Yang jelas, banyak orang menuhankan AI (akal imitasi / artificial inteliigence). Tetapi, apakah AI akan bisa menjadi Tuhan?

Dalam buku “19 Narasi Besar Akal Imitasi”, kami mengajukan pertanyaan:
“Apakah AI bisa lebih cerdas dari Einstein?”
AI lebih cerdas dari Einstein dalam kemampuan menyelesaikan problem matematika sampai bahasa. AI (akal imitasi) telah belajar dari seluruh informasi yang tersedia di dunia. Sementara Einstein (atau seorang manusia) terbatas kemampuan untuk belajar dan menyimpan informasi.
Tetapi AI seperti itu apakah benar-benar cerdas? Masih dalam buku “19 Narasi”, kami menjawab, “Bukan. AI yang seperti itu bukan benar-benar cerdas. Hanya tampak seperti cerdas.”
1. Posibilitas AI Menjadi Tuhan
2. Asumsi Masa Depan
3. Posibilitas Maksimum Minimum
4. Membebaskan Budak
5. Diskusi
Dalam kesempatan ini, kita akan menjawab dengan tegas: AI tidak bisa menjadi Tuhan; AI tidak bisa secerdas manusia; AI tidak bisa menguasai dunia.
AI (akal imitasi / artificial intelligence) model yang sekarang memang tidak bisa secerdas manusia. Bagaimana dengan AI masa depan? Kita akan menjawabnya.
Dua kata kunci menjadi solusi: (1) imkan al ashraf dari Suhrawardi atau posibilitas maksimum; dan (2) imkan al akhas dari Sadra atau posibilitas minimum.
“Ṣadrā calls this rule ‘the principle of the lower possibility’ (al-imkān al-akhaṣṣ) (which is to be understood as the necessity to previously actualise the lower possibility in order to allow the actualisation of the higher one) and, by treating it as the counterpart of the rule of ‘the nobler/higher possibility’ (al-imkān al-ashraf) (according to which, the actualisation of the lower possibility is only possible through and after the actualisation of the higher one), makes it the organising/structural principle of the ascending arc.”
1. Posibilitas AI Menjadi Tuhan
Sebelum AI menjadi Tuhan, sudah ada yang mendahuluinya: uang sudah menjadi Tuhan. Untung saja, akhir abad 19, Nietzsche sudah mengumumkan: “Berhala telah mati. Kita semua yang membunuh berhala itu.”
Uang atau pun AI (akal imitasi) paling banter menjadi berhala. Sudah pasti berhala itu mati. Sejak Samiri membuat berhala Sapi Emas sekitar 3500 tahun yang lalu, Nabi Musa telah meruntuhkan berhala itu. Sejarah terus bergulir; sebagian manusia mendirikan berhala lagi; kemudian manusia tercerahkan meruntuhkannya.
Andai kata, ada orang-orang yang menuhankan AI sebagai berhala maka akan ada orang tercerahkan yang meruntuhkan berhala AI itu.
Bagaimana dengan AI masa depan yang makin canggih?
2. Asumsi Masa Depan
Argumen optimis AI sering memanfaatkan asumsi masa depan: AI makin canggih di masa depan sampai singularitas.
Ketika singularitas terjadi maka AI memang lebih cerdas dari Einstein; bahkan lebih cerdas dari seluruh umat manusia. Tetapi, AI (akal imitasi) tetap tidak bisa menjadi Tuhan meski singularitas; paling banter menjadi berhala. Lebih kritis: apa singularitas bisa terjadi? Tidak bisa. Jadi asumsi masa depan itu sekadar asumsi belaka.
3. Posibilitas Maksimum Minimum
“Ṣadrā menyebut kaidah ini sebagai “prinsip posibilitas yang lebih rendah” (al-imkān al-akhaṣṣ), yang dipahami sebagai keharusan untuk terlebih dahulu mengaktualkan kemungkinan yang lebih rendah agar memungkinkan terwujudnya kemungkinan yang lebih tinggi. Dengan memperlakukannya sebagai padanan dari kaidah “posibilitas yang lebih mulia/lebih tinggi” (al-imkān al-ashraf), yang menyatakan bahwa pengaktualan kemungkinan yang lebih rendah hanya mungkin terjadi melalui dan setelah pengaktualan kemungkinan yang lebih tinggi, Ṣadrā menjadikannya prinsip pengatur (struktural) dari busur tangga kenaikan (ascending arc).”
Kita perlu leluasa menghadapi beragam ambiguitas eksistensi dan bahasa di sini. Posibilitas adalah realitas dan realitas adalah posibilitas. Potensi adalah aktual; yang aktual adalah potensi.
“Probabilitas dan Realitas: Tanggapan Ṣadrā adalah bahwa pengandaian tentang keberadaan dua keadaan yang berbeda—yang satu bersifat potensial dan yang lain aktual—merupakan hasil analisis mental (taḥlīl ʿaqlī). Sementara itu, dalam realitas, yang potensial dan yang aktual adalah satu dan sama, serta termasuk dalam satu arah eksistensial yang sama.”
Kita mampu menjawab dengan tegas semua pertanyaan dengan dua prinsip di atas: (a) posibilitas maksimum-minimum; dan (b) identitas realitas = posibilitas.
(a) Perubahan Maksimum-Minimum
Setiap realitas, misal kita sebagai manusia, memiliki posibilitas maksimum mau pun minimum. Realitas tidak bisa kurang dari minimum dan tidak bisa lebih dari maksimum. Realitas adalah bentangan posibilitas antara minimum dan maksimum.
| Minimum | Maksimum | |
| Manusia | Materi | Nama Tuhan |
| Kucing | Materi | Kucing Tua – Hilang |
| AI | Algoritma | Upgrade – Hilang |
Manusia mengalami perubahan (gerak substansial) dari materi paling rendah sampai menjadi manifestasi Nama Tuhan seiring sejarah. Posibilitas minimum kucing sama dengan manusia berubah dari materi (badan kucing) menjadi kucing tua (lalu mati hilang). Posibilitas maksimum kucing berbeda dengan manusia; kucing hilang setelah mati; manusia berlanjut setelah mati meniti sejarah.
AI (akal imitasi / artificial intelligence) berubah dari algoritma sampai akhirnya hilang ketika “upgrade” ; yang lama hilang diganti AI yang baru. Posibilitas minimum AI lebih tinggi dari manusia; dan posibilitas maksimum AI lebih rendah dari manusia. Jadi, bentangan posibilitas AI lebih pendek, atau lebih sempit, dari bentangan posibilitas manusia. Atau bentangan posibilitas manusia jauh lebih luas dari AI.
Sehingga AI tidak bisa menyamai manusia; AI tidak bisa lebih cerdas dari Einstein; tentu AI tidak bisa menjadi Tuhan. Tetapi, manusia bisa menjadikan AI sebagai berhala meski akan ada yang meruntuhkannya.
Jin adalah paling mirip dengan manusia. Badan jin terbuat dari api (energi). Posibilitas minimum jin lebih tinggi dari manusia. Posibilitas maksimum jin hampir sama dengan manusia. Barangkali kita bisa mengingat jin yang bernama Iblis dalam kisah kitab suci. Iblis merasa lebih hebat dari Adam karena Iblis tercipta dari api (posibilitas minimum) sedangkan Adam tercipta dari tanah (posibilitas minimum lebih rendah dari api). Tetapi Iblis lupa dengan posibilitas maksimum manusia (Adam) yang “jauh” lebih tinggi.
Malaikat terbuat dari cahaya (foton, boson?) untuk badannya. Posibilitas minimum malaikat lebih tinggi dari manusia. Posibilitas maksimum hampir sama dengan manusia.
(b) Realitas adalah Posibilitas
Seluruh realitas adalah posibilitas; sehingga selalu mengalami perubahan substansial meski tampak aksidental. Atau, realitas adalah bentangan posibilitas.
Makna posibilitas minimum dan maksimum adalah posibilitas konkret sebagai realitas eksistensi; bukan sekedar konsep probabilitas abstrak yang ada di angan manusia.
Tesis (1): AI tidak bisa lebih cerdas dari Einstein.
Tesis (2): AI tidak bisa menjadi Tuhan.
Kita akan menegaskan tesis (1) yang berdampak kepada tesis (2).
Kasus Kucing Putih. Pertimbangkan kucing putih lahir, tumbuh besar, sampai mati pada usia 7 tahun. Posibilitas minimum adalah badan kucing lahir dan posibilitas maksimum adalah kucing mati pada usia 7 tahun. Realitas kucing adalah bentangan posibilitas tersebut.
Suatu saat Anda melihat kucing putih itu yang lucu: berapa usia kucing putih itu?
P(3) = kucing itu berusia 0 sampai 3 tahun; posibilitas kecil; mendekati minimum.
P(5) = kucing itu berusia 0 sampai 5 tahun; posibilitas besar; mendekati maksimum.
Kaidah posibilitas maksimum: Jika P(3) benar maka membutuhkan P(5) pasti benar; Jika P(5) benar maka tidak dipaksa agar P(3) benar. Pertimbangkan usia kucing 4 tahun. Perhatikan kita sedang membahas posibilitas yang sangat dinamis; bukan substansi material yang beku.
Kaidah posibilitas minimum: Jika P(5) benar maka pernah mengalami P(3) benar. Misal ketika kucing usia 4 tahun (P(5) benar) maka pernah usia 2 tahun (P(3) benar).
Kasus AI akan secerdas Einstein: posibilitas minimum adalah algoritma dan posibilitas maksimum adalah “upgrade”.
Algoritma terlalu tinggi untuk bisa menyentuh badan kucing ketika lahir; terlalu tinggi untuk bisa menyentuh badan bayi ketika Einstein lahir. Algoritma yang berupa bit-bit digital hanya bisa melayang di awang-awang. Akibatnya, bentangan posibilitas eksistensi AI tidak sedalam kucing mau pun Einstein.
Kemudian, AI lenyap ketika terjadi “upgrade” misal GPT-4 hilang ketika upgrade menjadi GPT-5. Dalam masa hidup AI itu, masa hidup GPT-4, ia tidak menghasilkan sejarah dirinya sendiri. Kucing lebih hebat dalam hal ini: sebelum kucing putih itu mati, ia telah melahirkan 10 atau 30 kucing muda lainnya.
Einstein lebih hebat lagi. Ketika mati, ia telah menulis sejarah berupa teori relativitas misalnya. Teori relativitas Einstein ini masih terus berkembang sepanjang sejarah sampai masa kini dan bahkan sampai masa depan.
Jadi tidak ada bukti bahwa AI lebih hebat dari Einstein dalam bentangan posibilitas eksistensinya. Justru Einstein, atau seorang manusia, menunjukkan bentangan posibilitas yang lebih luas dari AI. Jadi tesis (1) terbukti dan tesis (2) sebagai konsekuensinya.
Sejarah AI
Barangkali ada yang berpendapat bahwa AI bisa menciptakan sejarah: misal ChatGPT-4 sudah tercatat dalam sejarah.
Bukan AI menciptakan sejarah tetapi AI menjadi bagian sejarah dari umat manusia. Bahkan kucing putih yang bisa melahirkan puluhan kucing lagi tidak bisa menciptakan sejarah; kucing tidak pernah menceritakan sejarah tentang kucing. Tetapi kucing putih bisa menjadi bagian dari sejarah umat manusia.
Tetapi AI lebih hebat dari manusia dalam proses dan analisa beragam bahasa. Tentu banyak yang lebih hebat dari manusia. Gajah lebih kuat dari manusia; mobil lebih cepat dari manusia; kalkulator lebih tepat dalam berhitung dari manusia. Semua kehebatan itu adalah keunikan masing-masing pihak tetapi tidak memperluas bentangan posibilitas eksistensi mereka. Ketika gajah lebih kuat dari manusia maka tidak berarti bahwa gajah lebih cerdas dari manusia. Demikian juga ketika AI lebih cepat dari manusia maka tidak berarti AI lebih cerdas dari manusia.
4. Membebaskan Budak
Mengapa membebaskan budak sangat penting? Karena budak adalah posibilitas minimum. Dengan membebaskan budak, kita menyentuh posibilitas minimum dan, di saat yang sama, kita meraih posibilitas maksimum. Bagi budak yang dibebaskan, ia berkesempatan untuk mencapai posibilitas maksimum dengan jalan lebih beragam. Posibilitas menjadi lebih luas terbentang dari minimum sampai maksimum.
Menolong fakir miskin, menyantuni yatim piatu, dan membela orang tertindas adalah sangat penting. Dengan berbuat baik kepada mereka semua, kita menyentuh posibilitas minimum yang mengantar untuk meraih posibilitas maksimum kemanusiaan. Demikian juga mereka.
5. Diskusi
Bagaimana menurut Anda?
5.1 Posibilitas Minimum Terbuka
Kita bisa membedakan posibilitas minimum terbuka dengan tertutup.
Posibilitas minimum terbuka: berbagi makanan kepada fakir miskin.
Posibilitas minimum tertutup: mencuri makanan dari fakir miskin.
Ketika Anda berniat memberi makan fakir miskin maka rentang posibilitas diri Anda meluas. Posibilitas minimum bergerak turun; tetapi tidak bisa benar-benar turun kecuali posibilitas maksimum naik lebih dulu. Karena Anda berbuat baik maka posibilitas maksimum naik di atas posibilitas malaikat yang baik; posibilitas Anda lebih tinggi dari malaikat tertentu. Karena minimum turun dan maksimum naik maka hasilnya posibilitas Anda meluas. Gerak perluasan posibilitas ini berlangsung berulang-ulang.
Proses berbeda terjadi pada posibilitas minimum tertutup. Ketika seseorang mencuri, misalnya, maka posibilitas minimum akan turun tetapi posibilitas maksimum tidak naik. Justru tindakan mencuri itu berakibat posibilitas maksimum terkunci tidak mau naik sama sekali. Hasil akhirnya tidak ada perluasan posibilitas yang berarti.
Apakah AI bisa mencuri makanan? Apakah AI (akal imitasi / artificial intelligence) bisa meluaskan posibilitas secara signifikan? Tidak bisa.
AI memang bisa menyebabkan 5000 karyawan Microsoft dipecat (posibilitas minimum turun). Tetapi bukan AI yang posibilitas minimum turun; posibilitas minimum AI tetap di batas algoritma; yang memecat karyawan Microsoft adalah bos di sana. Jadi yang posibilitas minimum turun adalah para bos yaitu para manusia. Andai bos itu kemudian menempatkan 5000 orang yang dipecat itu di pekerjaan yang lebih baik maka posibilitas maksimum bos itu sudah naik. Hasil akhirnya rentang posibilitas para bos berhasil meluas.
5.2 Bahasa Baru
Korona, emoji, daring, pranala, kopas, dan lain-lain adalah contoh kata-kata baru dalam bahasa. Apakah AI bisa membuat kata baru? Tidak bisa. AI (akal imitasi / artificial intelligence) tidak bisa membuat kata baru termasuk tidak bisa membuat teori baru.
Bahasa adalah posibilitas yang besar. Manusia memiliki bahasa sehingga manusia memiliki rentang posibilitas sangat luas.
Tetapi ChatGPT, Gemini, dan Meta bisa menulis puisi dan mengarang cerita. Bukankah itu tanda AI bisa berbahasa? AI adalah model bahasa raksasa (LLM) tetapi tidak menguasai bahasa. AI hanya tampak menguasai bahasa padahal tidak.
Menariknya, AI tidak bisa menamai dirinya sebagai AI; manusia yang memberi nama AI itu. Demikian juga korona; virus tidak bisa menamainya sebagai korona tetapi kemudian manusia yang menamainya sebagai korona atau covid.
Jadi, karena AI tidak bisa berbahasa maka posibilitasnya terbatas sehingga tidak bisa lebih cerdas dari Einstein. Lanjutannya, AI tidak bisa menjadi tuhan, hanya bisa menjadi berhala yang kemudian berhala itu diruntuhkan oleh sebagian umat manusia.
5.3 Tanggung Jawab
Bagaimana tanggung jawab kita sebagai manusia?
Manusia bertanggung jawab atas segala yang ada; akibatnya, manusia menjadi gelisah. Peduli, terhadap rasa gelisah jiwa ini, adalah tanda bahwa Anda seorang manusia. Orang yang tidak pernah gelisah; bahkan tidak gelisah akibat bencana Sumatera; mereka adalah bukan manusia. Hanya penampakan mereka bagai manusia tetapi hakikatnya bukan manusia.
Robot AI tidak gelisah. Kalkulator tidak gelisah ketika salah hitung akibat dari error. Justru manusia yang gelisah ketika memakai kalkulator error.
Apakah Anda gelisah? Bagaimana tanggung jawab Anda? Kita memang manusia yang punya peduli dan gelisah.
