Saya menerima pesan WA dari Prof Dim tentang buku baru “Filsafat Kecerdasan Buatan” karya Martin Suryajaya dkk. “Buku yang sangat menarik dan sangat penting,” balas saya.
Saya langsung cari di internet info lengkap. Buku itu diterbitkan oleh UGM Press dan tersedia daftar isi lengkap secara online; makin membuat saya tertarik untuk membaca bukunya. Beberapa hari kemudian, Prof Dim mengirimkan buku cetak ke alamat saya. Terima kasih banyak Prof Dim atas kebaikan-kebaikannya. Allah membalas dengan kebaikan-kebaikan berlimpah.

1. Masa Depan Kecerdasan
2. Pemikir Terbuka
3. STEM
4. Skeptis
5. Diskusi
Ada lebih dari 10 nama pemikir tercantum sebagai penulis buku. Saya gembira: Indonesia memiliki pemikir-pemikir hebat yang menuangkan pemikiran dalam bentuk buku. Saya yakin masa depan Indonesia makin cemerlang bila generasi muda lebih banyak menulis seperti ini; Visi Futuristik.
1. Masa Depan Kecerdasan
Seluruh penulis sepakat bahwa kecerdasan buatan (KB) atau akal imitasi (AI) menawarkan masa depan yang terbuka luas. Saya setuju itu. Saya sedang menulis buku dengan tema 19 narasi AI yang membahas bentangan masa depan dunia bersama AI. Perkiraan, ITB Press akan menerbitkannya di bulan ini atau bulan depan. Semoga makin menambah meriah dunia intelektual Indonesia.
2. Pemikir Terbuka
Bagian pertama mebahas apa sejatinya AI, prospek AI, dan batasan-batasan AI. Bagian kedua membahas etika berkenaan AI. Dan bagian ketiga membahas kebijakan berkenaan AI. Tentu saja terjadi saling terkait antar semua bagian buku.
Yang paling menarik: semua penulis mengakhiri tulisan dengan kesimpulan atau penutup yang berupa pemikiran terbuka. Penulis mengajak kita untuk berpikir lebih jauh lagi.
3. STEM
Bab 2, Hizkia Polimpung (penulis) mengajak kita untuk berpikir lebih berani. Polimpung mengajak kita untuk mengembangkan sains sosial, humaniora, dan filsafat lebih serius; jangan jadi jargon belaka. Selama ini, pemikiran Indonesia didominasi oleh STEM (sains, teknologi, engineering, dan matematika). Kita perlu melangkah lebih luas dan lebih dalam dari sekedar STEM.
Saya sering cerita kepada generasi muda, dan para mahasiswa, bahwa bakat-bakat anak muda perlu tersebar ke berbagai bidang dengan merata. Saat ini, anak-anak berbakat Indonesia terlalu terkonsentrasi di fakultas kedokteran dan fakultas informatika. Kita butuh lebih banyak bakat anak Indonesia di bidang ekonomi, politik, hukum, edukasi, agama, filsafat, dan lain-lain. Penyebaran bakat akan memupuk kesuburan pemikiran dengan kualitas lebih tinggi.
4. Skeptis
Bab 1, Martin Suryajaya (penulis) membahas AI dengan perspektif filsafat analitis yang mendalam. Saya senang Martin merujuk ke banyak pemikir besar, di antaranya: Searle, Chalmers, Nagel, Sellars. Saya berharap rujukan ini berlanjut sampai ke John McDowell dan Chirimuuta.
Martin menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengenali qualia dari orang lain. Qualia adalah pengalaman subyektif oleh seseorang misal Iwan melihat bunga merah secara langsung; atau Iwan merasa haus. Kita hanya “mengenali” qualia Iwan secara tidak langsung dari kata-kata Iwan atau perilaku Iwan.
Demikian juga dengan AI; andai AI memiliki qualia sebagai pengalaman subyektif AI. Kita tidak mampu mengenali qualia AI secara langsung. Konsekuensinya: kita tidak bisa membedakan qualia AI dengan qualia Iwan atau qualia orang lain. Kita agnostik terhadap qualia pihak lain atau orang lain.
Apa sikap terbaik dari situasi agnostik: kita tidak tahu, dan tidak bisa membedakan, qualia AI dengan qualia orang lain?
Sikap skeptis adalah sikap yang tepat. Skeptis adalah sikap berpikir terbuka dengan menunda keputusan akhir. Setiap keputusan terbuka terhadap peluang revisi yang lebih baik.
5. Diskusi
Bab-bab lain dari buku Filsafat Kecerdasan Buatan membahas AI dengan sangat menarik. Anda perlu membacanya langsung dan mendiskusikannya bersama teman-teman. Lebih seru lagi bila Anda membuat sintesa dengan buku-buku kami: Apakah Silikon Bisa Menangis?; Narasi AI; Logika Futuristik; atau lainnya.
Masing-masing bab dari buku Filsafat Kecerdasan Buatan ditulis oleh orang yang berbeda. Sehingga, terasa pembahasan masih di permukaan. Tugas kita adalah untuk mengkajinya lebih dalam.
Saya mencatat beberapa tema untuk kajian lebih dalam: skeptisme; filsafat analitik; filsafat Indonesia; kontinental; filsafat teknologi.
a. Skeptisme
Skeptis adalah sikap yang baik; dengan berpikir terbuka terhadap segala revisi. Hanya saja, saat ini, skeptis sering dianggap sebagai pesimis, negatif, atau buruk. Kita perlu mengembalikan makna skeptis sebagai positif. Saya kadang menyebutnya skepo: skeptis optimis.
Imam Ghazali terkenal sebagai pemikir skeptis. Ghazali meragukan kemampuan indera untuk mendapat kebenaran. Mata mudah tertipu misal oleh fatamorgana. Pikiran mudah tertipu misal sains Newton dikoreksi oleh Einstein. Matematika linier dikoreksi oleh matematika non-linier. Apa solusi dari kelemahan ini? Ghazali mengusulkan pembersihan hati nurani. Hati yang bersih akan terbuka untuk mendapat petunjuk kebenaran dari Allah. Bagaimana pun, petunjuk kebenaran itu sendiri terus-menerus menyempurna bagi umat manusia.
Descartes skeptis terhadap alam raya. Segala pengetahuan bisa diragukan; semua ilmu bisa salah. Apa solusinya? Cogito ergo sum: Aku berpikir maka saya ada. Solusi cogito Descartes ini menjadi landasan perkembangan sains modern sampai saat ini.
Pyrrho barangkali adalah tokoh pertama yang dikenal sebagai skeptis; hidup sejaman dengan Aristoteles. Segala pengetahuan menghadapi trilema yang tidak ada solusi. Sehingga, sikap paling baik adalah skeptis yaitu siap merevisi pandangan dengan yang lebih baik.
Kita perlu skeptis terhadap AI yaitu siap merevisi pandangan kita kepada AI.
b. Filsafat Analitik
Tradisi filsafat analitik berkembang terus sampai saat ini. Sesuai namanya, tradisi analitik melakukan analisis yang detil terhadap AI; mirip analisis mekanika quantum; berbeda dengan analisis gravitasi misal relativitas Einstein. Perkembangan mutakhir filsafat analitik menunjukkan interaksi makin kuat dengan tradisi lain. Misal John McDowell banyak mengkaji pemikiran Gadamer; dan Brandom mengkaji Hegel. Jadi, kita perlu meluaskan kajian tradisi analitik ini.
c. Filsafat Indonesia
Buku Filsafat Kecerdasan Buatan ini sudah berhasil menjadi bukti bahwa filsafat Indonesia terus berkembang sampai masa kini.
Bagaimana dengan sejarah filsafat Indonesia masa lalu? Apakah AI bisa berdialog dengan Dewa Ruci? Pertimbangkan filsafat Sunan Kalijaga yang mengisahkan Bima mencari makna suci air kehidupan dengan berguru kepada Dewa Ruci. Atau pertimbangkan karya sastra Kalijaga Serat Linglung yang membahas dialog Kalijaga dengan Nabi Khidir.
d. Kontinental
Filsafat yang berkembang di Jerman, Prancis, Itali, dan sekitarnya biasa disebut sebagai filsafat kontinental. Sejatinya, filsafat kontinental sudah lebih awal, dan lebih maju, dalam membahas filsafat teknologi. Kita mengenal filsafat teknologi dari beberapa tokoh: Heidegger, Ellul, Baudrillard, Simondon, Derrida, Stiegler, dan lain-lain. Bagaimana kajian AI dari perspektif kontinental?
e. Filsafat Teknologi
Banyak orang salah mengira. Mereka mengira filsafat teknologi adalah cabang dari filsafat yang khusus membahas teknologi. Atau, teknologi yang khusus membahas dari sudut pandang filosofi. Bukan begitu. Atau, pandangan seperti itu tidak lengkap atau tidak adil. Kita perlu menegaskan bahwa filsafat teknologi adalah kajian konkret yang unik. Meski interaksi dengan kajian filsafat dan kajian teknologi, tetapi, filsafat teknologi memiliki kajian yang mandiri dalam dirinya sendiri. Buku Filsafat Kecerdasan Buatan berhasil menunjukkan filsafat teknologi yang konkret ini. Kita perlu mendukung kajian filsafat teknologi untuk berkembang lebih maju.
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar