Media sosial yang diperkuat AI memunculkan tiga bias sangat bahaya: (i) bias positif; (ii) bias transparan; (iii) bias dominasi.
Byung-Cul Han membahas dua bias pertama, positif dan transparan, kemudian kita menambahkan bias ketiga yaitu dominasi sampai hegemoni. Pemikiran yang bias menjadi bahaya karena berbelok dari kebaikan kemudian menguatkan pembelokan itu sendiri. Sejatinya, setiap pemikiran pasti berbelok. Hanya saja, pikiran yang baik akan mengoreksi pembelokan itu. Sementara, bias justru mempertajam pembelokan itu.

1. Bias Positif
2. Bias Transparan
3. Bias Dominasi
4. Diskusi
Tiga bias di atas sangat bahaya karena bias memberi keuntungan bagi pelaku dan merugikan pihak lain. Akibatnya, pelaku akan mengulangi bias berkali-kali.
1. Bias Positif
Bias positif adalah pikiran yang berbelok karena sukses; karena positif.
Didi, mirip dengan Deddy Corbuzier, sukses di media sosial. Awalnya, Didi sukses di media tv nasional dengan bikin acara sepekan sekali semacam Hitam Putih. Kemudian, Didi makin sukses dengan podcast di media sosial 2 kali dalam sepekan; makin sukses dengan 7 kali podcast dalam sepekan. Didi adalah contoh sukses positif; bias positif. Didi makin terjebak dalam media sosial karena dia makin sukses. Bias positif ini menuntut Didi untuk kerja keras tanpa henti. Didi lelah, letih hati dan pikiran, karena sukses.
Risiko mulai terjadi. Didi cerai dengan istrinya. Menjadi duda keren bertahun-tahun. Kemudian menikah dengan istri baru. Berselang 1 atau 2 tahun cerai lagi. Hidup Didi berantakan bukan karena gagal tetapi karena sukses. Bias positif.
2. Bias Transparan
Bias transparan adalah segala sesuatu menjadi jelas karena media sosial; karena media digital.
“MBG adalah berbahaya karena meracuni siswa,” sebuah cuitan di media sosial.
“Ratusan trilyun rupiah uang yang mengendap di bank dan BI disalurkan ke masyarakat sampai pertumbuhan ekonomi menembus 8%,” sebuah info di media sosial.
Tampak transparan dan jelas kabar di media sosial di atas. Ditambah dengan bumbu-bumbu AI (artificial inteligence / akal imitasi / alat imitasi) maka menjadi makin seru. Tetapi itu semua adalah bias transparan. Sejatinya tidak jelas.
MBG belum tentu bahaya; MBG belum tentu meracuni siswa di sekolah dekat rumah Anda. Ratusan trilyun uang di bank belum tentu disalurkan. Apalagi pertumbuhan ekonomi? Tidak ada jaminan ekonomi tumbuh 8%. Hanya karena bias transparan, kita merasa yakin apa yang kita lihat di media sosial sebagai benar 100%.
3. Bias Dominasi
Seorang teman cerita, “Tidak usah repot-repot memikirkan solusi untuk semua masalah itu. Cukup pakai AI maka semua solusi tersedia.”
Teman saya di atas menunjukkan dominasi AI; tepatnya, bias dominasi yang berbahaya. Mereka menganggap AI bisa menyelesaikan semua masalah; padahal AI tidak bisa. Mereka mengira AI bisa jadi pimpinan perusahaan; AI bisa menjadi menteri; AI bisa menjadi presiden. Itu semua hanya jebakan bias dominasi.
4. Diskusi
Bagaimana menurut Anda? Sangat rumitkan? Apa solusi yang tersedia?
Ketika Didi sukses dengan podcast maka dia ingin lebih sukses lagi; Didi menyediakan studio untuk artis-artis lain podcast; Didi ingin subscriber dan followernya bertambah 10 juta; dan impian lain tanpa henti 24/7.
“Didi cobalah kamu berhenti!” seru kawannya.
“Tidak bisa. Bila berhenti maka orang lain akan menyalip,” Didi makin keras dan makin terjebak dalam positivitas.
Tetapi, bias positif ini komplikasi. Penjudi yang kalah dalam judol (judi online) makin ketagihan meski dia sudah kalah sampai bangkrut. Dia merasa sukses yaitu sukses bertaruh di judol. Demikian juga banyak orang merasa sukses di pasar saham, valas, atau bisnis lainnya. Padahal mereka telah menghancurkan dirinya serta orang-orang terdekat dengan terjebak dalam bias positif.
Solusi: kita membutuhkan negativitas. Kita butuh gagal. Kita butuh batas-batas yang tegas.
Apa solusi bagi bias transparan? “Ijasah Jokowi sudah jelas-jelas palsu” bagi para pendukung ijasah palsu. Mereka yakin transparan itu. Mereka menuntut Jokowi untuk diadili sampai dihukum berat. “Ijasah Jokowi sudah terbukti asli” bagi para pendukung ijasah asli. UGM sudah konfirmasi ijasah asli; KPU dan Polri juga sudah konfirmasi asli. Mereka yakin transparan itu. Mereka menuntut para penyebar hoaks dan pencemar nama itu diadili.
Tetap terjadi debat di media sosial apakah ijasah itu asli atau palsu. Masing-masing menganggap diri benar secara transparan. Tidak ada solusi di media sosial; karena masing-masing pihak mengira transparan tapi saling bertentangan.
Solusi: selalu ada misteri. Yakinlah bahwa media sosial, meski diperkuat AI, tidak pernah transparan. Selalu ada yang tersembunyi. Kita butuh membuka hati. Bahkan pengetahuan kita sehari-hari, termasuk sains, juga tidak pernah transparan; selalu ada misteri. Tuhan telah melimpahkan anugerah nyata, yaitu facticity, yang mengundang perenungan misteri tanpa henti.
Apa solusi bagi bias dominasi? Solusinya adalah panarko; pan-arko; serba-arko; setiap orang adalah pemimpin sejati yaitu arko. Termasuk diri kita adalah arko.
