Apa yang Disebut Berpikir?

What is Called Thinking?

Manusia adalah makhluk yang berpikir. Tapi “Apa yang Disebut Berpikir?” Kita bertanya tentang kita. Kita pula yang akan menjawabnya. Apa makna kata berpikir? Apa makna berpikir sepanjang sejarah filsafat, hikmah, dan sains teknologi? Apa yang dibutuhkan agar bisa berpikir? Apa atau siapa yang memanggil kita untuk berpikir?

1. Pemanggil
1.1 Permainan oleh Bahasa
1.2 Memberi Nama
1.3 Rumusan Pertanyaan
1.4 Vitamin Pikiran
2. Makna Kata Berpikir
2.1 Bukan Alat atau Ekspresi
2.2 Bukan Botol Tapi Sumber Air
3. Sejarah
4. Kebutuhan untuk Berpikir
5. Diskusi
5.1 Jawaban Berpikir
5.2 Apakah AI Bisa Berpikir?
5.3 Apakah AI akan Melampaui Manusia?

Kutipan-kutipan berikut bersumber pada “What is Called Thinking?” karya Heidegger; kecuali disebut lain.

1. Pemanggil

Memanggil adalah bermakna mengajak untuk datang; untuk hadir. Siapa yang memanggil untuk berpikir? Siapa yang dipanggil untuk berpikir? Siapa yang memanggil dengan merdu?

“To call means: to call into arrival and presence; to address commendingly.

Accordingly, when we hear our question “What is called thinking?” in the sense that it asks, What is it that appeals to us to think?, we then are asking: What is it that enjoins our nature to think, and thus lets our nature reach thought, arrive in thinking, there to keep it safe?”

Dalam konteks ini, ‘memanggil’ berarti mengajak sesuatu untuk hadir atau menampakkan diri, dan juga bisa berarti memanggil atau menyapa dengan penuh penghargaan.

Dengan pemahaman ini, ketika kita mengajukan pertanyaan “Apa yang disebut berpikir?”, yang sebenarnya kita tanyakan adalah: Apa yang menarik atau mendorong kita untuk berpikir? Lebih jauh lagi, kita bertanya: Apa yang memerintahkan fitrah atau kodrat kita untuk berpikir, sehingga memungkinkan fitrah tersebut mencapai pemahaman, hadir dalam proses berpikir, dan menjaganya tetap aman di sana?

1.1 Permainan oleh Bahasa

Wittgenstein terkenal dengan konsep language-game (permainan bahasa). Sementara, Heidegger mengenalkan konsep game-of-language (permainan oleh bahasa). Keduanya mirip tetapi ada beda tipis atau malah tajam.

Dalam situasi ini kita berada dalam permainan oleh bahasa; bukan kita sedang bermain kata; bukan bermain bahasa; bukan language-game. Sehingga, kita perlu mencermati bahasa; mencermati game-of-language.

“Is it playing with words when we attempt to give heed to this game of language and to hear what language really says when it speaks? If we succeed in hearing that, then it may happen – provided we proceed carefully – that we get more truly to the matter that is expressed in any telling and asking.

We give heed to the real signification of the word “to call,” and accordingly ask our question, “What does thinking call for?” in this way: what is it that directs us into thinking, that calls on us to think? But after all, the word “to call” means also, and commonly, to give a name to something. The current meaning of the word cannot simply be pushed aside in favor of the rare one, even though the rare signification may still be the real one.” (119).

Tugas kita adalah mengenali, memperhatikan, dan mendengarkan permainan oleh bahasa. Ketika kita memahami permainan oleh bahasa ini maka kita lebih memahami kebenaran. Apakah permainan oleh bahasa itu bersifat eksak seperti matematika? Atau bersifat bebas seperti mengarang novel? Ataukah ada aturan dan kebebasan seperti menulis sajak puisi?

1.2 Memberi Nama

Kita dipanggil secara merdu untuk berpikir; yaitu berpikir untuk memberi nama kepada segala sesuatu; berupa nama-nama indah; menamainya segalanya. Masing-masing diri kita punya nama; hadiah terindah dari orang tua dan keluarga; dan nama kita itu menjadi kata paling penuh makna ketika kita mendengar panggilan namanya.

Menamai adalah menyebut, memanggil, untuk datang hadir.

“To name something-that is to call it by name. More fundamentally, to name is to call and clothe something with a word. What is so called, is then at the call of the word. ‘What is called appears as what is present, and in its presence it is brought into the keeping, it is commanded, called into the calling word. So called by name, called into a presence, it in turn calls. It is named, has the name. By naming, we call on what is present to arrive. Arrive where? That remains to be thought about. In any case, all naming and all being named is the familiar “to call” only because naming itself consists by nature in the real calling, in the call to come, in a commending and a command.” (120).

Memberi nama adalah memanggil dengan nama; memberi baju berupa kata. Semua yang dipanggil dipersilakan hadir dengan baju terindah.

Siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil? Kita masih perlu melanjutkan perjalanan.

1.3 Rumusan Pertanyaan

Kita bisa merumuskan pertanyaan menjadi 4:

“(1)What is designated by the word thinking?”

(2) What does the prevailing theory of thought, namely
logic, understand by thinking?

(3) What are the prerequisites we need to perform thinking rightly?

(4) What is it that commands us to think?

We assert : the fourth question must be asked first. Once the nature of thinking is in question, the fourth is the decisive question. But this is not to say that the first three questions stand apart, outside the fourth. Rather, they point to the fourth. The first three questions subordinate themselves to the fourth which itself determines the structure within which the four ways of asking belong together.” (122).

Pertanyaan: (1) apa makna kata berpikir? (2) bagaimana sepanjang sejarah memaknai berpikir? (3) apa saja yang diperlukan agar bisa berpikir? (4) apa atau siapa yang memanggil kita agar berpikir?

Pertanyaan ke (4) adalah paling utama karena ketiga pertanyaan lain mengacu ke pertanyaan ke (4) itu. Siapa yang memanggil kita untuk berpikir?

Memanggil bukan berasal dari nama; tetapi sebalikya. Yang benar: memberi nama adalah melakukan panggilan.

“To call is not originally to name, but the other way around : naming is
a kind of calling, in the original sense of demanding and commending. It is not that the call has its being in the name; rather every name is a kind of call. Every call implies an approach, and thus, of course, the possibility of giving a name. We might call a guest welcome. This does not mean that we attach to him the name “Welcome,” but that we call him to come in and complete his arrival as a welcome friend. In that way, the welcome-call of the invitation to come in is nonetheless also an act of naming, a calling which makes the newcomer what we call a guest whom we are glad to see.” (123).

“Selamat datang” adalah panggilan bersahabat untuk menyambut tamu atau kawan. “Selamat datang” adalah penamaan terhadap panggilan hangat itu. Karena suatu “panggilan” maka membuka posibilitas untuk suatu “penamaan.”

1.4 Vitamin Pikiran

Sumber panggilan untuk berpikir itu apakah ingin untuk dipikirkan? Mengapa memanggil bila tidak ingin dipikirkan? Mengapa ingin dipikirkan?

“But from what other source could the calling into thought come than from something that in itself needs thought, because the source of the calling wants to be thought about by its very nature, and not just now and then? That which calls on us to think and appeals to us to think, claims thought for itself and as its own, because in and by itself it gives food for thought-not just occasionally but now and always.

What so gives food for thought is what we call most thought-provoking.” (125).

Pemanggil itu ingin merangkul pikiran dan, lebih dari itu, memberi vitamin pikiran; sehingga kita memiliki posibilitas untuk berpikir; untuk menyambut panggilan berpikir. Hanya dengan anugerah vitamin itu, makanan sehat itu, manusia akan mampu berpikir.

“Whether we are in any given case capable of thinking, that is, whether we accomplish it in the fitting manner, depends on whether we are inclined to think, whether, that is, we will let ourselves become involved with the nature of thinking. It could be that we incline too slightly and too rarely to let ourselves become so involved. And that is so not because we are all too indolent, or occupied with other matters and disinclined to think, but because the involvement with thought is in itself a rare thing, reserved for few people.” (126).

Agar kita mampu berpikir maka kita perlu untuk condong berpikir; ikhlas melibatkan diri dalam berpikir. Tetapi jarang terjadi seorang manusia ikhlas melibatkan diri dalam berpikir. Heidegger klaim bahwa apa yang baru kita bahas di atas sudah menjawab dengan tegas: apa atau siapa yang memanggil kita untuk berpikir?

“What we have said must for the moment be sufficient explanation of the fourth way in which we ask the question “What is called thinking?” in the decisive way.” (127).

“Penjelasan yang telah kami sampaikan sejauh ini sudah cukup untuk sementara waktu, sebagai uraian mengenai cara keempat yang paling menentukan dalam mengajukan pertanyaan ‘Apa yang disebut dengan berpikir?'”

2. Makna Kata Berpikir

Kecewa. Barangkali banyak orang akan kecewa karena kita tidak bisa mendefinisikan kata “berpikir” secara tegas. Bahkan, untuk membuat deskripsi tegas pun cukup sulit. Untuk menjelaskan makna kata “berpikir” kita perlu “berpikir” itu sendiri.

2.1 Bukan Alat atau Ekspresi

“True, all of us should be greatly embarrassed if we had to say, straight out and unequivocally, what it is that the verb “to think” designates. But, luckily, we do not have to say, we only are supposed to let ourselves become involved in the question. And if we do, we are already asking: what is it to which the word “thinking” gives a name? Having started with the decisive fourth question, we find ourselves involved in the first question as well.” (127).

Bahasa bukan sekadar (1) ekspresi atau pun (2) alat; bukan pula gabungan antara ekspresi dan alat. Pikiran dan puisi adalah asli sebagai puncak ucapan; di mana bahasa berbicara melalui mulut manusia. Bahasa untuk berbicara adalah berbeda dengan memanfaatkan bahasa.

“Language is neither merely the field of expression, nor merely the means of expression, nor merely the two jointly. Thought and poesy never just use language to express themselves with its help; rather, thought and poesy are in themselves the originary, the essential, and therefore also the final speech that language speaks through the mouth of man.

To speak language is totally different from employing language. Common speech merely employs language. This relation to language is just what constitutes its commonness. But because thought and, in a different way poesy, do not employ terms but speak words, therefore we are compelled, as soon as we set out upon a way of thought, to give specific attention to what the word says.” (128)

2.2 Bukan Botol Tapi Sumber Air

Anggapan bahwa bunyi-kata merupakan gelombang suara adalah abstraksi. Kita mendengar bahasa kemudian mendengar suara. Urutan yang benar adalah: (1) mendengar bahasa; kemudian (2) mendengar suara. Bukan kebalikan dari itu. Meski sains modern sering berasumsi: mendengar suara dulu kemudian memahami bahasa.

“The supposedly purely sensual aspect of the word-sound, conceived as mere resonance, is an abstraction. The mere – vibration is always picked out only by an intermediate step – by that almost unnatural disregard. Even when we hear speech in a language totally unknown to us, we never hear mere sounds as a noise present only to our senses-we hear unintelligible words. But between the unintelligible word, and the mere sound grasped in acoustic abstraction, lies an abyss of difference in essence.” (130).

Bagaimana hubungan getaran-suara dengan kata-bermakna? Heidegger menjawab bahwa kata dan suara terpisah jarak secara hakikatnya; secara esensial. Hanya ada lompatan dari kata ke suara; yaitu lompatan esensi. Dengan kata lain, kita tidak akan menemukan hubungan kata dan suara di dunia fenomena realitas. Kita hanya bisa menemukannya dalam lompatan esensial itu sendiri.

“Words are not terms, and thus are not like buckets and kegs from which we scoop a content that is there. Words are wellsprings that are found and dug up in the telling, wellsprings that must he found and dug up again and again, that easily cave in, but that at times also well up when least expected. If we do not go to the spring again and again, the buckets and kegs stay empty, or their content stays stale.” (130).

Kata bukan istilah; word bukan term.

Kata bukanlah sebuah botol yang berisi air. Anggapan kata sebagai botol maka makna adalah airnya; adalah salah. Yang tepat: kata adalah mirip sumber air. Kita perlu menggali sumber kemudian mengucur air. Makin dalam kita menggali maka makin berlimpah air bening mengucur. Makin dalam kita memahami kata dan bahasa maka makin berlimpah makna.

Jadi, apa makna kata berpikir? Makna kata berpikir adalah kita melibatkan diri secara ikhlas dalam berpikir; kita melibatkan diri secara ikhlas dalam suatu panggilan terdalam. Makin dalam menggali maka makin berlimpah air bening mengucur.

3. Sejarah

Secara umum, sepanjang sejarah, berpikir mengambil dua makna: (1) kalkulatif; atau (2) meditatif.

“Yet we have placed thinking close to poesy, and at a distance from science. Closeness, however, is something essentially different from the vacuous leveling of differences. The essential closeness of poesy and thinking is so far from excluding their difference that, on the contrary, it establishes that difference in an abysmal manner. This is something we modems have trouble understanding.” (134).

“Namun, kita telah menempatkan aktivitas berpikir dekat dengan puisi, dan jauh dari ilmu pengetahuan. Kedekatan di sini bukan berarti menyamakan atau menghilangkan perbedaan. Justru, kedekatan yang sejati antara puisi dan berpikir tidak meniadakan perbedaan di antara keduanya, melainkan justru menegaskan perbedaan itu secara sangat mendalam. Hal semacam ini sering kali sulit dipahami oleh kita, manusia modern.”

Berpikir-meditatif lebih dekat dengan puisi sebagai berpikir sejati. Sedangkan berpikir-kalkulatif adalah berpikir model sains teknologi; sebagai bukan berpikirnya seorang pemikir.

Pemikir era Sokrates dan sebelumnya berpikir secara meditatif; berpikir sejati. Di Yunani ada Parmenides dan Heraclitus. Di Mesir dan Palestina ada Nabi Musa. Di India ada Budha. Di Cina ada Konghucu. Di Persia ada Zoroaster.

Plato mewarisi Sokrates kemudian punya murid Aristoteles. Plato dan Aristo mengajarkan berpikir meditatif. Tetapi Platonisme dan Aristotelianisme cenderung berpikir kalkulatif; bukan pemikir sejati. Dampaknya, Plato dan Aristo dianggap mengajarkan berpikir kalkulatif.

Kita, di jaman ini, lebih banyak menemui pemikiran kalkulatif seiring kemajuan teknologi dan sains. Kita perlu belajar dengan komitmen lebih kuat untuk mendalami berpikir meditatif.

4. Kebutuhan untuk Berpikir

Apa yang kita butuhkan agar bisa berpikir dengan benar? Berpikir sejati? Berpikir meditatif?

“Insofar as we are capable of asking the question in the fourth, decisive sense, we also respond to the third way of asking “What is called thinking?”

The third way is intent on arriving at what is needed, and thus required of us, if we are ever to accomplish thinking in an essentially fitting manner. No one knows what is called “thinking” in the sense of the third question until he is capable of legein and noein.” (231).

“Selama kita mampu mengajukan pertanyaan ‘apa yang disebut berpikir?’ dalam arti yang keempat—yaitu cara yang paling menentukan—maka secara tidak langsung kita juga menjawab pertanyaan versi ketiga.

Versi ketiga dari pertanyaan ini berusaha mencari tahu apa saja yang diperlukan dan dituntut dari kita, agar kita bisa benar-benar melakukan aktivitas berpikir secara tepat dan sesuai dengan hakikatnya. Namun, tidak seorang pun benar-benar memahami apa itu ‘berpikir’ dalam arti pertanyaan ketiga ini, sebelum ia mampu melakukan legein (mengungkapkan-mengumpulkan makna) dan noein (memahami makna secara mendalam dengan pikiran).”

Yang kita butuhkan agar mampu berpikir: (1) legein; (2) noein. Legein adalah kemampuan mengumpulkan dan mengungkapkan seluruh makna yang mungkin; tidak hanya memilih satu makna; tidak hanya mengutamakan makna tertentu; tetapi mengumpulkan seluruh makna yang posibel.

Noein adalah kemampuan menyelami makna secara mendalam; menggali mata air makna lebih dalam; dan makin dalam makin berlimpah kucuran makna air bening. Kucuran air bening ini tanpa henti dari sumber segala sumber. Bagaimana agar seseorang memiliki legein dan noein? Seseorang tidak bisa memilikinya kecuali memperoleh anugerah itu sendiri.

5. Diskusi

Bagaimana menurut Anda?
Apakah AI bisa berpikir? (Akal Imitasi / Artificial Intelligence).
Apakah AI melampaui manusia dalam berpikir?

5.1 Jawaban Berpikir

Jadi apa yang disebut berpikir? Berpikir adalah seluruhnya yang dibahas dalam buku atau sepanjang kuliah. Jawaban ini tampaknya tidak mudah meski kita perlu mencobanya.

Cara yang mudah adalah membuat definisi lalu analisis terhadap definisi. Misal berpikir adalah menggunakan otak. Kemudian kita bisa menjelaskan: (1) menggunakan otak; (2) otak; dan (3) menggunakan. Heidegger tidak mau melakukan cara ini karena cara ini adalah berpikir kalkulatif; sedangkan berpikir sejati adalah berpikir meditatif.

Bagaimana pun, kita akan mencoba membuat ringkasan. Apa yang disebut berpikir? Berpikir adalah (0) berpikir meditatif; yaitu berpikir sebagaimana pemikir; bukan berpikir kalkulatif; bukan berpikir sains teknologi.

Berpikir adalah (4) panggilan dari sang pemberi vitamin pikiran; sang pemberi makanan sehat pikiran. Siapa sang pemberi vitamin ini? Kita bisa menjawab dia adalah Tuhan. Tetapi tuhan metafisika telah mati; terutama setelah proklamasi Nietzsche. Jadi, maksud Tuhan adalah Tuhan Sejati Yang Maha Hidup.

Berpikir adalah (1) makna kata berpikir mirip dengan sumber air; bukan mirip botol berisi air. Makin dalam kita menggali sumber maka makin berlimpah curahan air. Makin dalam kita berpikir maka makin berlimpah berpikir sejati. Kita (i) mendengar kata-kata dari bahasa yang berbicara; kemudian, kita (ii) bisa abstraksi menerima sinyal gelombang suara. Urutan berpikir tidak bisa dibalik (ii) kemudian (i); yang benar (i) lalu (ii). Jadi, berpikir adalah ikhlas mendengarkan.

Berpikir adalah (2) respon sepanjang sejarah yang bergerak antara berpikir meditatif dan kalkulatif. Karena era teknologi sains didominasi oleh kalkulatif maka kita butuh tekad lebih kuat untuk bisa berpikir meditatif; berpikir sebagaimana pemikir.

Berpikir adalah (3) membutuhkan anugerah kemampuan legein dan noein. Legein adalah kemampuan untuk mengumpulkan, menyatukan, dan mengungkap semua makna yang posibel. Noein adalah kemampuan untuk mendalami dengan renungan yang mendalam.

Selanjutnya, berpikir adalah (4), (1), (2), (3), (4),… tanpa henti.

Apakah Anda terpanggil untuk terus berpikir?

5.2 Apakah AI Bisa Berpikir?

AI tidak bisa berpikir meditatif sebagaimana pemikir. Andai AI mampu berpikir maka AI terbatas pada berpikir kalkulatif. Kemampuan AI mengolah data bisa lebih cepat dari manusia. Bagaimana pun berpikir kalkulatif yang dilakukan oleh AI bukanlah berpikir meditatif; meski tampak menghasilkan kalimat-kalimat seperti meditatif.

Apakah AI benar-benar mampu berpikir kalkulatif sebagai mana manusia? Tidak juga. Manusia berpikir kalkulatif dengan merespon situasi konkret; baik situasi eksternal mau pun situasi internal. Sementara, AI hanya merespon prompt sesuai algoritma tertentu.

Andai suatu saat nanti AI mampu berpikir kalkulatif secara benar; tidak halu lagi; maka AI tetap tidak mampu berpikir kalkulatif sebagai mana manusia; apa lagi berpikir meditatif.

5.3 Apakah AI Akan Melampaui Manusia?

Tidak. AI tidak bisa melampaui manusia dalam berpikir. AI hanya bisa melampaui manusia dalam memroses data: menghasilkan jawaban dari suatu pertanyaan; menghasilkan artikel; menghasilkan buku; dan lain-lain.

Manusia sudah terbiasa dilampaui oleh teknologi dalam banyak kasus. Teknologi gedung lebih kuat dari manusia dalam melindungi sengatan matahari atau guyuran hujan. Teknologi mobil lebih cepat berlari dari langkah kaki manusia. Teknologi pesawat terbang lebih tinggi dari lompatan anak manusia.

Jadi bila, suatu saat nanti, AI mampu lebih cepat menghasilkan disertasi dari riset mahasiswa doktoral maka hal itu adalah fenomena biasa-biasa saja. Bagaimana pun disertasi asli oleh mahasiswa tetap memiliki nilai yang sangat tinggi.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar