Masa Depan Jiwa

Kapital Jiwa: Mutiara Kehidupan dari Filsafat Mulla Sadra

Masa depan jiwa. Bayi, anak-anak, remaja, lalu tua. Kemudian apa? Kita perlu mengkaji masa tua dan nasib jiwa setelah tidak berada di dunia. Kita perlu membahas masa depan jiwa.

1. Pendahuluan

2. Problema Waktu

3. Wacana Masa Depan Jiwa
Wacana 3.1: Keragaman Dunia
Wacana 3.2: Mati adalah Sempurna
Wacana 3.3: Kreativitas Tersembunyi
Wacana 3.4: Karakter adalah Masa Depan
Wacana 3.5: Masa Depan Terbuka

4 Wacana Analisa
4.1 Modus Dunia
4.2 Ragam Definisi
4.3 Makna Kematian
4.4 Disrupsi
4.5 Etika Karakter dan Rasa Peka
4.6 Masa Metafora: Akumulasi Futuristik
4.7 Tanda Tanya

1. Pendahuluan

Tentu saja, kita peduli akan nasib masa depan jiwa kita. Apa yang akan terjadi esok hari pada diri ini? Bagaimana nasib diri setelah mati?

Tidak ada orang yang pernah mati lalu hidup lagi untuk menceritakan pengalaman setelah dia mati. Andai ada orang yang seperti itu, kita dan semua orang berhak untuk tidak percaya cerita dari dia. Memang rumitkan? Sementara, pengalaman orang yang pernah mati suri atau pernah dekat mati juga beragam. Kadang saling bertentangan. Ada yang melihat cahaya begitu membahagiakan. Orang memaknai pengalaman seperti itu sebagai pengalaman spiritual. Ada juga yang mengalami gelap saja. Hilang saja. Tidak ada apa-apa. Istirahat dengan tenang saja. Bahkan, untuk satu pengalaman yang sama tentang kematian, masing-masing orang bisa memberi makna berbeda-beda.

Di bagian 3 ini, kita akan membahas tema masa depan, termasuk eksistensi setelah mati, dengan hati-hati.

2. Problema Waktu

Waktu begitu jelas mengalir setiap saat. Tetapi, apa itu waktu sebenarnya? Tidak mudah menjawabnya. Kita bisa melihat gerak jarum jam menunjukkan waktu 1 detik. Kita bisa melihat matahari terbit dan besok terbit lagi menunjukkan waktu 1 hari. Kita bisa melihat bulan purnama lagi menunjukkan waktu 1 bulan. Bagaimana pun, waktu masih tersembunyi dari peristiwa-peristiwa yang menunjukkan waktu.

Ada waktu yang kita anggap jelas yaitu masa kini. Sementara, masa lalu dan masa depan tampak hanya samar-samar. Waktu membentang dari masa depan, masa lalu, dan masa kini. Kita akan membahas problema waktu di bagian “Wacana Analisa.”

3. Wacana Masa Depan Jiwa

Kita membahas tema masa depan jiwa dalam lima wacana.

Wacana 3.1: Keragaman Dunia

Dunia memang beragam, bahkan, banyak ragam. Tetapi, rumah eksistensi hanya satu. Anda tetap bisa mengenali Ibu Anda adalah satu orang yang sama. Meski ibu berganti-ganti seribu baju. Meski ibu membacakan puluhan buku. Meski ibu mengolah ratusan bumbu. Dia adalah satu orang yang sama: Ibu Anda. Eksistensi Ibu Anda adalah satu itu. Rumah eksistensi ibu hanya satu yaitu Ibu Anda yang nyata sebagai seorang individu.

(319) The worlds and instantiations (nashaʾāt) are many, but the house of existence (dār al-wujūd) is one because although the worlds are many, they are enclosed by each other and all of them are subsumed into three instantiations: [ (1) material, (2) intermediate, (3) intellectual. ]

(319) Dunia dan model-modelnya adalah banyak, tetapi rumah eksistensi adalah satu karena meski dunia beragam, mereka saling membungkus diri dan masuk dalam tiga model: [ (1) dunia material, (2) dunia tengah, (3) dunia intelektual].

Kita bisa mengelompokkan keragaman dunia menjadi hanya tiga model atau tiga tingkat: (1) dunia material, (2) dunia tengah atau dunia imajinasi, (3) dunia intelektual.

(319)

[1.] The lowest is this material world which transforms and decays and has places and conditions. This world is the world of contradiction and competition, and it must disappear and come to an end. The same is true of everything that exists in it or has a connection with it; namely, it is followed by disappearance, disintegration, and an end.
[2.] The intermediate world is the world of extended forms (ʿālam al-ṣuwar al-miqdāriyya) that are separated from matter, [but] they are receptive of contraries and they are the carriers of possibilities and potentialities.
[3.] The highest of these worlds is the world of the intellectual forms (ṣuwar ʿaqliyya) and the divine forms (muthul ilāhiyya)

(319)

[1] Yang terendah adalah dunia material ini yang [1] berubah dan rusak dan [2] perlu tempat dan syarat. Dunia ini adalah dunia kontradiksi dan kompetisi dan pasti lenyap dan sampai ke ujung akhir. Hal yang sama juga terjadi pada yang eksis di dalamnya atau yang berhubungan dengannya, yaitu, ikut lenyap, runtuh, dan berakhir.

[2] Yang tengah adalah dunia forma extended yang terlepas dari materi, [tetapi] mereka reseptif terhadap kontradiksi dan mereka adalah pembawa posibilitas dan potensialitas.

[3] Yang tertinggi dari dunia-dunia ini adalah dunia forma intelektual dan forma ilahiah.

Dunia tengah memiliki peran penting: membawa posibilitas dan potensialitas.

(320) The first world is this material world which has neither stability nor endurance (baqāʾ). The last two worlds are both enduring and have neither disappearance nor an end. One of them is divided into (two realms): (The first is) the paradise of the blissful people who are the righteous, and (the second is) the hell of the damned who are the “companions of the left hand.” (Q 56: 9). The other world is the holy world, which is the paradise of those who are the foremost in faith and the proximate to God, and it is the goal of the archetypal angels.

(320) Dunia yang pertama adalah dunia material yang tidak stabil tidak pula abadi. Dua dunia lainnya adalah abadi dan [1] tidak musnah dan [2] tidak berakhir. Satu dari mereka terbagi menjadi (dua): [1] surga bagi orang-orang yang bahagia yaitu mereka yang benar, dan [2] neraka terkutuk bagi mereka “golongan kiri.” (Q 56: 9). Dunia yang lain adalah [3] dunia suci, surga bagi mereka yang kuat iman dan dekat dengan Tuhan, dan ini adalah tujuan para malaikat tertinggi.

Dunia tertinggi adalah bagi mereka yang paling teguh iman dan dekat dengan Tuhan.

Wacana 3.2: Mati adalah Sempurna

Pada waktunya, kita pasti mati. Apa yang Anda siapkan ketika mati? Bagaimana nasib Anda setelah mati? Tetapi, apa sejatinya mati?

(321) It must be known that the meaning of the necessity of death and its being a natural (event) is not as the materialists and the physicians have asserted; that is, since the bodily powers are limited in their actions and reactions, annihilation must take place. For it is possible that a bodily power continues performing unlimited activities through renewal of the Divine assistance. This answer is applied too for other proofs that are based on the necessity of depletion of the (bodily) power and its expiration. Rather, the cause of death is the soul’s gradual perfection and its (becoming) independent in existence.

(321) Harus dipahami bahwa makna niscaya kematian dan kejadian alaminya bukanlah seperti yang dinyatakan oleh materialis atau fisikawan; yaitu, [menurut mereka] karena kemampuan badan terbatas dalam aksi dan reaksi, maka, pasti akan terjadi kemusnahan [kematian]. Karena mungkin saja badan tetap memiliki kemampuan aksi tak terbatas yang senantiasa diperbarui dengan bantuan Yang Maha Kuasa. Jawaban ini juga bisa diterapkan sebagai bukti tambahan [terhadap argumen] yang didasarkan pada keniscayaan pelemahan dan usangnya kemampuan badan. Yang lebih benar, penyebab kematian adalah [1] proses penyempurnaan jiwa secara gradual [2] dan (menjadi) eksistensi yang mandiri [dari badan].

Mati adalah proses penyempurnaan jiwa. Ketika jiwa makin maju lebih sempurna maka jiwa lebih bebas, lebih terbebas, dari ikatan dunia materi. Sampai suatu saat, jiwa benar-benar tidak memerlukan materi, atau materi tidak lagi memadai bagi jiwa, maka jiwa meninggalkan materi atau badan. Peristiwa itulah disebut sebagai kematian. Setelah itu, jiwa melanjutkan perjalanan yang masih panjang.

(321) The soul through its (substantial) motion and its natural endeavor moves toward another world, and when it gradually becomes stronger and its existence becomes another mode of existence, its connection with this (physical) body is severed and is replaced by another body that is acquired in accordance with its moral conduct and its psychic state. Thus, what first essentially occurs to it is a second life that accidentally causes the disappearance of the first (material) life. Thus, death occurs accidentally, not essentially; otherwise, it has no point since it entails that nothingness is something natural, whereas [in fact], everything is moving toward perfection and is travelling toward the active principle. But those who end their journey at the ultimate goal are but a few individuals and they are only from among human species; not from other species (i.e., plants and animals). If it is supposed that some other species arrived through its laborious and continuous movement at the Divine Realm (al-ḥaḍra al-ilāhiyya), then it must necessarily arrive first at the gate of humanity and then from it (move) toward the Holy Realm (al-ḥaḍra al-qudsiyya). This is because the reality of the human being is God’s gate through which He is approached.

(321) Melalui gerak (substansial) dan kecenderungan alamiah, jiwa menuju ke dunia yang lain, dan ketika bertahap makin kuat dan mode eksistensinya berganti dengan yang lain, ikatannya dengan badan (fisikal) ini terputus dan digantikan dengan badan lain yang bersesuaian dengan kondisi moral dan psikisnya. Jadi, kejadian [1] paling esensial adalah pada kehidupan kedua yang menjadi sebab [2] kerusakan material, secara aksidental, terhadap kehidupan pertama. Sehingga, kematian terjadi secara aksidental, bukan esensial; bila tidak demikian, berkonsekuensi bahwa ketiadaan menjadi sesuatu yang alamiah, padahal [faktanya], segala sesuatu menuju penyempurnaan dan bergerak maju sesuai prinsip aktif. Tetapi hanya sedikit, mereka yang berhasil meraih tujuan tertinggi, dan mereka hanya dari spesies manusia; bukan dari spesies lain (tumbuhan atau binatang). Jika diasumsikan spesies lain bisa meraih melalui kerja keras dan gerak terus menerus di Hadirat Ilahi, maka mereka harus mencapai tingkat kemanusiaan dulu kemudian menuju Hadirat Suci. Karena manusia adalah gerbang Tuhan, yang melaluinya, Dia mendekat.

Hanya manusia yang mampu meraih tujuan tertinggi. Itu pun, hanya sedikit manusia yang berhasil.

(322) Generally speaking, since a human being, from the start of its origination and becoming, is in (a states of) existential renewal, substantial intensity, and innate orientation toward the hereafter, and then toward the Holy Realm, it is necessary that it, through the essential transformation and substantial intensity, arrive at a degree of existence in which it detaches itself from the worldly natural body and becomes free and sufficient by itself with no need for that [body] to occupy all or part of its faculties. Thus, the individual’s existence is transformed into the hereafter existence (wujūd ukhrawī) since the relation of this life to the hereafter is the [same as] the relation of deficiency to perfection, and the relation of a child to an adult. A human being as long as it is a material being is like a child who needs, due to the weakness of its existence and the deficiency of its substance, a cradle which is the body, and to a place which is temporal world (dunyā), and to a carrier (dābba) which is time. When it reached its substantial limit and arrived at its utmost formal hereafter intensity, it departs this house to the house of stability.

(322) Secara umum, karena manusia, sejak awal dan penciptaannya, adalah dalam (keadaan) [1] pembaharuan ekistensial, [2] intensifikasi substansial, [3] kecenderungan bawaan menuju akhirat, [4] dan menuju Hadirat Suci, niscaya, melalui [1] transformasi esensial dan [2] intensifikasi substansial, akan tiba ke derajat eksistensi yang [1] terlepas dari materi dan bebas dan [2] mandiri dari [badan] untuk mencakup semua dan bagian dari fakultas-fakultas. Jadi, eksistensi individual bertansformasi menjadi eksistensi akhirat karena relasi hidup ini dengan kehidupan akhirat adalah mirip relasi antara kekurangan dengan kesempurnaan atau relasi antara anak-anak dengan dewasa. Seorang manusia selama dalam dunia material mirip dengan seorang anak yang bergantung pada, karena lemahnya eksistensi dan kekurangan substansial, sebuah [1] sandaran badan, [2] pemberi tempat dunia temporal, [3] pembawa waktu. Ketika dia mencapai batas substansial dan tiba pada puncak intensitas formal hari nanti, maka dia meninggalkan rumah ini menuju rumah stabilitas.

Kapasitas dunia material terbatas untuk menampung kemajuan eksistensi manusia. Manusia perlu kapasitas yang lebih luas yaitu akhirat sebagai rumah stabilitas.

(322) This degree of substantiality, actuality, and independence is common to the believer and nonbeliever, to the monotheist and polytheist, the one who denies God’s attributes, and many animals that have the faculty of imagination in actuality. There is no contradiction between the existential perfection and substantial independency and the misery and punishment in hell fire, the painful chastisement, the eating from the tree of “zaqqūm” (Q37: 62; 44:43; 56: 52), and drinking the boiling water (Q6: 70; 10:4; 38: 57). Rather, it confirms it because the strength of existence and its intensification and departing from material bodies certainly cause intensification of perceiving the agony and the suffering from the psychological diseases that had been forgotten due to the numbness of nature and the veil on the insight (baṣīra). When the veil is lifted, chastisement arrives. And “in the morning the travelers would appreciate their night journey”.

(322) Derajat [1] susbtansialitas, [2] aktualitas, dan [3] kemandirian ini adalah wajar bagi orang beriman atau tidak beriman, monotheis atau politheis, penolak sifat-sifat Tuhan, dan beragam binatang yang memiliki fakultas imajinasi dalam aktualitas. Tidak ada kontradiksi antara [1] penyempurnaan eksistensi dan kemandirian substansi dengan [2] derita dan hukuman di neraka, pedih tiada tara, makan dari pohon “zaqqum” (Q37: 62; 44:43; 56: 52), dan minum dari air yang mendidih (Q6: 70; 10:4; 38: 57). Lebih tepatnya, hal ini menguatkan bahwa karena [1] kekuatan eksistensi, dan [2] intensifikasinya, dan [3] pembebasan dari badan materi niscaya menyebabkan intensifikasi kepekaan terhadap sakit dan derita dari penyakit psikologis yang selama ini mereka lupakan akibat dari [1] bebal alami dan [2] terhalangnya pandangan. Ketika penghalang disingkirkan, hukuman datang. Dan “di pagi hari, para pelancong akan mengapresiasi perjalanan malam mereka.”

Penyempurnaan eksistensi bisa saja berupa siksa pedih bagi seseorang. Tidak ada kontradiksi di sini. Hanya terjadi, terbukanya realitas sebenarnya. Selama di dunia materi, seseorang bisa terjebak dalam ilusi atau delusi.

(322) The ancient philosophers mentioned that the definition of human being is: “the substance that senses, speaks, and dies.” They have regarded death as the part that completes the definition of human being. The meaning of death here is not nothingness; rather, its meaning is part of the returning motion toward the final goal—I mean, the transference from this life to the hereafter. Thus, in this sense death is a natural event that necessitates the annihilation of the material body. This is because every mover, unless it passes all the supposed limits that exist between the beginning and the end of the road, cannot reach the end and the ultimate goal. The human being, unless he departs from this life and passes all the natural limits, and then the psychic limits, will not reach the vicinity of God, and he will not deserve the station of servitude. Death is the first station of the hereafter and the last degree of the material life. Death is like an isthmus (barzakh) between two poles and a barrier between two houses: the house of the material life and the house of the hereafter. Perhaps a human being after departing this life will become prisoned in one of the intermediary worlds for a long or short time. He might ascend quickly through the light of knowledge, the power of pious deeds, the divine attraction, or intercession of the intercessors. The last who will intercedes is the most merciful, as it is narrated in the tradition.

(322) Pemikir kuno menyebutkan definisi manusia adalah: “substansi yang mengindera, berbicara, dan mati.” Mereka memasukkan kematian sebagai bagian lengkap dari manusia. Makna kematian di sini bukanlah kemusnahan; tetapi, adalah bagian dari gerak kembali menuju tujuan akhir; maksudnya, perpindahan dari hidup di sini menjadi hidup di hari nanti. Jadi, dengan makna ini, kematian adalah kejadian alami yang pasti untuk melepaskan ikatan badan material. Hal ini karena setiap pejalan, kecuali melampaui batas yang ada antara awal dan akhir jalan, tidak akan mencapai ujung dan tujuan akhirnya. Manusia, kecuali [1] melepaskan ikatan hidup ini dan melampaui batasan alami, dan [2] kemudian melampaui batasan psikis, tidak akan meraih kedekatan dengan Tuhan, dan tidak layak berada pada posisi pengabdian. Kematian adalah tahap pertama kehidupan nanti dan derajat akhir kehidupan alam materi ini. Kematian adalah mirip itsmus (barzakh) antara dua kutub dan jembatan antara dua rumah: rumah kehidupan material dan rumah akhirat. Bisa jadi, manusia setelah lepas dari hidup ini tertahan di dunia tengah dalam [1] waktu yang lama atau [2] singkat saja. Dia naik dengan cepat melalui [1] ilmu pengetahuan, [2] kekuatan amal, [3] keterpikatan ruhaniah, atau [4] tingkatan demi tingkatan. Dia yang sampai tingkatan terakhir adalah paling penuh pesona, sebagaimana dikisahkan dalam riwayat.

Kematian adalah bagian alami dari setiap manusia. Mati bukan berarti musnah. Mati adalah melanjutkan perjalanan ke kehidupan baru.

(323) These are principles and laws which we have explained and discussed detail and that we have firmly established by luminous demonstrations and by conclusive evidences in our books, especially in “The Four Journeys.” A person who deeply contemplates them and has a pure nature devoid of deviation from that which is right, rejecting envy, stubbornness, and obstinacy, will have no doubt concerning the issue of the Return and the belief that this body itself will be resurrected in the hereafter in the form of the bodies.

(323) Prinsip-prinsip dan hukum-hukum ini sudah kami jelaskan dan kami bahas detail dan kami buktikan dengan jelas dan meyakinkan dalam buku kami, khususnya “Asfar” [atau “Empat Perjalanan.”] Seseorang yang merenunginya secara mendalam dan bersih dari penyimpangan kebenaran dan menolak [1] iri dengki, [2] keras kepala, dan [3] dungu akan mengkaji, tanpa ragu, tema “Kembali” dan keyakinan bahwa badan ini akan dibangkitkan kembali di hari akhir dalam forma badan-badan.

Kita bisa merujuk ke buku “Asfar” untuk memperoleh argumen dan bukti yang lebih lengkap dan meyakinkan mengenai tema “Kembali” ini.

(323) This topic (The Return) is the best of knowledge in rank and the greatest in quality and its path is the most subtle. I have spent many years of my life in exercising meticulous thought and deep insight, abandoning the company of people, occupying myself with the invocation of God, thinking deeply about His book, and contemplating many prophetic traditions that reached us through the household of the prophet—peace be upon him who declares those traditions and upon his household—until the issue becomes clear, the truth arrives, and the decree of God and His light and proof became clear without relying on a teacher’s instruction or reading a book. This is because I have not seen on earth any person who has a (worthy) idea about the science of the Return (ʿilm al-maʿād), nor did I find a book in which there is a demonstrative explanation and a conclusive opinion and belief concerning the resurrection of the bodies and corpses. I also did not find in the heritage of the famous philosophers or in the books of ancient philosophers an opinion about this issue that cures the sick and quenches the one who is thirsty. Nor did I find in the fabrications of the modern philosophers and the theologians (anything) except conjectures and guesses, or just imitations of others, narrating the traditions, and relying on the sensible. Since belief is a light that God throws in the heart of the believer, it cannot be acquired by senses, and cannot be obtained from narration, from writing, from hearing, or from testimony. “This is the grace of God which He grants to whomever He wills, and God is the possessor of a great grace.” (Q57: 21)

(323) Topik ini (Kembali) adalah [1] pengetahuan dengan derajat terbaik dan [2] kualitas terhebat dan [3] paling lembut jalurnya. Saya [Sadra] telah menghabiskan waktu bertahun-tahun [1] mengkaji beragam pemikiran dan wawasan mendalam, [2] memisahkan diri dari keramaian orang, [3] memenuhi diri dengan perintah Tuhan, [4] mendalami kitab suci-Nya, [5] merenungi banyak hadis Nabi dan mendekatinya melalui keluarga Nabi – salam untuk beliau dan yang meriwayatkan dan atas keluarga beliau – sampai [a] semua masalah menjadi jelas, [b] kebenaran datang, [c] dan kuasa Tuhan dan cahaya-Nya dan bukti menjadi jelas tanpa bersandar pada [1] arahan guru atau [2] membaca buku. Hal ini disebabkan oleh karena [1] saya tidak menemukan seorang pun di muka bumi ini yang memiliki ide (memadai) tentang ilmu Kembali, atau tidak pula [2] saya menemukan buku yang di dalamnya menjelaskan dan berisi bukti yang jelas dan kesimpulan meyakinkan berkenaan kebangkitan kembali badan dan orang mati. [3] Saya tidak pula menemukan warisan dari filsuf ternama atau [4] buku dari filsuf kuno suatu opini tentang isu ini yang aman dari kelemahan dan memuaskan orang yang dahaga. [5] Tidak pula saya menemukan dalam karya filsuf modern dan teolog kecuali perkiraan dan dugaan, atau imitasi dari yang lain, narasi dari tradisi, atau sekedar bersandar pengamatan. Karena iman adalah cahaya yang Tuhan limpahkan ke hati orang yang beriman, iman tidak bisa diperoleh dari indera, tidak bisa dari cerita, dari tulisan, dari pendengaran, dari testimoni. “Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah pemilik karunia yang agung.” (Q57: 21)

Tema Kembali, atau Hari Kembali, adalah pembahasan teramat penting dan paling lembut. Kita membutuhkan komitmen intelektual dan komitmen moral yang tinggi.

(323) The essay was completed by the hand of one who is in need of the mercy of the Eternal God, Muhammad b. Ibrāhīm who is known as “Ṣadr al-Shīrāzī,” may God gives them their book in their right hands. I wrote this in a state of praising God, venerating His greatness, and glorifying Him, and offering my prayer to His prophet and his family, asking forgiveness for my sins and wrong doings.

(323) Karya ini diselesaikan oleh tangan seseorang yang membutuhkan karunia Tuhan Maha Abadi, Muhammad bin Ibrahim yang dikenal sebagai “Sadra al Shirazi,” semoga Tuhan menganugerahi buku mereka pada tangan kanan. Saya menulis ini dalam suasana memuji Tuhan, mengagungkan kebesaran Nya, dan memuja Nya, dan menyampaikan salamku kepada Nabi Nya dan keluarganya, memohon ampunan atas dosa dan kesalahanku.

Seluruh wacana, dari Wacana 1.1 sampai Wacana 3.2, bersumber dari karya Sadra berjudul “Zaad Musafir” atau “Bekal Pengembara.” Wacana berikutnya tetap bersumber dari karya Sadra tetapi dari buku yang berbeda.

Wacana 3.3: Kreativitas Tersembunyi

Kita mengalami hidup di dunia ini secara langsung. Kita bukan hidup melalui representasi, bukan melalui pencitraan, dan bukan melalui aksi interpretasi. Kita benar-benar hidup secara langsung: kita benar-benar bahagia, kita benar-benar berduka, kita benar-benar minum air segar, kita benar-benar luka tertusuk duri, kita benar-benar terpesona oleh cinta.

Pengalaman hidup nyata di alam eksternal itu, di saat yang sama, semua tersembunyi berada dalam eksistensi diri kita sendiri. Semua yang eksis di alam eksternal itu juga eksis dalam wujud kita sendiri. Semua kebaikan Anda kepada tetangga adalah kebaikan kepada diri sendiri. Semua bakti Anda kepada negara adalah bakti kepada diri sendiri. Orang yang jahat mencuri dan korupsi adalah merusak diri mereka sendiri. Semua amal kebaikan Anda adalah, juga, kebaikan kepada eksistensi diri sendiri.

(323) All that man actually conceives or perceives—whether through intellection or sensation, and whether in this world or in the hereafter—are not things separate from his reality and different from his being. Rather, that which he perceives exists in his being, not in something else.

(323) Semua yang orang pahami dan persepsi – apakah melalui intelek atau indera, dan apakah di dunia ini atau dunia nanti – bukanlah sesuatu yang [1] terpisah dari realitas dirinya dan [2] berbeda dari wujud dirinya. Yang lebih benar, apa yang dia persepsi eksis di dalam wujud dirinya, bukan dalam sesuatu yang lain.

Bahkan, semua rahasia kehidupan setelah mati juga ada dalam diri kita sendiri. Dengan demikian, diri kita menyimpan seluruh khazanah semesta. Kita memiliki bekal kreativitas tanpa batas. Atau, kreativitas selalu mampu menerobos setiap batas. Tugas kita adalah mengungkapkan kreativitas menjadi karya-karya penuh kualitas.

Wacana 3.4: Karakter adalah Masa Depan

Kita memiliki masa depan. Manusia memiliki masa depan. Atau, manusia adalah milik masa depan. Masa depan seperti apa yang menjadi cita-cita?

(324) The conceptions, habits, and firmly rooted psychological dispositions cause external effects. This happens quite frequently, as in the blushing of an embarrassed person, the pallor of someone who is frightened, and the excitement of the sexual organ simply by the conception of intercourse, or nocturnal emissions during sleep.

(324) [1] Pemahaman, [2] kebiasaan, dan [3] watak psikologis yang mengakar kuat memiliki efek nyata di dunia eksternal. Hal ini sering terjadi, misal wajah memerah pada orang yang malu, pucatnya orang yang ketakutan, organ seksual yang bergairah hanya karena membayangkan hubungan, atau ejakulasi ketika tidur.

Tabur benih, tuai padi. Tabur ilmu, tuai amal. Tabur amal, tuai kebiasaan. Tabur kebiasaan, tuai karakter. Tabur karakter, tuai takdir masa depan.

Ilmu dan amal ada dalam genggaman kita. Konsekuensinya, takdir masa depan juga ada bersama diri kita.

Wacana 3.5: Masa Depan Terbuka

Jiwa kita memang satu sebagai individu. Tetapi, mode-eksistensi kita terbentang luas. Kita bisa menjelajah dari ujung timur sampai ujung barat. Kita bisa menelusuri waktu dari masa depan, masa lalu, dan masa kini. Eksistensi alam raya terbuka luas.

(325) The individual unity of everything, which is its own existence, is not according to one manner and of one degree. It is like existence which is not of one mode. The individual unity of that which is extended in space and whose parts are connected (i.e., material bodies) is its own extension and connection. And (the individual unity) of things that are extended in time and move in existence is its own renewal and termination.

(325) Kesatuan individual segala sesuatu, yang merupakan milik eksistensi, bukanlah milik satu keadaan atau satu tingkat tertentu. Demikian halnya, eksistensi bukan hanya memiliki satu mode. Kesatuan individual yang [1] membentang dalam ruang dan bagian-bagiannya terhubung (yaitu badan materi) adalah milik [individual] bentangan dan hubungannya sendiri. Dan (kesatuan individual) sesuatu yang [2] membentang dalam waktu dan bergerak dalam eksistensi adalah milik [individual] pembaharuan dan perhentiannya sendiri.

Bentangan alam raya, bentangan masa, adalah bentangan eksistensi jiwa kita. Masa depan alam raya terbuka untuk setiap jiwa yang bersedia bersikap terbuka.

(325) In number, is its own actual multiplicity, and of natural bodies is its own being potentially multiple. But the unity of the immaterial substances is different from that of the material substances. This is because it is impossible for a single material body to become a subject of contradicting attributes such as blackness and whiteness … this is because of its deficient existence … which cannot contain contradicting things. This is indicated by the fact that the location of the organ of vision in the human body is separated from that of hearing, and the location of smelling is separated from that of tasting. But the human soul, although it is one, contains the forms of blackness and whiteness and other contradictory things … what explains this matter and clarifies it is the fact that what perceives by all senses, imagination, and intellection and that which executes all natural, animalistic, and human activities is his managing soul. It is capable of descending to the degree of the senses and material faculty, and at the same time it is capable of ascending to the active intellect and what is beyond it. This is because its existence is more comprehensive.

(325) Dalam [1] bilangan, memiliki keragaman aktualnya sendiri, dan dalam [2] badan alamiah adalah memiliki keragaman potensialnya sendiri. Tetapi kesatuan substansi immaterial berbeda dari substansi material. Hal ini karena tidak mungkin dalam satu badan material menampung sifat yang berkontradiksi misal hitam dan putih… karena kelemahan eksistensinya… yang tidak mampu menampung sesuatu yang kontradiksi. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa [1] lokasi organ penglihatan pada badan manusia terpisah dari organ pendengaran, [2] lokasi organ penciuman terpisah dengan pengecap rasa. Tetapi jiwa manusia, meski hanya satu, bisa menampung [1] forma putih dan hitam dan [2] sesuatu lain yang kontradiksi… yang menjelaskan masalah ini dan menerangkannya fakta bahwa yang mem-persepsi semua [1] indera, [2] imajinasi, [3] inteleksi dan yang menjalankan semua [1] alami, [2] hewani, [3] manusiawi adalah managing-soul (jiwa-pengaturnya). [Jiwa] ini mampu [1] turun ke derajat indera dan fakultas material, dan di saat yang sama, [2] mampu naik ke derajat Akal Aktif dan [3] yang melampauinya. Hal ini karena eksistensinya lebih komprehensif [sempurna].

4. Wacana Analisa

Makin jauh kita melakukan analisa maka makin banyak tanda tanya. Memang demikianlah manusia. Kita sejak masa kanak-kanak suka mengajukan pertanyaan. Setiap anak-anak adalah filsuf. Meskipun, akhirnya, ketika dewasa tinggal sedikit manusia yang terus bertanya. Anda termasuk yang mana?

4.1 Modus Dunia
4.2 Ragam Definisi
4.3 Makna Kematian
4.4 Disrupsi
4.5 Etika Karakter dan Rasa Peka
4.6 Masa Metafora: Akumulasi Futuristik
4.7 Tanda Tanya

Analisa kita akan mulai dengan modus dunia dan diakhiri dengan tanda tanya.

4.1 Modus Dunia

Ada tiga modus dunia: (1) material; (2) imajinal; (3) intelektual. Apa istimewanya dengan tiga modus dunia seperti itu? Bukankah itu hal yang logis belaka?

Pembagian 3 modus dunia menjadi istimewa karena dilengkapi dengan prinsip-prinsip realitas. (1) Keragaman wujud adalah identik dan identitas wujud adalah beragam. Meski ada tiga rumah eksistensi, yaitu tiga modus dunia, tetapi semua itu adalah wujud tunggal. Mereka semua dalam naungan wujud tunggal. Meski wujud adalah tunggal, wujud bermanifestasi menjadi tiga rumah eksistensi. Masing-masing rumah dihuni lebih banyak dan beragam eksistensi individuasi. Ada batu ini dan pohon itu. Ada kucing ini dan singa yang itu. Ada laki-laki tetangga sebelah rumah dan ada wanita penyiram bunga itu. Wujud tunggal bermanifestasi dalam keragaman.

(2) Prinsip wujud bergradasi sistematis. Setiap wujud yang lemah membutuhkan wujud yang lebih kuat. Dan wujud yang kuat merangkul wujud lemah secara langsung. Modus material, misal tangan Anda, membutuhkan modus imajinal, misal jiwa Anda. Karena Anda punya jiwa maka tangan Anda memang menjadi tangan. Tetapi, jika jiwa sudah pergi dari badan, misal pada orang yang meninggal, maka tangan berubah menjadi hanya tulang dan daging belaka. Sebaliknya tidak terjadi. Jiwa tidak harus membutuhkan tangan. Jiwa seorang manusia tetap menjadi jiwa seutuhnya meski pun orang tersebut, misal, tidak memiliki tangan.

Prinsip gradasi ini menjadi solusi terhadap makna kematian, kita bahas di bagian bawah lebih detil. Ketika seseorang mati, maka badannya dan termasuk tangannya ditinggal di bumi. Badan tetap berada pada modus material dan terus berproses sesuai hukum material di bumi, dikubur, terurai oleh bakteri, dan lain-lain. Tetapi, jiwa orang tersebut tetap eksis di dunia modus imajinal sebagai individu yang sama. Jiwa individu itu memiliki badan yang baru dan, termasuk, memiliki tangan yang baru dalam modus imajinal. Orang tersebut melanjutkan karir dalam dunia imajinal.

Perlu kita catat bahwa dunia imajinal bersifat subyektif dan obyektif. Subyektif karena forma-forma imajinal diciptakan dan bersesuaian dengan subyek. Obyektif karena eksis forma-forma imajinal yang mandiri dari subyek. Jadi modus imajinal adalah mirip dengan modus material. Hanya saja, modus imajinal lebih terang-benderang karena tidak ada halangan material lagi. Setiap nikmat terasa lebih nikmat. Demikian juga kepedihan.

(3) Prinsip gerak substansial selalu menuju kesempurnaan. Modus material selalu bergerak untuk lebih sempurna menuju modus imajinal, kemudian, modus intelektual. Masa kanak-kanak Anda lebih sempurna dari bayi. Masa tua Anda lebih sempurna dari masa remaja. Tentu, kematian seseorang adalah lebih sempurna dari masa hidup di dunia. Seperti tidak logis. Terlalu optimis. Tetapi, kita bisa memahami prinsip ini dengan baik. Karena segala sesuatu selalu bergerak lebih sempurna maka sikap paling tepat adalah kita selalu bersyukur.

Realitas memang selalu makin sempurna tetapi tersedia pilihan untuk menentukan yang paling sempurna.

Sekolah SMA Anda pasti lebih sempurna dari sekolah SMP. Karena, ketika Anda SMA pasti Anda sudah lulus SMP. Pertanyaannya: lebih sempurna SMA 1 atau SMA 2? Anda perlu melakukan analisis mendalam untuk menentukan pilihan. SMA 1 dibanding SMA 2 banyak faktor saling bersaing. Apa pun pilihan Anda, SMA 1 atau SMA 2, tetap saja lebih sempurna dari SMP.

Menteri yang divonis korupsi apakah lebih sempurna dibanding dia, menteri itu, sebelum korupsi? Benar.

Tetapi, awalnya, menteri itu bisa memilih korupsi atau tidak. Tentu saja, memilih tidak korupsi adalah lebih baik dan lebih sempurna. Jika dia milih korupsi maka vonis adalah sempurna.

Neo Platonis

Pemikir Neo Platonis semisal Plotinus, dan muridnya bernama Porphyry (234 – 305), sudah mengembangkan modus wujud seperti di atas. Terdapat dua modus: (1) sensible dan (2) intelligible. Modus sensible adalah modus material. Sedangkan modus intelligible terbagi tiga: (a) jiwa, (b) intellect, dan (c) The One. Jiwa adalah modus imajinal, intellect adalah modus intelektual, dan The One adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Banyak orang memahami neo Platonis seperti di atas sebagai dogmatis. Sementara, modus wujud dari Sadra jelas-jelas dinamis karena ada gerak substansial, salah satunya. Pemikir Barat kontemporer tidak tertarik dengan konsep neo Platonis karena anggapan mereka sebagai dogmatis. Perlu perjalanan intelektual panjang untuk bisa menjadi dinamis.

Ibnu Sina (980 – 1037) mengenalkan konsep wujud-mumkin. Bahwa eksistensi material bersifat mumkin, posible, sehingga bisa eksis atau tidak eksis. Perlu suatu dinamika untuk memastikan eksistensi material agar benar-benar eksis.

Suhrawardi (1154 – 1191) mengenalkan konsep most-noble-contingency atau imkanur ashraf (IA). Jika wujud dengan posibilitas rendah eksis maka wujud dengan posibilitas lebih tinggi, yang meliputi lebih rendah, pasti sudah eksis. IA menjamin wujud rendah perlu hadir dalam rangkulan wujud lebih tinggi.

Ibnu Arabi (1165 – 1240) menyatakan bahwa seluruh alam raya adalah manifestasi dari wujud Tuhan. Seluruh alam rindu untuk mendekat kembali kepada Yang Maha Sempurna. Wujud alam bergerak menuju Wujud Sempurna.

Sadra (1572 – 1640) membuat sintesa kreatif neo Platonis, Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi menghasilkan konsep prioritas wujud dengan tiga modus wujud di atas.

Problem Sains Empiris

Beberapa saintis menolak semua modus wujud kecuali modus material atau modus sensible. Sehingga, sains bersifat materialis. Konsekuensinya terjadi banyak problem dalam sains.

Atas dasar argumen apa bahwa materialisme adalah valid? Argumen tersebut pasti melibatkan argumen rasional, langsung atau tidak. Argumen rasional adalah modus imajinal atau modus intelektual. Dan sekuat apa pun bukti empiris tidak akan mampu membatalkan eksistensi modus imajinal dan intelektual.

Kita bahas lagi hard problem atau easy problem: bagaimana kesadaran bisa muncul dari materi otak manusia?

Misal ditemukan bahwa dari materi A, dalam otak, muncul kesadaran. Kita masih bisa bertanya: bagaimana dari materi A bisa muncul kesadaran? Karena materi A melakukan proses B. Bagaimana dari proses B bisa muncul kesadaran? Selalu ada pertanyaan tertentu yang tidak bisa dijawab oleh materialisme. Karena, materialisme terjebak dalam falasi petitio-principii atau begging-question.

Untung saja beberapa saintis atau filsuf sains berpikir terbuka. Karl Popper (1902 – 1994) yang terkenal dengan konsep falsifikasi mengenalkan konsep tiga dunia. (1) Dunia alam eksternal obyektif, (2) dunia subyektif, (3) dunia obyektif non material.

Russell (1874 – 1972) menyatakan bahwa konsep dunia forma atau dunia idea dari Plato, yang bersifat non materi, adalah konsep terbaik yang harus diterima oleh sains.

Saat ini, sains mengarah kepada ontologi fundamental berupa hampa quantum (non materi). Atau, medan gravitasi yang non materi juga.

Saintis yang serius memang perlu berpikir terbuka terhadap non materi.

4.2 Ragam Definisi

Apa definisi jiwa?

Jiwa adalah spirit. Jiwa adalah ruh. Jiwa adalah batin. Jiwa adalah sisi non-materi manusia yang berpasangan dengan badan. Jiwa adalah substansi non-materi yang bekerja melalui materi badan. Jiwa adalah kehidupan. Jiwa adalah forma badan. Jiwa adalah diferensia badan. Jiwa adalah manusia. Jiwa adalah akal. Jiwa adalah rasional. Jiwa adalah pemersatu persepsi. Jiwa adalah akumulasi persepsi.

Kita masih bisa menambah definisi jiwa lebih banyak lagi. Bagaimana pun, definisi jiwa tidak pernah tuntas. Definisi hanya berguna sebagai petunjuk awal untuk mengkaji jiwa. Karena, jiwa adalah eksistensi realitas.

Berbeda halnya dengan esensi bilangan, misalnya, kita bisa mendefinisikan bilangan ganjil.

Bilangan ganjil adalah yang sisa 1 bila dibagi 2.

Definisi bilangan ganjil di atas benar-benar jelas. Bilangan 5 adalah ganjil karena sisa 1 bila dibagi 2. Sedangkan, bilangan 6 tidak ganjil karena tidak sisa 1.

Jiwa adalah manusia. Definisi seperti ini hanya berguna sebagai kajian awal. Jika jiwa adalah manusia maka apa manusia itu? Akal adalah yang paling menentukan dari manusia. Jadi, jiwa adalah akal. Bagaimana pun, kita perlu deskripsi lebih lengkap dari jiwa sebagai akal.

(1) Jiwa adalah rasional. Akal yang mampu berpikir rasional adalah penentu jiwa. Untuk bisa berpikir rasional, manusia perlu sikap reseptif, terbuka, terhadap beragam data. Kemudian, menerapkan konsep-konsep pikiran rasional secara bebas untuk menentukan sikap atau penilaian.

Konsekuensinya, jiwa memiliki freedom untuk menentukan pilihan dan harus bertanggung jawab atas pilihan itu. Jiwa manusia, berkembang secara sosial, mengembangkan beragam budaya yang diwariskan turun-temurun.

Tentu saja, untuk bisa berpikir rasional, jiwa perlu mempertahankan diri dengan nutrisi, reproduksi, dan perlindungan badan.

(2) Jiwa adalah ruh yang mengendarai badan. Jiwa, sebagai ruh, adalah mirip dengan pilot dan badan adalah pesawat. Jiwa mengarahkan badan sesuai keperluan jiwa. Setelah cukup perjalanan, jiwa meninggalkan badan.

(3) Jiwa adalah tidak ada atau nothingness. Beberapa saintis materialis mengkaji kesadaran jiwa di sel-sel otak manusia. Mereka tidak menemukan eksistensi jiwa. Mereka menyimpulkan bahwa jiwa adalah nothingness. Istilah jiwa, seperti pada umumnya, adalah sekedar untuk memudahkan pembicaraan belaka. Psikologi modern tampaknya banyak yang sepakat dengan pandangan materialis.

Sartre (1905 – 1980) barangkali filsuf paling terkenal dengan konsep kesadaran jiwa adalah nothingness. Kesadaran adalah being-for yang selalu me-negasikan diri sendiri, “Saya bukan ini dan ini bukan saya.” Karena negasi, maka bebas tidak bisa diikat oleh apa pun. Freedom. Being-for selalu menolak terhadap ikatan dan memang tidak bisa diikat. Karena being-for memang nothingness. Bagaimana bisa mengikat nothingness?

Konsep jiwa sebagai freedom banyak mempengaruhi pikiran orang kala itu. Sehingga, rakyat bangkit untuk memperjuangkan freedom mereka. Secara sosial berdampak besar. Sedangkan secara filosofis masih ada perdebatan panjang.

(4) Jiwa adalah persepsi. Jiwa adalah akumulasi persepsi. Hume (1711 – 1776) adalah pemikir pertama yang dengan tegas menyatakan bahwa jiwa adalah sekedar akumulasi persepsi. Sejatinya, jiwa itu tidak ada. Hanya saja karena manusia punya persepsi terhadap alam sekitar, dan persepsi sebagai pengamat, maka untuk menyatukan semua persepsi, kita menyebutnya sebagai jiwa. Pandangan seperti ini menjadi kontroversi sampai kini. Jiwa runtuh menjadi sekedar persepsi.

Derek Parfit (1942 – 2017) mengembangkan lebih banyak argumen. Eksperimen pikiran fiksi ilmiah menjadi makin menarik berkenaan teleportasi. Anda masuk ke ruang khusus di Jakarta. Hanya dalam 1 detik Anda sudah terkirim sampai London, misalnya. Teleportasi bukan seperti Anda naik pesawat super cepat dari Jakarta sampai London. Tetapi, badan Anda di Jakarta dimusnahkan, di saat yang sama, dirangkai badan baru di London yang sama persis dengan badan Anda. Karena secara material sama persis, maka Anda yang di London memiliki memori dan persepsi yang sama dengan Anda. Konsekuensinya, yang di London itu memang Anda karena jiwanya sama juga dengan Anda.

Tentu saja, bisa terjadi kesalahan teknis. Badan Anda di Jakarta batal dihancurkan. Sementara, badan Anda di London sudah terlanjur diproduksi. Jadi ada dua orang sebagai Anda. Anda bingung. Istri Anda lebih bingung lagi: bagaimana bisa punya dua suami yang sama persis? Apakah Anda akan bertengkar dengan kembaran atau malah bersahabat?

(5) Jiwa adalah substansi ilahiah. Beberapa agama meyakini bahwa jiwa manusia adalah substansi spesial karunia dari Tuhan. Manusia adalah makhluk pilihan Tuhan dengan misi suci di bumi.

Kita masih bisa menambah keragaman definisi jiwa. Berikutnya, kita mencoba menerapkan konsep jiwa ke selain manusia. Apakah mereka juga punya jiwa? Hewan, tumbuhan, jin, malaikat, elektron?

(1) Jiwa hewan. Umumnya, para pemikir setuju bahwa hewan punya jiwa. Tetapi jiwa hewan tidak sampai ke taraf rasional. Akibatnya, hewan tidak memiliki freedom, tidak punya tanggung jawab moral, dan tidak bisa berdosa. Jiwa hewan, misal kucing, mampu melakukan persepsi dan imajinasi, menggerakkan badan dengan bebas, mendekati kenikmatan dan menjauhi ancaman, mampu nutrisi, reproduksi dan lain-lain.

Meski hewan memiliki kebebasan bergerak tetapi tidak sanggup memahami konsep moral. Sehingga tidak ada hewan jahat, tidak ada hewan bejat, tidak ada hewan penipu sesat. Jiwa hewan memang begitu adanya. Baik-baik saja.

(2) Jiwa tumbuhan. Secara umum, para pemikir sepakat bahwa tumbuhan memiliki jiwa. Tanpa rasional dan tanpa imajinasi. Jiwa tumbuhan mampu reseptif, terbuka, untuk merespon lingkungan. Mampu organisasi diri, nutrisi, dan reproduksi. Tentu saja, jiwa tumbuhan tidak pernah berdosa.

(3) Jiwa jin atau setan atau iblis. Pandangan umum, jin mirip dengan manusia hanya berbeda badan materi mereka. Badan mereka tersusun oleh api atau energi panas. Bila demikian, jin memiliki jiwa rasional sehingga bertanggung jawab atas perilaku moral mereka.

(4) Jiwa malaikat. Pandangan umum, malaikat adalah ruh murni, cahaya sejati, sehingga malaikat tidak memiliki jiwa. Malaikat adalah ruh suci.

(5) Jiwa elektron atau unsur. Pandangan umum, unsur tidak memiliki jiwa. Unsur, termasuk partikel sub-atomik, hanya memiliki besaran massa materi atau energi. Mereka tidak mampu organisasi diri mau pun reproduksi. Mereka hanya mampu interaksi, aksi dan reaksi, berdasar hukum alam.

Dengan perluasan jiwa pada hewan dan tumbuhan maka memiliki jiwa menjadi sinonim dengan, sebagai, makhluk hidup yang dikaji melalui biologi.

Kembali kepada kajian kita, akan lebih mudah bila kita memilih definisi jiwa adalah diferensia dari badan materi. Sebutir biji kacang tidak memiliki jiwa. Petani menanam biji kacang itu; interaksi dengan alam sekitar; biji tumbuh menjadi benih; sempurna sebagai pohon kacang yang memiliki jiwa tumbuhan. Awalnya, biji kacang terikat oleh materi biji tersebut. Akhirnya, jiwa pohon kacang lebih menentukan sebagai diferensia. Daun boleh berganti, batang boleh berganti, berbuah biji kacang boleh dipetik, selama dia pohon kacang maka tetap sebagai pohon yang sama.

Telur ayam tidak memiliki jiwa, awalnya. Induk ayam mengerami telur itu. Beberapa pekan kemudian, telur menetas menjadi anak ayam sempurna dengan jiwa hewan. Anak ayam tumbuh menjadi ayam besar. Bulu ayam boleh berganti, ujung paruh ayam bisa patah sebagian, ujung kuku bisa berganti, tetapi dia tetap menjadi ayam yang sama; ayam dengan jiwa hewan yang sama. Ayam itu tidak lagi tergantung oleh materi badannya. Selama masih hidup, masih punya jiwa, dia tetap ayam. Jika jiwa telah pergi maka badan ayam itu berubah menjadi daging ayam. Jadi, diferensia jiwa lebih konkret dari genus badan.

Sel telur di rahim ibu adalah tidak memiliki jiwa. Tanpa pembuahan, sel telur akan dibuang, dibersihkan. Sel sperma dari ayah juga tidak berjiwa. Jika tercecer di kasur, perlu dibersihkan. Suatu saat, sel sperma membuahi sel telur. Janin tumbuh penuh kasih sayang di rahim ibu. Lalu lahir sebagai seorang bayi sempurna memiliki jiwa manusia. Tumbuh kembang sebagai kanak-kanak, remaja, dan manusia dewasa. Rambut manusia boleh dicukur, kuku dipotong, bahkan alis atau kumis kadang dicukur habis, dia tetap menjadi manusia yang sama. Selama jiwa dikandung badan maka tetap sebagai manusia. Jadi, jiwa lebih menentukan.

Bagaimana jika jiwa manusia tetap sama, sedangkan seluruh anggota badan diganti dengan badan lain? Apakah jiwa itu tetap menjadi jiwa individu yang sama? Benar. Ketika manusia mati, jiwanya tetap eksis dengan mengembangkan badan baru berupa badan imajinal. Kita akan membahas makna kematian berikut ini.

4.3 Makna Kematian

Masing-masing orang bisa memaknai kematian dengan cara berbeda-beda. Kematian adalah proses jiwa berpindah dari mode material ke mode imajinal sampai mode intelektual. Untuk membahas ini, kita perlu mempertimbangkan paradoks perahu Theseus dari mitos Yunani Kuno.

(1) Paradoks Perahu Theseus

Terdapat banyak versi paradoks. Perahu Theseus terdiri dari 100 papan. Setiap hari, kita mengganti 1 papan dengan 1 papan baru lainnya. Setelah 100 hari, seluruh badan perahu sudah diganti dengan papan yang baru. Apakah itu tetap perahu Theseus yang sama? Atau perahu yang berbeda? Jika berbeda, sejak pergantian papan hari ke berapa menjadi perahu berbeda?

Alternatif paradoks bisa berupa dua perahu. Perahu Timur di sebelah timur dan perahu Barat di sebelah barat. Setiap hari, kita menukar 1 papan perahu Timur dengan 1 papan perahu Barat. Setelah 100 hari, seluruh papan, pada kedua perahu, sudah tertukar. Apakah yang di sebelah timur tetap perahu Timur? Atau menjadi perahu Barat? Bila berubah, sejak hari ke berapa?

Heraclitus (500 SM) menyatakan paradoks sungai. “Anda tidak pernah bisa menyeberangi sungai yang sama dua kali.” Ketika Anda menyeberangi sungai kedua kali, air sungai sudah berganti. Dan, Anda sendiri sudah berubah, bertambah umur beberapa menit. Tetapi, ketika di kampung, saya sering menyeberangi sungai yang sama sampai 3 kali. Mau 5 kali juga bisa. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?

Yang sebenarnya terjadi adalah jiwa sebagai penentu realitas individu. Jika Anda mengatakan perahu telah berubah maka Anda sudah berkata benar. Jika Anda mengatakan perahu tidak berubah, perahu tetap sama, maka Anda sudah berkata benar. Begitu juga tentang sungai. Anda mengatakan sungai sudah berubah atau masih tetap maka Anda sudah berkata benar. Bagi mereka yang tidak memiliki jiwa, bagi perahu dan sungai, Anda bebas memberi penilaian: sudah berubah atau masih tetap sama.

Tetapi bagi diri Anda, yang sudah bertambah tua 2 menit untuk menyeberangi sungai kedua kalinya, adalah tetap diri Anda yang sama. Jiwa Anda tetap jiwa Anda. Penambahan usia 2 menit, atau 2 bulan, atau 2 tahun, hanya menambah jiwa Anda makin sempurna.

Ketika Anda kredit motor 2 tahun, sambil membayar angsuran pertama, Anda membawa pulang motor. Bulan kedua Anda wajib membayar cicilan. Anda yang bertambah umur satu bulan ini, yang wajib bayar cicilan, adalah tetap sama dengan Anda yang membawa pulang motor bulan lalu. Anda tetap sama secara hukum, secara ekonomi, dan secara realitas eksistensi individu. Jadi, jiwa Anda tetap sebagai individu yang sama, bahkan makin sempurna.

Suatu saat akan tiba, kita akan mati. Jiwa kita tetap sama dengan diri kita. Yang merasakan nikmat kubur atau siksa kubur adalah tetap jiwa kita yang ini. Semoga kita berada di jalan terang-benderang.

(2) Kematian Fisik

Kematian bukanlah mati sebenarnya. Kematian fisik material adalah perpindahan jiwa dari mode material menuju mode imajinal yang terlepas dari halangan material. Sains materialis menghadapi kesulitan di sini. Karena mereka hanya percaya mode material maka setelah kematian hilang segalanya.

Hawking (1942 – 2018), fisikawan terkenal, pernah mengatakan bahwa setelah kematian adalah gelap semata. Asumsikan itu benar maka kita tidak bisa generalisasi. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa semua kematian adalah gelap semata. Barangkali, ketika meninggal, Hawking mengalami gelap. Satu tahun setelah meninggal, bisa saja dia mengalami cahaya terang. Bahkan, kita dan Hawking tidak tahu apa yang dialami neneknya setelah meninggal: gelap atau cahaya.

Sains materialis tidak berhak mengatakan apa pun tentang nasib jiwa setelah kematian badan. Karena materialis tidak mengakui mode imajinal dan mode intelektual. Mereka hanya boleh klaim, “Kami tidak tahu.”

Sementara itu sains rasionalis, filsafat, agama, dan lain-lain masih boleh terus mengkaji kehidupan setelah kematian badan material. Kematian adalah proses perpindahan jiwa dari dunia material ke dunia imajinal.

(3) Gelisah Menghadapi Mati

Siapa pun orangnya, pernah gelisah menghadapi kematian. Anda merasa gelisah menghadapi kematian Anda. Bayangkan ajal Anda tiba. Apa yang akan terjadi? Bagaimana sakitnya? Sangat menakutkan. Bagaimana nasib Anda setelah mati? Bagaimana nasib anak cucu Anda? Gelisah menghadapi kematian diri.

Ada banyak cara merespon gelisah menghadapi kematian.

[1] Menyibukkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Bekerja dari pagi sampai sore. Lanjut dengan kegiatan malam sampai jelang tidur. Bangun tidur pagi hari lalu berangkat kerja lagi. Kita bisa lupa akan kematian. Gelisah hilang karena kita sibuk setiap hari. Tetapi, di sela-sela kesibukan, tiba-tiba gelisah datang juga.

[2] Menyibukkan diri dengan hobi yang membuat Anda benar-benar menyelam di dalamnya. Barangkali hobi seni dan olah raga bisa membuat Anda menikmati flow, mengalir dalam pesona. Bagaimana pun, gelisah ingat mati akan datang sewaktu-waktu.

[3] Beberapa orang menggunakan obat penenang agar tidak gelisah. Hati-hati karena resiko tinggi. Sebaiknya dihindari. Gelisah tetap datang lagi.

[4] Mendalami praktek agama atau meditasi bisa membuat hati tenang. Merenungi kitab suci, membaca doa dini hari, dan ibadah jasmani mau pun ruhani. Keunggulan agama adalah mampu membimbing umat untuk menghadapi kematian dan menerangi jalan setelah mati. Sesekali, gelisah akan mampir lagi.

[5] Menerima gelisah itu sendiri. Kemudian, memaknai gelisah dengan baik. Setiap gelisah datang, maknanya adalah sedang ada ketukan ke dalam diri. Ada panggilan nurani untuk menciptakan arti bagi dunia dan semua yang ada baik di masa depan, masa lalu, mau pun masa kini. Respon ini, berupa siap menerima gelisah, adalah respon yang otentik.

Heidegger (1889 – 1976) banyak membahas tema gelisah menghadapi kematian. Kita pasti akan mati. Lebih dari itu, kita memang butuh mati. Dengan mati, semua perjalanan hidup menjadi ada arti. Mati adalah yang memberi arti kepada setiap detik diri Anda. Mati adalah titik akhir yang menjadi referensi. Mati menjadikan diri kita utuh sempurna.

Tanpa kematian maka semua kehilangan makna. Anda bisa merevisi semua kerja Anda di masa depan, kapan saja, karena tidak akan mati. Semua tak ada guna. Atau, misal, setiap orang bisa mati kemudian bisa hidup lagi maka semua makna juga sirna. Seperti main game, setiap mati boleh mulai lagi. Hidup ini jadi sekedar game belaka. Justru karena Anda pasti akan mati maka hidup ini menjadi penuh arti. Dan, mati itu sendiri penuh arti. Hidup cukup satu kali, berarti, lalu mati.

Mati adalah niscaya dan kita perlu menerimanya dengan memberi makna. Kita bisa memaknai ajal dalam tiga tahap: pra-ajal, ketika-ajal, dan pasca-ajal.

Tahap (1): pra-ajal. Ajal adalah referensi bagi seluruh kehidupan. Seluruh kehidupan pra-ajal mengacu kepada ajal. Makna bisa beragam. Tetapi ajal adalah pasti bagi setiap orang. Sehingga, ajal adalah referensi paling pasti.

Orang yang tiba ajalnya, mati, sebagai pahlawan maka dia adalah pahlawan. Meski dalam hidupnya, dia pernah jadi pecundang, pernah jadi penjahat, pernah berbuat dosa, itu semua adalah pengantar bagi dirinya untuk menjadi pahlawan. Kita menyebut orang yang mati dengan baik sebagai husnul khatimah atau akhiran baik. Kita seharusnya mengejar cita-cita untuk meraih akhiran baik.

Kita perlu waspada terhadap ilusi masa lalu dan menggantinya dengan logika futuristik. Karena masa lalu, dia adalah orang baik maka saat ini dia adalah orang baik. Bisa hanya ilusi itu. Atau, karena di masa lalu, dia adalah orang jahat maka dia adalah orang jahat. Bisa ilusi juga ini. Sebaliknya dari masa lalu, kita perlu berpikir masa depan: logika futuristik. Karena dia sedang mengejar masa depan yang baik, misal husnul khatimah, maka dia adalah orang baik. Kesimpulan yang tepat tetapi belum tentu benar. Mengapa?

Jawabannya: karena kita tidak tahu masa depan yang dia kejar apakah benar-benar baik. Jadi, penilaian kita terhadap dia besifat fallible, bisa saja salah. Justru, karena fallible maka kita perlu lebih teliti. Kita berpikir dengan sikap terbuka terhadap masa depan. Dalam beberapa kasus, kita perlu musyawarah dan demokrasi untuk bisa menentukan masa depan orang atau masa depan masyarakat. Meski demikian, hasil musyawarah tetap fallible dan, diharapkan, bisa lebih baik.

Untuk kepentingan penilaian pribadi, logika futuristik lebih efektif. Anda bisa menetapkan bahwa tujuan Anda ketika ajal adalah akhiran baik. Karena itu, Anda saat ini menjadi orang baik. Karena ajal bisa datang 10 tahun lagi atau hari ini, maka kita perlu bersikap baik kapan pun. Target futuristik bisa kita buat secara bertahap: 7 tahun lagi saya akan menjadi pengusaha sukses; 4 tahun lagi saya lulus sarjana; 1 tahun lagi saya menyelesaikan proyek besar; 1 bulan lagi saya membuat ringkasan buku Logika Futuristik; 1 hari lagi saya memenuhi janji; dan saat ini saya sedang menuju masa depan itu.

Masa depan menarik diri kita untuk menuju masa depan. Masa lalu hanya menyiapkan diri kita agar kita bisa maju menuju masa depan. Jadi, masa depan adalah yang paling berarti setiap hari. Bersiaplah untuk meraih akhiran yang baik. Masa depan bisa saja tidak pasti. Tetapi, mati adalah pasti.

Ringkasnya, makna mati bagi kehidupan pra-ajal adalah sebagai kekuatan maha dahsyat yang menarik semua kehidupan individu untuk mendekatinya dan memeluknya. Sekaligus, mati adalah referensi bagi semua arti dalam hidup ini. Ingat selalu, kita pasti akan mati. Mati adalah sempurna.

Tahap (2): ketika-ajal. Ajal terjadi ketika mode imajinal begitu kuat sehingga mode material tidak lagi memadai. Umumnya, orang mati karena sudah tua. Badannya jadi lemah. Akhirnya, mati. Atau, orang muda bisa saja tiba-tiba mati: karena serangan jantung; karena kecelakaan; karena diserang lawan.

Orang menduga kematian disebabkan oleh tubuh yang gagal berfungsi, misal, gagal jantung. Karena jantung tidak bisa lagi mengalirkan darah ke seluruh tubuh maka orang tersebut menjadi mati. Bila demikian, kondisi hidup seseorang ditentukan oleh badannya. Kondisi diferensia, yaitu jiwa, ditentukan oleh genus, yaitu badan misal jantung. Asumsi seperti ini salah. Karena diferensia adalah realitas eksistensi konkret yaitu jiwa. Jadi, seharusnya dan memang, jiwa adalah yang menentukan seseorang sebagai hidup atau sudah mati.

Pandangan yang lebih benar adalah ajal terjadi ketika jiwa terus bergerak menyempurna sehingga realitas eksistensi jiwa makin tinggi dan intensifikasi substansialitasnya makin kuat. Konsekuensinya, jiwa menjadi mandiri dari badan material dan badan material tidak sanggup lagi mengikuti kemajuan jiwa. Mereka, jiwa dan badan, terpisah: terjadilah kematian. Dengan demikian, mati adalah pasti, niscaya, karena gerak substansial menyempurna adalah niscaya. Jiwa melanjutkan karir untuk gerak lebih sempurna. Badan berubah menjadi daging dan tulang, tanpa jiwa, kemudian melanjutkan siklus alamiah: dikubur, diurai oleh mikroba, dan seterusnya.

Bagaimana rasanya ketika jiwa berpisah dengan badan? Banyak sudut pandang untuk menjawab ini. Tentu saja, jawaban ini bersifat spesial. Mereka yang pernah mengalami tidak bisa bersaksi. Sedangkan, mereka yang bersaksi pasti belum berpengalaman. Bagaimana pun, kita bisa analisis rasional dan mengembangkan interpretasi.

Orang jahat akan merasakan kematian dengan rasa sakit dan derita. Sementara, orang baik akan merasakan kematian sebagai proses yang lembut. Kematian adalah proses bagi jiwa berpindah dari mode material ke mode imajinal; menuju mode eksistensi yang sepenuhnya terbebas dari mode material; atau memiliki badan yang berbeda dengan mode material.

Tahap (3): pasca-ajal. Karir jiwa kita di alam setelah kematian. Pembahasan tema ini makin spesial. Kita membutuhkan rujukan ke ajaran agama dan filsafat.

[1] Plato, Aristo, dan pemikir kuno tampak mudah saja membahas filsafat dan agama. Kisah dewa-dewa Yunani bisa saling berhubungan dengan konsep filsafat. Mereka baik-baik saja.

[2] Farabi (870 – 950) meyakini bahwa filsafat dan agama mengajarkan hakekat kebenaran yang sama. Hanya saja, pendekatan berbeda. Agama menggunakan bahasa perlambang. Sementara, filsafat menggunakan bahasa rasional. Tentu saja, sering terjadi titik temu bahasa perlambang dan rasional pada agama dan filsafat.

[3] Hegel (1770 – 1830) meyakini filsafat dan agama seiring sejalan. Hanya saja, proses dialektika terus berlanjut. Filsafat adalah proses dialektika paling matang.

[4] Sadra (1572 – 1640) meyakini agama dan filsafat adalah sama-sama kebenaran tertinggi. Para tokoh agama memiliki karunia kemampuan “membaca” perlambang dan menuangkan ke bentuk ajaran yang lebih jelas. Sementara, tokoh filsafat “membaca” perlambang dengan kemampuan rasional maksimal. Pada gilirannya, filsafat tetap membutuhkan bimbingan agama. Bagaimana pun, kita tetap perlu waspada karena ajaran agama sering dibelokkan pihak tertentu untuk kepentingan yang tidak layak.

[5] Charles Taylor (1931 – ) melihat bahwa sekularisasi telah memisahkan agama dari beragam sisi kehidupan manusia. Termasuk memisahkan agama dengan filsafat. Tetapi, pemisahan ini tidak selalu berhasil. Atau, sekularisasi tetap saja bisa bersanding dengan agama secara baik. Jadi, saat ini, kita tetap membutuhkan agama. Bahkan, kita makin membutuhkan agama.

Pasca-ajal, jiwa melanjutkan karir ke masa depan yang panjang. Bahkan, masa depan abadi. Pasca-ajal adalah mode imajinal dan mode intelektual yang lebih tinggi dari ruang dan waktu. Sehingga, ketika kita melibatkan ruang waktu maka hanya perlambang.

[a] Mode material. Sesaat setelah kematian, jiwa kita masih sama persis dengan ketika masih hidup di mode material. Jiwa memiliki memori yang kuat sebagai mode material. Jiwa memiliki badan, tangan, dan kaki yang sama seperti semula. Jiwa kita ingat akan anak, cucu, tetangga, sahabat, dan semua yang berhubungan dengannya.

[b] Pembersihan material. Seiring waktu, jiwa membersihkan diri dari ikatan-ikatan material. Mode imajinal makin menguat. Ilusi-ilusi material mulai tersingkap. Salah terlihat salah. Benar terlihat benar.

[c] Mode imajinal. Persepsi jiwa makin bening. Tak ada lagi penghalang material. Jiwa sepenuhnya dalam mode imajinal dengan badan imajinal yang bersesuaian. Jiwa kita memiliki badan yang sama dengan ketika di bumi. Hanya saja, badan imajinal lebih sempurna.

Ketika di bumi, dulu, Anda pernah memberi makan anak yatim yang miskin. Dalam mode imajinal, Anda melihat peristiwa itu dengan lebih bening. Anak yatim tersenyum bahagia memberi salam ke Anda. Anda makin bahagia. Peristiwa itu menjelma menjadi surga yang indah. Anda bisa makan, minum, dan menikmati apa saja yang Anda inginkan. Bahagia tiada tara.

Sebaliknya, pencuri yang korupsi uang sambil terbahak-terbahak melihat peristiwa korupsi itu lebih bening. Korupsi adalah api neraka. Pencuri itu tersiksa dalam kobaran api neraka yang dia buat sendiri ketika di bumi. Derita yang teramat pedih.

Kita berpikir dari bumi, di sini, masih ada problem dalam mode imajinal. Bagaimana jika suami berada di surga sedangkan istrinya ada di neraka?

Tentu saja, suami bisa hidup di surga penuh bahagia dikelilingi bidadari yang lebih cantik dari semua wanita di bumi. Suami itu sudah bisa melupakan istrinya yang di neraka. Lagi pula, istri masuk neraka karena bandel tetap berbuat dosa padahal sudah dinasehati oleh suami. Bagaimana pun, cinta suami kepada istri membuat suami rindu kepada istrinya. Puluhan bidadari bahkan ratusan bidadari tak sanggup menjadi ganti. Apa yang bisa dilakukan oleh sang suami?

Problem sebaliknya lebih rumit. Istri berada di surga sedangkan suami ada di neraka. Istri hidup bahagia tetapi suami dalam derita. Istri ditemani bidadara (bidadari pria) yang lebih tampan dari seluruh pria di dunia. Tetapi, istri tidak bisa jatuh cinta kepada bidadara. Cintanya hanya satu, untuk suami yang sedang di neraka. Andai bidadara itu dibuat sama persis dengan suaminya, tetap saja, istri itu hanya rindu kepada suami. Apa yang bisa dilakukan oleh sang istri?

Kita, yang di bumi ini, tidak mampu menemukan solusi. Bagaimana pun, mereka yang di mode imajinal menemukan solusinya sendiri.

[d] Mode intelektual. Sedikit orang melanjutkan perjalanan mendapat karunia menjadi penduduk mode intelektual. Bagi sebagian besar orang, hidup bahagia di surga mode imajinal adalah sudah lebih dari cukup. Memang benar, lebih dari cukup. Semua kebahagiaan dan kenikmatan ada di mode imajinal lebih nikmat dari seluruh kenikmatan dunia.

[e] Insan Kamil, atau Kamil adalah penduduk mode intelektual. Kamil adalah surga tertinggi paling dekat dengan Tuhan. Hanya manusia sempurna, Kamil saja, yang bisa sampai singgasana di sana. Kamil merangkul seluruh semesta untuk menghadap Tuhan. Dari satu sisi, Kamil adalah pemimpin bijak bagi semesta. Dari sisi lain, Kamil adalah manifestasi Nama Indah Tuhan.

Kamil sudah hadir di bumi ini. Kamil berada dalam mode intelektual yang melindungi mode imajinal dan mode material. Kamil adalah penjaga bumi dan alam raya ini. Dalam hidup dan mati, kamil terus-menerus berkontribusi. Kamil menebarkan legasi. Kita perlu untuk terus peduli tentang legasi. Di bagian selanjutnya, kita akan membahas lebih detil lagi.

4.4 Disrupsi

Semua, yang ada di dunia, ada juga dalam jiwa manusia. Makros identik dengan mikros. Hanya saja, apakah kita sudah mengenali jiwa kita?

Kita butuh bekal untuk mengenali jiwa. Di saat yang sama, jiwa itu sendiri adalah bekal paling utama. Jiwa adalah modal dan kapital untuk pengembaraan jiwa. Dua bagian terakhir pembahasan berikut ini akan fokus kepada kapital jiwa.

Respon

Jiwa mampu merespon lingkungan. Jiwa membuka diri untuk interaksi dengan alam eksternal. Dan, alam eksternal membuka diri untuk dikenali oleh jiwa. Secara alamiah, jiwa akan mendekati yang nikmat dan menjauhi yang tidak nikmat. Kapasitas jiwa seperti ini, dalam merespon lingkungan, dimiliki oleh semua jiwa dari tumbuhan, hewan, dan manusia. Sehingga, jika ada manusia hanya mengejar nikmat dan menjauhi derita maka tidak beda jauh dengan hewan. Hanya saja, hewan tidak pernah dosa melakukan itu semua. Manusia bisa penuh dosa bila seperti itu.

Konseptual

Pemahaman konseptual adalah unik bagi jiwa manusia – binatang dan tumbuhan tidak memiliki pemahaman konseptual. Bahkan, seluruh realitas adalah konseptual bagi manusia, dari sudut pandang tertentu. Konsekuensinya, manusia memiliki tanggung jawab dan kebebasan konseptual.

John McDowell (1942 – ) berusaha menyelesaikan paradoks hukum alam dan freedom manusia. Bagaimana, di antara realitas alam yang semua taat hukum alam, bisa muncul jiwa manusia yang bebas? Karena bebas, freedom, manusia bisa mengikuti hukum alam atau melawannya dengan satu dan lain cara.

Berdasar hukum alam, seharusnya, hubungan aksi dan reaksi adalah cukup jelas. Hubungan stimulus dan respon cukup jelas. Jika Anda melempar bola ke atas, sesuai hukum gravitasi, bola akan bergerak ke atas sampai titik tertentu kemudian bola jatuh ke bawah. Kucing yang diancam siraman air dingin maka kucing tersebut akan menjauhi ancaman.

Manusia berbeda. Ketika akan dilempar ke atas, dia bisa melawan mencari pegangan atau lainnya. Ketika diancam dengan siraman air dingin, manusia bisa lari atau malah menyerang sang pengancam atau lainnya. Mengapa manusia bisa freedom seperti itu?

Karena berpikir secara konseptual, terutama, melalui bahasa. Ketika melihat dua ekor kucing, manusia berpikir konseptual. Kucing pertama lebih besar dari kucing kedua. Kucing pertama lebih terang warna bulunya, dan lain-lain. Kemudian, manusia bisa melakukan penilaian konseptual. Aku lebih suka kucing yang pertama. Aku ingin mengusir kucing yang kedua.

Lebih dari itu, konsep bahasa membekali manusia mampu berpikir fiksional. Bima berbadan kuat. Arjuna adalah pemanah ulung. Arjuna dan Bima adalah adik dan kakak yang sama-sama jagoan perang. Lebih hebat lagi, dengan konsep bahasa, manusia mampu membuat penilaian moral. Menghormati ibu adalah kebajikan moral. Menipu orang adalah kejahatan moral. Dan, memilih kebajikan moral adalah kebajikan moral. Mencegah kejahatan adalah kebaikan.

Seluruh realitas, bagi manusia, adalah konseptual. Meski, kadang tidak mudah membuat konsep dari suatu realitas. Tetapi, manusia bisa membuat konsep untuk mendekatinya. Alunan lagu A lebih menyentuh hati dari alunan lagu B. “Alunan lagu” adalah konsep abstrak. “Menyentuh hati” adalah konsep yang lebih abstrak lagi.

Seorang bayi, perlu proses untuk berpartisipasi dalam dunia “konsep” manusia. Sejak awal, bayi belajar bahasa manusia. Tidak berarti bayi langsung memahami konsep bahasa dan konsep realitas seperti di atas. Bayi, sejak masa awal, bisa menggunakan bahasa dan memahami bahasa. Umumnya, anak manusia baru memahami konsep ketika remaja. Ketika dia mulai sadar dengan kata dosa, salah, pelanggaran, atau sejenisnya. Dan remaja itu sadar bahwa dia bisa berbuat dosa serta bertanggung jawab atas perbuatannya. Sejak itu, dia resmi menjadi anggota umat manusia yang memahami konsep.

Kreatif

Pemahaman konsep menjadi bekal penting bagi manusia. Bahasa adalah perlambang yang kaya akan makna. Realitas tampak hanya apa yang bisa dijangkau oleh mata dan indera. Realitas menonjolkan masa kini, menjadikan masa lalu abu-abu, menjadikan masa depan remang-remang. Bahasa menjadikan masa kini penuh arti, masa lalu tetap diburu, dan masa depan menjadi terang-benderang.

Gadamer (1900 – 2002) mengakui bahwa bahasa memang alat komunikasi, alat untuk saling mengerti, alat untuk berpikir logis. Lebih dari itu, bahasa adalah gudang histori, gudang budaya, gudang segala makna. Realitas menciptakan bahasa dan bahasa menciptakan realitas.

Mikros identik dengan makros. Mikrokosmos identik dengan makrokosmos. Semua kebaikan yang kita berikan kepada makros, sejatinya, adalah kebaikan kepada mikros. Kebaikan kepada diri sendiri. Demikian juga kejahatan. Hanya saja, mikros membuka peluang kreativitas tanpa batas. Karena kita bisa menulusuri masa lalu, yang jauh, dalam mikros. Kita bisa menyongsong masa depan, yang jauh, dalam mikros. Kemudian, membawa masa depan dan masa lalu ke masa kini. Proyeksi masa depan mikros ke realitas makros. Dan, membawa realitas makros masa kini menuju masa depan mikros. Semua dengan bantuan bahasa perlambang yang kreatif. Bahasa adalah sumber kreativitas.

Disrupsi

Kreatif bermakna positif. Ide cemerlang menciptakan bola lampu sebagai penerang dalam mikros. Kemudian, teknolog melakukan beragam eksperimen di dunia makros. Terciptalah bola lampu listrik pertama, waktu itu. Kreativitas di mikros menjadi realitas dalam makros. Dunia malam menjadi sama terang dengan dunia siang.

Nadiem (1984 – ) terjebak macet kota Jakarta hampir setiap saat. Hanya ojek yang mampu menerobos macetnya Jakarta. Ojek itu misterius. Tersedia banyak ojek di jalanan. Ketika dibutuhkan, mengapa menjadi tidak ada ojek? Lebih misterius lagi tarif ojek. Berapa tarif ojek untuk mengantarkan ke suatu tempat? Tidak ada yang tahu. Hanya tukang ojek saja dan Tuhan yang tahu jawabannya.

Nadiem terpikir untuk menciptakan layanan ojek online yang mudah, murah, dan nyaman, berawal dari mikros. Singkat cerita, lahir dan sukses perusahaan Gojek berpusat di Jakarta. Mikros menjadi realitas makros. Kemudian, Gojek bergabung dengan Tokopedia yang mengantarkan Nadiem menjadi salah satu menteri terkaya di era presiden Jokowi.

Kisah kreatif bagai kisah prestasi. Di balik itu, kisah kreatif adalah kisah disrupsi. Kisah penghancuran. Siapa yang harus bertanggung jawab atas penghancuran itu?

Ketika Gojek makin sukses maka puluhan sampai ribuan tukang ojek pangkalan menjadi miskin. Tukang ojek tidak punya lagi penumpang. Para penumpang berpindah ke Gojek lantaran banyak diskon sampai gratis karena program “bakar uang.” Tukang ojek tidak bisa mendapat upah. Anak istri kelaparan terpaksa harus utang.

Lebih dari itu, persatuan sopir taksi sempat demo ke gedung DPR karena taksi menjadi tidak laku akibat taksi online dan lain-lain. Tetap saja, sopir taksi kehilangan pekerjaan, anak istri kelaparan, perusahaan taksi gulung tikar. Siapa yang harus tanggung jawab dampak disrupsi?

Penemuan bola lampu pertama sama juga; menyebabkan perusahaan lilin dan pekerja obor kehilangan nafkah. Era digital lebih ngeri. Kemajuan telepon seluler menghancurkan telepon rumah dan surat-menyurat. Kamajuan WA menghancurkan BBM dan SMS. Dan, masih banyak contoh lain: setiap kreasi berdampak disrupsi atau penghancuran.

Eksepsi

Eksepsi adalah pengecualian. Setiap kreasi melibatkan eksepsi, pada gilirannya, berdampak disrupsi. Penghancuran kepada pihak tertentu dan menguntungkan segelintir orang.

Agamben (1942 – ) secara tegas mencermati konsep negara darurat. Atau, lebih tepatnya, setiap negara adalah darurat. Eksepsi memiliki pembenaran karena ada situasi darurat. Pandemi covid yang melanda dunia sejak 2019 – 2023 adalah contoh darurat. Pada situasi darurat, negara memiliki pembenaran untuk membatasi warga bekerja, sekolah, wisata, dan sebagainya. Lebih dari itu, negara bisa mewajibkan warga untuk membeli tes PCR, membeli masker, atau membeli vaksin. Sebaliknya, negara sendiri adalah pengecualian atau eksepsi. Negara bisa membatasi rakyat tetapi rakyat tidak bisa membatasi negara.

Perang Rusia-Ukrania menjadi pembenaran berbagai macam hal. Pedagang kaya boleh menaikkan harga-harga barang karena imbas perang. Presiden mengajukan RUU dan DPR menyetujui karena imbas perang juga.

Eksepsi paling jelas barangkali adalah aturan zonasi sekolah yang diterapkan Nadiem dan ditetapkan oleh Muhadjir. Siswa yang rumahnya dekat sekolah bisa diterima di SMA favorit. Sementara, siswa yang rumahnya agak dekat, apa lagi jauh dari sekolah, tidak bisa diterima di sekolah favorit. Tentu, bagi siswa yang diterima di SMA favorit bisa gembira. Tetapi, bagi siswa yang tidak bisa diterima bagaimana? Beberapa siswa yang rumahnya jauh bahkan, dikabarkan, sampai putus asa. Buat apa sekolah, buat apa belajar? Sudah pasti tidak bisa lanjut ke SMA favorit. Konsekuensinya, tidak bisa kuliah di universitas idaman. Cita-cita tinggal angan-angan.

Dari kreasi, lanjut eksepsi, dan akhirnya disrupsi. Apa yang harus dilakukan?

Kreasi adalah suatu keharusan bagi manusia. Setiap manusia adalah kreatif dengan eksplorasi dunia mikros, utamanya, memanfaatkan bahasa konsep. Makhluk lain, binatang dan tumbuhan, tidak bisa kreatif seperti manusia. Atau, kreativitas mereka terbatas sesuai bakat. Jadi, setiap manusia wajib mengembangkan kreativitas dirinya.

Eksepsi jarang disadari. Setiap kreasi berkonsekuensi eksepsi, pengecualian, meski kecil. Anda mendirikan tenda di tanah lapang maka Anda sudah mengecualikan orang lain. Orang lain tidak boleh mendirikan tenda di lokasi yang sama. Apa hak Anda bisa melarang orang lain? Ketika Anda menyewa rumah maka orang lain tidak boleh lagi masuk rumah tersebut. Tampak wajar. Tetapi apakah berdampak baik? Jangan-jangan orang lain itu sedang butuh berteduh. Ketika menteri menetapkan peraturan maka rakyat tidak boleh melanggar. Apakah berdampak baik? Bagaimana jika peraturan tersebut merugikan rakyat banyak dan menguntungkan segelintir orang?

Disrupsi. Korban eksepsi menderita kehancuran. Segelintir pihak diuntungkan oleh eksepsi menjadi super makmur. Korban eksepsi, kemudian korban disrupsi, tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pihak yang kuat tampaknya mengerjakan segala sesuatu sudah sesuai peraturan yang ditetapkan, yang baru diciptakan. Korban disrupsi perlu mencari cara untuk membela diri. Memang tidak mudah. Di antara anggota masyarakat, seharusnya, ada yang peduli kepada korban destruksi kemudian ikut membela mereka.

Jadi solusinya apa? Solusinya adalah etika sejati. Hukum tidak mampu. Politik juga lumpuh. Karena, penerapan eksepsi adalah sudah sesuai hukum, politik, dan norma. Bahkan etika prosedural normatif juga tidak mampu jadi solusi. Kita butuh etika sejati.

Etika sejati perlu berpikir futuristik, memulai dari akhir, membentuk siklus: disrupsi-eksepsi-kreasi.

Mari kita ambil studi kasus peraturan zonasi sekolah. Istilah yang digunakan adalah zonasi. Prakteknya berupa radiusi, yaitu, seleksi didasarkan radius atau jarak terdekat sekolah dengan rumah siswa.

Disrupsi. Siapa korban disrupsi? Jelas korbannya adalah mereka yang jaraknya agak jauh dari sekolah, misal lebih 900 meter, maka tidak diterima di sekolah mana pun. Memang ada jalur prestasi atau lainnya tetapi tidak signifikan. Sebagian besar siswa terdestruksi hak mereka, terdisrupsi masa depan mereka, tersisihkan begitu saja. Mereka memang, sebagian besar, tinggal di pinggiran.

Apa solusi bagi mereka yang kena disrupsi? Barangkali mereka bisa mendapat kompensasi berupa pendidikan tambahan dengan kualitas yang lebih baik dari sekolah, atau mendapat kompensasi kursus keterampilan kerja, atau mendapat kompensasi uang tunai. Jenis kompensasi seperti ini akan memberatkan anggaran pendidikan. Jadi, akan ditolak oleh pejabat. Akibatnya, tidak ada solusi selain batalkan peraturan zonasi sekolah dan diganti dengan zonasi siswa atau lainnya.

Eksepsi adalah paling lembut. Dalam kasus zonasi sekolah, eksepsi cukup jelas yaitu mereka yang di luar zonasi tidak boleh mendaftar. Tetapi, eksepsi ini menjadi remang-remang, lembut, karena tumpang tindih dengan mereka yang berada dalam zonasi. Siswa diuntungkan karena mendapat sekolah terdekat. Sekolah diuntungkan, orang tua diuntungkan, lingkungan diuntungkan karena jarak rumah dan sekolah adalah dekat dalam zonasi. Kita jadi lupa bahwa sebenarnya lebih banyak siswa, dan masyarakat, yang dirugikan yaitu mereka yang di luar zonasi.

Siapa paling diuntungkan? Mereka yang rumahnya menempel, sangat dekat, dengan sekolah favorit. Tentu saja, sekolah favorit adalah di tengah kota. Mereka yang punya rumah di tengah kota juga biasanya kelas kaya atau penguasa. Atau, pihak tertentu yang mampu, dan mau, memanipulasi data kartu keluarga.

Siapa paling dirugikan? Sebagian besar siswa dan masyarakat adalah paling rugi. Khususnya, mereka yang rumahnya lebih dari 900 meter dari sekolah favorit. Dan, memang, rakyat biasa, rumah mereka lebih dari 900 meter dari sekolah favorit. Apa solusinya? Solusinya adalah mengganti zona sekolah dengan zona siswa.

Kreasi. Dalam proses kreasi, pembuatan, peraturan zonasi para pihak tentu paham manfaat dari zonasi. Mereka yakin dengan kontribusi positif zonasi: mendekatkan jarak rumah dengan sekolah. Justru di sini masalahnya, kita terjebak kepada manfaat positif. Kita lupa dengan dampak negatif atau disrupsi yang begitu besar. Sedikit catatan tambahan: karena praktek zonasi sekolah menjadi radiusi sekolah maka berubah menjadi zonasi buta. Asal radius terdekat maka diterima. Sempat, siswa baru yang diterima adalah anak kebutuhan khusus dengan problem mental. Tentu, guru SMP tidak mampu mengajar anak dengan problem mental yang berat seperti itu. Jika problem fisik, misal hanya memiliki satu tangan atau satu kaki, barangkali guru SMP masih mampu menanganinya.

Solusinya, kita perlu proses siklus kreasi: (1) kreasi; (2) eksepsi; (3) disrupsi; kembali berputar ke (1). Hipotesis saya, siklus ini akan mengantar pergantian zonasi sekolah menjadi zonasi siswa.

Kapan siklus kreasi ini berhenti? Harus berhenti. Karena kita perlu mengambil keputusan kemudian eksekusi dan revisi. Jawaban kapan berhenti adalah problem etika sejati, lagi.

4.5 Etika Karakter dan Rasa Peka

Problem etika adalah problem abadi dari kajian filsafat. Di saat yang sama, kajian etika adalah sangat penting karena berdampak langsung terhadap kehidupan praktis sehari-hari.

Derrida (1930 – 2004) terkenal dengan konsep dekonstruksi dan tulisan yang kriptik: sangat sulit dipahami. Karena, bagi Derrida, filsafat memang sulit dipahami khususnya filsafat etika. Jika Anda tidak kesulitan memahami etika, itu tandanya Anda masih kurang mendalami etika. Setiap pilihan, sikap etis, akan menghadapi dilema seperti Nabi Ibrahim: menuruti perintah Tuhan untuk menyembelih putranya atau melanggar perintah Tuhan?

Butuh waktu berhari-hari bagi kita untuk merenung. Bahkan, berbulan-bulan. Tetapi, saya mencoba menanyakan problem etika seperti itu kepada robot AI, dalam hal ini chatGPT, menjawab kurang dari 1 menit. Tepatnya, hanya beberapa detik saja. Karena, AI memang tidak punya tanggung jawab moral. Kita, manusia, memiliki tanggung jawab moral. Jika seorang anak manusia hanya berpikir prosedural, menjalankan tugas, menjalankan perintah, maka dia tidak lebih baik dari robot. Bahkan bisa lebih buruk dari robot.

Kita bisa mengkaji etika dan moral dari tiga pendekatan: (1) utilitarianisme atau asas manfaat; (2) deontologi; kewajiban sampai kontraktual; (3) karakter atau pribadi atau virtue ethic.

(1) Utilitarianisme

Utilitarianisme selaras dengan asas manfaat, selaras dengan pragmatisme. Kebaikan etika atau moral adalah kebaikan yang memberi manfaat sebesar-besarnya.

Asas manfaat selaras dengan prinsip, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling memberi manfaat kepada manusia.”

Asas manfaat begitu mudah kita pahami. Sebenarnya, cukup mudah juga bagi umat manusia untuk menerapkannya. Hanya saja, kadang, ada godaan yang membelokkan manusia dari asas manfaat. Misal, seorang pejabat bisa saja tergoda untuk korupsi dengan mencuri uang rakyat. Jabatannya menjadi tidak bermanfaat, malah, membahayakan umat.

Bentham (1748 – 1832) adalah pemikir pertama yang merumuskan dengan tegas, “Memberikan manfaat terbesar kepada sebanyak-banyaknya orang adalah ukuran sesuatu sebagai benar atau salah.” Selanjutnya, Bentham mengembangkan beragam cara untuk menghitung dan mengukur suatu manfaat. Dengan demikian, kita menjadi lebih fokus dengan meningkatkan manfaat yang lebih besar banyak orang. Dalam kehidupan sehari-hari, kita punya perasaan bahwa sesuatu itu bermanfaat atau tidak. Jika bermanfaat maka lakukan. Jika tidak bermanfaat maka tinggalkan. Berpikir praktis dengan asas manfaat memang praktis.

John Mill (1806 – 1873) adalah murid dari Bentham yang mengembangkan konsep asas manfaat lebih jauh lagi. Menurut Mill, ukuran suatu manfaat tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Bentham. Manfaat, sudah tentu, bisa diukur secara ekonomi, misal kenaikan pendapatan. Atau, kita memberi uang kepada orang miskin, jelas, bermanfaat. Sesuatu yang lebih abstrak, misal membahagiakan orang lain, juga termasuk manfaat. Begitu juga mencerdaskan masyarakat dengan membekali mereka keterampilan kerja juga bernilai manfaat tinggi. Singkatnya, ukuran manfaat menjadi lebih luas lagi.

Karl Popper (1902 – 1994) mendukung konsep asas manfaat negatif. Apa yang kita bahas di atas adalah asas manfaat positif. Yaitu, memberikan manfaat positif kepada masyarakat: meningkatkan pendapatan, memberi ilmu, membuka lapangan kerja. Asas manfaat negatif, lebih penting lagi, yaitu mencegah kerugian atau kejahatan. Contoh mencegah korupsi, mencegah kecelakaan, mencegah penindasan, menghapus kecurangan, melawan kesewenang-wenangan, dan lain-lain. Bagi negara sangat penting mengutamakan asas manfaat negatif. Bagi kita, secara personal, juga penting. Ketika kecurangan dan kejahatan sudah dihapus, maka, dengan sendirinya umat manusia akan mengembangkan asas manfaat positif.

Sekali lagi, berpikir praktis ini bagi kita, sebenarnya memang praktis. Kita hanya perlu meningkatkan manfaat dan mencegah kejahatan. Itu saja. “Tebarkan manfaat dan cegah kerusakan.” “Mengajak kepada kebaikan, mencegah keburukan.”

Benarkah semudah itu? Masih ada tantangan berikutnya. Apa itu manfaat? Apa itu kejahatan? Siapa yang menentukan sesuatu sebagai bermanfaat atau jahat? Kita, memang, bisa menentukan manfaat secara idealis saklek. Tetapi, realitas tidak se-ideal itu. Mikros seharusnya identik dengan makros. Bagaimana mikros menjadi berbeda dengan makros?

(2) Deontologi

Deontologi menyatakan bahwa kebaikan moral bukan karena manfaatnya tetapi karena kebaikan itu memang baik. Sehingga, kebaikan moral adalah kewajiban atau categorial imperative.

Immanuel Kant (1720 – 1804) pemikir awal yang mengajukan categorial imperative (CI). Kebaikan moral adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh semua orang. Kadang kala, kebaikan itu justru membebani dan, lebih seringnya, bermanfaat juga. “Menghormati ibu” adalah CI yang bernilai moral. “Membela kebenaran” adalah CI – bermanfaat atau tidak, maka, tetap wajib dilakukan.

Dengan demikian, cakupan CI menjadi lebih luas dari asas manfaat. Asas kewajiban lebih besar dari asas manfaat.

Bagaimana cara menentukan CI atau bukan? CI ditentukan oleh 4 kriteria: [a] disetujui semua orang; [b] bisa dilakukan semua orang; [c] berlaku di mana saja; [d] berlaku kapan saja. Maksud “semua orang” bisa saja hipotetis. Karena CI bersifat universal seperti di atas, maka, CI lebih mudah bersifat negatif misal: dilarang mencuri; dilarang membunuh; dilarang melukai.

Bagaimana pun ada kebaikan moral yang tidak memenuhi sebagian kriteria di atas; disebut sebagai HI: hipothetycal imperative. Contoh HI adalah “menolong orang kelaparan” perlu ada kondisi yaitu ada orang lapar.

Kita bisa membayangkan betapa sulitnya mencapai CI secara positif karena melibatkan “semua orang.” Akibatnya, deontologi akan bergeser ke kontraktual – kebaikan moral adalah kebaikan yang disepakati oleh semua pihak. Kontraktual tampak lebih ringan dan praktis. Resiko kontraktual adalah terlewatkan untuk memperhatikan disrupsi. Semua pihak sepakat dalam kontrak tetapi ada pihak yang, jauh lokasinya, menanggung disrupsi.

Tim Scanlon (1940 – ) mengusulkan pendekatan hak veto bagi deontologi. Kebaikan moral adalah kebaikan yang lulus dari hak veto sebanyak-banyaknya pihak. Dalam contoh zonasi sekolah, siswa pinggiran bisa mengajukan veto maka zonasi sekolah dibatalkan. Pendekatan veto Scanlon ini menjadi jalan tengah yang bagus bagi deontologi.

(3) Karakter

Etika karakter justru paling awal berkembang secara filosofis. Socrates mengatakan, “Menjalani hidup tanpa cobaan adalah hidup yang tidak layak dijalani.” Kemudian, Plato merumuskan empat kebajikan utama. Dan, lebih jauh, Aristo mengembangkan empat kebajikan utama menjadi sistematis: (1) moderate; (2) berani; (3) adil; (4) bijak.

Dari filsafat Timur, kita mengenal nama-nama pemikir besar yang mengembangkan etika karakter: Ghazali, Suhrawardi, Ibnu Arabi, dan tentu Sadra. Dengan tegas, Sadra menyatakan bahwa karakter manusia akan mengelompok menjadi empat spesies, atau diferensia akhir: (1) binatang serakah; (2) binatang buas; (3) setan licik; (4) malaikat mulia. Kita akan membahas lebih detil di bawah. Dari negara kita, Indonesia, Kalijaga mengembangkan etika karakter dengan simbol warna jiwa: merah, hitam, kuning, dan bening.

Di jaman kita sekarang, kita mengenal etika karakter melalui buku populer Stoicisme atau filosofi Teras. Di satu sisi, buku populer ini membantu generasi muda lebih dekat dengan etika karakter dan mengenal prinsip-prinsip filosofis. Di sisi lain, generasi muda bisa mereduksi etika karakter menjadi sekedar tool untuk pragmatisme kepentingan ekonomi. Pemberitaan tentang Silicon Valley, akhir-akhir ini, menunjukkan gejala reduksionisme. Kabar gembira yang, sekaligus, memprihatinkan.

Epicurus (341 – 270 SM) sudah melakukan kritik terhadap Stoic sejak awal kemunculan Stoic itu sendiri. Karena Stoic terlalu fokus kepada lingkaran kendali, yaitu, segala sesuatu yang ada dalam kendali diri kita. Sementara, terhadap sesuatu yang di luar lingkar kendali bisa diikhlaskan. Epicu mengusulkan untuk mengembangkan etika karakter, manusia perlu fokus mengembangkan kemampuan rasa, peduli, estetik, dan asketik. Rasa gembira, rasa bahagia, empati, simpati, menikmati makanan sekedarnya, menikmati seni, menikmati ilmu pengetahuan, dan menghindari sakit adalah praktek etika yang penting. Kita bisa melakukan itu semua dengan cara paling mudah, yaitu menurut Epicu, merasa bahagia dengan cara membantu teman agar bahagia; Berbahagia dengan menjadi teman bagi sesama; Teman adalah orang yang merasa bahagia dengan membahagiakan teman; Jadilah teman bagi banyak orang.

Penekanan Stoic untuk membentuk karakter yang kuat melalui lingkar kendali adalah beresiko: orang menjadi kehilangan rasa. Resiko ini memang terjadi. Orang menjadi rasionalis belaka. Tetapi, itu bukan salah Stoic. Yang salah adalah mereka membelokkan ajaran Stoic. Ajaran Epicu, di saat ini pun, juga banyak disalah-pahami. Epicu menyebut cara hidup bahagia dengan menikmati segala yang ada, melalui asketisme hidup sederhana, adalah sebagai hedonisme. Anda pasti tahu apa makna hedonisme di jaman sekarang.

Keunggulan etika karakter adalah lebih luas dan lebih mendalam dari etika asas manfaat atau asas kewajiban. Atau, asas manfaat menjadi bernilai moral etis hanya jika menguatkan karakter utama. Asas kewajiban, CI, bernilai moral etis hanya jika menguatkan karakter utama. Di era digital, mungkin saja robot AI memberi manfaat sesuai asas manfaat, atau AI menjalankan kewajiban sesuai program yang ditetapkan. Tetapi robot AI tidak akan mampu bersikap moral etis yang menguatkan karakter jiwanya. Karena, AI tidak pernah memiliki jiwa sampai saat ini. Bagaimana pun, di banyak sisi, terjadi titik temu antara semua pandangan etika: manfaat, kewajiban, dan karakter.

Mari lebih detil membahas karakter utama.

[1] Binatang serakah. Perilaku manusia yang seperti binatang serakah adalah tidak etis. Tetapi binatang serakah yang berperilaku sebagai binatang serakah adalah alamiah belaka. Tidak ada isu moral sama sekali. Contoh binatang serakah adalah babi. Manusia yang perilaku seperti babi, yaitu, hanya makan, minum, dan berkembang biak adalah tidak bermoral.

Termasuk serakah, di antaranya: banyak tidur, banyak ngumpulin harta, cuek ke sekitar, mengambil harta tetangga, mengambil hak rakyat, main-main belaka.

Karakter serakah terjadi di bumi ini dalam mode material. Di saat yang sama, terjadi di mode imajinal. Orang serakah, di bumi ini, hanya tampak dari perilaku tetapi tidak tampak dari badan material mereka. Setelah kematian, tampak jelas, badan dan perilaku mereka memang sebagai binatang serakah. Mereka berada di neraka, entah sampai berapa lama. Sejatinya, di bumi ini, mereka juga tersiksa oleh karakter serakah mereka sendiri.

Moderate atau hidup sederhana adalah solusi etika karakter. Kalijaga menyebut karakter serakah sebagai jiwa yang dikuasai nafsu merah. Mereka terlena karena berlebih-lebihan. Mereka perlu berpuasa agar hidup sederhana dan kembali bahagia dalam naungan etika.

[2] Binatang buas. Manusia yang berperilaku seperti binatang buas adalah melanggar etika. Manusia buas ini sering menyerang pihak lain, merebut hak orang lain, menindas rakyat kecil, sampai membunuh segala. Contoh binatang buas adalah singa. Tetapi, tidak ada masalah dengan singa yang buas karena alamiah belaka.

Karakter buas ini terjadi, di bumi, dalam mode material dan, di saat yang sama, terjadi di mode imajinal yang makin jelas setelah kematian. Kalijaga menyebut karakter buas sebagai jiwa yang dikuasai nafsu hitam yang perlu dibersihkan. Solusinya adalah mengganti sikap buas menjadi sikap berani yang mempertimbangkan beragam situasi.

[3] Setan licik. Manusia yang berperilaku licik, bagai setan, adalah tidak bermoral. Setan tahu bahwa serakah dan buas adalah salah. Tetapi, setan bisa berdalih bahwa dirinya tidak salah. Dirinya tidak serakah. Dirinya tidak buas. Setan membela diri sebagai benar meski tahu dirinya sejatinya salah.

Kalijaga menyebut kelicikan ini sebagai jebakan jiwa oleh nafsu kuning. Sangat berbahaya. Solusi terhadap sikap licik adalah dengan membangun sikap adil. Tetap sulit. Karena setan meng-klaim dirinya adalah adil. Barangkali, para politikus lebih pengalaman tentang licik dan adil ini.

Frankfurt (1929 – 2023) menyebut bahwa manusia memiliki kehendak-tingkat-2. Binatang serakah makan berlebih adalah kehendak-tingkat-1. Demikian juga, binatang buas menerkam mangsa merupakan kehendak-tingkat-1. Mereka berbuat atas kehendak mereka.

Kehendak-tingkat-2 adalah kehendak terhadap kehendak-tingkat-1. Seseorang ingin mengurangi sikap serakah agar jadi orang baik adalah satu contoh. Atau, seseorang ingin tetap bisa menikmati sikap serakah dengan mengembangkan banyak dalih adalah contoh kehendak-tingkat-2. Jadi, kelicikan adalah kehendak-tingkat-2 sehingga lebih sulit untuk ditangani.

Apakah seseorang bisa mengembangkan kehendak-tingkat-3 atau tingkat yang lebih tinggi? Tentu saja, terbuka peluang itu. Tetapi, Frankfurt tampak tidak berminat membahasnya. Padahal, pertanyaan ini akan mengantar kajian yang lebih maju.

Solusi terhadap sikap licik adalah orang tersebut harus memiliki kemauan kuat mengganti licik dengan sikap adil. Kemauan kuat ini adalah jenis kehendak-tingkat-2. Sehingga, perlu perjuangan ekstra keras.

Tiga karakter di atas, serakah-buas-licik, adalah penghuni neraka di dunia imajinal nanti. Di mode material, di bumi ini, sama saja: mereka juga hidup dalam neraka dunia. Umat manusia perlu berjuang menuju karakter malaikat mulia.

[4] Malaikat mulia. Karakter malaikat memang mulia: taat kepada perintah Tuhan, mengerjakan kebaikan, dan menjauhi larangan. Lebih mulia lagi ketika pelakunya adalah manusia. Karena manusia berada dalam godaan nafsu serakah, buas, dan licik. Kemudian, manusia membersihkan diri untuk mencapai karakter mulia. Kalijaga menyebut karakter mulia sebagai jiwa berwarna bening. Itu adalah warna asli jiwa manusia. Kita sering menyebut karakter mulia sebagai kamil atau insan kamil.

Kamil adalah karakter yang merangkul seluruh semesta di bumi dan alam raya dalam rangkulan kebaikan untuk bersama-sama menghadap Yang Maha Baik. Kamil adalah pemimpin alam raya; formal atau non formal. Di saat yang sama, kamil adalah manifestasi dari Nama Indah Tuhan. Dalam diri seorang kamil, mikros identik dengan makros.

Tuhan adalah Maha Adil. Kamil adalah orang adil. Tuhan adalah Maha Pengasih. Kamil adalah orang pengasih. Tuhan adalah Maha Bijak. Kamil adalah orang bijak. Kamil adalah penghuni surga tertinggi. Orang Timur menyebut kamil sebagai ahli hikmah, yaitu, orang yang memiliki hikmah tertinggi. Orang kuno menyebut kamil sebagai philosopher, yaitu, orang yang cinta wisdom, cinta bijak.

Tentu saja, kamil ada di dunia ini, di bumi ini, dan ada di dunia nanti, di surga tertinggi.

Apa keunggulan etika karakter Sadra terhadap etika karakter yang lain?

Keunggulannya adalah komprehensif dan dinamis. Komprehensif karena etika karakter berlaku untuk kehidupan di dunia ini mau pun di dunia nanti. Dinamis karena setiap orang, termasuk diri kita, mampu bergerak dinamis menuju karakter tertinggi yaitu karakter mulia sebagai kamil.

Tentu saja, masih banyak tanda tanya bagi kita. Apa batas-batas serakah, buas, dan licik? Atau, apa definisi kamil yang mulia itu?

Di dalam kelas serakah terdapat keragaman. Demikian juga kelas buas, licik, dan kamil. Kita mengenal binatang serakah misal babi, tikus, sapi, domba, dan lain-lain. Sehingga, batas-batas serakah juga beragam. Situasi khusus, terindividuasi, akan ikut menentukan batasan serakah. Ada baiknya, kita mempertimbangkan asas manfaat, asas kewajiban – kontraktual sampai veto, dan potensi konsensus-dissensus dalam menentukan batas serakah-buas-licik.

Seorang lelaki yang memiliki istri satu adalah tidak serakah. Lelaki yang punya istri 2 atau sampai 4 orang adalah tidak serakah di jaman dulu. Karena, di jaman dulu, sering terjadi perang dan bencana sehingga jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah wanita. Konsekuensinya, poligami adalah tidak serakah. Bagaimana dengan kondisi saat ini? Penduduk dunia lebih banyak lelaki dari wanita. Penduduk Indonesia, mirip juga, lebih banyak lelaki dari wanita. Jadi, poligami termasuk serakah dalam situasi terkini. Karena dalam situasi monogami sempurna saja, setiap lelaki berpasangan dengan satu istri, masih tersisa jutaan lelaki tanpa istri. Jutaan lelaki tidak kebagian pasangan wanita untuk jadi istri. Jika ada lelaki poligami maka akan membuat lebih banyak lagi lelaki lain tanpa istri. Tentu saja, di masa depan, situasi bisa berganti.

Perang Rusia-Ukraina merupakan contoh karakter buas anak manusia. Siapa yang buas? Rusia buas. Ukraina buas. Bisa jadi mereka tidak setuju disebut sebagai buas. Para politikus di seluruh penjuru, dengan cerdik, menunjukkan bahwa mereka adil. Rusia dan Ukraina, masing-masing, mengklaim punya justifikasi. Secara umum, orang menilai bahwa perang adalah tanda kebuasan anak manusia.

Penilaian serakah dan buas adalah dinamis sesuai realitas eksistensi individuasi. Dengan situasi ini, manusia bisa bersikap (1) cerdik licik atau berjuang untuk bersikap (2) bijak menjadi kamil. Tetapi, hanya sedikit orang yang berhasil menjadi kamil. Kita bisa mengajukan pertanyan lanjutan.

Adakah karakter serakah yang menjadi penduduk surga?

Surga tertinggi adalah karunia khusus kepada kamil. Surga yang bukan tertinggi, atau misal surga biasa, dihuni oleh siapa? Penduduk surga adalah orang dengan karakter yang berbeda-beda. Orang serakah atau buas dalam kadar moderat, barangkali, punya peluang. Orang serakah lalu tobat. Orang buas lalu tobat. Mereka bolak-balik dosa lalu tobat. Barangkali ada peluang bagi mereka. Sebagian besar manusia, bukankah memang seperti itu? Surga banyak penduduknya. Surga mode imajinal. Sementara, surga tertinggi spesial hanya untuk kamil. Surga mode intelektual.

Bagaimana caranya agar kita sukses dengan etika karakter; meraih karakter baik atau karakter mulia?

(1) Ilmu. Mempelajari ilmu tentang etika dan karakter. Anda membaca tulisan ini adalah contoh memperkuat karakter melalui ilmu. Dan, masih banyak ilmu lainnya.

(2) Amal. Moral. Praktek mengerjakan kebaikan moral, sudah pasti, menguatkan karakter Anda. Menolong fakir miskin, membantu teman, berbagi ilmu adalah beberapa contoh di antaranya.

Dua poin di atas, ilmu dan amal, berhasil menguatkan karakter siapa saja. Secara umum, dua poin di atas sudah mencukupi. Untuk perjalanan yang lebih tinggi, silakan berikut ini.

(3) Pesona ruhani. Sebagian orang mengalami pesona ruhani, atau pesona spiritual, atau pesona intelektual. Di antara yang mengalami, sebagian benar-benar terpesona. Sebagian yang lain, biasa-biasa saja atau bahkan cuek.

Pesona intelektual adalah pintu untuk menuju kamil. Orang yang bertekad menjadi kamil perlu melewatinya. Bagi yang tidak berminat, tidak menjadi masalah. Tersedia bagi mereka kebahagiaan dalam mode material dan mode imajinal. Sementara, kamil justru membatasi diri dalam mode material dan imajinal. Kamil akses material dan imajinal hanya sekedarnya saja dan digunakan untuk membantu sesama atau semesta. Kamil lebih banyak aktivitas dalam pesona intelektual. Tentu, sambil merangkul material dan imajinal.

(4) Karunia Ilahi. Karakter tertinggi adalah karunia Ilahi. Tidak ada karunia apa pun kecuali karunia Ilahi. Ilmu, amal, dan intelektual adalah karunia Ilahi. Ketetapan takdir adalah karunia Ilahi. Freedom adalah karunia Ilahi. Tugas merangkul alam raya adalah karunia Ilahi. Menerima Nama Indah Tuhan adalah karunia Ilahi.

Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa masa depan jiwa akan membentuk klasifikasi empat spesies: serakah, buas, licik, dan mulia. Kita bebas untuk memilih menjadi salah satu diantara empat itu. Untuk menjadi karakter terbaik bagi diri Anda, bisa dengan meningkatkan (1) ilmu dan (2) amal. Jika ingin lebih tinggi lagi, perjalanan mengarungi diri, silakan jelajahi (3) pesona intelektual dan (4) karunia Ilahi.

Apakah masa depan jiwa terkait dengan masa depan waktu?

4.6 Masa Metafora: Akumulasi Futuristik

Problem masa tak lekang oleh masa. Pembahasan tentang waktu bisa dihubungkan dengan realitas gerak.

(1) Waktu adalah ukuran dari gerak. Umumnya, ukuran dari gerak aksidental: gerak jarum jam, gerak matahari dari terbit sampai terbit kembali, gerak rembulan dari purnama sampai kembali purnama.

Kita bisa memperluas sampai gerak substansial. Waktu adalah ukuran gerak substansi dari satu tingkat substansi ke tingkat substansi yang lebih kuat. Sementara, gerak aksidental adalah efek dari gerak substansial. Sudut pandang ini menempatkan waktu sebagai posterior atau derivatif terhadap eksistensi.

(2) Waktu adalah sebab dari gerak itu sendiri. Waktu adalah horison bagi eksistensi. Waktu yang memberi waktu agar eksistensi menjadi hadir; eksistensi di masa kini. Waktu juga yang menyembunyikan eksistensi; menyembunyikan eksistensi masa lalu dan masa depan. Sudut pandang ini menempatkan waktu sebagai prior atau lebih utama dari eksistensi.

Waktu absolut adalah waktu yang bisa independent terhadap realitas. Sedangkan horison waktu selalu bersatu dengan realitas.

(3) Waktu adalah gerak itu sendiri. Waktu adalah eksistensi. Waktu adalah akumulasi realitas secara intensif. Waktu adalah durasi. Kesatuan yang beragam dan keragaman yang satu.

Bagaimana topologi waktu? Umumnya, kita memandang waktu bergerak secara lurus dari masa lalu, masa kini, dan menuju masa depan.

(a) Presentisme: waktu adalah present yang bergulir dari masa lalu menuju masa kini sampai masa depan. Masa lalu telah berlalu. Masa depan tak kunjung datang. Masa kini adalah yang paling berarti.

(b) Eternalisme: waktu adalah abadi terbentang dari masa lalu, masa kini, dan masa depan. Semua waktu adalah sama-sama nyata.

(c) Blok-berkembang: masa lalu dan masa kini adalah yang nyata. Masa kini ditambahkan terus-menerus sehingga membentuk blok-berkembang. Masa depan tidak nyata.

(d) Spotlight: semua waktu adalah nyata; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kita hanya mampu menerangi waktu dengan cahaya sebatas kemampuan cahaya, yaitu, spotlight. Masa kini adalah realitas paling jelas dalam sinaran spotlight yang bergerak dari masa lalu menuju masa depan. Kita bisa menyebut juga waktu sebagai dimensi 4.

(e) Persegi-dinamis: waktu adalah bentangan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Setiap saat, masa kini menghirup seluruh masa lalu dan masa depan menjadi hanya satu titik. Kemudian, menghembuskan kembali menjadi bentangan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bentangan masa lalu, umumnya, konstan meski bisa berbeda makna. Sedangkan, bentangan masa depan adalah posibilitas. Jika bentangan waktu bernilai konstan maka terbentuk persegi-sempurna. Tetapi karena terdapat posibilitas maka persegi-dinamis adalah lebih tepat.

Waktu adalah satu kata yang memiliki berjuta makna. Waktu adalah metafora. Bahkan ketika kita berusaha mendefinisikan waktu secara ketat, tetap saja, mengandung metafora.

Aristo, Ibnu Sina, Suhrawardi, Leibniz, Hegel, dan masyarakat pada umumnya menganggap waktu sebagai bergerak lurus, linear, presentisme dan merupakan ukuran dari suatu gerak misal gerak matahari.

Sadra sepakat bahwa waktu adalah ukuran gerak. Lebih lanjut, Sadra menambahkan bahwa gerak adalah gerak substansial yang berdampak pada gerak aksidental. Meski demikian, waktu eksis secara nyata sebagai eksistensi derivatif.

Immanuel Kant, Taggart, dan para nominalis menolak eksistensi waktu dengan argumen yang beragam. Bagi Kant, waktu bisa memanjang ke masa depan dan ke masa lalu tanpa batas, serta, setiap selang waktu bisa dibagi menjadi bagian kecil tanpa batas maka waktu mustahil eksis. Bagi Taggart, waktu bisa berupa seri A atau seri B. Seri A adalah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Seri B adalah hari Senin mendahului hari Selasa. Karena seri A dan seri B saling kontradiksi maka waktu mustahil eksis. Bagi nominalis, realitas yang eksis adalah apa yang benar-benar ada di depan kita. Istilah waktu hanya untuk kemudahan saja tanpa eksis secara nyata.

Newton mengakui waktu sebagai ukuran gerak. Sehingga, waktu adalah relasi. Lebih jauh, Newton meng-klaim eksistensi waktu absolut yang akan menjadi rujukan absolut bagi seluruh alam raya.

Plato meyakini eksistensi waktu absolut sebagai “media” bagi seluruh alam semesta berubah dan bergerak. Waktu absolut itu sendiri tidak dipengaruhi oleh perubahan mau pun oleh gerak alam. Waktu adalah gerak falak.

Einstein meyakini waktu sebagai relatif, bahkan, relatif terhadap kerangka acuan masing-masing. Ketika kita menyebut selang waktu 3 jam bermakna relatif terhadap kita yang diam di atas permukaan bumi. Bagi astronot yang sedang di dalam roket melaju kencang bisa saja selang waktu tersebut hanya 2 jam.

Heidegger, awalnya, memandang waktu sebagai horison bagi realitas. Waktu yang menjadikan realitas hadir, yaitu, realitas masa kini. Waktu juga yang menjadikan realitas tersembunyi, yaitu, realitas masa lalu dan masa depan. Pada masa tuanya, Heidegger menyebut waktu dan being saling apropriasi. Waktu memberi waktu kepada being sehingga being punya waktu untuk eksis. Dan, being bersedia menerima pemberian waktu sehingga waktu eksis melalui being.

Bergson memandang waktu sebagai durasi intensifikasi. Waktu adalah gerak intensitas itu sendiri. Waktu bukan kuantitas tetapi kualitas. Waktu adalah eksistensi tunggal yang beragam dan beragam dalam ketunggalan.

Kajian tentang waktu akan tetap menarik sepanjang waktu.

Saya mengusulkan model topologi waktu sebagai persegi-dinamis. Secara ontologis, persegi-dinamis terbuka untuk menerima waktu sebagai (1) ukuran gerak, (2) penyebab gerak, dan (3) identik dengan gerak.

Untuk prioritas past, present, dan future, saya mengusulkan future sebagai paling prior sehingga futuristik. Tentu saja, past dan present tetap sama penting. Dengan futuristik, kita membuka lebih luas posibilitas, lebih banyak freedom, dan menuntut komitmen semua pihak.

Pembahasan tentang makna waktu, sementara, kita cukupkan seperti di atas. Barangkali sudah memadai untuk memancing diskusi lebih lanjut di tempat lain. Tentu, masih banyak tanda tanya.

4.7 Tanda Tanya

Filsafat adalah kajian atas pertanyaan fundamental untuk menghasilkan solusi fundamental. Kemudian, memunculkan pertanyaan fundamental baru.

Kita semua adalah filsuf ketika masih kanak-kanak. Kita bergembira bertanya tentang apa pun. Kita bertanya tentang pertanyaan fundamental. Siapa pencipta alam semesta? Dari mana asal mula kita? Ke mana tujuan akhir kita?

Kita perlu menambah lebih banyak tanda tanya. Apa makna-realitas? Apa makna-jiwa? Apa makna-kapital-jiwa? Apa makna-being? Apa makna-ada? Apa makna-bertanya?

Kita sudah membahas kapital jiwa. Giliran kita untuk menikmati perjalanan jiwa. Sangkan Paraning Dumadi.

Mutiara Filsafat Sadra

Mengkaji filsafat Sadra, kita bagaikan memperoleh berlian berkilau. Bahkan, kita memperoleh bongkahan-bongkahan berlian. Makin dalam kita kaji, maka makin banyak berlian kita temui.

Kajian kita hanya memilih 15 wacana yang berhubungan dengan tema jiwa. Kutipan yang bersumber asli dari Sadra, barangkali, hanya terdiri dari 10 halaman. Tetapi, makna yang dikandungnya bagai menyelami samudera.

Konsep jiwa menjadi solusi untuk banyak problem masa kini. Perkembangan AI, misal chatGPT, menuai kontroversi. Dengan menerapkan konsep jiwa, kita berhasil merumuskan beberapa solusi bagi AI.

(1) AI mampu memberi solusi atau rekomendasi berupa bahasa, atau konsep, yang mirip dengan bahasa manusia. Akibatnya, secara intuitif, kita mengira kapasitas AI adalah sama dengan kapasitas manusia. Atau, bahkan, AI lebih unggul dari manusia.

(2) AI mampu mem-produksi, atau berkarya, seperti manusia misal menghasilkan puisi, cerpen, lukisan, atau lainnya.

(3) AI mampu belajar secara kreatif dan otonom serta menyerap informasi dalam jumlah nyaris tak terbatas.

[Salah] Menganggap AI sebagai mirip manusia adalah salah. Apalagi, menganggap AI lebih dari manusia adalah salah. Kendaraan otomatis, kendali sopir diganti AI, adalah salah. Karena AI tidak memiliki jiwa maka AI tidak mirip dengan manusia. AI tidak memiliki tanggung jawab moral. Bahkan, AI tidak mampu memahami apa pun.

[Benar] AI adalah teknologi. AI adalah buah perkembangan budaya manusia. Sehingga, AI adalah teman bagi manusia untuk hidup bersama, yaitu, bersama AI, bersama alam, dan bersama sesama manusia. Karena AI tidak berjiwa maka penggunaan AI adalah bagian dari perluasan jiwa manusia. Jadi, jiwa manusia tetap bertanggung jawab penuh atas proses dan hasil dari AI.

Ketika seorang suami memberi hadiah kepada istri berupa mobil listrik, maka, kita yakin kejadian tersebut adalah tindakan oleh suami. Semua sepakat. Tetapi, ketika seorang suami membeli mobil listrik atas saran dari AI, maka, orang salah kira kejadian tersebut atas “saran dari AI.” Yang benar adalah kejadian tersebut karena “suami memutuskan untuk membeli mobil listrik” bisa jadi terpengaruh saran dari AI. Jadi, tanggung jawab tetap berada pada seorang suami, pada jiwa manusia.

Demikian juga, ketika dampak AI menyebabkan orang-orang tertentu menjadi kaya raya, orang-orang lain kehilangan pekerjaan, lebih banyak orang makin tertindas, ketimpangan ekononomi makin ganas, dan lain-lain, maka itu semua adalah tanggung jawab manusia. Tanggung jawab umat yang memiliki jiwa. Apakah AI, suatu saat, akan memiliki jiwa? Itu adalah tanda tanya bagi kita.

Lebih lanjut, kita bisa menyatakan jiwa adalah perkembangan dari materi berupa forma sempurna dari materi atau diferensia dari materi. Sebagai diferensia dari materi maka jiwa mengambil alih dominasi materi. Nasib seorang anak manusia bergantung kepada jiwanya, bukan lagi bergantung materi saja. Rambut seseorang bisa saja berganti warna, tetapi, jiwa orang tersebut tetap sama maka dia adalah orang yang sama.

Etika menjadi bernilai penting untuk menentukan nasib masa depan manusia. Karena jiwa mengambil alih dominasi materi, maka, perbuatan moral etis seseorang berdampak abadi kepada jiwanya. Jiwa manusia abadi dan selamat dari kematian badan. Masa depan jiwa manusia adalah sebagai karakter serakah, buas, licik, atau bijak. Anda bebas memilih satu di antaranya.

Analisa kita, pada setiap akhir bagian, terhadap pemikiran masa lalu dan pemikiran mutakhir, justru menunjukkan lebih banyak mutiara kehidupan dari filsafat Sadra. Saya kira pandangan Austin (1911 – 1960) patut menjadi pertimbangan. Setiap kata adalah kata pertama bukan kata terakhir. Karena itu, dari kata pertama, kita bisa lebih banyak mengembangkan karya-karya kreatif yang baru. Demikian juga karya Sadra adalah karya-pertama yang menjadi karunia bagi generasi-generasi masa depan. Kita bisa mengembangkan, lebih kaya lagi, maha karya.

Setiap wacana adalah wacana pertama. Wacana utama adalah wacana pertama.

Kembali ke: Kapital Jiwa

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

2 Comments

Tinggalkan komentar