Pilih Mati Ketimbang Khianati

Waktu saya masih kecil sering menonton TVRI tentang perjuangan kemerdekaan. Saya heran, atau kagum, melihat tentara Jepang ketika terpojok hampir kalah. Tentara Jepang itu tidak pernah menyerah. Mereka berjuang sampai mati. Bila mereka tidak mati maka mereka mencabut pedangnya sendiri kemudian menusuk perut sendiri sampai bunuh diri. Bagaimana tentara Jepang bisa memilih bunuh diri? Kelak, saya tahu ajaran memilih mati seperti itu disebut harakiri.

Lebih baik mati ketimbang ditangkap oleh pasukan musuh hidup-hidup. Karena bila hidup bisa saja akan disiksa oleh pihak musuh kemudian membocorkan rahasia negara Jepang sehingga berbahaya. Lebih baik memilih mati ketimbang mengkhianati negeri.

Tahun 2025 ini, saya membaca bahwa Emily Austin meraih penghargaan atas karyanya yang membahas: lebih baik memilih mati ketimbang mengkhianati teman. Tentu, saya sangat tertarik dengan karya Austin itu. Setelah membacanya, buku karya Austin itu benar-benar mempesona. Silakan ikut membacanya.

Beberapa tahun terakhir ini, saya juga menulis tema yang sama: pilih mati ketimbang khianati. Jadi, saya terpicu untuk melanjutkan tulisan saya itu.

1. Pertemanan Epicurus
2. Teman Sosial
3. Saudara
4. Pasangan
5. Alam Raya
6. Teman Tuhan
7. Diskusi

Mengapa kita harus memilih mati ketimbang mengkhianati teman?

Karena teman adalah segalanya. Kita hanya bisa hidup di dunia ini bersama teman. Aristo mengatakan, “Tidak ada orang yang mau hidup di dunia ini bila tanpa teman.” Lalu, Anda bertanya, “Mengapa teman sepenting itu?”

Beberapa tahun setelah Aristo, pemikir klasik bernama Epicurus (341 SM – 270 SM) mengajarkan prinsip bahwa eksistensi manusia hanya bisa bermakna bersama teman. Abad 21 ini, para sosiolog meyakini prinsip yang sama: manusia bertumbuh kembang hanya bersama pertemanan sosial. Pada tulisan ini, kita akan belajar arti penting teman dalam kehidupan serba kompleks di era digital akhir-akhir ini.

Apa maksud dari teman? Teman adalah seseorang yang merasa bahagia dengan cara membahagiakan sahabatnya. Tentu bisa berlaku hubungan timbal balik: sahabat adalah seseorang yang merasa bahagia dengan cara membahagiakan temannya. Mereka sama-sama bahagia dengan cara membahagiakan teman atau sahabat.

1. Pertemanan Epicurus

Epicu mengembangkan taman (garden atau surga) di dekat sungai yang subur. Epicu bersama teman-temannya hidup bahagia di garden yang ukurannya 10 kali lapangan bola atau beberapa puluh kali lapangan bola. Mereka hidup berdasar tali pertemanan yang tulus; masing-masing orang rela berkorban untuk kebaikan temannya. Tanah yang subur memudahkan mereka bercocok tanam kemudian memanfaatkan sisa waktu untuk pengembangan intelektual, pengembangan spiritual, pengembangan seni dan lain-lain.

Lebih menarik, garden Epicu ini terbuka untuk siapa saja. Bangsawan, rakyat jelata, lelaki, wanita, muda, atau tua semua bebas untuk belajar di garden Epicu. Di jaman itu, hanya sedikit perguruan yang mengijinkan wanita untuk belajar. Epicu menganjurkan wanita untuk belajar setinggi langit. Epicu dikenal paling ramah kepada orang tua, saudara, dan masyarakat umum.

Epicu belajar filosofi dari Socrates (orang paling bijak di dunia) melalui jalur Aristipus (murid langsung dari Socrates). Aristipus berbeda dengan Plato meski sama-sama murid Socrates. Aristipus belajar hidup bijak dari Socrates dan, di saat yang sama, tetap bijak dalam menikmati segala sisi kehidupan. Epicu mengambil alih sisi menikmati-kehidupan (hedonisme) dan mendasarkannya pada pertemanan; pertemanan adalah dasar dari seluruh kenikmatan; kenikmatan adalah dasar dari kebahagiaan.

Bagi Epicu, sudah jelas terbukti dengan sendiri bahwa manusia mengejar kenikmatan dan menghindari derita.

Hewan dan tumbuhan juga sama: mengejar kenikmatan dan menghindari derita. Baik secara langsung atau tidak langsung. Hanya saja manusia berbeda cara dalam meraih kenikmatan yaitu melalui pertemanan; kucing melalui kenikmatan makanan secara individu; singa melalui kenikmatan makanan secara kelompok (herd).

Kenikmatan manusia yang lain, misal nikmatnya makanan, harus didasarkan pada pertemanan. Anda makan bersama teman-teman maka nikmat sekali; Anda makan sambil diancam senjata musuh maka terasa ngeri sekali.

Pertemanan dibangun atas dasar: [1] trust atau saling percaya; [2] penguatan trust. Dengan trust, sesama teman saling ikhlas; tidak ada pamrih; [3] memberi kebahagiaan; bukan menuntutnya.

2. Teman Sosial

Teman paling banyak bagi kita adalah teman sosial: teman bermain, teman sekolah, teman kerja, teman olahraga, dan lain-lain. Makin banyak teman maka makin besar bagi kita untuk lebih bahagia dengan cara meraih kenikmatan dan menghindari derita.

Agus adalah teman sekolah dari Budi dan Cita. [1] Trust; Agus percaya penuh kepada Budi dan Cita; sebaliknya juga sama, Budi dan Cita percaya penuh kepada Agus. Mereka hidup bahagia dengan saling membantu.

Apa yang istimewa? Bukankah memang seperti itu teman pada umumnya? Yang istimewa adalah Agus rela memilih mati dari pada mengkhianati Budi. Sebaliknya juga berlaku; Budi rela memilih mati dari pada mengkhianati Agus. Bagaimana bisa seperti itu?

Ketika Budi lapar maka Agus siap membelikan makanan buat Budi; sebaliknya juga sama. Agus dan Budi tidak pernah saling mengkhianati; mereka memilih mati ketimbang khianati. Tetapi itu semua hanya trust, hanya saling percaya.

Ketika Budi lapar maka Budi bisa beli makanan atau masak makanan sendiri. Tersedia banyak warung dan bahan makanan. Demikian juga bila Agus lapar maka bisa langsung beli makanan. Jadi, jarang terjadi bahwa Budi lapar kemudian Agus membelikan makanan. Yang terjadi adalah trust itu sendiri. Agus merasa hidup ini nikmat penuh bahagia karena ada Budi, Cita, dan puluhan atau ratusan teman lainnya yang siap memberi makanan ketika Agus yang lapar.

Pertemanan ini lebih luas mencakup seluruh kebutuhan hidup yang penting. Agus, Budi, dan Cita hidup bahagia menikmati seluruh kehidupan dan terbebas dari rasa cemas karena ratusan teman mereka siap membantu dengan ikhlas. Bagaimana bisa disebut ikhlas? Bukankah mereka saling berharap untuk dibantu? Bukankah itu pamrih?

Ikhlas, ketika Budi memberi makanan kepada Agus maka Budi tidak berharap apa pun dari Agus. Tetapi Budi percaya bahwa Cita, Dudi, dan teman-teman lain akan memberi makanan kepada Budi bila suatu saat Budi membutuhkan; termasuk, Agus juga bisa memberi makanan kepada Budi. Jadi, Budi benar-benar ikhlas tanpa pamrih.

[2] Memperkuat trust. Dalam situasi normal, tidak ada orang yang menderita kelaparan, Budi sering men-traktir Agus dan Agus sering men-traktir Budi. Budi sering menawarkan kue ke Agus dan Agus menawarkan kue ke Budi di lain kesempatan. Hidup mereka sungguh bahagia penuh nikmat.

Bila benar terjadi Agus kelaparan karena kesulitan bahan makanan maka Budi, Cita, dan semua teman dengan cepat membantu menyiapkan makanan yang dibutuhkan. Situasi ini adalah memperkuat trust; memperkuat saling percaya antar teman.

Bagaimana bila ada orang yang tidak menjaga trust? Polan berbohong atau menipu, misalnya. Polan dikeluarkan dari status sebagai teman. Polan dianggap sebagai orang pada umumnya yang memiliki relasi khusus dengan Agus dan Budi. Agus menghormati Polan meski tidak “percaya” dalam banyak hal penting. Agus siap membantu Polan sejauh tidak menimbulkan risiko berbahaya.

Kembali kepada Agus dan Budi; mereka tidak berharap untuk mendapat pertolongan dari teman; tetapi Agus dan Budi justru berharap untuk dapat menolong teman. [3] Agus dan Budi mencari-cari kesempatan untuk bisa membantu teman mereka. Karena membantu teman adalah cara pasti untuk hidup bahagia dengan menikmati setiap momen yang ada. Hanya memberi tak harap kembali; bagai sang surya menyinari dunia.

3. Saudara

Saudara adalah teman yang istimewa karena kita punya hubungan darah; saudara kandung, saudara sepupu, saudara orang tua, keponakan, dan lain-lain. Seharusnya, lebih mudah bagi kita membangun trust, saling percaya, bersama saudara. Sehingga, makin besar rasa bahagia kita.

Paling awal, kita menerima trust dari ibu. Ibu adalah orang yang paling awal percaya pada anaknya; ibu merawat kita; ibu menjaga kita; ibu berkorban apa saja untuk kita. Ibu tahu bahwa kita tidak bisa membalas kebaikan ibu ketika kita masih bayi baru lahir. Ketulusan cinta ibu merawat kita menjadikan kita “mampu” membalas kebaikan ibu dengan kebaikan yang hanya tak seberapa. Terima kasih sebesar-besarnya kepada ibu kita dan kepada seluruh ibu di dunia.

Ibu adalah gambaran ideal seorang teman; hanya memberi tak harap kembali; bagai sang surya menyinari dunia.

Situasi keluarga bisa berbeda dari yang ideal. Kaisar Cina memiliki dua anak lelaki: Putra Mahkota dan Pangeran Muda. Saat itu, Kaisar dalam kondisi segar bugar sebagai penguasa nomor satu di Cina. Putra Mahkota dan Pangeran Muda mulai tumbuh remaja.

Putra Mahkota berharap agar Kaisar segera mati sehingga Putra Mahkota dilantik menjadi kaisar baru secara resmi. Kaisar sendiri sadar bahwa Putra Mahkota berharap agar dirinya lebih cepat mati. Akibatnya, Kaisar terus-menerus mengawasi Putra Mahkota dan mengendalikan seluruh gerak-geriknya.

Pangeran Muda memahami seluruh situasi. Dia berpikir bagaimana caranya agar bisa menyingkirkan Putra Mahkota sehingga menjadikan Pangeran Muda sebagai pengganti resmi bagi Kaisar. Tugas Pangeran Muda lebih berat di sini. Karena, konstitusi memihak ke Putra Mahkota dan bisa saja Kaisar lebih memilih Putra Mahkota juga.

Kaisar, dengan pengalaman intrik kerajaan bertahun-tahun, sadar bahwa dua anaknya mengincar jabatan kaisar dengan cara ingin menggulingkan secara sembunyi-sembunyi; misalnya, dengan meracuni. Putra Mahkota sama sadarnya; adik dan bapaknya juga ingin menyingkirkan posisi Putra Mahkota. Terakhir, Pangeran Muda sama curiganya dengan kakak dan bapaknya.

Terjadilah kutukan keluarga kerajaan yang tidak ada solusi bagi mereka.

Dalam kehidupan persaudaraan sehari-hari, situasi bisa rumit seperti keluarga kaisar Cina; hanya saja ukurannya berbeda karena sebatas keluarga rumah tangga biasa.

Mengapa modal “trust” dari ibu yang begitu penting berubah menjadi “kutukan” keluarga kaisar?

Ibu menjadikan hubungan saudara sebagai teman sejati sehingga semua hidup bahagia bersama ibu. Di sisi lain, Kaisar menjadikan hubungan saudara sebagai kompetisi politik kekuasaan sehingga semua menjadi ngeri. Bagaimana solusi terbaik?

Ibu adalah teladan terbaik dengan 3 prinsip:
[1] trust
[2] menguatkan trust
[3] memberi kebahagiaan.

Sedangkan Kaisar membalik semua pertemanan dalam keluarga:
[1] curiga
[2] bertambah curiga
[3] menebar ancaman.

4. Pasangan

Pasangan suami atau istri adalah teman paling dekat dan intens. Jadi, pasangan suami istri adalah paling menentukan kebahagiaan. Ditambah lagi, kita bebas memilih siapa pasangan kita; siapa suami atau istri kita. Beda dengan ibu; kita tidak bisa memilih ibu atau bapak yang mana. Kita sudah menerima, begitu saja, anugerah seorang ibu terbaik yang itu.

Leluhur kita mengajarkan bahwa suami-istri adalah “garwa” = sigarane nyawa = belahan jiwa.

Kita hanya bisa sempurna dengan cara hidup bersama pasangan yaitu belahan jiwa. Tanpa pasangan, jiwa kita hanya bernilai setengah; jiwa kita terbelah. Kita merindukan pasangan yaitu belahan jiwa. Belahan jiwa memang berbeda dengan diri kita; bahkan saling berlawanan positif dengan negatif. Karena perbedaan ini, belahan jiwa saling melengkapi.

Dialektika sakina. Pada tahap awal, pertemanan suami dengan istri berubah dari saling cinta menjadi saling kewajiban. Konsekuensi kewajiban adalah saling menuntut antara suami-istri yang baru hidup bersama itu. Mereka kemudian bertengkar tentang masalah kecil atau masalah besar. Salah satu, dari suami atau istri, akan mengalah. Kemudian, cinta mereka makin dewasa. Pertemanan mereka makin bahagia. Mereka berhasil dalam dialektika sakina. Suami merasa bahagia dengan cara membahagiakan istri; dan istri merasa bahagia dengan cara membahagiakan suami.

Beberapa pasangan suami-istri tidak mau mengalah ketika bertengkar. Secara bertahap, atau tiba-tiba, pertengkaran meledak. Hubungan mereka retak; saling membebani. Mereka gagal dalam dialektika. Epicurus, tampaknya, menyaksikan beberapa pasangan suami-istri yang gagal seperti ini. Konsekuensinya, Epicurus ragu apakah pasangan suami-istri bisa saling bahagia? Tentu, kita yakin bahwa suami-istri bisa hidup dan mati saling memberi kebahagiaan ketika mereka sukses menangani dialektika sakina.

Bonus lanjutan adalah suami-istri hidup dalam naungan cinta yang nyata, cinta konkrit, mawadda; setelah berhasil menangani konflik dialektika sakina. Suami menunjukkan cinta yang nyata berupa perhatian dan dukungan nafkah untuk istri. Dan istri menunjukkan cinta nyata berupa, misal, perhatian dan bakti tulus kepada suami. Bonus puncak adalah cinta tulus antara suami-istri: cinta karena cinta. Suami makin cinta kepada istri ketika, puluhan tahun kemudian, istrinya berubah menjadi nenek-nenek yang keriput. Istri makin cinta kepada suami meski pun, setelah puluhan tahun kemudian, suami menjadi kakek-kakek lemah tak berdaya. Cinta tulis adalah cinta karena cinta: makin cinta meski apa pun kondisinya.

5. Alam Raya

Alam raya, pohon, tanah, hujan, bulan, dan matahari adalah teman bagi kita. Hanya saja, kita perlu sikap yang tepat untuk berteman dengan alam raya yang berbeda dengan teman manusia.

6. Teman Tuhan

Tuhan adalah pujaan dan teman dalam doa. Bagaimana manusia bisa berteman dengan Tuhan?

7. Diskusi

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar