Beberapa rumah anggota DPR disatroni oleh demo massa beberapa waktu lalu. Apakah anggota DPR menjadi tumbal politik? Kemudian, beberapa hari lalu, sejumlah menteri dicopot dari jabatan mereka. Apakah jadi tumbal politik? Ataukah presiden Prabowo itu sendiri adalah tumbal politik bagi pihak tertentu? Atau justru rakyat yang jadi tumbal politik?

“Apa itu namanya? Orang yang dikorbankan agar ada yang menjadi kaya raya?” saya tanya karena lupa istilahnya.
“Yang gimana sih itu?” anak saya malah balik tanya.
“Ada orang ingin kaya lalu mencari pesugihan. Orang kaya itu mengorbankan anaknya sendiri agar dia jadi kaya.”
“Oh… tumbal itu!”
Saya jadi ingat lagi istilah tumbal itu. Tumbal adalah ujian amat penting bagi seseorang untuk bisa menjadi kaya; baik kaya harta mau pun kaya kuasa di dunia politik.
1. Tumbal Pesugihan
2. Mahar Politik
3. Demokrasi
4. Diskusi
Mari kita menengok KBBI sejenak:
“tumbal/tum·bal/ Jw n 1 sesuatu yang dipakai untuk menolak (penyakit dan sebagainya); tolak bala: putra raja Sibayak mengembara di kampung-kampung, sebab dibuang keluarganya sebagai –; 2 kurban (persembahan dan sebagainya) untuk memperoleh sesuatu (yang lebih baik): mereka yang gugur itu merupakan — negara dan — bangsa.
mahar/ma·har/n pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah; maskawin;
— misil Isl maskawin yang tidak ditentukan jumlahnya (kadarnya) pada waktu melakukan akad nikah;
— musama Isl maskawin yang ditentukan jumlahnya pada waktu melakukan akad nikah”
1. Tumbal Pesugihan
Pesugihan adalah cara tertentu untuk memperoleh kekayaan yang amat besar. Pesugihan adalah jalan sesat karena, salah satunya, membutuhkan tumbal. Jadi konotasi tumbal adalah negatif. Meski di tempat lain bisa saja positif.
Tetapi, tumbal bukan sekadar syarat bagi pesugihan. Tumbal adalah konstitutif atau pembentuk pesugihan itu sendiri. Apa maksudnya?
Rama adalah seorang ayah yang mencari pesugihan; bukan nama sebenarnya; punya anak bernama Lanang. Rama datang ke gunung bertemu dukun. Dukun itu meminta Rama agar menjadikan Lanang sebagai tumbal; dikorbankan oleh Rama agar menjadi kaya.
Awalnya, Rama masih ragu kemudian dia yakin karena bila kaya maka dia bisa punya anak lagi pengganti Lanang; bahkan dia bisa punya istri simpanan lebih banyak dan punya anak lebih banyak. Singkat cerita, Lanang bocah kecil tanpa dosa itu mati secara tiba-tiba sebagai tumbal.
Benar saja, secara bertahap, Rama bertambah kaya.
Kala itu cabe sedang panen raya. Rama sebagai tengkulak bisa menekan harga cabe sampai murah satu bulan di musim panen. Petani cabe terpaksa menerima harga cabe yang murah dibeli oleh Rama. Masing-masing petani menanggung rugi kisaran 1 juta rupiah; dan ada 1000 petani. Total ada kerugian petani 1 milyar rupiah dan, sebaliknya, Rama untung 1 milyar rupiah. Rama sudah berada satu langkah di tangga menuju kaya.
Mengapa Rama tega merugikan para petani? Jangankan hanya petani yang rugi 1 juta rupiah, anaknya sendiri saja dikorbankan jadi tumbal oleh Rama. Tumbal berupa seorang bocah itu adalah konstitutif atau pembentuk pesugihan itu sendiri.
Bagaimana andai Rama menolak untuk mengorbangkan anaknya Lanang jadi tumbal? Ketika ada kesempatan merugikan petani 1 milyar maka Rama tidak akan tega; pesugihan tidak terbentuk. Pesugihan menjadi gagal dalam situasi ini; ketika Rama tidak mengorbankan tumbal.
Tetapi karena Rama sudah mengorbankan anaknya jadi tumbal maka ketika ada kesempatan “sogokan” ke pemerintah pusat maka dia dengan semangat melakukannya. Keuntungan 10 milyar masuk kantong Rama dan, sebaliknya, rakyat menanggung kerugian besar sebagai akibatnya.
2. Mahar Politik
Mahar berupa maskawin adalah syarat sah pernikahan. Sementara, mahar politik bergeser menjadi konstitutif atau pembentuk politik itu sendiri. Dalan kasus rekrutmen anggota (misal pegawai, PNS, polisi, TNI, mahasiswa, siswa), mahar mulai bergeser menjadi konstitutif.
Ema adalah seorang emak-emak; bukan nama sebenarnya, bercerita. Agar anaknya jadi anggota perlu membayar 300 juta rupiah sebagai mahar. Bagi Ema, 300 juta adalah mahar yang murah dibanding di tempat lain; atau dibanding dengan hasil yang akan diperoleh. Mahar seperti ini setara dengan tumbal yang membentuk sistem politik; sebagai konstitutif. Dampaknya, terjadi kekacauan.
Mengapa Ema bersedia membayar 300 juta untuk mahar atau tumbal? Ema yakin akan balik modal. Dari gaji bulanan seorang anggota yang hanya 3 jutaan tampak sulit untuk balik modal tetapi dari rekrut anggota baru akan lebih cepat. Setiap ada anggota baru maka mereka harus membayar mahar 300 juta itu. Anak Ema mendapat bagian dari 300 juta. Hanya dalam 1 atau 2 tahun, anak Ema akan balik modal. Tahun berikutnya tinggal mengeruk keuntungan. Bukankah itu sistem yang kacau?
3. Demokrasi
Tumbal mempersulit situasi demokrasi. Karena demokrasi membutuhkan warga ikhlas mengurbankan diri demi kebaikan bersama. Sementara, tumbal justru mengorbankan orang lain untuk nafsu diri seseorang. Secara prinsip, tumbal berkebalikan dengan asas demokrasi. Realitasnya, tumbal atau berupa mahar justru mewarnai demokrasi.
Seorang mantan ketua partai politik bercerita akhir-akhir ini bahwa diperlukan tumbal kisaran 5 – 15 milyar untuk bisa lolos ke Senayan sebagai anggota DPR. Sementara, mereka yang membayar tumbal kurang dari 5 milyar, gagal untuk lolos ke Senayan. Tentu saja hasil pengamatan ini berupa probabilistik. Tetapi, tumbal kisaran 5 – 15 milyar adalah angka yang sangat besar. Bagaimana caranya agar balik modal? Pertanyaan lebih sulit adalah: bagaimana membangun sistem politik tanpa tumbal?
4. Diskusi
Di tulisan yang lain saya mengusulkan solusi berupa lottokrasi atau arisan politik diperkuat dengan program panarko. Arisan politik adalah kocok arisan bagi setiap warga negara dewasa. Mereka yang namanya keluar dari kocok arisan maka berhak lolos ke Senayan menjadi anggota DPR; atau menjadi anggota lembaga tertentu (PNS, polisi, TNI, mahasiswa, siswa, dll).
Banyak orang mengajukan keberatan: bagaimana dengan kualitas mereka? Kualitas mereka terjamin dengan program panarko: serba-pemimpin; setiap orang adalah pemimpin.
Bagaimana menurut Anda?
