Saat ini, amarah sedang melanda dunia; baik dunia nyata mau pun dunia digital. Bagaimana agar kita selamat dari amarah dunia jasmani dan ruhani? Kita akan membahasnya dengan mencatat beberapa ide dari Peter Sloterdijk dalam buku Rage and Time.

1. Penuh Amarah
2. Berpikir Retributif Berlebihan
3. Kebajikan Memberi
4. Pendidikan Lawan Megalomania
5. Diskusi
Sloterdijk yakin bahwa dunia kita sedang dipenuhi amarah. Ledakan amarah berbahaya dengan berwujud perang, pembunuhan, korupsi, dan lain-lain. Tetapi bila amarah ditangani dengan baik maka amarah itu justru amat penting.
1. Penuh Amarah
“On the contrary, rage (together with its thymotic siblings, pride, the need for recognition, and resentment) is a basic force in the ecosystem of affects, whether interpersonal, political, or cultural.” (227)
“Berbanding terbalik, kemarahan (bersama saudara-saudaranya dalam ranah thymos, yakni kebanggaan, kebutuhan akan pengakuan, dan rasa tersinggung) merupakan kekuatan dasar dalam ekosistem afek, baik dalam hubungan antarmanusia, ranah politik, maupun budaya.”
Setiap hubungan antar manusia melibatkan amarah dalam bentuk nyata atau tersembunyi. Bagaimana dengan hubungan manusia-alam, manusia-Tuhan, Tuhan-alam? Salah satu sifat Tuhan monoteis adalah Maha Marah; dan tentu Maha Bijak.
Amarah dan bijak adalah sikap penting bagi setiap manusia. Orang tidak marah menjadi lemah; orang yang mudah marah menjadi tidak bijak. Kita memerlukan amarah dengan cara yang bijak. Bagaimana itu?
2. Berpikir Retributif Berlebihan
“What has truly reached an end is the psychohistorical constellation of religiously and politically inflated retributive thinking that was characteristic of the Christian, socialist, and Communist courtrooms. Nietzsche found the right concept to characterize its essence when—with an eye to Paul and his invention of “Christianity”—he diagnosed that resentment could become a mark of genius.”
“Yang sesungguhnya telah berakhir adalah konstelasi psikohistoris berupa pola pikir retributif yang dibesar-besarkan secara religius dan politis, yang dahulu menjadi ciri ruang-ruang peradilan Kristen, sosialis, dan Komunis. Nietzsche menemukan konsep yang tepat untuk menggambarkan esensinya ketika—dengan menyoroti Paulus dan “penemuan” atas apa yang disebutnya sebagai “Kristen”—ia mendiagnosis bahwa rasa geram dapat menjadi sebuah tanda kejeniusaan.”
Pola pikir retributif yang dibesar-besarkan oleh sosialis dan agamis menimbulkan masaralah serius. Justru kita perlu mengikuti Nietzsche bahwa rasa “geram” adalah tanda jenius. Kita geram terhadap media sosial yang bobrok lalu mencari cara membuat konten edukasi. Kita geram terhadap sistem ekonomi politik yang bangkrut akibat korupsi lalu kita mengembangkan solusi. Rasa geram adalah cabang dari amarah yang bisa kita kendalikan untuk kebaikan.
“Anyone insisting that democratic politics and forms of life could be universal should consider the cultures of counseling, the practices of discussion, and the traditions of criticisin of “the others” as regional sources of democracy.”
“Siapa pun yang bersikukuh bahwa politik dan bentuk-bentuk kehidupan demokratis dapat bersifat universal seharusnya mempertimbangkan budaya konseling, praktik diskusi, serta tradisi mengkritik “pihak lain” sebagai sumber-sumber regional bagi demokrasi.”
Praktik diskusi yang semangat, karena sambil geram, adalah sumber demokrasi. Musyawarah adalah anugerah; boleh mencapai mufakat; boleh juga tidak sepakat; meski selalu saling hormat.
“The following insight needs to be asserted like an axiom: under condi
tions of globalization no politics of balancing suffering on the large scale is possible that is built on holding past injustices against someone, no matter if it is codified by redemptive, social-messianic, or democratic-messianic ideologies.”
“Wawasan berikut perlu ditegaskan layaknya sebuah aksioma: dalam kondisi globalisasi, tidak mungkin ada politik penyeimbangan penderitaan dalam skala besar yang dibangun atas dasar menuntut pertanggungjawaban atas ketidakadilan masa lalu, sekalipun hal tersebut dilembagakan melalui ideologi-ideologi penebusan, sosial-mesianistik, atau demokratis-mesianistik.”
Penjahat memang perlu bertanggung-jawab atas dosa-dosa sejarah masa lalu. Tetapi, tuntutan semacam itu tidak memadai bagi korban untuk berkembang. Korban membutuhkan panggilan moral yang lebih besar. Amarah dan rasa geram bisa diarahkan ke sasaran yang tepat. Locke menyarakan hak hidup, freedom, dan properti.
3. Kebajikan Memberi
“The goal is a meritocracy, which balances, in an intercultural and transcultural way, an antiauthoritarian relaxed morality, on the one hand, and a distinctive normative consciousness and respect for inalienable personal rights, on the other. The adventure of morality takes place through the parallel program of elitist and egalitarian forces. Only within these parameters can a change of accent away from acquisition drives and toward giving virtues be conceived.”
“Tujuannya adalah suatu tatanan berbasis merit, yang (1) secara interkultural dan transkultural mampu menyeimbangkan, di satu sisi, moralitas antiautoritarian yang rileks, dan di sisi lain, (2) kesadaran normatif yang kuat serta penghormatan terhadap hak-hak pribadi yang tak dapat dicabut. Petualangan moralitas berlangsung melalui program paralel antara kekuatan elitis dan egalitarian. Hanya dalam parameter-parameter inilah pergeseran penekanan dari dorongan memperoleh menuju kebajikan memberi dapat dipikirkan.”
Mengutamakan kebajikan-memberi (giving-virtue) adalah fondasi kehidupan politik dan personal. Sloterdijk menggunakan istilah meritokrasi; tampak kurang tepat karena sudah ada konotasi lebih awal. Bagaimana pun ide kebajikan-memberi atau giving-virtue adalah tepat sasaran.
4. Pendidikan Lawan Megalomania
Solusinya adalah pendidikan: meski dengan biaya yang amat besar.
“The investment costs for this education program are high. What is at
stake in it is the creation of a code of conduct for multicivilizational complexes. Such a schema needs to be strong enough to cope with the fact that the condensed or globalized world remains, for the time being at least, structured in a multi-megalomaniac and inter-paranoid way. It is not possible to integrate a universe out of energetic, thymotic, irritable actors through ideal syntheses from the top. It is only possible to keep it at a balance through power relationships. Great politics proceeds only by balancing acts. To stay in balance means not evading any necessary fights and not provoking unnecessary ones.”
“Biaya investasi bagi program pendidikan ini sangat besar. Yang dipertaruhkan di dalamnya adalah penciptaan suatu kode etik bagi kompleks-kompleks multiperadaban. Skema semacam ini harus cukup kuat untuk menghadapi kenyataan bahwa dunia yang memadat atau terglobalisasi tetap—setidaknya untuk sementara waktu—tersusun dalam pola multi-megalomania dan saling-paranoia. Tidak mungkin mengintegrasikan sebuah jagat yang terdiri atas aktor-aktor energetik, thymotik, dan mudah tersulut hanya melalui sintesis ideal dari atas. Jagat semacam itu hanya dapat dijaga keseimbangannya melalui relasi-relasi kekuasaan. Politik agung hanya dapat berlangsung melalui tindakan menyeimbangkan. Bertahan dalam keseimbangan berarti tidak menghindari pertarungan yang perlu dan tidak memicu pertarungan yang tidak perlu.”
Dunia saat ini dipenuhi penguasa megalomania dan paranoid. Sangat sulit melawan mereka. Skema pendidikan tidak bisa ditetapkan dari atas saja; tetapi harus berimbang dan mampu menahan megalomania itu. Kadang terpaksa harus menghadapi pertempuran; meski tidak perlu memicu pertempuran.
5. Diskusi
Sloterdijk menutup bukunya dengan paragraf yang paradoks: dibutuhkan tindakan darurat untuk mencegah terjadinya darurat.
“The term “transition” should not mislead us into ignoring the fact that
one always exercises under conditions of emergency in order to prevent
emergency from happening wherever possible. Mistakes are not permitted and yet are likely. If the exercises go well, it might be the case that a set of interculturally binding disciplines emerge that could, for the first time, rightly be referred to with an expression that, until now, has been used prematurely: world culture.”
“Istilah “transisi” jangan sampai menyesatkan kita hingga mengabaikan kenyataan bahwa latihan selalu dilakukan dalam kondisi darurat untuk mencegah keadaan darurat terjadi sejauh mungkin. Kesalahan tidak diperbolehkan, namun tetap mungkin terjadi. Jika latihan-latihan itu berjalan baik, dapat saja muncul seperangkat disiplin yang mengikat secara interkultural yang, untuk pertama kalinya, layak disebut dengan suatu ungkapan yang hingga kini telah digunakan secara prematur: kebudayaan dunia.”
Bagaimana menurut Anda?
