Mengapa harus menghafal Alquran 30 juz? Sudah ada AI yang mampu hafal seluruhnya. Plus, AI (akal imitasi – artificial intelligence) mampu melengkapi dengan puluhan kitab tafsir. Plus lagi, AI bisa diajak diskusi tentang Quran dan segala fenomena yang ada.

Membaca Quran, kita akan bertabur inspirasi. Membaca tulisan AI, kita akan risiko terjebak halusinasi. Quran adalah kitab suci yang jauh lebih tinggi dari AI. Tetapi bagaimana manusia bisa tepat untuk menyikapi?
1. Petunjuk Manusia
2. Petunjuk Takwa
3. Pembenar Kitab Suci
4. Diskusi
Manusia sulit untuk menempatkan Quran pada posisi yang tepat. Karena Quran menuntut tanggung jawab manusia; baik terhadap manusia lain, terhadap alam raya, mau pun terhadap Tuhan Yang Esa. Sementara, kebanyakan orang mencari-cari pembenaran atas nafsu mereka. Alquran menolak pembenaran nafsu serakah manusia.
1. Petunjuk Manusia
Posisi utama Alquran adalah petunjuk bagi manusia (hudan linas).
Quran memberi petunjuk bagi seluruh manusia untuk memilih jalan kebaikan dan mencegah keburukan. Setiap membaca Quran kita akan memperoleh petunjuk jelas dari inspirasi Quran.
2. Petunjuk Takwa
Posisi istimewa AlQuran adalah petunjuk bagi orang bertakwa (hudan lil mutaqin).
Semua orang yang bertakwa, berbuat kebaikan, akan mendapat petunjuk jelas dari Quran. Mengapa ada orang yang membaca Alquran 30 juz tetap tidak mendapat petunjuk? Karena orang itu mungkin saja tidak takwa. Bagi orang yang tidak takwa; tidak terjamin mendapat petunjuk; meski ada peluang. Sementara, bagi orang bertakwa niscaya mendapat petunjuk dari Quran.
3. Pembenar Kitab Suci
Posisi historis AlQuran adalah sebagai pembenar terhadap kitab suci terdahulu (mushadiqan lima baina yadaihi).
Secara tegas Quran adalah “pembenar” bagi Injil, Taurat, Zabur, dan kitab suci terdahulu. Tetapi, Quran “bukan pembenar” bagi teori-teori yang berkembang. Quran hanya menjadi petunjuk bagi teori ilmiah, teori sosial, teori teknologi, atau teori apa pun lainnya.
4. Diskusi
Jadi bagaimana posisi Alquran di depan AI?
Posisi Alquran adalah jelas: (a) sebagai petunjuk manusia; dan (b) pembenar kitab suci. Karena AI bukan kitab suci maka Alquran akan menolak untuk dijadikan pembenaran AI; dan, posisi yang tepat, Alquran sebagai petunjuk manusia untuk (1) membenarkan AI atau (2) menolak AI. Posisi Alquran ini sudah jelas; yang masih tidak jelas adalah sikap manusia itu sendiri.
A. Tanggung Jawab Petunjuk
Problem yang langsung muncul adalah tanggung jawab dari petunjuk. Orang tidak nyaman dengan petunjuk; orang lebih nyaman dengan jaminan pembenaran.
Tetangga saya di Gegerkalong memilih poligami, menikahi istri kedua, dengan dalil pembenaran Alquran menurut dia. Poligami adalah kebenaran perintah Alquran. Manusia tinggal menjalankan saja. Dia merasa aman di dunia mau pun akhirat.
Jika poligami versi AlQuran adalah sekedar petunjuk maka tetangga saya harus bertanggung jawab atas pilihan poligaminya itu. Apakah poligami itu adil? Jumlah lelaki di Bandung sekitar 51% sedangkan jumlah wanita sekitar 49%. Jika dia punya istri dua maka bagaimana lelaki lain tidak dapat pasangan hidup? Andai lelaki Bandung mencari istri di luar kota maka komposisinya mirip sekitar 51% lelaki dan 49% wanita di Indonesia mau pun dunia.
B. Dogmatisme Pembenaran
Pokoknya, poligami adalah perintah kitab suci. Kalau berani jalani; kalau tidak berani maka berjuanglah untuk berani.
Dogmatisme adalah bahaya. “Pokoknya” adalah contoh kata yang menggambarkan dogmatisme. Kita harus mencegah dogmatisme dan menggantinya dengan pemikiran yang bertanggung jawab.
“Itu semua sudah hasil sistem komputer,” contoh dogmatisme lagi.
“Saya sekadar menjalankan tugas,” dogmatisme di banyak tempat.
“Dengarkan saya, saya adalah pimpinan,”dogmatisme terlanjur jadi pejabat.
“Yang penting cring duit mengalir,” dogmatisme materialis sempit.
C. Dogma Beda Dogmatisme
Dogma itu baik-baik saja. Tetapi, dogmatisme adalah buruk. Dogma adalah ajaran yang membutuhkan proses panjang untuk kita bisa memahaminya. Ajaran puasa adalah dogma yang baik. Untuk bisa memahami puasa, kita perlu praktek puasa, bersabar, berpikir, dan berbuat kebajikan. Tidak cukup hanya dengan teori puasa. Ketika tahun lalu Anda sudah berpuasa, sudah paham akan puasa, tahun ini pun Anda wajib puasa lagi.
Ajaran menyantuni fakir miskin adalah dogma yang baik. Anda perlu praktek menolong fakir miskin, empati kepada fakir miskin, bahkan hidup bersama faikir miskin untuk bisa memahami ajaran “menyantuni fakir miskin.” Tidak cukup hanya teori.
Apakah AI bisa berpuasa? Apakah AI bisa praktek menyantuni fakir miskin? Apakah AI hanya meningkatkan kinerja – performansi?
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar