Wacana 1.2: Logika Formal Silogisme

Filosofi Visi Iluminasi

1. Pendahuluan
2. Logika Sederhana
3. Silogisme Universal
4. Silogisme Implikasi
5. Formal ke Material

1. Pendahuluan

Dalam wacana kedua, tentang bukti, silogisme dan pembuktian, Suhrawardi mengkritik keras struktur silogisme Peripatetik yang terlalu kompleks. Untuk kajian ilmiah, seluruh silogisme bisa direduksi menjadi satu bentuk universal, niscaya, dan afirmasi. Sebagai contoh, “Mungkin saja seseorang adalah terdidik,” menjadi, “Niscaya semua orang bisa terdidik.” Dengan demikian, semua silogisme bisa menjadi bentuk Barbara, “Niscaya semua A adalah B. Niscaya semua B adalah C. Maka niscaya semua A adalah C.” Kita bisa melangkah lebih jauh, menurut saya, ke silogisme implikasi. “A maka B. Dan B maka C. Kesimpulannya A maka C.” Bentuk implikasi di atas terbebas dari syarat bahwa A harus berhubungan dengan C secara alamiah. Konsekuensinya, kita bisa mengembangkan rekayasa, misal teknologi digital, dari kesimpulan jika A maka C karena tidak bersifat alamiah.

2. Logika Sederhana

Luar biasa! Di abad 12, Suhrawardi berhasil menyederhanakan beragam bentuk silogisme menjadi satu bentuk tunggal yang bersifat: niscaya, universal, dan afirmatif. Kelak, di abad 20, kita mengenal metode Karnaugh Map untuk menyederhanakan sistem digital yang rumit menjadi paling sederhana, dan hemat. Suhrawardi sudah mengantisipasi proses “penyederhanaan” logika 8 abad lebih awal. Dengan kemahiran Suhrawardi ini, maka dia berhak melakukan kritik terhadap logika silogisme, khususnya, pada bagian fondasinya: definisi esensial.

3. Silogisme Universal

Silogisme universal dari Suhrawardi, kelak, dikenal sebagai bentuk Barbara AAA: (1) niscaya; (2) unviersal; (3) afirmasi. Saya setuju dengan Suhrawardi bahwa kita perlu fokus ke, hanya, satu bentuk logika yang valid. Bentuk logika yang lain, bisa, kita konversi ke AAA.

(21) Since the contingency of the contingent, the impossibility of the impossible, and the necessity of the necessary are all necessary, it is better to make the modes necessity, contingency, and impossibility parts of predicate so that the proposition will become necessary in all circumstances.

(21) Karena kontingen pasti kontingen, mustahil pasti mustahil, dan niscaya pasti niscaya, maka lebih baik kita menjadikan mereka semua bagian dari predikat, sehingga, proposisi menjadi niscaya untuk semua.

Dengan demikian, kita terbebas dari beban besar mengenali dan menghafal istilah-istilah teknis logika. Tentu saja, ada baiknya kita memahami term teknis bila diperlukan. Tetapi, fokus kepada bentuk tunggal akan banyak meringankan.

Contoh (R1): Kadang-kadang, sebagian warga tidak bisa sekolah.

Kita ubah menjadi (P1): Pasti, setiap warga ada yang hanya belajar di rumah.

Perhatikan R1 menjadikan kita ragu-ragu karena ada ungkapan kadang-kadang. Suatu kejadian di Ambon, misalnya, apakah sesuai R1? Tetapi dengan P1, kita lebih yakin karena ada ungkapan pasti. Kejadian di Ambon, misal, bisa disimpulkan sesuai P1. Analisis logika membutuhkan kepastian. Untuk kepentingan politik, barangkali, justru sengaja perlu tidak pasti.

K: Semua anak yang rajin pasti lulus.
L: Semua anak yang lulus pasti sukses.

Kesimpulan,
M: Semua anak yang rajin pasti sukses.

Perhatikan bahwa kesimpulan M valid karena terpenuhi sifat (1) semua; (2) pasti; (3) positif.

Andai ada kata “sebagian” maka kita tidak bisa mengambil penilaian dengan tegas. Demikian juga, bila ada kata “kadang-kadang” dan “tidak” maka sulit mengambil kesimpulan dengan meyakinkan. Tentu saja, kesimpulan akhir bisa probabilistik. Tetapi, untuk analisis kita memerlukan AAA.

4. Silogisme Implikasi

Saya mengusulkan agar kita lebih fokus kepada silogisme implikasi. Keunggulan implikasi adalah kesimpulan bebas: (1) ada hubungan alami atau (2) tidak ada.

Contoh “(M): Semua anak yang rajin pasti sukses” adalah (1) ada hubungan alami antara rajin dan sukses.

Berikut ini, kita akan membuat contoh yang (2) tidak ada hubungan.

F: Tekan tombol maka listrik nyala.
G: Listrik nyala maka pintu terbuka.

Kesimpulan,
H: Tekan tombol maka pintu terbuka.

Dalam kesimpulan H tidak ada hubungan alamiah antara “tekan tombol” dengan “pintu terbuka”. Hubungan ini tercipta melalui rekayasa – bukan alamiah. Jadi, dengan silogisme implikasi, kita lebih terbuka dengan beragam posibilitas baru.

5. Formal ke Material

Hanya fokus kepada satu bentuk silogisme implikasi, kita menjadi hemat waktu dan pikiran. Selanjutnya, kita bisa memanfaatkan waktu mengkaji logika material secara filosofis. Kita menggeser fokus dari logika formal ke logika material.

Lanjut ke: Wacana 1.3: Kritik Logika dan Solusi
Kembali ke: Filosofi Visi

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

2 Comments

Tinggalkan komentar