Ruang Demokrasi Digital: Habermas, Lanier, dan Harari

Demokrasi 2025 di Indonesia sedang bersuara. Dari hati terdalam, suara rakyat bergema. Jejaring digital merawat ruang publik tumbuh berdemokrasi; dari pojok negeri sampai ujung bumi.

Habermas (lahir 1929) meyakini bahwa ruang publik adalah paling penting bagi demokrasi. Bukan sekedar memilih presiden atau wakil rakyat, demokrasi adalah aksi komunikatif (atau komunikasi aktif) di ruang publik bagi seluruh warga. Ruang publik meluas dari ruang alamiah sampai ruang digital. Ketika ruang publik tersumbat maka ledakan akan mencuat setiap saat. Aksi damai 2025 di Indonesia berkembang menjadi aksi di seluruh dunia yang menghangat. Terutama setelah gugur putra pertiwi Affan Kurniawan, seorang driver ojek online, pada 28 Agustus 2025 silam. Akankah aksi 2025 ini mengantar Indonesia adil makmur? Ataukah akan ditumpangi provokator menjadi kerusuhan? Ataukah akan biasa-biasa saja sebagai bunga demokrasi?

Jaron Lanier (lahir 1960) menyerukan untuk menghapus akun media sosial Anda sekarang juga; baik untuk sementara atau selamanya. Media sosial yang diharapkan menjadi ruang publik demokrasi justru membungkam demokrasi itu sendiri. Media sosial membanjiri pikiran kita dengan potongan-potongan informasi menggunung. Tumpukan informasi itu menghapus seluruh makna komunikasi; menghapus ruang publik demokrasi; bahkan menghapus jati diri kita sebagai manusia. Gunungan informasi tidak menghasilkan makna apa-apa. Hapus akun media sosial Anda. Setelah menghapus akun media sosial, Anda boleh berkomunikasi lagi; baik di ruang hati mau pun ruang digital yang merdeka.

Harari (lahir 1976) mencermati jejaring digital yang semula mengembangkan sarang laba-laba saling terhubung seluruh penjuru dunia telah berubah; menjadi kepompong-kepompong digital yang saling membungkus diri. Kepompong digital saling terbelah; saling tidak mengenal; saling tidak mengerti. Meski saling tidak mengenal, anggota kepompong digital yakin: kepompong lain adalah jahat; atau minimal mereka tersesat. Tidak ada lagi ruang publik untuk komunikasi dalam demokrasi seperti ini. Bisakah kita menerobos itu semua untuk membangun demokratis sejati? Politik dengan moral tinggi? Pribadi-pribadi penuh arti?

1. Ruang Publik Demokrasi (Inspirasi Habermas)
2. Reruntuhan Ruang Digital (Inspirasi Lanier)
3. Amarah Kepompong Digital (Inspirasi Harari)

Pada kesempatan ini, kita akan membahas demokrasi dengan meminjam kerangka pikir tiga tokoh di atas: Habermas, Lanier, dan Harari. Tentu saja, kita juga akan menganalisis pemikiran tokoh-tokoh lain. Serta, kita berkaca mencermati situasi Indonesia, dan dunia, akhir-akhir ini. Kita berharap menemukan percik-percik cahaya Indonesia Emas 2045 dan terang masa depan umat manusia.

1. Ruang Publik Demokrasi (Inspirasi Habermas)

Habermas mengkaji pentingnya ruang publik bagi demokrasi secara historis. SEP meringkasnya dengan menarik:

“Pendekatan Habermas dalam karya awalnya ini dapat digambarkan sebagai rekonstruksi historis untuk kepentingan kritik internal. Ia membangun kembali sebuah “tipe ideal” dari ruang publik borjuis, dengan tujuan untuk mengkritik ruang publik yang benar-benar ada dalam demokrasi modern.

Transformasi struktural yang menandai awal dari runtuhnya ruang publik borjuis ditandai dengan perubahan dalam batas antara ranah publik dan privat. Dalam konteks “demokrasi massa negara kesejahteraan” pada pertengahan abad ke-20, negara dan masyarakat menjadi semakin saling terkait, seiring dengan diterapkannya kebijakan ekonomi yang intervensif dan perluasan program kesejahteraan oleh pemerintah. Pada saat yang sama, aktor-aktor non-negara seperti kelompok kepentingan, korporasi, dan partai politik memainkan peran yang semakin besar dalam proses pemerintahan. Habermas menyebut proses ini sebagai “refeodalisasi”.

Habermas melihat bahwa ruang publik modern, dalam banyak hal, menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Ketika ruang publik ini meluas jauh melampaui basis awalnya—yaitu laki-laki berpendidikan dan memiliki properti—ketimpangan material tidak lagi bisa diabaikan, melainkan justru menjadi bahan perdebatan publik. Namun, perdebatan ini tidak lagi berbentuk analisis rasional dan kritis terhadap tindakan negara oleh masyarakat umum, melainkan berubah menjadi negosiasi antar kelompok kepentingan yang melewati nalar publik. Alih-alih mendekati tipe ideal yang diharapkan, yang muncul justru adalah ruang publik semu yang miskin, kehilangan kemampuan diskursus rasional-kritisnya, dan mudah dimanipulasi oleh negara, korporasi, serta kelompok kepentingan melalui teknik-teknik “hubungan masyarakat” (public relations). Peran ruang publik ini kini, seperti pada era feodal, hanyalah untuk memberikan legitimasi terhadap keputusan-keputusan yang sudah dibuat sebelumnya.”

Awalnya, ruang publik adalah modal utama untuk menegakkan demokrasi adil makmur. Akhirnya, di masa kini, ruang publik sudah didominasi oleh pemerintah dan korporasi. Akibatnya, ruang publik menjadi media bagi pihak dominan untuk menancapkan dominasi mereka. Kita perlu berjuang untuk mengembalikan ruang publik sebagai ruang aksi komunikasi lagi dari hati ke hati.

1.1 Ruang Publik Politik

Politik demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Sehingga, tema politik adalah paling penting untuk aksi komunikasi di ruang publik. Aksi 2025, misalnya, menuntut transparansi politik khususnya DPR. Semua rapat DPR perlu transparan di ruang publik. Sehingga, seluruh warga yang minat bisa berpartisipasi aktif. Bila transparansi ini bisa terjadi maka akan menjadi kemajuan besar kehidupan politik Indonesia.

Teknologi digital memudahkan transparansi: DPR bisa menyiarkan setiap rapat mereka secara live; dan terbuka terhadap partisipasi warga. Proses cek dan penyeimbangan terjadi.

1.2 Pusat Ruang Publik

Habermas tampak mendukung terjadinya konsensus dari masyarakat luas. Sementara Lyotard (1920 – 1995) lebih mengutamakan dissensus sebagaimana para posmodernis. Konsensus nasional, kesepakatan nasional, tampak memudahkan program pembangunan. Bagaimana cara mencapai konsensus?

Konsensus dicapai melalui aksi komunikasi di ruang publik secara rasional kritis. Pada tahap akhir, bisakah dicapai konsensus global? Seluruh dunia sepakat?

1.3 Keragaman Ruang Publik

Ruang publik itu beragam: nasional, provinsi, kota, dan daerah. Lebih kuat lagi, ruang publik bergerak dari komunikasi konkret masing-masing lokal (individu, rumah tangga, dan desa) menuju komunikasi nasional. Demikian juga tersedia ruang publik formal, informal, mau pun nonformal. Tentu saja, di tahun 2025 ini, ruang digital adalah utama.

1.9 Konsensus untuk Koordinasi

Lyotard bersikeras menolak konsensus; dan tetap mengutamakan dissensus, keragaman sikap dan pikiran. Pada dasarnya, setiap orang adalah berbeda secara unik. Jika harus seragam melalui konsensus maka risiko besar terjadi manipulasi; secara kasar atau pun lembut.

Konsensus diperlukan sekadar untuk koordinasi. Kita di Indonesia berkendara di jalur kiri adalah konsensus. Dengan mengutamakan jalur kiri maka berkendara menjadi lancar dan nyaman. Bila ada orang berkendara di jalur kanan maka risiko kecelakaan lalu lintas; atau menimbulkan kekacauan.

Ketika Anda berkendara di jalur kiri maka Anda bebas melaju dengan kecepatan sedang atau agak lambat; cara berkendara adalah dissensus. Bagi mereka yang buru-buru barangkali tarik gas agar cepat sampai tujuan. Bagi mereka yang santai barangkali berkendara kecepatan sedang sambil menikmati perjalanan.

2. Reruntuhan Ruang Digital (Inspirasi Lanier)

Hapuslah akun media sosial Anda sekarang juga. Pada argumen 9, Lanier menjelaskan:

“Cara bagaimana seorang kandidat “seniman bencana” (disaster artist) dapat diuntungkan oleh Facebook sebenarnya sudah cukup dikenal, meskipun detail pastinya tetap tidak transparan. Ketika seorang kandidat—atau pelanggan lain—membeli akses ke perhatian pengguna melalui Facebook, jumlah akses yang diperoleh tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar dana yang dikeluarkan, tetapi juga oleh seberapa besar algoritma Facebook menilai bahwa pelanggan tersebut turut mempromosikan dan meningkatkan penggunaan platform Facebook itu sendiri.

Orang-orang yang terlibat dalam strategi media sosial kampanye Trump mengklaim bahwa Trump memperoleh akses ratusan kali lebih besar untuk jumlah pengeluaran yang sama dibandingkan kampanye Clinton. Namun, pihak Facebook membantah hal ini tanpa memberikan informasi yang cukup untuk membuat situasinya menjadi jelas. Jika benar ada semacam pengganda (multiplier), kemungkinan hal ini juga berlaku untuk para aktor Rusia dan pihak lain yang mendukung Trump dan membeli akses di Facebook, tidak hanya untuk kampanye Trump secara langsung. Algoritma Facebook sendiri bersifat netral—mereka tidak bisa dan tidak peduli dengan siapa yang membeli.

Satu fakta menarik yang terungkap setahun setelah pemilu adalah bahwa Facebook sebenarnya menawarkan tim internal kepada kedua kampanye—Trump dan Clinton—untuk membantu memaksimalkan penggunaan platform mereka. Namun, hanya kampanye Trump yang menerima tawaran tersebut. Mungkin, jika Clinton menerima kehadiran karyawan Facebook di kantor kampanyenya, hasil pemilu bisa saja berbeda. Karena hasilnya sangat tipis, hal kecil apa pun yang bisa menggeser suara sedikit saja ke arah Clinton, bisa saja mengubah hasil akhir.

Facebook dan perusahaan-perusahaan teknologi besar lainnya (sering disebut sebagai BUMMER—“Behaviors of Users Modified, and Made into an Empire for Rent”) semakin menyerupai bentuk ransomware bagi perhatian manusia. Mereka menguasai begitu banyak waktu dan perhatian dari begitu banyak orang setiap harinya, sehingga kini menjadi penjaga gerbang terhadap pikiran manusia.

Situasi ini mengingatkan pada praktik indulgensi di Abad Pertengahan, ketika Gereja Katolik saat itu kadang meminta uang agar jiwa seseorang bisa masuk surga. Praktik indulgensi inilah yang menjadi salah satu pemicu utama munculnya Reformasi Protestan. Kini, seolah-olah Facebook berkata: “Bayar kami, atau kamu tidak akan terlihat.” Mereka mulai berperan seperti mafia eksistensial—mengatur siapa yang dapat “ada” dalam ruang publik digital.”

Ruang digital tampak seperti ruang bebas ekspresi untuk komunikasi. Tetapi, ruang digital sudah terbukti meruntuhkan ruang demokrasi. Politik yang sehat menjadi tidak bisa lagi di media sosial. Karena siapa yang mampu membayar maka mereka akan lebih bersinar. Apakah menghapus akun media sosial Anda merupakan satu-satunya solusi?

3. Amarah Kepompong Digital (Inspirasi Harari)

Harari bertanya apakah demokrasi bisa bertahan di era digital? Ketika kepompong digital saling terkucil di masing-masing ujung dunia maka tampak sulit untuk membangun saling pengertian antar umat manusia. Dengan gaya bahasa indah dibumbui skeptisme dan optimisme, Harari mengungkapkan:

“Menjelang akhir abad ke-20, menjadi jelas bahwa imperialisme, totalitarianisme, dan militerisme bukanlah cara ideal untuk membangun masyarakat industri. Meskipun memiliki banyak kelemahan, demokrasi liberal menawarkan jalan yang lebih baik. Kelebihan utama dari demokrasi liberal adalah adanya mekanisme koreksi diri yang kuat, yang dapat membatasi fanatisme dan menjaga kemampuan masyarakat untuk mengenali kesalahan serta mencoba jalur kebijakan yang berbeda.

Karena kita tidak dapat memprediksi bagaimana jaringan komputer baru akan berkembang, harapan terbaik kita untuk menghindari bencana di abad ini adalah dengan mempertahankan mekanisme koreksi diri dalam sistem demokrasi. Mekanisme ini memungkinkan kita mengenali dan memperbaiki kesalahan seiring waktu.

Namun, pertanyaannya adalah: apakah demokrasi liberal itu sendiri dapat bertahan di abad ke-21? Pertanyaan ini bukan hanya soal kondisi demokrasi di negara-negara tertentu yang mungkin terancam oleh perkembangan lokal, melainkan tentang apakah demokrasi masih cocok dengan struktur jaringan informasi abad ke-21. Dalam bab 5 telah dijelaskan bahwa demokrasi bergantung pada teknologi informasi, dan sepanjang sebagian besar sejarah manusia, demokrasi dalam skala besar tidak mungkin diwujudkan. Apakah teknologi informasi yang muncul di abad ke-21 akan kembali membuat demokrasi menjadi tidak mungkin dijalankan?

Salah satu ancaman yang potensial adalah bahwa jaringan komputer yang semakin canggih bisa menghancurkan privasi kita, serta menghukum atau memberi imbalan tidak hanya atas apa yang kita lakukan dan katakan, tetapi juga atas apa yang kita pikirkan dan rasakan. Apakah demokrasi bisa bertahan dalam kondisi seperti itu?

Jika pemerintah—atau korporasi—lebih mengetahui diri kita daripada kita sendiri, dan mampu mengatur secara rinci segala tindakan dan pikiran kita, maka kekuasaan totalitarian atas masyarakat akan terbentuk. Pemilu mungkin masih tetap diadakan secara rutin, tetapi hanya menjadi ritual simbolis tanpa kekuatan nyata untuk mengontrol pemerintah. Pemerintah dapat menggunakan kekuatan pengawasan yang luas dan pengetahuan mendalam tentang setiap warga untuk memanipulasi opini publik dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Demokrasi adil makmur menjadi solusi yang kita harapkan. Di saat yang sama, dengan berkembangnya teknologi digital, demokrasi menjadi mudah untuk dimanipulasi.

4. Diskusi

Bagaimana menurut Anda?

Catatan:

1. Ruang Publik Demokrasi (Inspirasi Habermas)
1.1 Ruang Publik Politik
1.2 Ruang Publik Terpusat
1.3 Keragaman Ruang Publik
1.4 Sains Tidak Cukup: Perlu Refleksi dan Wacana
1.5 Rekayasa Tidak Cukup: Perlu Empati Emansipasi
1.6 Institusi Pertumbuhan
1.7 Krisis Legitimasi
1.8

1.9 Konsensus untuk Koordinasi
2. Reruntuhan Ruang Digital (Inspirasi Lanier)

3. Amarah Kepompong Digital (Inspirasi Harari)

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Tinggalkan komentar