Pengaruh AI begitu besar dalam kehidupan manusia. Apakah AI seiring seirama dengan ajaran agama? Apakah AI (akal imitasi / artificial intelligence) bisa menjadi solusi dari beragam problem di bumi ini? Atau, AI justru menjadi masalah itu sendiri?
Kita akan membahas narasi AI, kali ini, bersanding dengan beragam ajaran agama. Kita tahu bahwa agama amat penting menata kehidupan menjadi penuh makna. Di saat yang sama, manusia sering perang politik kekuasaan mau pun ekonomi dengan membawa nama agama. Apa yang akan terjadi ketika narasi AI bersanding dengan agama?

Kita akan memilih 19 narasi saja sebagai pokok pembahasan. Pembaca dapat menambah lebih banyak narasi lagi bila dirasa perlu. Pemilihan 19 narasi ini seirama dengan buku 19 Narasi Besar AI yang telah terbit beberapa bulan lalu.
Prolog
A. Narasi Bijak Sejak Era Kuno
1. Dialektika Idealisme dari Plato
2. Penggerak Pertama dari Aristoteles
3. Rindu Ajaran Agama dari Epicurus
4. Jabatan Tertinggi dari Marcus Aurelius
5. Cahaya Hati dari Ghazali
6. Cermin Ilahi dari Ibnu Arabi
7. Rasionalitas yang Pantas dari Aquinas
8. Hirarki Dinamis Eksistensi dari Sadra
B. Narasi Dinamis Era Modern
9. Puncak Logika dari Leibniz
10. Tanda Tanya Besar dari Hume
11. Idealisme Transendental dari Kant
12. Positivisme Melingkar dari Comte
13. Candu Agama dari Marx
14. Kesadaran Tersembunyi dari Freud
15. Pesona Semesta dari Weber
C. Narasi Serasi Era Kontemporer
16. Sekularisasi Berpuisi Kembali dari Taylor
17. Integralisme dari Mahzar Singler
18. Dahulukan Akhlak dari Rakhmat
19. Eksistensi Futuristik dari Mahayana Nggermanto
Epilog
Masing-masing narasi, kita kaitkan dengan nama satu tokoh pemikir. Bagaimana pun, sejatinya, banyak nama tokoh dalam setiap narasi. Misal narasi dialektika idealisme kita sebut dari Plato meski meliputi tokoh-tokoh lain seperti Socrates, Pythagoras, Parmenides, dan lain-lain. Pembagian kelas narasi menjadi 3 klasifikasi (bijak, dinamis, dan serasi) adalah sekadar untuk kemudahan pemahaman.
Prolog
A. Narasi Bijak Sejak Era Kuno
1. Dialektika Idealisme dari Plato
“IN EXAMINING the religious ideas of any thinker we must bear in mind two separate facts, (1) the habitual notions inherited from many generations, and (2) the specific teachings drawn from his immediate environment. The first of these included for Plato the ordinary mythological concepts still current among the group though largely rejected or at least discounted by the educated classes. Piety consisted in the recognition of the laws of society imbedded in the acts of public worship as well as in the behavior of daily life. Men are pious because they obey the civil laws. Socrates had criticized this judgment on the ground that obedience to law was the test of just action, not of religious regularity. All pious men are just, but not all just men are pious.” (Dunham, 1947).
“DALAM MENELITI gagasan keagamaan dari setiap pemikir, kita harus mengingat dua fakta terpisah, (1) gagasan kebiasaan yang diwarisi dari banyak generasi, dan (2) ajaran khusus yang diambil dari lingkungan terdekatnya. Yang pertama dari ini termasuk bagi Plato konsep mitologis biasa yang masih berlaku di antara kelompok tersebut meskipun sebagian besar ditolak atau setidaknya diabaikan oleh kelas terpelajar. Kesalehan terdiri dari pengakuan hukum masyarakat yang tertanam dalam tindakan ibadah umum serta dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Manusia saleh karena mereka mematuhi hukum sipil. Socrates mengkritik penilaian ini dengan alasan bahwa kepatuhan terhadap hukum adalah ujian tindakan yang adil, bukan keteraturan agama. Semua orang saleh itu adil, tetapi tidak semua orang adil itu saleh.”
Plato, dan Socrates sang guru, mengingatkan perbedaan antara mitos dengan saleh hakiki mau pun adil hakiki. Umat agama mudah terjebak dalam mitos padahal agama mengajarkan saleh hakiki dan adil hakiki.
Kajian yang sama bisa kita arahkan kepada AI: (1) mitos-mitos AI yang disebarkan oleh propaganda AI (akal imitasi / artificial intelligence); (2) kebaikan sejati, dan adil sejati, yang ditawarkan oleh AI. Apakah AI untuk memajukan peradaban adalah sekedar mitos? Atau kebaikan sejati?
2. Penggerak Pertama dari Aristoteles
“IT FREQUENTLY happens in the development of philosophy that the ideas conceived by a creative thinker are sifted and organized by a man of systematic temper and reduced by him to a scientific order. It is agreed among all careful readers that this is what Aristotle did for Plato. As a result Plato cannot be faithfully studied without the comments of his pupil. Schelling, the German romanticist, lays down the thesis that history conducts an illuminating dialectic. No thinker can be his own successor; he will be followed by a “system of phases” which will unfold the given ideas in a logical series. The original concepts which Plato incorporated in his dialogues, form the initial stages of the dialectic. They are nullified for a moment by the disappearance of the creator but powerfully reaffirmed by the synthetic genius of Aristotle.” (Dunham, 1947).
“SERING terjadi dalam perkembangan filsafat bahwa ide-ide yang dicetuskan oleh seorang pemikir kreatif disaring dan diatur oleh seorang yang berwatak sistematis dan direduksi olehnya menjadi tatanan ilmiah. Semua pembaca yang cermat sepakat bahwa inilah yang dilakukan Aristoteles untuk Plato. Akibatnya, Plato tidak dapat dipelajari dengan saksama tanpa komentar dari muridnya. Schelling, seorang romantisis Jerman, mengemukakan tesis bahwa sejarah melakukan dialektika yang mencerahkan. Tidak ada pemikir yang dapat menjadi penerusnya sendiri; ia akan diikuti oleh “sistem fase” yang akan mengungkap ide-ide yang diberikan dalam rangkaian logis. Konsep-konsep asli yang dimasukkan Plato dalam dialog-dialognya, membentuk tahap-tahap awal dialektika. Konsep-konsep itu dibatalkan sejenak oleh hilangnya sang pencipta tetapi ditegaskan kembali dengan kuat oleh kejeniusan sintetis Aristoteles.”
Aristo menegaskan kembali bahwa Tuhan adalah Maha Awal (Penggerak Pertama) dan Maha Akhir (Tujuan Akhir). Apakah AI berasal dari Maha Awal? Tentu, tetapi, apakah ada manipulasi oleh pihak-pihak tertentu? Apakah AI menuju akhir yang sempurna yaitu Tuhan Maha Akhir? Tentu, tetapi, apakah ada pihak yang melakukan sabotase di tengah jalan?
3. Rindu Ajaran Agama dari Epicurus
“IT IS difficult to conceive of a Greek system of thought which has no reference to religious principles. … Epicurus accepted the pattern laid down by his predecessor; he mad e no effort to interfere with the religious customs of the city in which he had his abode. Indeed, Diogenes, the chronicler, emphatically states that “his reverent behavior towards the gods was beyond the telling.”
Philodemus, a contemporary of Cicero, writes that Epicurus “observed all the religious ceremonies and recommended that others do the same.” For this reason he did not escape the charge of insincerity, since the mechanistic tone of his philosophy left no room for faith in invisible deities. He is accused by Cicero of seeking to court the favor of his fellowcitizens by pious pretensions, in order that he might insidiously entice them to adopt his opinions and discard the crudities of their native belief.
It is reported, too, that he made a distinct cleavage between duties prescribed by the state and the unreasoned notions of the crowd. We have grounds for thinking that he actually made this distinction, and we have decisive reasons for concluding that he recognized the idea of divinity as a valid concept in systematic thought. It is also clear from abundant evidence that he intended to prove that current notions regarding the nature and powers of the gods, were incompatible with the methods of analysis which scientific thinkers are obliged to use. In particular, he set about demonstrating that the results which the gods were thought to bring about were due wholly to the action of natural forces. Ho w should he proceed to make this proof effective?” (Dunham. 1947).
“SULIT untuk membayangkan sistem pemikiran Yunani yang tidak mengacu pada prinsip-prinsip keagamaan. … Epicurus menerima pola yang ditetapkan oleh pendahulunya; ia tidak berupaya untuk mencampuri adat istiadat keagamaan kota tempat ia tinggal. Bahkan, Diogenes, sang penulis sejarah, dengan tegas menyatakan bahwa “perilakunya yang penuh hormat terhadap para dewa tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.”
Philodemus, seorang kontemporer Cicero, menulis bahwa Epicurus “menaati semua upacara keagamaan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal yang sama.” Karena alasan ini ia tidak luput dari tuduhan ketidakjujuran, karena nada mekanistis filsafatnya tidak memberi ruang bagi kepercayaan kepada dewa-dewa yang tidak terlihat. Ia dituduh oleh Cicero berusaha untuk mendapatkan dukungan dari sesama warga negaranya dengan kepura-puraan saleh, agar ia dapat secara licik membujuk mereka untuk mengadopsi pendapatnya dan membuang kekasaran kepercayaan asli mereka.
Dilaporkan juga bahwa ia membuat pemisahan yang jelas antara tugas-tugas yang ditentukan oleh negara dan gagasan-gagasan yang tidak masuk akal dari orang banyak. Kita memiliki dasar untuk berpikir bahwa ia benar-benar membuat perbedaan ini, dan kita memiliki alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa ia mengakui gagasan tentang keilahian sebagai konsep yang valid dalam pemikiran sistematis. Jelas juga dari bukti yang melimpah bahwa ia bermaksud untuk membuktikan bahwa gagasan saat ini mengenai sifat dan kekuatan para dewa tidak sesuai dengan metode analisis yang wajib digunakan oleh para pemikir ilmiah. Secara khusus, ia berusaha menunjukkan bahwa hasil yang dianggap dihasilkan oleh para dewa sepenuhnya disebabkan oleh tindakan kekuatan alam. Bagaimana ia harus melanjutkan untuk membuat bukti ini efektif?”
Manusia selalu bersama agama; mereka tidak bisa dipisahkan sejak jaman kuno sampai sekarang. Epicurus menyarankan agar kita menerima ajaran agama kemudian “memperbaikinya.” Bagi Epicurus, ajaran agama adalah rindu terdalam dari setiap manusia. Banyak pemikir heran mengapa Epicurus sangat menghormati agama dan taat menjalankan agama. Padahal Epicurus adalah pemikir paling kritis di masanya. Orang berharap agar Epicurus mengkritik ajaran agama. Tetapi, Epicurus justru sangat saleh menjalani ajaran agama.
Apakah AI menumbuhkan rasa rindu kepada ajaran agama? Apakah AI membantu kita untuk lebih hormat dan taat kepada agama? Atau, kita bisa mengajukan pertanyaan lebih konstruktif. Bagaimana caranya agar AI menumbuhkan rasa rindu kepada agama? Agar AI menguatkan rasa hormat dan taat kepada agama?
4. Jabatan Tertinggi dari Marcus Aurelius
“STOICISM is a state of mind rather than a system of philosophy. Its tenets appear in the most divergent forms of cultural development. The type of thought which bears its name sprang from the analytic mind of Greece. Behind it lie the moral energy of Socrates, the constructive metaphysics of Plato, and the scientific imagination of Heraclitus, together with the stern pride of self incarnate in the life and teachings of Antisthenes.
Yet the Stoic principles have no exclusive root in the Mediterranean basin. Change their terms, and you may find them again in China or India or in the prophetic heritage of Judah. They embody a form of reaction which Confucius, Buddha and Jeremiah might readily translate into Oriental symbols. They have been studied, revised, and then imbedded in the severe discipline of the Puritan revival. Milton, Cromwell, Cudworth reflect in a variety of ways their enduring worth. Th e mind of the Stoic knows neither race nor age nor external condition.” (Dunham, 1947).
“STOISISME adalah sebuah kondisi pikiran, bukan sebuah sistem filsafat. Prinsip-prinsipnya muncul dalam bentuk-bentuk perkembangan budaya yang paling beragam. Jenis pemikiran yang menyandang namanya muncul dari pikiran analitis Yunani. Di baliknya terdapat energi moral Socrates, metafisika konstruktif Plato, dan imajinasi ilmiah Heraclitus, bersama dengan kebanggaan diri yang kuat yang menjelma dalam kehidupan dan ajaran Antisthenes.
Namun, prinsip-prinsip Stoa tidak memiliki akar eksklusif di wilayah Mediterania. Ubahlah istilah-istilahnya, dan Anda mungkin akan menemukannya lagi di Tiongkok atau India atau dalam warisan kenabian Yudea. Prinsip-prinsip tersebut mewujudkan suatu bentuk reaksi yang dapat dengan mudah diterjemahkan oleh Konfusius, Buddha, dan Yeremia ke dalam simbol-simbol Timur. Prinsip-prinsip tersebut telah dipelajari, direvisi, dan kemudian ditanamkan dalam disiplin keras kebangkitan Puritan. Milton, Cromwell, Cudworth merefleksikan nilai abadi mereka dalam berbagai cara. Pikiran seorang Stoa tidak mengenal ras, usia, atau kondisi eksternal.”
Stoisme atau stoa lebih dari sekedar sistem filosofi. Stoa mencakup sistem spiritual sehingga sangat dekat dengan ajaran agama; baik agama dari para nabi mau pun agama pencerahan timur. Lebih menarik lagi, Stoa memiliki teladan tokoh yang memiliki jabatan sangat tinggi yaitu Markus Aurelius sebagai kaisar; dan teladan tokoh rakyat jelata yaitu Epictetus seorang mantan budak yang kemudian menjadi guru. Singkatnya, ajaran Stoa terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat.
Apakah AI mengembangkan sistem filosofi dan sistem spiritual mirip Stoa? Apakah AI tepat guna bagi pejabat tinggi semisal kaisar atau presiden? Apakah AI tepat guna bagi rakyat jelata; pekerja rendahan dan pedagang asongan?
5. Cahaya Hati dari Ghazali
“Soon after al-Ghazâlî had published his two refutations of falsafa and Ismâ’îlism he left his position at the Nizâmiyya madrasa in Baghdad. During this period he began writing what most Muslim scholars regard as his major work, The Revival of the Religious Sciences (Ihyâ’ ‘ulûm al-dîn). The voluminous Revival is a comprehensive guide to ethical behavior in the everyday life of Muslims (Garden 2014: 63–122).
It is divided into four sections, each containing ten books. The first section deals with ritual practices (‘ibâdât), the second with social customs (‘âdât), the third with those things that lead to perdition (muhlikât) and hence should be avoided, and the fourth with those that lead to salvation (munjiyât) and should be sought. In the forty books of the Revival al-Ghazâlî severely criticizes the coveting of worldly matters and reminds his readers that human life is a path towards Judgment Day and the reward or punishment gained through it. Compared with the eternity of the next life, this life is almost insignificant, yet it seals our fate in the world to come.
In his autobiography al-Ghazâlî writes that reading Sufi literature made him realize that our theological convictions are by themselves irrelevant for gaining redemption in the afterlife. Not our good beliefs or intentions count; only our good and virtuous actions will determine our life in the world to come. This insight prompted al-Ghazâlî to change his lifestyle and adopt the Sufi path (al-Ghazâlî 1959a, 35–38 = 2000b, 77–80). In the Revival he composed a book about human actions (mu’âmalât) that wishes to steer clear of any deeper discussion of theological insights (mukâshafât). Rather, it aims at guiding people towards ethical behavior that God will reward in this world and the next (al-Ghazâlî 1937–38, 1:4–5).” (SEP).
“Segera setelah al-Ghazâlî menerbitkan dua bantahannya terhadap falsafah dan Ismâ’îlisme, ia meninggalkan jabatannya di madrasah Nizâmiyya di Baghdad. Selama periode ini, ia mulai menulis apa yang oleh sebagian besar cendekiawan Muslim dianggap sebagai karya utamanya, The Revival of the Religious Sciences (Ihyâ’ ‘ulûm al-dîn). The Revival yang sangat banyak itu merupakan panduan komprehensif tentang perilaku etis dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim (Garden 2014: 63–122).
Buku ini dibagi menjadi empat bagian, yang masing-masing berisi sepuluh buku. Bagian pertama membahas praktik ritual (‘ibâdât), bagian kedua membahas adat istiadat sosial (‘âdât), bagian ketiga membahas hal-hal yang menuntun pada kebinasaan (muhlikât) dan karenanya harus dihindari, dan bagian keempat membahas hal-hal yang menuntun pada keselamatan (munjiyât) dan harus dicari. Dalam empat puluh buku Kebangkitan, al-Ghazâlî mengkritik keras keinginan akan hal-hal duniawi dan mengingatkan para pembacanya bahwa kehidupan manusia adalah jalan menuju Hari Penghakiman dan pahala atau hukuman yang diperoleh melaluinya. Dibandingkan dengan keabadian kehidupan selanjutnya, kehidupan ini hampir tidak berarti, namun ia menentukan nasib kita di dunia yang akan datang.
Dalam otobiografinya, al-Ghazâlî menulis bahwa membaca literatur Sufi membuatnya menyadari bahwa keyakinan teologis kita sendiri tidak relevan untuk memperoleh penebusan di akhirat. Bukan keyakinan atau niat baik kita yang diperhitungkan; hanya tindakan baik dan berbudi luhur kita yang akan menentukan kehidupan kita di dunia yang akan datang. Wawasan ini mendorong al-Ghazâlî untuk mengubah gaya hidupnya dan menempuh jalan Sufi (al-Ghazâlî 1959a, 35–38 = 2000b, 77–80). Dalam Kebangkitan, ia menulis sebuah buku tentang tindakan manusia (mu’âmalât) yang ingin menghindari pembahasan mendalam tentang wawasan teologis (mukâshafât). Sebaliknya, buku ini bertujuan untuk membimbing manusia menuju perilaku etis yang akan diganjar pahala oleh Tuhan di dunia ini dan akhirat (al-Ghazâlî 1937–38, 1:4–5).”
Apakah AI bisa menjadi panduan etika? Apakah AI bisa menjadi panduan ibadah, panduan bermasyarakat, panduan menghindari keburukan, dan panduan memperoleh keselamatan? Apakah AI mendorong manusia untuk berbuat baik secara konkret lebih dari sekadar keyakinan teoretis? Apakah AI menguatkan cahaya hati?
6. Cermin Ilahi dari Ibnu Arabi
“As the model of human possibility, Perfect Man represents the individual who has traversed the circle of existence, reached the station of Two-Bows’ Length, and returned to his origin, the Reality of Realities. Standing in the Station of No Station, he is He/not He, Eternal/newly arrived, Infinite/finite. He alone functions as God’s “vicegerent” (khalîfa) or representative, the intermediary between God and creation, which is precisely the role for which Adam was created (Koran 2:30). Qûnawî writes:
The true Perfect Man is the barzakh between Necessity and possibility, the mirror that brings together in its essence and level the attributes and properties of Eternity and new arrival… . He is the intermediary between the Real and creation… . Were it not for him and the fact that he acts as a barzakh no different from the two sides, nothing of the cosmos would receive the divine, unitary effusion, because of the lack of correspondence and interrelationship. (Qûnawî, al-Fukûk, 248)
To put this in another way, Perfect Man is the spirit that animates the cosmos. This is the theme that begins the first chapter of Ibn ‘Arabî’s Ringstones, which explains the manner in which Adam—the human being—manifests the wisdom of the all-comprehensive name. In a parallel way, he writes in the Openings:
The whole cosmos is the differentiation of Adam, and Adam is the All-Comprehensive Book. In relation to the cosmos he is like the spirit in relation to the body. Hence man is the spirit of the cosmos, and the cosmos is the body. By bringing all this together, the cosmos is the great man, so long as man is within it. But, if you look at the cosmos alone, without man, you will find it to be like a proportioned body without a spirit. (Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, 1911 edition, 2:67.28)” (SEP).
“Sebagai model posibilitas manusia, Manusia Sempurna mewakili individu yang telah melintasi lingkaran eksistensi, mencapai maqam Dua Busur, dan kembali ke asalnya, Realitas dari Realitas. Berdiri di Maqam Tanpa Maqam, ia adalah Dia/bukan Dia, Abadi/baru datang, Tak Terbatas/terbatas. Ia sendiri berfungsi sebagai “khalifah” atau perwakilan Tuhan, perantara antara Tuhan dan ciptaan, yang merupakan peran untuk diciptakannya Adam (Al-Quran 2:30). Qûnawî menulis:
Manusia Sempurna yang sejati adalah barzakh antara Keharusan dan kemungkinan, cermin yang menyatukan dalam esensi dan levelnya atribut dan sifat Keabadian dan kedatangan baru… . Ia adalah perantara antara Realitas dan ciptaan… . Jika bukan karena dia dan fakta bahwa ia bertindak sebagai barzakh yang tidak berbeda dari kedua sisi, tidak ada satu pun kosmos yang akan menerima pancaran ilahi yang menyatu, karena kurangnya korespondensi dan hubungan timbal balik. (Qûnawî, al-Fukûk, 248).
Dengan kata lain, Manusia Sempurna adalah ruh yang menghidupkan kosmos. Inilah tema yang mengawali bab pertama Batu Cincin karya Ibn ‘Arabî, yang menjelaskan cara Adam—manusia—memanifestasikan hikmah dari nama yang mencakup segalanya. Dengan cara yang paralel, ia menulis dalam Pembukaan:
Seluruh kosmos adalah diferensiasi Adam, dan Adam adalah Kitab yang Menyeluruh. Dalam kaitannya dengan kosmos, ia seperti ruh dalam kaitannya dengan tubuh. Oleh karena itu, manusia adalah ruh kosmos, dan kosmos adalah tubuh. Dengan menyatukan semua ini, kosmos adalah manusia agung, selama manusia berada di dalamnya. Namun, jika Anda melihat kosmos saja, tanpa manusia, Anda akan menemukannya seperti tubuh proporsional tanpa ruh. (Ibn ‘Arabî, al-Futûhât, edisi 1911, 2:67.28)”
Apakah AI bisa menghidupkan kosmos? Apakah AI bisa menjadi spirit bagi alam semesta? Apakah AI memancarkan hikmah ke seluruh semesta? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa kita ubah ke bentuk yang konstruktif: bagaimana caranya agar AI memancarkan hikmah ke seluruh semesta?
6.1 Manusia Ruh Semesta
Seluruh alam semesta menjadi ada makna bila ada manusia di dalamnya. Tanpa manusia, seluruh alam semesta hanya hampa belaka; meski terjadi ledakan besar bigbang, misalnya, adalah ledakan biasa; meski terjadi evolusi sampai dinosaurus punah adalah evolusi biasa saja; meski matahari pagi bersinar terang, lembut hembusan angin sejuk, embun-embun pagi bening menetes di ujung daun, semua adalah alam biasa saja.
Teori bigbang menjadi indah ketika ada manusia yang menceritakannya. Teori evolusi menjadi seru karena ada manusia yang mendiskusikannya. Sinar matahari menjadi indah karena ada manusia yang menatapnya. Semua menjadi bermakna ketika manusia melukiskan makna ke alam raya.
Proses sebaliknya juga bisa terjadi. Kejahatan terjadi hanya karena ulah manusia; matahari dan rembulan tidak pernah jahat. Hutan gundul dan polusi udara karena rakusnya manusia; tikus yang rakus tetap bagus karena tidak merusak alam. Bom atom jatuh di Hiroshima, lagi-lagi, akibat sombongnya manusia. Bagaimana pun, di antara orang-orang jahat, muncul orang-orang pilihan dengan etika tinggi dan akhlak mulia. Orang-orang pilihan ini adalah pahlawan yang membela kebenaran. Penduduk bumi dan langit menaruh hormat kepada para pahlawan. Andakah satu di antara para pahlawan itu?
6.2 Manusia Ruh AI
Apakah AI memiliki kesadaran? Apakah AI (akal imitasi – artificial intelligence) bisa lebih cerdas dari Einstein? Apakah AI bisa tanggung jawab?
Mari kita berandai-andai dengan imajinasi. Bayangkan AI hadir di bumi ketika belum ada manusia; ketika Adam belum hadir di bumi; apa yang terjadi pada AI? Tanpa manusia, AI tidak punya arti. AI barangkali bisa berhitung tapi tanpa arti. AI bisa menulis puisi, lagi, tanpa arti. AI bisa mendominasi bumi, lagi, tanpa arti.
AI menjadi punya arti ketika hadir di tengah-tengah umat manusia.
Manusia adalah ruh bagi AI; manusia adalah jiwa bagi AI; manusia adalah spirit bagi AI.
AI adalah badan bagi manusia. Kita butuh AI untuk berkelana sebagaimana kita butuh mata untuk menatap dunia. Badan terdiri dari tulang, daging, kulit, darah, dan lain-lain. Di antara mereka ada yang berubah menjadi ganas; menjelma menjadi sel kanker yang merusak organ badan lainnya. AI yang semula adalah organ badan biasa, sewaktu-waktu, berubah menjadi kanker ganas yang memangsa manusia; AI memangsa badan manusia dan jiwa manusia. Bahkan AI memangsa sistem ekonomi dan politik umat manusia.
Kanker AI bukan produk dari AI itu sendiri. AI berubah menjadi kanker ganas akibat dari ulah manusia yang ganas secara individu, sosial, dan global. AI hadir ketika manusia sudah mengidap kanker. Akibatnya, AI terkena kanker dan menularkan kanker ke banyak tempat. Tugas manusia, saat ini dan berikutnya, adalah untuk menyembuhkan kanker AI. Sembuhkan bila bisa; amputasi bila terpaksa.
6.3 Manusia Paling Rendah
Manusia adalah makhluk paling mulia yang dekat dengan Tuhan. Di saat yang sama, manusia adalah paling rendah; manusia melayani seluruh dunia untuk mendekat kepada Tuhan. Manusia adalah raja dan, sekaligus, pelayan untuk semesta. Manusia adalah cermin Tuhan; cermin yang sangat istimewa; paling dekat dengan Tuhan dan paling jauh menjangkau seluruh semesta.
7. Rasionalitas yang Pantas dari Aquinas
“The key text for Aquinas’s thinking about the moral law is his Treatise on Law (ST 1a2ae 90–108). There he distinguishes between four kinds of law that play a role in guiding right human action:
- eternal law: God’s plan of governance for the world (q. 93);
- natural law: the distinctive way rational beings participate in the eternal law (q. 94);
- human law: particular developments of natural law worked out by human reason (qq. 95–97);
- divine law: divinely revealed laws directing human beings to their end (qq. 98–108).
The eternal law governs everything, but can serve to guide us only when it is somehow transmitted to us. One way in which it is transmitted is through divine law, preeminently through the Bible, and here Aquinas distinguishes between the old law of the Hebrew Bible (qq. 98–105) and the new law described in the Gospel (qq. 106–8). The other form of transmission, philosophically the most interesting part of his account, is the natural law. Whereas human law is the contingent result of social and political organization, the natural law is innate within us. Since Aquinas thinks that God orders everything to its proper end (§8.1), there is a sense in which all things follow a natural law by which they participate in the eternal law. But when Aquinas refers to natural law in a moral context, he means the distinctive way in which rational agents have been ordered to achieve their proper end; hence he has in mind a law that governs the mind. Thus, “the law of nature is nothing other than the light of intellect, placed within us by God, through which we grasp what is to be done and what is to be avoided” (On the Ten Commandments [Collationes in decem praeceptis] proem).” (SEP).
“Teks kunci untuk pemikiran Aquinas tentang hukum moral adalah Risalah tentang Hukum (ST 1a2ae 90–108). Di sana, ia membedakan antara empat jenis hukum yang berperan dalam membimbing tindakan manusia yang benar:
(a) hukum abadi: rencana Tuhan untuk mengatur dunia (q. 93);
(b) hukum alam: cara khas makhluk rasional berpartisipasi dalam hukum abadi (q. 94);
(c) hukum manusia: perkembangan khusus hukum alam yang dikerjakan oleh akal manusia (qq. 95–97);
(d) hukum ilahi: hukum yang diwahyukan secara ilahi yang mengarahkan manusia menuju tujuan mereka (qq. 98–108).
Hukum abadi mengatur segalanya, tetapi dapat berfungsi untuk membimbing kita hanya jika hukum itu entah bagaimana disampaikan kepada kita. Salah satu cara penyampaiannya adalah melalui hukum ilahi, terutama melalui Alkitab, dan di sini Aquinas membedakan antara hukum lama dari Alkitab Ibrani (qq. 98–105) dan hukum baru yang dijelaskan dalam Injil (qq. 106–8). Bentuk penyampaian lainnya, yang secara filosofis merupakan bagian paling menarik dari penjelasannya, adalah hukum alam. Sementara hukum manusia merupakan hasil kontingensi dari organisasi sosial dan politik, hukum alam bersifat bawaan dalam diri kita.
Karena Aquinas berpikir bahwa Tuhan mengatur segala sesuatu untuk tujuan yang tepat (§8.1), ada pengertian bahwa segala sesuatu mengikuti hukum alam yang dengannya mereka berpartisipasi dalam hukum abadi. Namun, ketika Aquinas merujuk pada hukum alam dalam konteks moral, yang ia maksud adalah cara khas di mana agen rasional telah diperintahkan untuk mencapai tujuan mereka yang tepat; oleh karena itu yang ada dalam pikirannya adalah hukum yang mengatur pikiran. Maka, “hukum alam tidak lain adalah cahaya akal budi yang diberikan Tuhan dalam diri kita, yang melaluinya kita memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari” (Tentang Sepuluh Perintah Allah [Collationes in decem praeceptis] proem).”
Hukum alam adalah cahaya akal budi yang diberikan oleh Tuhan. Apakah AI menerima cahaya akal budi? Apakah AI memiliki sistem rasional yang pantas? Apakah AI memahami hukum alam dan berpartisipasi secara rasional?
8. Hirarki Dinamis Eksistensi dari Sadra
“The future is also the culmination and the perfection of the present. Existence is in motion towards perfection. The existence of a thing is associated with its perfected form in the future. In this sense, the afterlife is merely a relative concept. As we have seen, it is the intellect and the faculty of imagination that are the distinguishing features that constitute individual survival. Contrary to most philosophers before him, matter is not the principle of individuation and therefore individual identity and personhood can exist divorced from matter, and the soul is immaterial, as are the bodies of the afterlife (Mulla Sadra 2001–5, IX: 311).
One’s existence is a process of reversion to the One, an unfolding of becoming that progresses from our corporeal incipience with the body through the perfection of the soul that gradually jettisons the physical body of this world in search of the beatitude and ecstasy of the intelligible world and of the afterlife (Mulla Sadra 2001–5, IX: 164). The existence of the afterlife is more subtle, more perfect and closer to the One. The pleasures and pains of the afterlife that are scripturally discussed are primarily spiritual and intelligible although they retain an attachment to a body, unlike the body of this world, one which is devoid of matter (Mulla Sadra 2001–5, IX: 165–6).
Matter is inert and pure potentiality and, since the existence of the afterlife is free from potentiality and baseness, the body of the afterlife cannot be material. It is an image of the body that a particular identity possessed. Mulla Sadra was keen to insist upon the Qur’anic account of bodily resurrection but he recognised that it was difficult to provide a philosophical account of the resurrection of this world’s physical body. Hence his solution is to argue that humans have different bodies corresponding to different levels of existence, in itself an application of substantial motion. Corporeal existence is not eternal but mortal (Mulla Sadra 2001–5, IX: 167). Bodies in this world exist through sensible forms; but the existence of the afterlife involves spiritual bodies attached to intelligible forms (Jambet 2006: 394–6).” (SEP).
“Masa depan juga merupakan puncak dan kesempurnaan masa kini. Eksistensi bergerak menuju kesempurnaan. Eksistensi suatu hal dikaitkan dengan bentuknya yang telah disempurnakan di masa depan. Dalam pengertian ini, kehidupan setelah kematian hanyalah sebuah konsep relatif. Seperti yang telah kita lihat, kecerdasan dan daya imajinasilah yang menjadi ciri pembeda yang membentuk kelangsungan hidup individu. Bertentangan dengan kebanyakan filsuf sebelumnya, materi bukanlah prinsip individuasi dan oleh karena itu identitas dan kepribadian individu dapat eksis terpisah dari materi, dan jiwa immateri, seperti halnya tubuh kehidupan setelah kematian (Mulla Sadra 2001–5, IX: 311).
Keberadaan seseorang adalah proses kembali kepada Yang Esa, sebuah penyingkapan keberadaan yang berkembang dari permulaan jasmani kita dengan tubuh melalui kesempurnaan jiwa yang secara bertahap membuang tubuh fisik dunia ini untuk mencari kebahagiaan dan kegembiraan dunia intelligible dan akhirat (Mulla Sadra 2001–5, IX: 164). Keberadaan akhirat lebih halus, lebih sempurna, dan lebih dekat kepada Yang Esa. Kesenangan dan penderitaan akhirat yang dibahas dalam kitab suci terutama bersifat spiritual dan dapat dipahami (intelligible) meskipun mereka mempertahankan keterikatan pada tubuh, tidak seperti tubuh dunia ini, yang tidak memiliki materi (Mulla Sadra 2001–5, IX: 165–6).
Materi adalah potensi yang lembam dan murni dan, karena keberadaan akhirat bebas dari potensi dan kehinaan, tubuh akhirat tidak dapat bersifat material. Itu adalah gambaran tubuh yang dimiliki oleh identitas tertentu. Mulla Sadra sangat ingin menekankan kisah Al-Qur’an tentang kebangkitan tubuh, tetapi ia menyadari bahwa sulit untuk memberikan kisah filosofis tentang kebangkitan tubuh fisik dunia ini. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan menyatakan bahwa manusia memiliki tubuh yang berbeda sesuai dengan tingkat keberadaan yang berbeda, yang merupakan penerapan gerak substansial. Keberadaan jasmani tidak kekal tetapi fana (Mulla Sadra 2001–5, IX: 167). Tubuh di dunia ini ada melalui bentuk-bentuk yang dapat dipahami; tetapi keberadaan akhirat melibatkan tubuh spiritual yang melekat pada bentuk-bentuk yang dapat dipahami (Jambet 2006: 394–6).”
Masa depan adalah lebih sempurna. Seluruh realitas bergerak menuju masa depan yang lebih sempurna. Apakah AI bergerak menuju masa depan? Apakah AI berkontribusi untuk kemajuan masa depan? Apakah AI tetap eksis di dunia setelah kematian atau akhirat?
B. Narasi Dinamis Era Modern
9. Puncak Logika dari Leibniz
“”THE idea of God, according to my view, is innate in all men; for if this
notion embodies an idea which actually occurs in our thought, it is a
proposition of fact which depends for its verification upon the history of the race.” In these words inscribed in the Fourth Book of the New
Essays, Leibniz registers the fundamental thesis of his religious philosophy. The thesis is not new, for Epicurean and Stoic alike admitted that the human mind tended to express itself in terms of universal concepts.
Every universal idea seems to give a certitude which the factual proposition cannot yield. The idea of God was certain and real for the Greek thinker, even though the attributes were coincident with the ideal characters engraved on the forces of nature. To be sure, Leibniz’ admission in the passage just quoted seems to make any pronouncement about the reality of God a question of fact to be determined by the universal consent of mankind. But because God, however he may be described, sums up in himself the universal ideas that govern men’s thought, Leibniz concludes he is justified in this one instance in making a judgment of fact exactly equivalent to a judgment of reason.
Such a need was not felt by Plotinus who merely removed all attributes except complete existence from the formula of supreme Substance, leaving his implicit energies to be expressed by the universal ideas. The reality of God is recovered when Augustine united the solitary splendor of the Neo-Platonic Deity with the moral vigor of the Hebrew Jehovah. This union became the groundwork of the Scholastic theology. Anselm erected upon it his celebrated argument for the existence of God as well as for the structure and operation of the human mind. The argument is changed by Thomas Aquinas to fit the demands of the Aristotelian logic which did not allow the thinker to pass from the mere idea to the embracing reality, but did presuppose from the unceasing motions of the world an all-embracing Cause of them.” (Dunham, 1947).
“”Menurut pandangan saya, gagasan tentang Tuhan itu bawaan semua manusia; karena jika gagasan ini mewujudkan gagasan yang benar-benar muncul dalam pikiran kita, maka gagasan itu merupakan proposisi fakta yang verifikasinya bergantung pada sejarah umat manusia.” Dalam kata-kata yang tertulis dalam Buku Keempat Esai Baru, Leibniz mencatat tesis fundamental filsafat agamanya. Tesis ini bukanlah hal baru, karena kaum Epikuros dan Stoa sama-sama mengakui bahwa pikiran manusia cenderung mengekspresikan dirinya dalam bentuk konsep universal. Setiap gagasan universal tampaknya memberikan kepastian yang tidak dapat diberikan oleh proposisi faktual. Gagasan tentang Tuhan itu pasti dan nyata bagi pemikir Yunani, meskipun atribut-atributnya bertepatan dengan karakter ideal yang terukir pada kekuatan alam. Yang pasti, pengakuan Leibniz dalam bagian yang baru saja dikutip tampaknya menjadikan pernyataan apa pun tentang realitas Tuhan sebagai pertanyaan fakta yang harus ditentukan oleh persetujuan universal umat manusia. Namun karena Tuhan, bagaimanapun Ia digambarkan, merangkum dalam dirinya sendiri ide-ide universal yang mengatur pemikiran manusia, Leibniz menyimpulkan bahwa ia dibenarkan dalam satu contoh ini dalam membuat penilaian fakta yang sama persis dengan penilaian akal budi.
Kebutuhan seperti itu tidak dirasakan oleh Plotinus yang hanya menyingkirkan semua atribut kecuali eksistensi lengkap dari rumus Substansi tertinggi, membiarkan energi implisitnya diekspresikan oleh ide-ide universal. Realitas Tuhan ditemukan kembali ketika Agustinus menyatukan kemegahan tunggal Ketuhanan Neo-Platonis dengan kekuatan moral Yahweh Ibrani. Persatuan ini menjadi dasar teologi Skolastik. Anselmus mendasarkan argumennya yang terkenal tentang eksistensi Tuhan serta tentang struktur dan operasi pikiran manusia. Argumen tersebut diubah oleh Thomas Aquinas agar sesuai dengan tuntutan logika Aristoteles yang tidak memungkinkan pemikir untuk beralih dari sekadar ide ke realitas yang mencakup segalanya, tetapi mengandaikan dari gerakan dunia yang tak henti-hentinya sebuah Penyebab yang mencakup semuanya.”” (Dunham, 1947).
Gagasan tentang Tuhan adalah bawaan manusia sejak lahir. Setiap manusia ingin memahami tentang Tuhan dengan satu dan lain cara. Apakah AI ingin memahami Tuhan? Apakah AI membantu manusia untuk lebih memahami Tuhan? Apakah AI selaras dengan logika Aristoteles yang terus berkembang sampai kepada Leibniz?
10. Tanda Tanya Besar dari Hume
“DAVID HUME belonged to the long line of British thinkers who insisted upon a strict examination of the processes of perception and reflection as preparatory to the study of the world itself. He found himself in partial agreement with the attitude of Descartes who sought to know where certitude could be found, whether in the immediate deliverences of the senses or in the sustained habits of judgment. It is a significant fact that the young Scotchman sojourned for a considerable period in the very town, LaFleche, where Descartes pursued his early studies in logic and the objective sciences. Much of the Treatise of Human Nature was composed within its bounds.
The major interest of the Continental school, however, lay not in the analysis of the mind but in the problem of substance. Spinoza and Leibniz both accepted the Cartesian principle of clear and distinct ideas as the basis for their philosophical researches; they then passed on to weightier matters such as the relation of individual bodies to one another and to the whole of Nature, the meaning of law, the possibility of purposiveness as a factor of universal moment, the reality of God and his explicit attributes such as extension and thought.” (Dunham, 1947).
“It is possible, as everybody except the Logical Positivist admits, to examine certain ideas which have no conceivable reality within
the bounds of physical phenomena. But with respect to the present idea it is essential that we should be able to assess the value of the historical proofs, in the light of the established laws of human experience, such as we have already discussed. Hume, thus, refers to all the traditional arguments, the idea of God in the mind, the Cause of the order of nature, the evidence of design, and the necessity of moral sanctions. The first two he rejects, the third he accepts in principle but stalls at man’s attempts to find unimpeachable instances, and the last he admits tentatively, though with technical reservations.”
“DAVID HUME termasuk dalam jajaran panjang pemikir Inggris yang bersikeras pada pemeriksaan ketat atas proses persepsi dan refleksi sebagai persiapan untuk mempelajari dunia itu sendiri. Dia mendapati dirinya sebagian setuju dengan sikap Descartes yang berusaha mengetahui di mana kepastian dapat ditemukan, apakah dalam penyampaian langsung dari indra atau dalam kebiasaan penilaian yang berkelanjutan. Merupakan fakta penting bahwa pemuda Skotlandia itu tinggal selama periode yang cukup lama di kota, LaFleche, tempat Descartes mengejar studi awalnya dalam logika dan ilmu-ilmu objektif. Sebagian besar Risalah Sifat Manusia ditulis di tempat itu.
Namun, minat utama sekolah Kontinental tidak terletak pada analisis pikiran tetapi pada masalah substansi. Spinoza dan Leibniz sama-sama menerima prinsip Cartesian tentang ide-ide yang jelas dan penentu sebagai dasar untuk penelitian filosofis mereka; mereka kemudian beralih ke hal-hal yang lebih penting seperti hubungan tubuh individu satu dengan yang lain dan dengan keseluruhan Alam, makna hukum, kemungkinan adanya tujuan sebagai faktor momen universal, realitas Tuhan dan atribut-atribut eksplisit-Nya seperti perluasan dan pemikiran.”
“Adalah mungkin, seperti yang diakui semua orang kecuali Positivis Logika, untuk menguji ide-ide tertentu yang tidak memiliki realitas yang dapat dibayangkan dalam batasan fenomena fisik. Namun berkenaan dengan ide saat ini, penting bagi kita untuk dapat menilai nilai bukti-bukti historis, berdasarkan hukum-hukum pengalaman manusia yang telah ditetapkan, seperti yang telah kita bahas. Dengan demikian, Hume merujuk pada semua argumen tradisional, gagasan tentang Tuhan dalam pikiran, Penyebab tatanan alam, bukti rancangan, dan perlunya sanksi moral. Dua yang pertama ditolaknya, yang ketiga diterimanya secara prinsip tetapi terhenti pada upaya manusia untuk menemukan contoh-contoh yang tidak dapat dibantah, dan yang terakhir diterimanya secara tentatif, meskipun dengan reservasi teknis.”
Gagasan dalam pikiran manusia muncul berdasar pengalaman menurut Hume. Sehingga, gagasan tentang Tuhan muncul seiring kedewasaan seorang manusia. Apakah AI, akhirnya, akan memiliki gagasan tentang Tuhan? Apakah AI memahami bahwa keindahan alam ini adalah manifestasi dari Tuhan Maha Indah? Apakah AI membantu manusia untuk memahami rancangan alam yang menakjubkan? Apakah AI menguatkan nilai-nilai moral? Hume mengajukan beragam pertanyaan besar. Apakah AI membantu untuk menjawab pertanyaan besar itu?
11. Idealisme Transendental dari Kant
“The test for Immanuel Kant came shortly after his matriculation as a
student at the University of Koenigsberg. It was candidly admitted by
him that the instruction received in the home under the care of a pious mother and at the preparatory school founded by the Pietistic brothers came into sharp conflict with the broader views of philosophy and science entertained by the member s of the learned faculty.
Pietism sponsored by Spener and Francke was a revolt against the didactic orthodoxy of the Lutheran communion. Th e Reformation in upper Germany had rejected the caste system of the Roman clergy, together with its elaborate symbolism in sacrament and ritual, and fixed its attention upon a coordinated set of dogmas to which all the faithful must subscribe. The defenders of this dogmatic structure were the ordained ministers of the church, and these were supported by the civil authorities whose sanctions might be called upon to preserve the purity of doctrine. Kant himself was to feel the weight of political pressure in the latter part of his life.” (Dunham, 1947).
“The first problem to be settled was the method of procedure. Two
avenues were open to him, either he could accept the Object of supreme homage as a necessary reality, which was the usual manner of the theologian, or assuming the presence in the human mind of the idea of God, he would take pains to marshall the evidence furnished by logic and psychology, together with the testimony of the natural sciences, in a formal and persistent attempt to establish the existence of an unconditioned Being.
The former method had been adopted by Spinoza, although he was careful to organize into a logical unity the attributes which could belong only to such a Being. The Kantian approach was simpler; he took for granted that there was good ground for examining the question as a serious problem in philosophy. As early as 1763 he published a small volume in which the subject was discussed under the title: The only possible argument for the existence of God, the last sentence in the book being his apology for undertaking the task: “It is essential that we should be convinced of God’s existence but not so essential that we should prove it.” It may be noted here that the question of the reality of God was a matter of personal concern at this period in his life.”
“Ujian bagi Immanuel Kant datang tak lama setelah ia menjadi mahasiswa Universitas Koenigsberg. Ia mengakui dengan jujur bahwa pengajaran yang diterima di rumah di bawah asuhan seorang ibu yang saleh dan di sekolah persiapan yang didirikan oleh saudara-saudara Pietis bertentangan tajam dengan pandangan yang lebih luas tentang filsafat dan sains yang dianut oleh para anggota fakultas terpelajar.
Pietisme yang disponsori oleh Spener dan Francke merupakan pemberontakan terhadap ortodoksi didaktik dari persekutuan Lutheran. Reformasi di Jerman bagian atas telah menolak sistem kasta pendeta Romawi, bersama dengan simbolismenya yang rumit dalam sakramen dan ritual, dan memusatkan perhatiannya pada seperangkat dogma yang terkoordinasi yang harus dianut oleh semua umat beriman. Para pembela struktur dogmatis ini adalah para pendeta gereja yang ditahbiskan, dan mereka didukung oleh otoritas sipil yang sanksinya dapat diminta untuk menjaga kemurnian doktrin. Kant sendiri merasakan beratnya tekanan politik di bagian akhir hidupnya.”
“Masalah pertama yang harus diselesaikan adalah metode prosedur. Dua jalan terbuka baginya, yaitu menerima Objek penghormatan tertinggi sebagai realitas yang diperlukan, yang merupakan cara yang biasa dilakukan teolog, atau dengan mengasumsikan adanya gagasan tentang Tuhan dalam pikiran manusia, ia akan bersusah payah menyusun bukti yang diberikan oleh logika dan psikologi, bersama dengan kesaksian ilmu pengetahuan alam, dalam upaya formal dan terus-menerus untuk menetapkan keberadaan Wujud yang tidak bersyarat.
Metode pertama telah diadopsi oleh Spinoza, meskipun ia berhati-hati untuk mengatur ke dalam kesatuan logis atribut-atribut yang hanya dapat dimiliki oleh Wujud tersebut. Pendekatan Kant lebih sederhana; ia menganggap bahwa ada dasar yang baik untuk memeriksa pertanyaan tersebut sebagai masalah serius dalam filsafat. Sejak tahun 1763 ia menerbitkan sebuah buku kecil yang membahas subjek tersebut dengan judul: Satu-satunya argumen yang mungkin untuk keberadaan Tuhan, kalimat terakhir dalam buku tersebut merupakan permintaan maafnya karena melakukan tugas tersebut: “Sangat penting bagi kita untuk yakin akan keberadaan Tuhan tetapi tidak begitu penting sehingga kita harus membuktikannya.” Perlu dicatat di sini bahwa pertanyaan tentang realitas Tuhan merupakan masalah perhatian pribadinya pada periode ini dalam hidupnya.”
Bagaimana AI meyakini eksistensi Tuhan? Apakah AI mengikuti Spinoza dengan menerima eksistensi Tuhan kemudian mengkajinya secara teliti? Atau AI mengikuti Kant yaitu menerima eksistensi Tuhan dengan yakin? Meski untuk membuktikan keyakinan ini adalah urusan yang berbeda? Selanjutnya, Kant mengembangkan idealisme transendental yaitu setiap pengetahuan manusia memiliki basis apriori yaitu sistem transendental; yang membentuk sintesa dengan dengan data empiris. Apakah AI memiliki idealisme transendental?
12. Positivisme Melingkar dari Comte
“” WE TIRE of thinking and even of acting; we never _tire of loving.” With these sententious words Comte begins the second of his major works on the philosophy of Positivism. Hi s purpose is to release the social mind from dependence on the concepts of pure speculation. H e feels himself destined by nature to neutralize the baleful influence of the critical theories of Immanue l Kant and his successors. He resents strongly the influence of German thought upon the moral and political posture of eminent Europeans. Ye t like Kant he returned for his intellectual progenitor to David Hume , the British Empiricist.
With Hume he affirms that the supreme experiences of life are imbedded in conduct, one of the governing motives of which is the desire for happiness. Hence, the test of all virtue is the utility of moral action, and the only possible rational ground for proving the existence of Deity lies in man’s capacity to produce virtuous and therefore satisfactory conduct. Comte disputes in part the latter proposition
but agrees that it is impossible to conceive of a true society without a
balance of feeling on the side of pleasure.” (Dunham, 1947).
“”KITA LELAH berpikir dan bahkan bertindak; kita tidak pernah lelah mencintai.” Dengan kata-kata yang penuh makna ini Comte memulai karya utamanya yang kedua tentang filsafat Positivisme. Tujuannya adalah untuk membebaskan pikiran sosial dari ketergantungan pada konsep-konsep spekulasi murni. Ia merasa dirinya ditakdirkan oleh alam untuk menetralkan pengaruh buruk dari teori-teori kritis Immanuel Kant dan para penerusnya. Ia sangat membenci pengaruh pemikiran Jerman terhadap sikap moral dan politik orang-orang Eropa terkemuka. Namun seperti Kant, ia kembali kepada leluhur intelektualnya, David Hume, seorang Empirisis Inggris.
Dengan Hume, ia menegaskan bahwa pengalaman hidup yang tertinggi tertanam dalam perilaku, yang salah satu motif yang mengaturnya adalah keinginan untuk bahagia. Oleh karena itu, ujian dari semua kebajikan adalah kegunaan tindakan moral, dan satu-satunya dasar rasional yang mungkin untuk membuktikan keberadaan Ketuhanan terletak pada kapasitas manusia untuk menghasilkan perilaku yang berbudi luhur dan karenanya memuaskan. Comte membantah sebagian proposisi terakhir, tetapi setuju bahwa mustahil untuk membayangkan masyarakat sejati tanpa keseimbangan perasaan di sisi kesenangan.”
“Positivism may be defined as the “religion of humanity,” the “substitution of the permanent government of humanity for the provisional government of God.” The word positivism has no relation to the ordinary use of the term in distinguishing positive religions from natural or ethnic faiths. The former refers to Christianity, the latter to Hindu religious forms. The element of supernaturalism which is essential to positive religions, is absent from Comte’s list of properties. In his theory the affairs of the world, whether in politics or religion, are in the hands of men directly, not of beings constructed in the likeness of men and temporarily endowed with human attributes. The scheme of faith proposed by him is strictly natural, being traceable to the empirical tendencies of European thought for nearly three hundred years. It therefore possesses an authority that the word of a single person or the uncritical habits of a race cannot
by themselves set up.”
“Positivisme dapat didefinisikan sebagai “agama manusia,” “penggantian pemerintahan permanen manusia untuk pemerintahan sementara Tuhan.” Kata positivisme tidak ada hubungannya dengan penggunaan istilah yang biasa dalam membedakan agama positif dari kepercayaan alamiah atau etnis. Yang pertama mengacu pada agama Kristen, yang terakhir mengacu pada bentuk-bentuk agama Hindu. Elemen supernaturalisme yang penting bagi agama positif, tidak ada dalam daftar sifat-sifat Comte. Dalam teorinya, urusan dunia, baik dalam politik maupun agama, berada di tangan manusia secara langsung, bukan makhluk yang dibangun dalam rupa manusia dan untuk sementara diberkahi dengan sifat-sifat manusia. Skema kepercayaan yang diusulkan olehnya benar-benar alamiah, yang dapat ditelusuri ke kecenderungan empiris pemikiran Eropa selama hampir tiga ratus tahun. Oleh karena itu, ia memiliki otoritas yang tidak dapat dibangun oleh perkataan satu orang atau kebiasaan-kebiasaan yang tidak kritis dari suatu ras.”
Positivisme Comte bersifat melingkar tidak hanya satu arah. Comte muda meyakini bahwa sains adalah penentu kebenaran akhir atas segala fenomena; melebihi metafisika mau pun agama. Comte dewasa justru secara positif menegaskan bahwa agama adalah paling utama; atau positivisme menjadi melingkar antara agama, metafisika, dan sains. Apakah AI mampu berpikir melingkar sebagaimana positivisme Comte? Apakah AI mengalami momen-momen penting dalam mengalami proses beragama?
13. Candu Agama dari Marx
“Mention of such things as ideology and superstructure brings us at last to the sphere of religion, where by now Marx’s basic view should hardly come as a surprise. There are, in truth, few subjects on which he is as brief or as blunt. Religion, he says, is pure illusion. Worse, it is an illusion with most definitely evil consequences. It is the most extreme example of ideology, of a belief system whose chief purpose is simply to provide reasons—excuses, really— for keeping things in society just the way the oppressors like them.
As a matter of fact, religion is so fully determined by economics that it is pointless to consider any of its doctrines or beliefs on their own merits. These doctrines differ from one religion to the next, to be sure, but because religion is always ideological, the specific form it takes in one society or another is in the end largely dependent on one thing: the shape of social life as determined by the material forces in control of it at any given place and time. Marx asserts that belief in a god or gods is an unhappy byproduct of the class struggle, something that should not just be dismissed, but dismissed with scorn. In fact, no thinker considered in this book—not even Freud—discusses religion in quite the same mood of sarcastic contempt as that of Marx.” (Pals, 2015).
“Penyebutan hal-hal seperti ideologi dan suprastruktur akhirnya membawa kita ke ranah agama, di mana pandangan dasar Marx seharusnya sudah tidak mengejutkan lagi. Sebenarnya, hanya sedikit subjek yang dibahasnya secara singkat atau lugas. Agama, katanya, adalah ilusi murni. Lebih buruk lagi, agama adalah ilusi dengan konsekuensi yang sangat buruk. Agama adalah contoh ideologi yang paling ekstrem, sistem kepercayaan yang tujuan utamanya hanyalah memberikan alasan—maaf, sebenarnya—untuk mempertahankan hal-hal dalam masyarakat seperti yang diinginkan para penindas.
Faktanya, agama sepenuhnya ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak ada gunanya untuk mempertimbangkan doktrin atau kepercayaannya berdasarkan manfaatnya sendiri. Doktrin-doktrin ini berbeda dari satu agama ke agama lainnya, tentu saja, tetapi karena agama selalu bersifat ideologis, bentuk spesifiknya dalam satu masyarakat atau masyarakat lain pada akhirnya sangat bergantung pada satu hal: bentuk kehidupan sosial sebagaimana ditentukan oleh kekuatan material yang mengendalikannya di tempat dan waktu tertentu. Marx menegaskan bahwa kepercayaan kepada satu atau beberapa tuhan merupakan hasil sampingan yang tidak menyenangkan dari perjuangan kelas, sesuatu yang tidak boleh begitu saja ditolak, tetapi ditolak dengan hinaan. Faktanya, tidak ada pemikir yang dibahas dalam buku ini—bahkan Freud—yang membahas agama dengan suasana penghinaan sarkastik yang sama seperti yang dilakukan Marx.”
Kritik Marx kepada agama terasa pedas karena Marx menyamakan agama sebagai ideologi. Bagi Marx, ideologi termasuk agama adalah ilusi. Suatu ilusi yang diciptakan kelas kuat untuk menindas kelas lemah. Apakah AI juga sebuah ilusi? Apakah AI berdampak penindasan pihak kuat terhadap pihak lemah? Atau, apakah kritik Marx terhadap agama, ideologi, dan AI bisa ada solusi?
14. Kesadaran Tersembunyi dari Freud
“Freud struggled long and hard to determine just what were the most basic human drives and to describe how they Operated. At first he thought there were only the “ego instinct,” represented by hunger, and the libido (the Latin word for “desire”), which represented sexuality. Later on he spoke of both of these as forms of one drive he called eros (the Greek for “love”) and suggested an opposite drive, aggression, as the other. Later still, and without discarding the idea of aggression, he settled upon eros as the drive to continue life and thanatos (the Greek for “death”) as the drive to end it.
Whatever the labels, the fundamental thing about the drives is the idea of conflict, of struggle that takes place both among the drives and between the drives and the outside world. This idea of an unavoidable tension at the center of the self is what led Freud to come up with perhaps the best known of all his concepts—the threefold division of the human personality into the ego (Latin for “1”), the superego (Latin for the “I above”), and the id (Latin for “it”).” (Pals. 2015).
“Freud berjuang keras dan lama untuk menentukan apa saja dorongan manusia yang paling mendasar dan untuk menjelaskan bagaimana dorongan tersebut bekerja. Awalnya, ia mengira hanya ada “naluri ego,” yang diwakili oleh rasa lapar, dan libido (istilah Latin untuk “hasrat”), yang mewakili seksualitas. Kemudian, ia berbicara tentang keduanya sebagai bentuk dari satu dorongan yang ia sebut eros (bahasa Yunani untuk “cinta”) dan mengusulkan dorongan yang berlawanan, agresi, sebagai dorongan lainnya. Kemudian, dan tanpa membuang gagasan agresi, ia menetapkan eros sebagai dorongan untuk melanjutkan hidup dan thanatos (bahasa Yunani untuk “kematian”) sebagai dorongan untuk mengakhirinya.
Apa pun labelnya, hal mendasar tentang dorongan adalah gagasan tentang konflik, tentang perjuangan yang terjadi baik di antara dorongan maupun antara dorongan dan dunia luar. Gagasan tentang ketegangan yang tak terelakkan di pusat diri inilah yang mendorong Freud untuk memunculkan konsep yang mungkin paling terkenal dari semuanya—pembagian tiga kepribadian manusia menjadi ego (bahasa Latin untuk “I”), superego (bahasa Latin untuk “aku di atas”), dan id (bahasa Latin untuk “itu”).”
“Freud, by contrast, is quite sure that religious ideas do not come from the Judeo-Christian God or other gods, for gods do not exist. Nor do religious teachings arise from the sort of sound thinking about the world that normally leads to truth. Like Tylor and Frazer, he is certain that religious beliefs are superstitions. At the same time, he
notes that they are interesting superstitions, which raise important questions about human nature. Why, if they are so obviously false, do so many people persist in holding these beliefs, and with such deep conviction? If religion is not rational, how do people acquire it? And why do they keep to it?”
“Sebaliknya, Freud cukup yakin bahwa ide-ide keagamaan tidak berasal dari Tuhan Yahudi-Kristen atau dewa-dewa lain, karena dewa-dewa tidak ada. Ajaran-ajaran agama juga tidak muncul dari jenis pemikiran yang sehat tentang dunia yang biasanya mengarah pada kebenaran. Seperti Tylor dan Frazer, ia yakin bahwa kepercayaan agama adalah takhayul. Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa itu adalah takhayul yang menarik, yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang sifat manusia. Mengapa, jika itu jelas-jelas salah, begitu banyak orang tetap memegang kepercayaan ini, dan dengan keyakinan yang begitu dalam? Jika agama tidak rasional, bagaimana orang-orang memperolehnya? Dan mengapa mereka tetap berpegang teguh pada itu?”
Freud menganggap agama sebagai takhayul berupa ilusi neurosis yang obsesif; merupakan sakit jiwa yang parah. Apakah AI juga merupakan suatu takhayul? Karena AI sering halusinasi maka apakah AI itu hanya ilusi? Mengapa orang-orang banyak yang percaya kepada halusinasi AI? Bahkan, ketika AI itu sendiri tidak terjamin rasional. Adakah solusi yang lebih baik?
15. Pesona Semesta dari Weber
“Weber begins by noticing, as had others, an odd fact of life in modern
Germany: in proportion to their numbers, Protestants were much better represented than Catholics among the class of business leaders, capital investors, and skilled corporate managers. To account for this fact, some had suggested that perhaps Catholics are just more spiritually inclined people, while Protestants tend to be more materialistic. Such explanations, says Weber, will not satisfy anyone who intimately knows Protestant attitudes, both past and present. If we look closely at their history, we see that the most successful of these enterprising Protestant businessmen have often also been the most intensely religious, keeping diaries that carefully recorded their daily efforts to follow the will of God in their lives. If anything, we could better suppose that something in the religiosity itself of these Protestants is what urged them toward serious enterprise in business. So inquiry can better begin with Protestantism’s founders: Martin Luther in Germany and the French theologian John Calvin in Switzerland.” (Pals, 2015).
“Weber mulai dengan memperhatikan, seperti yang dilakukan orang lain, fakta aneh kehidupan di Jerman modern: jika dibandingkan dengan jumlah mereka, kaum Protestan jauh lebih terwakili daripada kaum Katolik di antara golongan pemimpin bisnis, investor modal, dan manajer perusahaan yang terampil. Untuk menjelaskan fakta ini, beberapa orang berpendapat bahwa mungkin kaum Katolik hanyalah orang-orang yang lebih cenderung spiritual, sementara kaum Protestan cenderung lebih materialistis. Penjelasan seperti itu, kata Weber, tidak akan memuaskan siapa pun yang benar-benar memahami sikap kaum Protestan, baik di masa lalu maupun masa kini. Jika kita mencermati sejarah mereka, kita melihat bahwa para pengusaha Protestan yang paling sukses dan giat ini sering kali juga merupakan orang-orang yang paling religius, yang membuat catatan harian yang dengan cermat mencatat upaya mereka sehari-hari untuk mengikuti kehendak Tuhan dalam hidup mereka. Jika ada, kita dapat lebih baik berasumsi bahwa sesuatu dalam religiusitas kaum Protestan itu sendirilah yang mendorong mereka untuk berbisnis dengan serius. Jadi, penyelidikan dapat dimulai dengan para pendiri Protestan: Martin Luther di Jerman dan teolog Prancis John Calvin di Swiss.”
“Luther’s idea of a “secular calling” offers a start in understanding Protestant energy and success in business, but only that; it does not explain how a particular kind of economic activity seems to have predominated. Protestants chose a distinctive lifestyle marked not only by habits of discipline, thrift, simplicity, and self-denial, but also by a systematic lifelong pattern of effort in enterprises designed to earn a profit. Moreover, it is just this kind of endeavor, whose sole motive is the orderly and incremental increase of wealth, that expresses the frame of mind we associate with the modern, and uniquely Western, economic phenomenon of capitalism. Is there, then, a connection?”
“Gagasan Luther tentang “panggilan sekuler” menawarkan awal dalam memahami energi dan keberhasilan Protestan dalam berbisnis, tetapi hanya itu; gagasan itu tidak menjelaskan bagaimana jenis aktivitas ekonomi tertentu tampaknya mendominasi. Kaum Protestan memilih gaya hidup khas yang ditandai tidak hanya oleh kebiasaan disiplin, hemat, kesederhanaan, dan penyangkalan diri, tetapi juga oleh pola usaha seumur hidup yang sistematis dalam perusahaan yang dirancang untuk mendapatkan keuntungan. Lebih jauh, usaha semacam inilah, yang satu-satunya motifnya adalah peningkatan kekayaan yang teratur dan bertahap, yang mengekspresikan kerangka berpikir yang kita kaitkan dengan fenomena ekonomi kapitalisme modern dan unik di Barat. Jadi, apakah ada hubungannya?”
“Here we should recall Weber’s ideal-type depicting the disenchantment of the world. The medieval church was a nursery of the supernatural. Relics, pilgrimages and indulgences, stained glass and sculpture, the wonders of the martyrs and saints, priestly absolution dispensed in the confessional, the miracle of the wafer and wine turned to Christ’s body and blood in the Mass—all of these formed a vast supernatural support system that mediated God’s forgiveness to the simplest believer.
To Luther and Calvin, conversely, this entire system was little more than a mass of Satanic superstition. They systematically reduced it to rubble. Consequently, the ordinary Protestant was left without the usual mechanisms to reassure the soul or channel divine love to the heart. They felt instead only the deep inner anxiety of the individual soul, alone in fear before a God who in sovereign mystery decides the destiny of all. This keen personal anxiety was so troubling that Calvinist pastors in later generations groped for a way to offer at least some reassurance. They counseled their congregations to live in the world as true faith requires—soberly, frugally, and with discipline, offering themselves up wholly to God through hard work as his servants in their worldly tasks. If they so lived, they could be reasonably expected to prosper, and prosperity amid simplicity could be taken as the sign of election.”
“Di sini kita harus mengingat tipe ideal Weber yang menggambarkan kekecewaan dunia. Gereja abad pertengahan adalah tempat pembibitan hal-hal supernatural. Relikwi, ziarah dan pengampunan dosa, kaca patri dan patung, keajaiban para martir dan orang suci, pengampunan dosa dari imam yang diberikan di kamar pengakuan dosa, mukjizat roti dan anggur yang diubah menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Misa—semua ini membentuk sistem pendukung supernatural yang luas yang memediasi pengampunan Tuhan kepada orang percaya yang paling sederhana.
Sebaliknya, bagi Luther dan Calvin, seluruh sistem ini tidak lebih dari sekadar kumpulan takhayul Setan. Mereka secara sistematis menghancurkannya menjadi puing-puing. Akibatnya, orang Protestan biasa dibiarkan tanpa mekanisme yang biasa untuk meyakinkan jiwa atau menyalurkan cinta ilahi ke dalam hati. Sebaliknya, mereka hanya merasakan kecemasan batin yang mendalam dari jiwa individu, sendirian dalam ketakutan di hadapan Tuhan yang dalam misteri kedaulatan memutuskan takdir semua orang. Kecemasan pribadi yang tajam ini begitu meresahkan sehingga para pendeta Calvinis di generasi selanjutnya meraba-raba mencari cara untuk menawarkan setidaknya sedikit kepastian. Mereka menasihati jemaat mereka untuk hidup di dunia sebagaimana yang dituntut oleh iman sejati—dengan tenang, hemat, dan disiplin, mempersembahkan diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan melalui kerja keras sebagai hamba-Nya dalam tugas-tugas duniawi mereka. Jika mereka hidup seperti itu, mereka dapat diharapkan untuk menjadi makmur, dan kemakmuran di tengah kesederhanaan dapat dianggap sebagai tanda pemilihan.”
Agama di era pertengahan mengutamakan takhayul sebagai supernatural. Mereka memuja dunia luar bagai pesona supernatural. Weber melihat perubahan di era modern bahwa pesona menjadi ada dalam diri setiap manusia: hidup sederhana, kerja keras, rasional, ibadah, tenang, disiplin, dan makmur pada waktunya.
Apakah AI akan menjadi pesona yang nyata? Ataukah, AI sekadar takhayul belaka? AI menunjukkan pesona dengan menciptakan orang-orang makmur baru bahkan super makmur: apakah makmur bagi semua orang yaitu adil makmur?
C. Narasi Serasi Era Kontemporer
16. Sekularisasi Berpuisi Kembali dari Taylor
“If this kind of prosperity was central to the American way of life, so was religion. For it could be seen as following God’s design, and America as a nation was especially founded to realize this design. The three sides of this triangle mutually supported each other: the family was the matrix in which the young were brought up to be good citizens and believing worshippers; religion was the source of the values that animated both family and society; and the state was the realization and bulwark of the values central to both family and churches. And this was all the more starkly underlined by the fact that American freedom needed to defend itself against “Godless Communism”. It was no wonder that the residents of the new Chicago suburb, Elmhurst, crowned their community-building achievements in the erection of a new church, Elmhurst Presbyterian. This was seen as a central part of what was involved in building their new life.” (Taylor, 2007).
“Jika kemakmuran semacam ini merupakan inti dari cara hidup orang Amerika, maka agama juga demikian. Karena dapat dilihat sebagai bentuk mengikuti rancangan Tuhan, dan Amerika sebagai sebuah negara secara khusus didirikan untuk mewujudkan rancangan ini. Ketiga sisi segitiga ini saling mendukung: (1) keluarga adalah matriks tempat kaum muda dibesarkan untuk menjadi warga negara yang baik dan penyembah yang beriman; (2) agama adalah sumber nilai-nilai yang menggerakkan keluarga dan masyarakat; dan (3) negara adalah perwujudan dan benteng nilai-nilai yang menjadi inti dari keluarga dan gereja. Dan ini semakin ditegaskan oleh fakta bahwa kebebasan Amerika perlu mempertahankan diri terhadap “Komunisme yang Tidak Bertuhan”. Tidak mengherankan bahwa penduduk pinggiran kota Chicago yang baru, Elmhurst, memahkotai pencapaian pembangunan komunitas mereka dengan mendirikan gereja baru, Elmhurst Presbyterian. Ini dilihat sebagai bagian utama dari apa yang terlibat dalam membangun kehidupan baru mereka.”
Kehidupan abad 21 yang diduga sekular tetap membutuhkan agama dalam segitiga emas: (1) keluarga; (2) agama; dan (3) negara. Bagaimana peran AI di abad 21 ini? Apakah AI menguatkan keluarga, menguatkan agama, dan menguatkan negara?
17. Integralisme dari Mahzar Singler
“Jika postmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme, Integralisme dapat dipandang sebagai kritik terhadap postmodernisme yang setengah matang. Integralisme bukanlah suatu paham yang menolak tradisionalisme pramodern seperti modernisme dan Integralisme juga tidak menolak modernitas seperti yang diajukan oleh postmodernisme.
Integralisme justru ingin mengintegrasikan pramodernisme, modernisme, dan postmodernisme dalam satu konsep yang memayungi ketiganya. Konsep itu adalah konsep evolusi ruhaniah. Bagi kaum integralis, seperti kaum romantis pada abad ke-19, sejarah manusia adalah ekspresi Ruh di muka bumi.” (Mahzar, 2004).
“The first part categorises the entanglements and relationships between religion and AI into three broad types: rejection, adoption, and adaptation. This typology is used to order specific case studies but does not necessarily imply that there is no overlap within these categories and no possibility of a shift from one to the other in the relationships between religion and AI. No single religion is bound to one type of interaction and may demonstrate moments of all three. These types are introduced to make clear the tensions, affinities, and shaping effects that occur when religion and AI engage with each other.
The second part of the book looks at transhumanism, AI NRMs, and posthumanism as further spaces and communities in which religion and AI have been entangled with each other. Once again, the rejection-adoption-adaptation scheme will make appearances in attempts to explain these forms – both in their historical setting and in how they are expressed in modern society.” (Singler, 2025).
“Bagian pertama mengkategorikan keterikatan dan hubungan antara agama dan AI ke dalam tiga jenis besar: penolakan, adopsi, dan adaptasi. Tipologi ini digunakan untuk mengurutkan studi kasus tertentu tetapi tidak serta merta menyiratkan bahwa tidak ada tumpang tindih dalam kategori ini dan tidak ada kemungkinan pergeseran dari satu ke yang lain dalam hubungan antara agama dan AI. Tidak ada satu agama pun yang terikat pada satu jenis interaksi dan dapat menunjukkan momen dari ketiganya. Jenis-jenis ini diperkenalkan untuk memperjelas ketegangan, kedekatan, dan efek pembentukan yang terjadi ketika agama dan AI terlibat satu sama lain.
Bagian kedua buku ini membahas transhumanisme, NRM AI, dan posthumanisme sebagai ruang dan komunitas lebih lanjut di mana agama dan AI telah terjerat satu sama lain. Sekali lagi, skema penolakan-adopsi-adaptasi akan muncul dalam upaya untuk menjelaskan bentuk-bentuk ini – baik dalam latar historisnya maupun dalam cara mereka diekspresikan dalam masyarakat modern.”
Bagaimana pengaruh AI kepada agama dan sebaliknya? Menariknya, Singler memberi contoh-contoh konkret relasi AI dengan agama-agama besar dunia: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain. Sikap Singler yang terbuka terhadap keragaman ini selaras dengan integralisme Mahzar.
18. Dahulukan Akhlak dari Rakhmat
“Nah, paradigma yang saya promosikan adalah paradigma akhlak. Dalam paradigma kedua ini, manusia selalu diukur dari kemuliaan akhlak, kontribusinya terhadap kehidupan sosial, dan pemihakannya pada keadilan. Itulah paradigma akhlak. Menurut saya, paradigma ini lebih bersih dari manipulasi pemikiran. Paradigma akidah bisa ditafsirkan macam-macam. Misalnya, ziarah kubur itu menurut sebagian orang musyrik. Tawâshul dan tabarruk juga dianggap kemusyrikan. Begitulah paradigma akidah. Akibat lanjut paradigma ini, kalau betul-betul konsisten diterapkan—untungnya, kebanyakan tidak konsisten—bisa menjurus pada perpecahan luar biasa di kalangan umat Islam.” (Rakhmat, 2015).
Bagaimana bila dipaksa harus memilih salah satu antara akhlak atau fikih?
“Dulu saya selalu menjawab soal ini dengan cara mengelak. Saya katakan, yang baik ialah yang salat dan akhlaknya bagus. Tapi jawaban itu tidak jujur, karena pilihannya hanya dua: (a) salatnya baik, tapi berakhlak buruk; (b) salatnya buruk, tapi akhlaknya baik. Jadi tidak ada pilihan (c) yang salat dan akhlaknya baik di situ. Kalau jawaban berkelit itu saya berikan dalam ujian, jelas saya tidak lulus, karena memang tidak ada dalam kategori.
Karena itu, sekarang saya akan menjawab: lebih baik yang akhlaknya bagus sekalipun salatnya buruk, ketimbang salatnya bagus tapi akhlaknya buruk. Dalilnya: satu, karena sebaik apapun salat kita akan terhapus pahalanya oleh akhlak yang buruk. Haji juga begitu. Sekalipun ia dijalankan sebaik-baiknya, malah mungkin setiap tahun, kalau di dalam pelaksanaannya ada rafats, fusûq, dan jidâl, hajinya tidak sah. “Faman faradla fî hinnalhajja falâ rafatsa walâ fusûqa walâ jidâla fil hajj,“ Itu dalil Alqur’annya.” (Rakhmat, 2015).
Apakah AI mendahulukan akhlak? Atau kah AI mendahulukan kepentingan tertentu, misal kepentingan ekonomi? Apakah AI mendorong manusia untuk mendahulukan akhlak?
19. Eksistensi Futuristik dari Nggermanto
“Visi adalah cahaya terang. Futuristik adalah masa depan cemerlang. Keduanya, visi dan futuristik, adalah jalan panjang bagi umat manusia dan alam raya menggapai cita meski banyak halangan.
Kita sudah terbiasa menggunakan kata visi untuk menggambarkan pandangan masa depan yang kita idamkan. Visi berbeda dengan fiksi. Visi adalah nyata atau diharapkan menjadi nyata. Sedangkan fiksi bebas-bebas saja; bisa menjadi nyata atau khayal selamanya. Kita membutuhkan mereka: visi dan fiksi.
Futuristik adalah bersifat masa depan. Kita sadar bahwa futuristik adalah nyata bukan sekedar khayal belaka. Kabar baiknya, masa depan adalah posibilitas luas. Kita bisa memilih posibilitas apa saja dengan bebas. Tentu saja, pilihan itu menuntut kita bersikap komitmen serta ikhlas. Masa depan itu terus-menerus menarik diri kita untuk mendekatinya. Anda yang sudah menetapkan kebaikan masa depan maka termasuk beruntung. Karena kebaikan itu akan memanggil hati kecil Anda. Sementara, bila Anda belum menetapkan kebaikan masa depan maka segeralah tetapkan kebaikan itu. Masih ada waktu untuk menuju kebaikan masa depan.” (Nggermanto, 2025).
Apakah AI menguatkan visi futuristik bagi semesta? Apakah AI menguatkan komitmen untuk meraih masa depan terbaik untuk kepentingan bersama? Apakah AI menguatkan visi untuk melihat masa depan cemerlang? Ataukah AI justru berselimut halusinasi dalam rangkaian narasi fiksi? Bagaimana kita, seluruh umat manusia, bisa bergandeng tangan dengan AI untuk meraih visi futuristik terbaik?
Epilog
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar