 lalu. Saat ini, solusi internation masih terus bergulir.
Kerja sama internation bisa menetapkan negentropi misal batas kadar karbon atau suhu global. Tetapi bagaimana menetapkan ukuran anti-pemiskinan?
Kita bisa merujuk ke ukuran kemiskinan ekstrem, rasio gini, dan ketimpangan sosial; yaitu batas-batas yang harus dijaga. Secara praktis, anti-pemiskinan bisa kita perhatikan, kita ukur, dari pengetahuan individu terhadap teknologi AI. Individu dalam arti individu teknologi versi Simondon (1924 – 1989); individu berbeda dengan individual.
Seorang warga dunia adalah kaya, atau tidak miskin, jika menguasai pengetahuan teknologi dalam 3 tingkat: individu, unsur, dan rangkaian. Jika salah satu pengetahuan di atas hilang maka warga tersebut sedang termiskinkan.
Pengetahuan individu. Seorang montir memahami mobil secara individu mobil. Mobil perlu bensin atau listrik untuk operasi. Mobil bisa melaju dengan kecepatan 80 km/jam dan rem yang baik. Montir bisa mengoperasikan mobil dengan baik. Montir bisa interaksi dengan mobil dengan penuh pemahaman.
Bandingkan dengan AI generatif, misalnya. Siswa tidak paham bagaimana cara AI menjawab suatu pertanyaan. Siswa tidak paham cara mengendalikan perilaku AI. Siswa tidak paham cara mengubah kode AI. Umumnya, cara kerja AI adalah probabilitas kotak-hitam. Sehingga, tidak ada orang yang tahu pasti cara kerja AI; apa lagi, seorang siswa sekolah. Dalam situasi ini, siswa termiskinkan. Banyak resiko berat dampak dari pemiskinan seperti ini.
Pengetahuan unsur. Seorang montir paham bahwa mobil terdiri dari beragam unsur: roda, kursi, kaca, dan lain-lain. Montir paham berapa tekanan ban yang baik. Bila tekanan ban terlalu rendah, montir paham cara menambah tekanan ban; atau, montir bisa minta tolong teman untuk menambah tekanan ban. Montir yang menguasai unsur-unsur mobil dalam batas tertentu maka termasuk montir yang kaya, tidak termiskinkan. Ban roda itu sendiri tersusun oleh unsur-unsur yang lebih kecil tetapi montir tidak harus menguasai pengetahuan yang lebih detil lagi.
Bandingkan degan AI generatif. Siswa tidak paham AI generatif tersusun oleh unsur-unsur apa saja. Andai paham tentang unsur AI, siswa tidak mampu mempengaruhi unsur-unsur AI tersebut; siswa tidak mampu mengendalikan unsur AI. Dalam situasi seperti ini, siswa dan warga terkena dampak pemiskinan oleh AI.
Pengetahuan rangkaian. Montir paham bahwa mobil bisa dipakai untuk jalan menurun atau pun menanjak. Montir paham bahwa kapasitas mobil adalah untuk 5 orang. Montir memahami bahwa mobil membentuk rangkaian dengan jalan, dengan penumpang, dan dengan alam sekitar. Montir yang memahami rangkaian oleh mobil, sampai batas-batas tertentu, adalah montir yang kaya, tidak termiskinkan. Tentu saja, rangkaian oleh mobil ini bisa berkembang sampai alam luas. Montir tidak harus menguasai pengetahuan rangkaian yang lebih luas.
Bandingkan dengan AI generatif. Siswa paham bahwa jawaban dari AI akan diserahkan kepada guru. Tetapi siswa tidak paham bagaimana merespon penilaian guru bila guru tidak setuju dengan jawaban AI. Siswa kesulitan untuk mendiskusikan jawaban dari AI tersebut. Dalam situasi ini, siswa dan orang pada umumnya mengalami pemiskinan oleh AI.
Tantangan kita sangat besar untuk menghadapi AI.
Ringkasan
Narasi AI sebagai farmakon memandang AI sebagai obat yang sekaligus mengandung racun. Seiring perkembangan waktu, racun AI lebih besar dari kandungan obat. Sehingga, kita perlu waspada dengan AI. Lebih rumit lagi, kerusakan dampak AI bersifat global misal berupa krisis iklim. Konsekuensinya, penanganan AI membutuhkan komitmen personal, komitmen negara, sampai komitmen internation. Secercah harapan muncul karena manusia memiliki kapasitas negentropi yaitu menjaga entropi dalam kadar yang sehat. Kita berharap akan berhasil menemukan solusi bagi AI.
16. Kedaulatan Mesin dari Yuk Hui
Yuk Hui memandang AI sebagai mesin yang berdaulat; teknologi tampak memiliki kedaulatannya sendiri. AI (akal imitasi / artificial intelligence) memberi tantangan kepada manusia; manusia merespon tantangan; kemudian AI memberi tantangan lebih lanjut. Tidak mudah, bagi manusia, menjawab tantangan AI. Manusia mudah terjebak, bahkan, sampai merusak bumi dan isinya; termasuk, manusia merusak manusia lainnya. Akibat dari manusia yang salah merespon tantangan teknologi semisal AI.
Yuk Hui memandang bahwa AI menjadi mesin kapitalisme yang mengeruk keuntungan finansial besar bagi pihak tertentu; dengan merugikan banyak pihak lain. Jangan biarkan kepentingan ekonomi mendominasi AI. Jangan biarkan birahi ekonomi pasar bebas mendominasi AI. Manusia perlu bergandeng tangan dengan AI, bergandeng tangan dengan teknologi, untuk membangun peradaban bumi.
Mesin Berdaulat
Kita perlu berpikir bahwa AI adalah mesin yang berdaulat. AI berkembang dengan caranya sendiri. AI bukan sekedar alat. Bahkan, AI bisa memperalat manusia. Kita perlu berpikir agar AI bisa bekerja sama untuk kemajuan peradaban bersama.
Manusia mudah terjebak dengan mengira mesin sekedar sebagai alat. Padahal mesin berdaulat, dalam arti, memiliki siklus hidupnya sendiri. Mesin, misal AI, lahir dalam situasi tertentu. Kemudian, menjalani hidup sebagai AI dan, akhirnya, AI tersebut akan musnah. Meski memiliki siklus hidup, tidak berarti AI sebagai makhluk hidup. Hanya saja, AI bisa “memilih” jalan hidupnya sesuai respon manusia.
Kita perlu memahami siklus hidup teknologi agar kita berhasil interaksi dengan teknologi secara bijak. Teknologi memiliki tendensi enframing, yaitu, mengungkung segala sesuatu sebagai bahan baku. AI generatif, misalnya, mengungkung semua data digital sebagai bahan belajar mereka. Bahkan, realitas fisik perlu digitalisasi agar menjadi bahan belajar bagi AI. Tujuan dari AI adalah akselerasi, efisiensi, dan volume yang tinggi.
Di atas, kita menggunakan istilah-istilah seakan-akan AI adalah makhluk hidup agar kita mudah memahami kecenderungan AI. Apakah AI benar-benar sebagai makhluk hidup, yaitu makhluk biologis, adalah tugas kajian yang lain.
Memikirkan Planet Bumi
Cara mudah merespon tantangan AI adalah dengan memanfaatkan AI secara efisien. Respon ini menguntungkan kita, menguntungkan perusahaan kita, dan menguntungkan negara kita. Apa yang akan terjadi jika setiap negara berlomba untuk mendapat keuntungan besar dari AI? Perang antar negara mudah terjadi. Kita perlu memikirkan nasib planet bumi bersama AI.
Maksud planet bumi adalah alam semesta itu sendiri. Kita menggunakan istilah planet bumi untuk memudahkan pemahaman. Bayangkan bumi bagai kapal yang berlayar di angkasa raya. Kita bisa hidup karena menumpang di bumi. Andai, kita dilempar dari bumi maka tidak akan bisa bertahan hidup hanya dalam hitungan kurang dari satu hari. Merawat bumi adalah sama artinya dengan merawat kehidupan kita sendiri. Sebaliknya juga benar, merawat kehidupan kita sendiri harus berkonsekuensi merawat bumi.
Ketika umat manusia mampu terbang ke luar angkasa maka berkembang banyak salah sangka. Dari kamera luar angkasa, kita bisa melihat bahwa bumi mirip dengan bola yang hampir bulat. Manusia bisa menempel di bumi atau kadang terbang meninggalkan bumi. Manusia merasa mandiri dari bumi. Dengan salah sangka ini, manusia eksploitasi bumi demi kepentingan pribadi. Tidak benar pandangan semacam ini. Bumi adalah rumah kita; tempat tinggal kita. Kita selalu hidup di bumi; lahir di bumi; dan mati di bumi. Andai, seseorang bisa pindah ke planet baru maka planet baru itu menjadi bumi baru baginya. Jadi, manusia selalu bersatu dengan bumi.
Teknologi AI datang di bumi ini. Kita perlu berpikir bagaimana cara terbaik hidup di bumi ini bersama AI?
Diplomasi Teknologi
AI bisa membantu diplomasi antar negara. Sebaliknya justru bisa terjadi: masing-masing negara saling bersaing karena AI. Bagaimana strategi bijak berdiplomasi bersama AI?
Kita melompat ke AI sebagai media diplomasi antar negara, antar perusahaan, dan antar regional. Karena kita berasumsi bahwa Yuk Hui sudah mengkaji pemikiran gurunya yaitu Stiegler, Derrida, dan Heidegger. Nyatanya, Yuk Hui mendasarkan kajian tekno-politik, yaitu AI sebagai diplomasi, kepada pemikiran Hegel dan Schmitt.
Kita sudah yakin bahwa AI membutuhkan komitmen personal meski tidak memadai. Jika setiap orang memanfaatkan AI dengan baik maka masih terjadi persaingan curang antar teman kantor. Kita membutuhkan komitmen sosial, bahkan komitmen nasional, meski tidak memadai. Jika setiap negara mengembangkan AI sesuai kepentingan negara tersebut maka terjadi perang antar beberapa negara dengan senjata AI. Kita butuh komitmen untuk berpikir sebagai warga bumi; setiap warga dan setiap negara berdiplomasi bersama AI.
Bagaimana cara bijak diplomasi bersama AI?
[a] Makna Percepatan
Percepatan atau akselerasi teknologi menjadi keunggulan utama AI yang efisien dalam volume besar. Kita perlu ingat bahwa akselerasi adalah vektor yang memiliki arah; akselerasi adalah perubahan vektor kecepatan; berbeda dengan perubahan skalar laju; untuk tiap satuan waktu. Laju hanya memiliki ukuran “besar” saja tanpa arah. Sehingga, agar terjadi perubahan yang besar maka laju akhir harus benar-benar jauh lebih besar dari laju awal. Akselerasi tidak demikian. Kadang hanya dengan mengubah arah kecepatan sudah berhasil menciptakan akselerasi tinggi; tanpa harus ada perubahan besar kecepatan.
Akselerasi adalah kabar baik karena mempertimbangkan arah perkembangan AI bukan hanya volume AI. Barangkali, perkembangan volume AI tetap seperti biasa saja. Tetapi arah berubah. Arah semula adalah untuk meningkatkan keuntungan finansial berganti arah untuk berkontribusi menjaga bumi dan penghuni. Perubahan arah ini sudah menghasilkan akselerasi AI yang tinggi. Dalam diplomasi dua negara, bisa saja mereka bentrok bersaing dalam penguasaan AI. Jika mereka berhasil menggeser arah AI sehingga selaras antar dua negara tersebut maka hal itu sudah menghasilkan akselerasi yang tinggi.
Apakah semudah itu? Tentu banyak tantangan besar untuk bisa mengubah arah. Salah satunya adalah arah untuk mencapai efisiensi perlu digeser ke arah untuk mencapai kontribusi bumi. Atau, bahkan bagaimana menentukan arah AI itu sendiri?
Model epistemologi AI yang berkembang saat ini mirip dengan metafora tikus dalam labirin. Tugas tikus adalah mencari jalur tercepat agar bisa keluar. Arah akhir bagi tikus tampak sudah jelas. Metafora alternatif adalah 10 ekor kelelawar sedang mengejar 1000 ngengat yang bergerak acak. Kelelawar itu perlu mempertimbangkan banyak hal yang serba tidak pasti.
[b] Makna Universalitas Teknologi
Teknologi bersifat universal; bisa beroperasi di mana saja dan kapan saja ketika situasi kondisi terpenuhi. Demikian juga, AI bersifat universal yaitu bisa beroperasi di Eropa mau pun Jakarta. Klaim universal seperti ini tidak valid karena berubah menjadi dominasi atau hegemoni.
Adakah klaim universal yang lebih baik?
[c] Makna Berdaulat
Makna umum berdaulat adalah mampu mengambil keputusan dengan bebas. Yuk Hui merujuk ke Schmitt bahwa makna berdaulat adalah kemampuan menetapkan eksepsi; menetapkan pengecualian.
[d] Diplomasi: Ragam Teknologi, Pikiran, dan Kehidupan
Secara konkret, diplomasi AI membuka keragaman teknologi, keragaman pikiran, dan keragaman kehidupan.
17. Jalan Hidup Kosmis dari Taylor dan Rakhmat
Charles Taylor tetap aktif menulis ketika usia di atas 90 tahun; Taylor lahir 1931. Taylor mengajak kita membaca puisi; menulis puisi; merangkai kisah kosmis alam raya ini. Jangan sampai AI menjadikan kita berhenti berpuisi. Kita perlu lebih banyak membaca puisi ketika AI menemani. Bagaimana bisa terjadi?
Dari Indonesia, Jalaluddin Rakhmat menyemai konsep filsafat sebagai jalan hidup dalam berbagai ceramah dan buku. Filsafat adalah hidup umat manusia itu sendiri bersama alam raya. Makin dekat kita dengan filsafat maka makin dekat pula kita dengan makna hidup. Filsafat menjelma menjadi sains dan teknologi; sehingga teknologi, termasuk AI, adalah jalan hidup bagi manusia itu sendiri. Jalan hidup seperti apa yang kita jalani bersama AI? Apakah hidup yang penuh arti? Masih banyak misteri dan teka-teki.
Di bagian ini, kita akan merangkai narasi AI sebagai “jalan hidup kosmis” dengan mengacu kepada karya Taylor dan Rakhmat.
Beberapa kutipan dari buku Taylor yang berjudul Cosmic Connection patut kita renungkan. (Sumber: https://www.hup.harvard.edu/file/feeds/PDF/9780674296084_sample.pdf)
“… kebutuhan manusia akan hubungan kosmik; … yang dipenuhi dengan kegembiraan, makna, dan inspirasi.”
“Karya mereka terjaga dari keberatan filosofis terhadap kepercayaan pada tatanan kosmik, tetapi membangkitkan rasa yang dirasakan pembaca akan realitas yang lebih tinggi dan lebih dalam daripada dunia sehari-hari di sekitar kita.” (Taylor).
Kita, sebagai manusia, membutuhkan hubungan kosmis yang menjadikan hidup kita bahagia, bermakna, dan penuh inspirasi. Kita menjalin hubungan kosmis ini melalui bahasa puisi dan beragam bentuk karya seni. Bahasa puisi ini aman dari keberatan filosofi karena puisi membangkitkan inspirasi melalui bahasa simbol. Puisi membuka pengalaman hidup yang lebih luas dan lebih dalam.
Agar AI mampu menjadi hubungan kosmis maka AI harus menjadi puisi. Kita perlu membaca tulisan hasil AI sebagai puisi; tentu, sulit terjadi. Karena AI bekerja berdasar algoritma dan kode digital yang bersifat matematis bukan puitis. Bagaimana pun, AI adalah niscaya bagi umat manusia. Tugas kita adalah membaca AI sebagai puisi dan, sesuai Rakhmat, menjadikan AI sebagai jalan hidup filosofis. Bagaimana caranya?
Sejak sains modern berkembang dengan mekanika Newton, manusia cenderung melihat alam sebagai obyek luar yang terpisah dari manusia. Sehingga, manusia tidak punya hubungan istimewa dengan alam. Atau, alam tidak lagi bernilai istemewa bagi manusia. Manusia terpisah dengan alam, pada akhirnya, manusia merasa kesepian. Kita akan mencermati naik-turun kekuatan hubungan kosmis umat manusia dalam penggalan sejarah.
(1) Alam tidak dapat dipahami secara mekanistis. Alam lebih seperti organisme hidup.
Pada era kuno, manusia memandang alam sebagai organisme hidup yang memiliki tujuan mulia. Manusia merasa bahagia hidup bersama alam dan terikat dengan nilai-nilai luhur. Jadi, alam semesta tidak bersifat mekanistis. Jalan hidup manusia penuh makna bersama alam raya.
(2) Jiwa kita berkomunikasi dengan keseluruhan ini, dengan Alam. Alam beresonansi dalam diri kita, dan kita mengintensifkannya melalui ekspresi, seni.
Masih di era kuno, hati manusia tergetar oleh getaran alam raya. Hidup manusia beresonansi dengan gelombang semesta. Makin jauh manusia membangun peradaban maka makin mendalam manusia memahami alam. Perkembangan sains dan teknologi, waktu itu, makin menguatkan hubungan kosmis. Ilmuwan, seniman, dan teknokrat adalah orang yang menjalani hidup penuh makna.
(3) Namun, seluruh gagasan kita tentang Alam telah mengalami pergeseran modern.
Pergeseran oleh sains dan peradaban modern mengubah banyak hal. Alam menjadi bersifat mekanistis; bisa dihitung dengan matematika; bisa dikendalikan melalui rekayasa. Alam kehilangan pesona; atau, manusia kehilangan kemampuan untuk merasakan pesona alam. Sains modern menghadirkan problem baru bagi kemanusiaan.
(4) Kita berusaha menemukan bentuk sejati kita melalui ekspresi kreatif, bergerak tahap demi tahap.
Ketika sains modern melemahkan hubungan kosmis, kita berjuang untuk menguatkan hubungan kosmis tersebut melalui ekspresi kreatif karya seni; salah satunya berupa puisi. Perjuangan ini tidak mudah karena sains menjanjikan keuntungan finansial, teknologi, politik, dan lain-lain. Dari aspek kehidupan sehari-hari, sains tampak lebih praktis dari puisi. Sehingga wajar, umat manusia lebih mengandalkan sains dari puisi.
(5) Dua jalur perkembangan ekspresif-historis, kosmos dan manusia, saling terkait. Alam atau kosmos tidak dapat mencapai bentuk akhirnya tanpa kita menyadari bentuk kita.
Sains berpijak kepada hukum alam yang bersifat pasti; misal hukum mekanika Newton. Di sisi lain, manusia memiliki intuisi jelas bahwa manusia memiliki kebebasan atau freedom. Hukum alam dan freedom tidak bisa disatukan dengan mudah; meski pun juga tidak bisa dipisahkan begitu saja. Sains tidak pernah berhasil membuat formula bagi freedom manusia. Dan freedom manusia berbenturan, serta dibatasi, oleh hukum-hukum alam.
(6) Ia juga mencakup, sambil melangkah lebih jauh, pemahaman baru tentang kebebasan sebagai otonomi, yang merupakan cita-cita etis dan politik.
Beberapa pemikir, misal Immanuel Kant, berkreasi membuat formula freedom atau kebebasan manusia sebagai otonomi. Karena manusia otonom, yaitu memiliki kebebasan, maka manusia bertanggung jawab secara etika dan politik. Sehingga, kajian sains tentang manusia adalah kajian etika dan kajian politik. Jadi, sampai tahap ini, sains berhasil mengkaji alam dan manusia secara lengkap.
(7) Cita-cita tentang rekonsiliasi sempurna antara kebebasan dan kesatuan dengan alam, di dalam dan di luar.
Namun
(8) Ironi: jalan menuju (7) mungkin tidak akan pernah selesai; kita mungkin selalu berjuang, menderita terpisah jarak. Namun, ekspresi ironis menunjukkan kesenjangan, dan menunjukkan apa yang kita perjuangkan.
Rekonsiliasi harmonis antara kebebasan manusia dan sains hukum alam menjadi ironi. Sampai saat ini, awal abad 21, tidak terjadi rekonsiliasi harmonis. Dari perspektif sains, kebebasan manusia akan direduksi menjadi sistem mekanis gerak sistem syaraf dan badan manusia. Dari perspektif etika, kebebasan manusia adalah transenden, terbebas, dari hukum sains mekanika. Ironi kesenjangan ini memberi tanda arah perjuangan umat manusia.
Ironi makin tajam dengan perkembangan teknologi AI akhir-akhir ini. AI seakan mampu mengerjakan semua tugas manusia. AI yang diprogram secara eksak, dengan kata lain bahwa AI tidak memiliki freedom, tetapi berhasil menirukan perilaku manusia. Konsekuensinya, manusia dianggap tidak memiliki freedom; seluruh perilaku manusia akan bisa dijelaskan secara eksak oleh sains. Dari perspektif manusia umumnya, mereka sudah banyak yang hidupnya dikendalikan oleh AI, misal, dikendalikan oleh media sosial. Bila demikian, kebebasan manusia telah runtuh dalam cengkeraman sistem komputer AI. Ironi berubah menjadi tragedi; kehidupan manusia kehilangan arti. Benarkah demikian yang terjadi? Tentu tidak.
Beberapa orang, dalam jumlah cukup besar, tetap memiliki freedom meski dikepung oleh AI. Di antaranya adalah para ilmuwan dan insinyur yang tulus mengembangkan sains teknologi; para seniman yang terus berkarya; para agamawan yang mengajarkan hidup bercahaya spiritual dan lain-lain. Jadi, tetap terjadi kesenjangan antara freedom manusia dan hukum sains teknologi AI. Bagaimana solusi dari ironi ini?
“.. realisasi penuh Alam membutuhkan ekspresi sadar yang hanya dapat diberikan oleh Roh. Seni (atau filsafat) dan Alam bersatu karena keduanya mencapai pemenuhan bersama.”
“Manusia hanya bermain ketika ia dalam arti kata yang paling penuh sebagai manusia, dan ia hanya sepenuhnya menjadi manusia ketika ia bermain.”
“Kita dapat mengatakan bahwa bahasa yang tepat akan memenuhi tuntutan Cratylus Plato: sebuah kata akan menggambarkan apa yang ditunjuknya.”
“Paralelisme ini dapat dipahami dalam dua cara: baik mengajak kita untuk mencari struktur tatanan yang lebih besar dengan menyelidiki hakikat kita sendiri, atau memberi tahu kita bahwa kita tidak dapat sepenuhnya memahami diri kita sendiri, tujuan kita, atau makna yang penting bagi kita tanpa memahami tatanan kosmik.”
“Memulihkan bahasa wawasan tidak hanya menambah pengetahuan kita yang tidak memihak: hal itu juga menghubungkan kita kembali dengan kosmos, dan ini mewujudkan tujuan hakiki kita.”
“Pertama, ia didefinisikan dalam konteks keharusan mediasi: dalam hal ini, ia mengambil bagian dari sifat metafora, di mana kita menyoroti satu hal dengan menggunakan hal lain.”
“… karya seni menghasilkan … pengalaman koneksi yang kuat, atau lebih umum, ia mengubah hubungan kita dengan situasi yang digambarkannya bagi kita.”
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar