Jalan Hidup dan Mati Filosofis: Diogenes, Ghazali, dan West

Review Buku Filsafat sebagai Way of Life
Penulis: DR. Jalaluddin Rakhmat M.Sc
Terbit: Maret 2025

Reviewer: Agus Nggermanto / Paman APIQ

Hidup manusia membutuhkan bimbingan untuk menyusuri jalan hidup bijaksana. Kita pasti membutuhkan bimbingan hikmah kebijaksanaan. Tetapi bukan hanya hidup kita yang butuh bimbingan. Jalan menuju kematian juga membutuhkan bimbingan hikmah. Buku Filsafat sebagai Way of Life menunjukkan bahwa hidup dan mati kita membutuhkan bimbingan filsafat. Lebih dari itu, buku Kang Jalal, sapaan akrab DR Jalaluddin Rakhmat, menyediakan “bimbingan praktis” untuk meraih bahagia dunia akhirat melalui beragam teladan: Socrates, Diogenes, Zeno, Farabi, Ghazali, Kierkegaard, Heidegger, Cornel West, dan lain-lain.

Saya sudah membaca Way of Life karya Pierre Hadot (1922 – 2010). Buku Kang Jalal mirip dengan Hadot dalam hal sebagai bagian gerakan global mengembalikan filsafat sebagai way of life. Kang Jalal berbeda dengan Hadot dalam hal Kang Jalal menuturkan dengan cara yang indah, menarik, dan mudah untuk dipahami banyak orang.

Buku Way of Life ini menjawab pertanyaan saya yang tidak terjawab bertahun-tahun: “Mengapa orang paling pandai di dunia, yaitu para filsuf dan ilmuwan, banyak yang hidupnya berantakan? Mengapa mereka sampai frustasi bahkan bunuh diri? Bukankah mereka memiliki semua ilmu terbaik yang diperlukan untuk sukses dalam hidup ini?” Saya berharap Anda akan menemukan jawabannya dari buku ini.

1. Garis Besar Buku
2. Transisi Argumen
3. Teladan Hidup (dan Mati)
4. Tantangan Futuristik
5. Diskusi

Di bagian awal, Prakata, Kang Jalal menghadirkan kisah Diogenes lawan Plato. Diogenes menang telak sebagai pewaris Socrates yang sah. Plato tidak berkutik. Padahal, selama ini, Plato adalah filsuf terbesar di dunia. Whitehead (1861 – 1947) mengagumi Plato dengan mengatakan, “Seluruh filsafat Barat adalah sekadar catatan kaki dari karya Plato.”

Aleksander Agung, kaisar Yunani yang menjadi murid Aristoteles, mengagumi Diogenes yang memang bijak dan berani. Kata Aleksander, “Andai aku terlahir tidak sebagai Aleksander maka aku ingin terlahir sebagai Diogenes.” Respon Diogenes, “Andai aku tidak terlahir sebagai Diogenes maka aku ingin terlahir sebagai Diogenes.” Kang Jalal menempatkan Diogenes sebagai salah satu teladan way of life. Tersedia bagian pembahasan khusus tentang Diogenes yang panjang. Barangkali hanya disaingi panjangnya pembahasan dengan bagian Ghazali.

1. Garis Besar Buku

Buku ini terdiri dari 6 Bagian ditambah Kata Pengantar oleh Kyai Miftah Fauzi Rakhmat, Prakata, dan Daftar Pustaka.

Bagian 1 Prawacana: Membahas secara garis besar seluruh isi buku Way of Life. Membahas rinci kisah Boethius di mana Dewi Filosofi, sebagai personifikasi filsafat, menemani dan menguatkan Boethius menjemput ajal dengan ikhlas. Sebelumnya, Dewi Filosofi telah menemani Boethius meraih sukses.   

Boethius (480 – 524) adalah tokoh penting yang diperebutkan oleh filsafat dan agama. Para filsuf mengklaim bahwa Boethius adalah filsuf aliran Neoplatonisme. Tokoh Kristen mengklaim bahwa Boethius adalah tokoh agama Kristen yang mempraktekkan ajaran Yesus Kristus. Mengapa? Boethius sangat cerdas berhasil menerjemahkan karya Plato dan Aristo dari bahasa Yunani ke bahasa Latin. Beberapa hari menjelang eksekusi mati, di dalam penjara, Boethius menulis The Consolation of Philosophy yang selaras dengan ajaran Kristus. Buku-buku Boethius ini menjadi rujukan para filsuf dan tokoh agama sampai ratusan tahun setelah wafatnya.

Bagian 2 Refleksi: Memulai pembahasan bahwa filsafat sangat penting bagi manusia untuk menghadapi masa-masa sulit termasuk menghadapi kematian. Di saat yang sama, filsafat telah berhasil menyelamatkan hidup orang-orang modern yang telah hancur masa depan mereka. Tipe filsuf paling penting adalah gadfly: mengganggu status quo dengan ide-ide kreatif yang nakal; misal Socrates dan Diogenes.

Yang menarik dari Kang Jalal adalah seolah-olah mengakui bahwa filsafat memang tidak berguna untuk sukses dalam hidup ini. Tetapi manusia membutuhkan filsafat untuk menghadapi ajal kematian dengan ikhlas. Dan, kita sadar, ajal kematian itu pasti datang. Kemudian, setelah itu, kita baru sadar bahwa kita butuh filsafat untuk hidup mau pun mati.

Bagian 3 Diogenes dan Kinisme: Membahas Diogenes sang pendiri filsafat kinisme secara inspiring. Diogenes adalah pewaris sejati Socrates berbeda dengan Plato yang tidak tepat mewarisi ajaran Socrates. Diogenes menjalani hidup filosofis yang sederhana, jujur, kreatif, bebas, dan berani. Godaan kekayaan mau pun jabatan tidak mempan bagi Diogenes.

Saya setuju dengan Kang Jalal: Diogenes (393 – 323 SM) adalah tokoh utama bagi umat manusia. Penyakit manusia di jaman modern (atau posmodern) ini membutuhkan obat yaitu kinisme dari Diogenes.

Bagian 4 Stoik sampai Farabi: Membahas perkembangan filsafat sebagai way of life membentang setelah era Diogenes sampai jaman keemasan Islam dengan salah satu tokoh Farabi. Persaingan beragam aliran filosofis – Stoik, Epicurus, dan Pyrrho – bersintesa di Plotinus. Berkembang lebih maju di Farabi dan mengalami kebangkitan di era kini dengan tokoh Pierre Hadot.

Barangkali Anda sedang tertarik dengan Stoikisme atau Filsafat Teras? Bagian 4 ini tepat untuk Anda. Lebih dari itu, kita bisa mempertimbangkan alternatif dari Stoikisme yang berkembang dalam waktu bersamaan: Epicureanisme dan Pyrrhonisme. Bagian ini meluaskan dan memperdalam kajian kita sampai transisi dari filsafat Yunani ke Timur Tengah.

Bagian 5 Para Filsuf: Membahas para filsuf besar dunia dari Timur dan Barat dengan singkat dan menarik. Pikiran-pikiran filosofis ini amat beragam dan saling melengkapi. Bagian ini memicu kita untuk berpikir lebih dalam dan lebih luas tentang way of life.

Bagian 6 Al Ghazali dan Filsafat Pemaafan. Puncak pembahasan way of life mengambil pemikiran Ghazali dalam pemaafan dan manajemen kemarahan. Berlanjut dengan peran filsuf gadfly Kierkegaard dan pragmatism profetik Cornel West. Terakhir, kita perlu waspada dengan 6 tipe filsuf; tipe filsuf gadfly tetap paling utama.

2. Transisi Argumen

Transisi argumen Filsafat sebagai Way of Life bergerak dengan lembut dan kadang mengagetkan. Orang umum bakal mampu memahami argumen dan prinsip way of life dengan baik. Tentu butuh investasi waktu untuk membaca buku yang tebalnya hampir 500 halaman. Bila Anda membaca buku ini berulang sambil meresapi dengan seksama maka prinsip-prinsip way of life makin terasa penuh makna.

Saya mencatat Kang Jalal menerapkan argumen dengan dua jalur: analitis dan narasi (non-analitis).

Argumen Analitis

Argumen analitis bisa kita terima sebagai valid bila didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Kang Jalal memberi bukti-bukti yang kuat pada setiap argumen dengan mengutip beragam sumber dan alur logika yang jelas.

Argumen sains (argumen ilmiah) selalu didukung oleh bukti yang kuat agar valid. Bukti ilmiah ini bisa saja berupa data pengamatan, eksperimen, atau hasil riset ilmiah yang sudah diterima pada masa lalu. Jadi, sains mengandalkan argumen analitis.

Argumen Narasi

Argumen narasi adalah argumen yang kita terima sebagai valid karena narasi itu sendiri. Dalam Prakata, misal, ada narasi Diogenes berdebat dengan Plato. Awalnya, Plato tampak menang dengan menunjukkan bahwa Diogenes tidak mampu memahami esensi-cangkir karena dalam kepala Diogenes tidak ada akal. Esensi-cangkir mendahului seluruh cangkir yang ada menurut Plato.

Diogenes mengamati cangkir, “Saya melihat cangkir ini kosong. Di mana letak esensi-kekosongan yang mendahului seluruh kosong?” Plato berpikir sejenak dan tampak bingung. Diogenes mendekati Plato, sambil mengetuk kepala Plato dengan jari ia berkata, “Esensi-kekosongan ada di sini.” Esensi-kekosongan ada di kepala Plato. Di akhir cerita, Diogenes membalik situasi menjadi menang.

Kita menerima narasi Diogenes vs Plato di atas adalah berdasar narasi itu sendiri. Kita memahami narasi itu sendiri tanpa harus mencari bukti tambahan. Argumen seperti ini kita sebut sebagai argumen narasi.

Kita bisa merasakan bahwa argumen narasi lebih indah dari argumen analitis. Orang, umumnya, lebih tersentuh hatinya berdasar argumen narasi. Anda, misal, menerima cerita fiksi novel Laskar Pelangi karena narasi dari novel itu sendiri yang mempesona hati Anda.

Argumen Lebih Unggul

Mana lebih unggul antara argumen analitis dengan argumen narasi? Barangkali tergantung bidang kajian. Untuk kajian sains kita butuh argumen analitis. Sedangkan untuk kajian humaniora, kita membutuhkan argumen narasi.

Menariknya, Lyotard (1924 – 1998) menyatakan bahwa semua argumen pada akhirnya adalah argumen narasi. Maksudnya, argumen analitis itu bila kita kaji lebih jauh akan menjadi argumen narasi. Mengapa sains fisika Newton itu valid? Karena teruji secara eksperimen. Mengapa eksperimen itu valid? Karena eksperimen adalah valid itu sendiri. Eksperimen adalah narasi karena tidak butuh bukti lagi; eksperimen diterima karena eksperimen itu sendiri.

Tentu saja, kita bisa melanjutkan bahwa eksperimen valid karena bermanfaat. Mengapa bermanfaat valid? Karena bermanfaat menjadikan hidup lebih baik. Mengapa lebih baik valid? Karena lebih baik adalah tujuan kita. Mengapa tujuan kita valid? Karena itulah tujuan kita. Pada tahap akhir ini, kita berhadapan dengan argumen narasi; yaitu tujuan diterima karena tujuan itu sendiri.

Kang Jalal mengolah dua jenis argumen ini, analitis dan narasi, dengan mengagumkan dalam buku Way of Life ini. Transisi antar argumen ini lembut hampir tak terasa. Bila Anda menemui bagian yang sulit dipahami dari buku ini, barangkali, karena sedang menerapkan argumen analitis di bagian itu. Bila Anda merasa sangat terinspirasi oleh buku ini, barangkali, karena sedang membaca argumen narasi.

Bagian Prakata dan Bagian Prawacana terasa imbang antara argumen analitis dan narasi. Dua bagian awal ini singkat dan padat. Benar saran Kyai Miftah dalam Kata Pengantar bahwa dua bagian ini sudah mewakili seluruh buku way of life. Lalu mengapa perlu bagian yang lain? Karena bagian yang lain melanjutkan dengan argumen narasi yang mempesona. Untuk merasakan keindahan buku maka bacalah Prakata, lompati Prawacana, lanjutkan membaca Bagian Refleksi dan seterusnya.

Prakata mengajukan argumen bahwa ajaran Diogenes lebih unggul dari ajaran Plato. Bagian Refleksi bertanya apa manfaat filsafat? Kang Jalal seolah menerima argumen bahwa manfaat filsafat sudah pudar diganti oleh sains. Orang yang menguasai sains, kemudian menguasai teknologi, maka akan sukses kaya dan berkuasa. Kita butuh sains dan teknologi bukan filsafat. Tetapi ketika seseorang akan menghadapi mati maka apa yang bisa dilakukan sains dan teknologi? Tidak ada. Padahal, ajal kita pasti akan tiba.

Filsafat memberi penghiburan dan penguatan kepada Boethius ketika menjelang ajal tiba melalui eksekusi. Bruno menghadapi tiang gantungan dengan tegar untuk pengabdian kepada Tuhan dan negara. Socrates dengan hikmah menerima cangkir racun untuk mencerahkan umat. Filsafat bisa saja tidak berguna untuk hidup Anda tetapi pasti sangat penting untuk mati Anda. Lebih dari itu, filsafat telah membimbing manusia menjalani hidup dengan baik: Bruno, Boethius, dan Socrates telah sukses dalam hidup bersama filsafat.

Bagian Refleksi berhasil memberi argumen kuat bahwa filsafat sangat bermanfaat. Bagian Ketiga, Diogenes dan Kinisme, lebih detil mengungkap kisah Diogenes yang menjalani hidup secara filosofis. Bagian ini bertabur dengan narasi penuh pesona. Diogenes lebih unggul dari penguasa, dari orang kaya, dari aliran pikiran abstrak. Diogenes adalah filsuf gadfly yang menjalani filsafat sebagai way of life.

Bagian Keempat, Stoik sampai Farabi, memperkuat argumen bahwa tersedia beragam pilihan way of life yang membentang sejak era Diogenes sampai era keemasan Islam.

Bagian Kelima, Para Filsuf, sangat menarik menampilkan argumen narasi dari kehidupan belasan filsuf dunia. Bagian ini memperkuat argumen bahwa way of life kaya akan ajaran hidup yang kreatif.

Puncaknya adalah Bagian Keenam yaitu Ghazali dan Filsafat Pemaafan. Argumen utama: orang yang mampu memaafkan maka akan menjalani hidup dan mati penuh makna; sebaliknya juga benar, orang yang tidak bisa memaafkan maka akan terbebani berbagai derita. Tokoh-tokoh besar dari Socrates, Boethius, sampai Bruno berhasil memaafkan orang-orang yang memusuhi mereka. Para filsuf ini menjalani hidup dan mati penuh makna.

Seluruh argumen mengalun dengan lembut. Tidak ada argumen yang memaksa pembaca berpikir sampai pusing tujuh keliling. Sesekali, Anda akan menemukan argumen yang menghentak. Kemudian, Kang Jalal akan membantu dengan suatu argumen narasi. Problem sulit menjadi lebih mudah lagi.

Dengan demikian, argumen dalam buku ini bukan hanya valid dan solid tetapi indah mempesona.

Destruksi Metafisika

Perlawanan terhadap metafisika Platonisme sudah terjadi sejak awal. Diogenes meruntuhkan Plato pada saat mereka hidup sejaman. Hasil “destruksi metafisika” oleh Diogenes ini adalah kinisme yang bermakna filsafat sebagai way of life. Ghazali melakukan destruksi metafisika yang sama seperti Diogenes. Hasil destruksi metafisika oleh Ghazali adalah jalan ruhani Ihya Ulumiddin atau sering disebut sebagai sufi.

Kita perlu mempertimbangkan destruksi metafisika yang terjadi pada abad 20 oleh Heidegger. Dengan pendekatan fenomenologi, Heidegger mengajukan pertanyaan: apa makna-being? Metafisika Plato yang berkembang sampai Nietzsche runtuh oleh pertanyaan makna-being. Plato dan murid-muridnya mengaku membahas being (wujud) tetapi mereka lupa bertanya apa makna-being.

Heidegger bertanya apa makna-being kemudian menjawabnya setelah metafisika itu runtuh. Apa jawaban oleh Heidegger? Heidegger memberi jawaban yang jelas melalui buku Being and Time yang terbit 1927, kemudian, melengkapinya dengan beragam jawaban sepanjang hidupnya sampai wafat 1976. Salah satu jawaban paling sempurna adalah makalah Time and Being yang terbit 1962-an. Sayangnya, kita tidak akan bisa meringkas jawaban Heidegger menjadi 1 atau 2 paragraf saja. Meski begitu, saya akan mencoba meringkasnya.

Pertama, Heidegger menolak pendekatan cogito ala Descartes; karena cogito memberi prioritas subyek manusia sebagai penentu segala realitas. Kedua, Heidegger menolak positivisme sains karena sains menerima asumsi sains begitu saja; tanpa mengujinya; bagaimana sains bisa menguji asumsi sains? Ketiga, Heidegger mengusulkan untuk mengkaji being (wujud) dari being itu sendiri. Being yang mana? Being yang bertanya tentang makna-being; being yang dimaksud adalah being-there atau dasein. Jadi, kita memulai kajian dari dasein.

Untung saja, beberapa manusia otentik adalah dasein karena manusia tersebut bertanya tentang apa makna-being. Manusia pada umumnya justru tidak bertanya apa makna-being sehingga mereka bukan manusia otentik; bukan pula dasein otentik. Kajian dasein ini berhasil dituliskan panjang lebar dalam buku Being and Time.

Selanjutnya, dasein sadar bahwa selalu ada yang melampaui dasein; ada yang transenden dari dasein; bahwa dasein adalah terbatas. Bagaimana memahami yang transenden? Bagaimana memahami Tuhan? “Hanya Tuhan Esa yang bisa selamatkan kita,” ungkap Heidegger. (Only a God can save us). Untuk mengkaji sein (wujud) yang melampaui dasein, Heidegger sampai pada “konsep” enowning (ereignis) yang berpuncak pada buku Time and Being.

Kiranya cukup sekadar untuk menggambarkan destruksi metafisika oleh Heidegger dengan bentangan karya dari Being and Time sampai Time and Being. Kita bisa menyebut solusi Heidegger sebagai makna-being atau makna-wujud. Mari kita ringkas proyek destruksi metafisika ini sehubungan dengan way of life.

Destruksi metafisika berhasil meruntuhkan metafisika Plato dan mengajukan 3 jenis solusi. (a) Solusi way of life Hadot yang dominan argumen intelektual analitis dan praktek spiritual; dan solusi way of life Kang Jalal yang dominan argumen intelektual narasi dan praktek spiritual. (b) Solusi way of life Ghazali yang berupa jalan ruhani sufi. (c) Solusi makna-being dari Heidegger.

Dari seluruh solusi di atas, solusi way of life Kang Jalal adalah yang paling indah; cocok untuk dikaji secara intelektual akademis, dikaji oleh masyarakat umum, sampai dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari dan kehidupan politik. Perlu untuk tetap kita catat: way of life Kang Jalal merangkul Hadot, Ghazali, mau pun Heidegger. Solusi way of life Kang Jalal memiliki daya gerak yang sangat besar.

3. Teladan Hidup (dan Mati)

Buku ini bertabur dengan contoh-contoh nyata sepanjang sejarah. Teladan mereka yang sukses dalam hidup: Diogenes, Zeno, Farabi, Ghazali, Kierkegaard, Nussbaum, dan West. Teladan mereka yang sukses menjemput ajal dengan ikhlas: Socrates, Hypatia, Boethius, Seneca, dan Bruno.

Way of life memang bermakna jalan hidup. Di saat yang sama juga bermakna sebagai being-toward-the-death, dumadi-menuju-mati, sebagaimana dibahas Heidegger dan dipertegas oleh Kyai Miftah dalam Kata Pengantar.

Di Bagian 5, Para Filsuf, Kang Jalal mengutip Heidegger yang membahas makna kematian dengan dua istilah: meninggal (upleben) dan “mati”(sterben). Upleben adalah kematian secara alami misal kucing mati, gajah mati, dan manusia juga mati. Sedangkan, sterben adalah kematian yang merupakan pilihan untuk mencapai husnul khatimah; mencapai akhir terbaik. Sterben mewarnai hidup manusia sehingga hidup penuh makna.

Bagi manusia, waktu berakhir dengan kematian. Oleh karena itu, jika kita ingin memahami apa artinya menjadi manusia sejati, maka penting bagi kita untuk terus memproyeksikan kehidupan kita ke cakrawala kematian. Inilah yang disebut Heidegger sebagai “menuju kematian“ (manusia sebagai being-toward-death).

Kang Jalal lebih lincah dari Heidegger dalam membahas tema kematian karena Kang Jalal bisa merujuk ke ajaran agama semisal ke Ghazali. Salah satu pesan penting untuk menjemput kematian, “Sayangilah apa yang ada di bumi maka Yang Ada di langit menyayangimu.”

4. Tantangan Futuristik

Tantangan teknologi, misal media sosial dan AI, makin kencang akhir-akhir ini. Bagian Pertama buku ini sudah membahas hubungan way of life dengan sains. Barangkali menjadi tugas kita untuk membahas hubungan way of life dengan teknologi.

Kami (Dimitri Mahayana dan Agus Nggermanto) menulis buku “19 Narasi Besar AI” merujuk kepada buku “Filsafat sebagai Way of Life” ini sebagai solusi utama. Ada baiknya, kita mengkaji buku 19 Narasi Besar AI bersanding dengan way of life. Teknologi, semisal AI: akal imitasi, makin nyata sebagai tantangan futuristik yang membutuhkan sinaran terang way of life.

Sejatinya, Kang Jalal sudah membahas tema teknologi dalam buku Psikologi Komunikasi. Kita perlu memperkaya kajian teknologi dari perspektif way of life. Saya yakin kajian ini akan menjadi bidang kajian yang menarik dan berpengaruh langsung bagi kehidupan umat manusia bersama teknologi; di masa kini dan masa depan.

5. Diskusi

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menghadirkan filsafat sebagai way of life sesuai janji dari judul bukunya. Bahkan, buku ini berhasil dengan cara yang indah. Bila harus menyebut kekurangan dari buku ini adalah buku ini tidak membahas problem teknologi secara spesifik. Kita bisa maklum karena buku ini sudah cukup tebal lebih dari 400 halaman. Pembahasan teknologi bisa pada buku tersendiri. Pemilihan Diogenes sebagai tokoh utama untuk membuka way of life adalah tepat dan bijak. Kemudian, menempatkan Ghazali sebagai jantung solusi sungguh penuh arti. Buku ini bukanlah buku biasa; ini adalah buku yang merupakan bagian dari gerakan global mengembalikan filsafat sebagai way of life.

Pertanyaan terakhir: mengapa posisi Ghazali begitu penting dalam way of life?

Pertama, Ghazali mengkritik keras filsafat Plato-Aristoteles-Farabi-Ibnu Sina dalam bukunya yang sangat terkenal Tahafut Falasifah: Kesesatan Para Filsuf. Ghazali mirip dengan Diogenes yang meruntuhkan filsafat Plato. Banyak orang mengira bahwa Ghazali telah membunuh filsafat. Nyatanya, Ghazali menghidupkan filsafat dengan mode baru yang tertuang dalam kitab Ihya Ulumiddin. Kitab ini yang menjadi rujukan utama Kang Jalal.

Kedua, setelah filsafat Plato runtuh, Ghazali mengembangkan solusi alternatif dengan pendekatan yang mirip Epicurus. Problem dari manusia berakar pada “keinginan” yang salah. Manusia ingin mengejar harta, kuasa, dan hura-hura. Ghazali memberi solusi dari masalah ini sejak masih berupa benih dalam hati mau pun setelah masalah mulai muncul di permukaan. Tentu, Ghazali banyak merujuk ajaran Kanjeng Nabi dan para Imam Suci. Kang Jalal memuji Ghazali sekaligus meng-kritiknya secara implisit karena Ghazali terlalu mirip dengan Epicurus.

Ketiga, solusi Ghazali selaras, bahkan sama, dengan solusi psikologi dan filsafat modern, misal filsafat dari Martha Nussbaum dewasa. Ketika masih muda, Nussbaum mengijinkan bahwa orang boleh “meledakkan” amarah jenis tertentu yang ter-justifikasi. Nussbaum dewasa mengoreksinya dengan menyatakan bahwa setiap amarah perlu ditangani sejak akarnya melalui filsafat pemaafan. Nussbaum dewasa lebih selaras dengan Ghazali. Dari perspektif ini, Ghazali menjembatani way of life dari Diogenes sampai Nussbaum bahkan sampai Cornel West. Sedikit catatan tentang West adalah dia menjadikan aktivisme politik sebagai way of life dengan prinsip pragmatisme profetik; yaitu pragmatisme yang meneladani Nabi dengan menebar kebahagiaan kepada orang-orang lemah.

Sebagai penutup, buku Filsafat sebagai Way of Life ini layak menjadi renungan bagi para pengkaji filsafat dan masyarakat umum.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar