Wacana 1.1: Semiotika

Filosofi Visi Iluminasi

1. Pendahuluan
2. Makna Semantik
3. Pengetahuan Fitri
4. Teori Definisi
5. Ringkasan

1. Pendahuluan

Dalam wacana pertama, secara semantik, Suhrawardi menolak definisi esensial Aristo. Definisi esensial berasumsi mampu mengungkap semua esensi universal alamiah dengan menggabungkan genus dan diferensia. Tetapi, kita tidak pernah yakin bahwa semua esensi sudah terungkap.

Anggap definisi berhasil mengungkap semua aspek esensial. Untuk memahami definisi maka kita perlu memahami genus dan diferensia tersebut. Orang yang tidak paham genus atau diferensia maka tetap tidak akan paham definisi. Sementara, orang yang sudah paham genus dan diferensia maka tidak perlu definisi tersebut karena memang dia sudah paham. Jadi, definisi esensial gagal untuk menjadi pengetahuan. Suhrawardi mengingatkan bahwa fungsi definisi adalah sekedar menunjukkan. Sedangkan untuk mendapatkan pengetahuan, kita perlu pengalaman langsung, kelak dikenal sebagai ilmu huduri.

2. Makna Semantik

Suhrawardi dengan cerdik menyatakan bahwa makna dari suatu ungkapan bahasa bisa beragam: sesuai yang diharapkan, berbeda dengan yang diharapkan, atau bahkan berlawanan dari yang diharapkan. Pengetahuan ada dua jenis: pengetahuan fitri (bawaan) dan pengetahuan non-fitri (bukan-bawaan). Pada analisis akhir, semua pengetahuan didasarkan pada pengetahuan fitri. Bagian akhir dari wacana ini, mengungkapkan kritik Suhrawardi terhadap teori “definisi esensialis” dari Aristoteles yang dikembangkan oleh Ibnu Sina.

(7) The use a world to signify its whole conventional meaning is called “intended signification.” Its use to signify part of meaning is called “implicit signification.” Its use to signify a concomitant of the meaning is called “concomitant signification.”

(7) Penggunaan kata yang sepenuhnya bermaksud sesuai makna konvensional disebut “makna yang diharapkan.” Penggunaan bermaksud sebagian makna disebut “makna implisit.” Penggunaan bermaksud makna yang menyertai disebut “makna yang menyertai.”

Mari kita mulai dengan ambil contoh semantik.

“Makan”

Apa makna dari makan?

Barangkali, Anda berpikir “makan” adalah proses seseorang mengambil nasi dari piring dengan memakai sendok. Lalu, dimasukkan ke mulut dan mengunyahnya karena dia lapar. Makna seperti itu adalah makna yang diharapkan.

Orang lain bisa memberi makna justru “jangan makan.” Bila demikian, itu adalah makna yang tidak diharapkan. Bisa terjadi, misal, ketika orang mengatakan “makan” dengan nada ketus. Konteks yang tegang karena marah bisa memberi makna sebagai larangan makan.

Orang lain lagi bisa memberi makna makan sebagai “serangan mematikan dari kuda catur ke benteng lawan”. Atau, dalam bahasa permainan catur, “kuda makan benteng.” Bila demikian, makna di sini berbeda dengan yang diharapkan.

Bagaimana pun, makna dari suatu kata, penyataan, atau bahasa bisa berbeda-beda.

3. Pengetahuan Fitri

Pengetahuan dikelompokkan dua: (1) fitri dan (2) non-fitri. Pada analisis akhir, semua pengetahuan perlu didasarkan kepada pengetahuan fitri. Karena pengetahuan fitri sudah begitu saja diyakini oleh seseorang maka kadang mereka tidak waspada. Kita perlu bersikap teliti terhadap pengetahuan fitri, tentu, juga terhadap non-fitri.

(12) Man’s knowledge is either innate or non-innate.

(12) Pengetahuan manusia, dua macam, (1) fitri atau (2) non-fitri.

P = “Pohon jambu di samping rumah.”

Pernyataan P, di atas, seakan-akan merupakan pengetahuan non-fitri, yaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan. Analisis lebih lanjut, P membutuhkan pengetahuan fitri, pengetahuan bawaan. Misal, pengetahuan fitri berupa “pasti ada sesuatu di sana.” Sesuatu yang dimaksud, ternyata, adalah pohon. Jika seseorang tidak punya pengetahuan fitri, misal, karena sedang pingsan maka tidak ada P.

Pengetahuan fitri yang lebih dasar lagi adalah pengetahuan adanya subyek pengamat, ada Anda, ada saya, atau ada pengamat dalam bentuk apa pun. Tanpa pengamat, pernyataan P, di atas, menjadi tanpa arti apa pun.

Kita perlu lebih waspada kepada pengetahuan fitri, atau, klaim sebagai fitri. Sementara, non-fitri biasanya aman. Karena, non-fitri adalah pengetahuan melalui pengamatan maka bisa bernilai benar atau, kadang, salah. Konsekuensinya, kita terbuka untuk verifikasi dan falsifikasi terhadap non-fitri.

Di sisi lain, pengetahuan fitri sering diterima begitu saja sebagai kebenaran. Padahal, bisa jadi hanya asumsi sebagai benar. Terbiasa dan sering diterima umum sebagai fitri tidak menjamin pengetahuan menjadi benar. Kita perlu lebih dalam untuk mengkaji.

4. Teori Definisi

Secara umum, orang-orang menerima definisi esensial yaitu genus terdekat ditambah dengan diferensia. Tetapi, teori definisi esensial telah gagal memenuhi harapannya sendiri: mengungkapkan sisi esensial. Paling banter, definisi hanya mampu menunjukkan.

(15) It is clear that it is impossible for a human being to construct essential definition.

(15) Jelas tidak mungkin bagi seorang manusia untuk membuat definisi esensial.

Kita ambil contoh definisi manusia adalah animal rasional.

Animal adalah genus terdekat. Dan rasional adalah diferensia atau pembeda esensial.

Bagaimana, kita bisa yakin bahwa rasional sudah berhasil mengungkap seluruh aspek esensial dari manusia? Solusinya adalah dengan membuat definisi tentang rasional itu sendiri atau mengamati manusia kemudian menunjukkan aspek rasional dari manusia. Definisi rasional dan pengamatan seperti itu tetap tidak menjamin berhasil mengungkap seluruh aspek esensial manusia. Kita membutuhkan solusi alternatif.

Demikian juga tentang animal, bagaimana kita bisa mengetahui, secara meyakinkan, sudah mengungkap seluruh aspek esensial animal? Kita bisa menjawab dengan definisi lebih dasar bahwa, misal, animal adalah nabati plus persepsi. Lagi, solusi ini tidak meyakinkan. Kita membutuhkan solusi alternatif.

Berbagai macam pendekatan definisi bisa kita kembangkan. Tentu saja, HI mengembangkan teori definisi tersendiri yang mengandalkan pengetahuan huduri.

5. Ringkasan

Wacana 1.1 ini langsung memberi kritik tajam terhadap teori yang ada waktu itu. Pertama, makna dari suatu pernyataan bisa beragam. Pemaksaan hanya ada satu makna saja adalah tidak bijak. Kedua, definisi esensial telah gagal sebagai pengetahuan. Kita membutuhkan alternatif teori definisi. Ketiga, pengetahuan fitri perlu kita waspadai dan mengkajinya lebih mendalam.

Bagian-bagian selanjutnya mewawarkan solusi terhadap masalah ini. Dan, tentu saja, mengungkap masalah lain lagi yang lebih pelik secara filosofis.

Kembali ke: Filosofi Visi
Lanjut ke: Wacana 1.2: Logika Formal Silogisme

(15)

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar