Awal abad 21 ini, filsafat sains mewarisi tiga tantangan utama yang sudah bersemi sejak abad 20: pseudosains (PS), historical epistemology (HE), dan epistemic injustice (EI). Kita akan membahas beberapa ide solusi dari tantangan-tantangan tersebut dan bersiap dengan posibilitas problem-problem baru.

1. Pseudosains (PS)
1.1 Sains Sebagai Prosedur Kebenaran
1.2 Etika Karakter (Virtue Ethic)
1.2.1 Pseudosains adalah BS
1.2.2 Etika Sains
1.2.3 Etika Praktis Sains
1.3 Over Confidence Level (OCL)
1.3.1 Ilustrasi OCL
1.3.2 Cara Menghitung OCL
1.3.3 Interpretasi OCL
2. Historical Epistemology (HE)
2.1 Histori Konsep Apriori
2.1.1 Aristoteles sampai Kant
2.1.2 Hegel: Dialektika Histori
2.1.3 Eksistensialisme Histori
2.1.4 Histori Sains: Bachelard dan Kuhn
2.1.5 Historical Epistemology Kontemporer
2.2 Ragam Historical Epistemology (HE)
2.2.1 Histori Konsep Sains
2.2.2 Histori Obyek Sains
2.2.3 Dinamika Jangka Panjang
3. Epistemic Injustice (EI)
3.1 Testimonial Injustice
3.2 Hermeneutical Injustice
3.3 Solusi EI
Diskusi
Popper mengusulkan demarkasi berupa falsiabilitas, kemungkinan difalsifikasi empiris, sebagai penentu klaim sains sejati. Klaim teori sains harus bisa diuji empiris untuk menunjukkan kemungkinan sebagai salah. Jika ternyata lolos falsifikasi maka menjadi sains yang unggul. Sementara, jika klaim teori sains selalu bernilai benar, dengan dalih tertentu, justru bukan sains bagus. Bisa jadi termasuk PS.
Laudan, pada 1970an, menolak posibilitas untuk menetapkan demarkasi PS. Setiap tradisi riset sains selalu berada dalam suatu tradisi. Sehingga, PS bagi tradisi tertentu bisa saja masuk kategori sains sejati bagi tradisi lain. Penolakan Laudan ini membuahkan lebih banyak kajian terhadap PS. Sampai saat ini, belum ada solusi tuntas.
Sains berkembang seiring sejalan dengan histori. Para pemikir sepakat, umumnya, menyatakan bahwa histori adalah kontingen bukan sesuatu yang niscaya; histori bukan niscaya; histori beda dengan formula matematika. Apakah teori sains juga kontingen seperti histori? Apakah formula matematika juga kontingen? HE akan menjawab pertanyaan ini. Apakah HE akan berhasil? Kajian HE berkembang sejak akhir abad 20 dan makin menantang di saat ini.
Bias dalam penilaian sering terjadi. Sehingga, kesimpulan dari penilaian tersebut tidak valid dan salah. Kita bisa mengurangi bias karena sadar akan resiko bias. Epistemic injustice (EI) lebih lembut dari bias. Tetapi, EI lebih bahaya dari bias. Karena, seorang pemikir yang tulus pun bisa terjebak oleh EI. Fricker mengangkat tema EI pada tahun 2007. Masih banyak tantangan besar di depan mata tentang EI. Lebih rumit lagi, tema EI bagi sains, karena fakta dan value berjalin kelindan dalam sains.
1. Pseudosains (PS)
PS menjadi penting karena berdampak besar secara politis, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
1.1 Sains Sebagai Prosedur Kebenaran
Terdapat banyak prosedur kebenaran: sains, seni, politik, praktik, olahraga, rekayasa, dan lain-lain. Jadi, sains adalah salah satu dari prosedur kebenaran. Bahkan di dalam sains sendiri terdapat beragam prosedur kebenaran: fisika, ekonomi, antropologi, histori, matematika, biologi, dan lain-lain.
Berikut ini, kita akan fokus kepada empat kriteria untuk menilai bahwa suatu sains adalah palsu. Sebagai ilustrasi, kita akan mengambil kasus Theranos, yaitu, perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Dengan alat tersebut, seseorang bisa melakukan tes darah yang mudah dan cepat guna mengetahui kondisi kesehatan badannya. Theranos berdiri pada tahun 2003 dan menjadi perusahan bernilai 10 milyar dolar hanya dalam waktu 10 tahun – perhatikan, bukan 10 juta dolar tapi 10 milyar.
Non-sains. Pertama, predikat sains-palsu atau pseudo-sains hanya bisa dialamatkan kepada sains itu sendiri atau bidang yang mengaku saintifik. Non-sains tidak bisa menjadi sains-palsu. Seni tidak bisa dinilai sebagai sains-palsu. Karena, seni memiliki kriteria konsep internal yang berbeda dengan sains. Olahraga, hobi, agama, permainan, dan lain-lain adalah non-sains. Sehingga, mereka aman dari predikat sains-palsu.
Tentu saja, kita bisa mengkaji seni atau olahraga secara saintifik. Dengan demikian, ada resiko terjebak ke sains-palsu. Bisa juga, seseorang menolak sains dengan teori tertentu; misal teori penciptaan manusia pertama berdasar dalil agama menolak teori evolusi Darwin. Meski awalnya, teori tertentu itu bukan sains, pada analisis akhir, bisa dikaji secara saintifik dan ada peluang termasuk sebagai sains-palsu.
Theranos meng-klaim menerapkan metode sains untuk tes darah. Karena itu, Theranos tepat menjadi kajian apakah termasuk sains-palsu.
Tidak obyektif. Kedua, sains-palsu bersifat tidak obyektif. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menguji kebenarannya. Pihak luar tidak bisa, atau sulit sekali, untuk melakukan pengujian.
Theranos menyembunyikan hasil kajian perusahaannya sehingga tidak obyektif. Pihak luar tidak bisa mengkajinya atau sulit untuk mengkajinya. Pihak luar hanya bisa mempertanyakan validitas dari kajian Theranos. Kelak, Theranos gagal menunjukkan validitas dan obyektivitas kajian tes darahnya.
Buruk atau salah. Ketiga, sains buruk atau sains salah adalah kajian sains yang tidak memenuhi standar kriteria internal mereka sendiri. Sehingga, hasil kajian tersebut hanya layak sebagai bahan kajian bukan untuk keperluan komersial. Dalam konotasi positif, bisa dipandang sebagai proto-sains.
Tes darah Theranos termasuk sains-buruk atau sains-salah. Dengan kualitas yang rendah, Theranos tidak layak mengkomersilkan produknya.
Eksploitasi, Keempat, melanggar etika menjadi penentu utama sebagai sains-palsu. Sains yang tidak obyektif dan sains buruk, sejatinya, tidak menjadi masalah. Sejauh, kita menempatkan sains buruk pada posisinya. Tetapi, mengeksploitasi sains-buruk memang menggiurkan dengan imbalan materi yang besar.
Theranos sadar bahwa kajian mereka adalah sains-buruk. Kemudian, Theranos justru mengeksploitasi untuk mengeruk keuntungan komersial. Teknologi Theranos murah dan praktis. Sehingga, masyarakat luas membeli produk Theranos – termasuk di pasar saham. Tetapi, karena memang berdasar sains-buruk maka produk Theranos adalah sains-palsu.
Karena etika menjadi paling penting, lalu, bagaimana cara kita menentukan bahwa sesuatu melanggar etika atau tidak? Kita membahasnya di bagian bawah. Yang jelas, klaim kebenaran etika sama kuat dengan klaim kebenaran matematika. Etika dan matematika adalah, sama-sama, kebenaran konseptual atau kebenaran sistem aksiomatik.
1.2 Etika Karakter (Virtue Ethic)
Sains sejati selaras dengan etika khususnya etika karakter atau virtue ethics. Di antara etika karakter yang penting bagi saintis adalah: adil, jujur, transparan, komitmen, dan peduli.
1.2.2 Pesudosains adalah BS
BS, atau bullshit, adalah melanggar etika karakter. Sehingga, sains yang berupa BS adalah pseudosains.
BS lebih parah dari penipuan. BS memang berbeda dengan penipuan mau pun kebohongan. Dalam kasus penipuan, pelaku sadar bahwa dia melakukan kesalahan dan sadar ada sesuatu yang lain yang lebih benar. Pelaku penipuan menghormati kebenaran meski dia tidak melakukan kebenaran.
BS tidak peduli dengan kebenaran atau kesalahan. Teori BS hanya peduli dengan tujuan mereka sendiri; misal meraih keuntungan finansial atau politis. Sayangnya, dunia saat ini sedang dipenuhi oleh BS. Termasuk, sains berjalin kelindan dengan BS. Akibatnya, sains terseret menjadi PS.
Pertama, kita menjadi salah bila hanya fokus kepada hipotesis atau teori yang diajukan oleh PS. Karena, hipotesis PS seringkali bernilai benar. Kita perlu bergeser dari hipotesis PS ke sikap pendukung PS. Apakah mereka bersikap terbuka mengembangkan sains yang lebih baik? Apakah mereka akan mengoreksi hipotesis PS yang terbukti salah?
Kedua, kita menjadi salah bila fokus menuduh PS sebagai tidak ilmiah. Karena banyak hal yang tidak ilmiah, non-sains, adalah baik-baik saja. Misal, seni dan sastra adalah tidak ilmiah. Seni dan sastra adalah baik-baik saja. Sains tidak berhak menghakimi seni dan sastra. Justru, PS masuk kategori sains, hanya saja, yang diselubungi oleh BS.
Ketiga, kita menjadi salah bila menuduh PS tidak berisi konten obyektif. Karena PS, misal astrologi, berisi banyak konten obyektif. Hanya saja, mereka tidak peduli bila suatu saat teori mereka salah.
PS dan sains banyak kemiripan dalah hal teori, konten, dan hasil penelitian. PS dan sains berbeda signifikan dalam hal sikap para pendukungnya. Mereka berbeda dalam hal etika. Perlu hati-hati, pendukung sains tidak bisa, tidak boleh, berlebihan mengkritik teori PS. Kritik berlebihan justru bisa menjebak pendukung sains dalam pelanggaran etika. Sehingga, bagaimana pun, pendukung sains tetap perlu menjaga etika yang baik ke pihak eksternal mau pun internal. Sementara, di pihak lain, pendukung PS terjebak dalam BS.
1.2.2 Etika Sains
Kita bisa mencoba mengenali beberapa sikap saintis yang etis sebagai lawan dari PS yang BS.
| Epistemic virtues | Epistemic vices |
| Attentiveness | Close-mindedness |
| Benevolence (that is, principle of charity) | Dishonesty |
| Conscentiousness | Dogmatism |
| Creativity | Gullibility |
| Curiosity | Naïveté |
| Discernment | Obtuseness |
| Honesty | Self-deception |
| Humility | Superficiality |
| Objectivity | Wishful thinking |
| Parsimony | |
| Studiousness | |
| Understanding | |
| Warrant | |
| Wisdom |
Beberpa penulis membedakan antara etika dengan epistemic virtue. Dalam tulisan ini, saya menyebut epistemic virtue selaras, atau sub-domain, dari etika. Sehingga, saya akan menyebut mereka sebagai etika saja. Sementara, epistemic vice adalah BS sehingga PS.
Pendukung sains berkomitmen untuk menjalankan etika, seperti tabel sebelah kiri, di antaranya: peduli, baik, teliti, jujur, rendah hati, open mind, tanggung jawab, dan lain-lain. Di sisi lain, pendukung PS bersikap BS di antaranya: dogmatis, sembrono, bohong, close mind, kaku, keras kepala, dan lain-lain. Perlu kita catat bahwa setiap klaim etika bersifat spektrum; tidak absolut; hanya berupa gradasi derajat.
1.2.3 Etika Praktis Sains
Bagaimana kita menerapkan etika sebagai penentu sains sejati sebagai lawan PS, pseudosains?
Pertama, kita perlu mengkaji etika dengan teliti kemudian menerapkan etika dalam kajian sains. Di saat yang sama, kita mengenali BS dan menjaga diri dari BS.
Kedua, kita perlu sosialisasi etika melalui edukasi dan beragam lembaga sehingga masyarakat bisa mengkaji sains sejati dan terhindar dari PS. Harapannya, masyarakat bisa ikut mencegah penyebaran PS.
Ketiga, kita perlu dialog terbuka. Mungkin saja, kita salah paham terhadap beberapa hal. Dialog akan memberi manfaat kepada semua pihak yang bersikap terbuka.
Bagaimana sikap kita terhadap pihak eksternal? Kepada mereka yang mendukung PS secara terang-terangan? Beberapa ide di atas adalah sikap internal. Kita perlu merancang sikap yang tepat kepada pihak eksternal.
Pertama, serahkan kepada pihak berwenang jika pendukung PS sampai melibatkan tindak kriminal: penipuan, ancaman, perusakan, atau lainnya.
Kedua, pendukung PS bisa jadi hanya berupa keyakinan sehingga tidak kriminal. Karena itu, kita perlu bersikap etis kepada mereka. Lakukan dialog yang ramah bersama mereka. Kita tidak bisa menuduh mereka sebagai PS atau BS. Barangkali dengan beragam argumen dalam dialog bisa menemukan solusi bertahap. Hentikan dialog jika situasi tidak kondusif.
Ketiga, kita perlu hidup damai bersama seluruh umat manusia dan alam raya. Termasuk, kita perlu hidup rukun kepada pendukung PS sejauh tidak ada pelanggaran kriminal.
Di bagian bawah, saya mengembangkan OCL = over-confidence-level untuk mengukur derajat PS. Dengan OCL, kita akan lebih mudah berkomunikasi. Tentu saja, OCL berlaku terhadap pihak eksternal mau pun internal. Sementara, judgement sebagai PS lebih tepat bersifat internal bukan eksternal.

1.3 Over Confidence Level (OCL)
Saya menyusun formula OCL untuk menghitung kadar kelebihan percaya kepada suatu teori. OCL yang terlalu tinggi menandakan bahwa kita terlalu percaya kepada suatu teori padahal teori tersebut tidak layak dipercaya.
OCL = 1,00 adalah ideal. Tidak ada over-confindence dalam kasus ideal. Tetapi, dalam realitas praktis, kita tidak akan menemukan OCL = 1,00 yang ideal.
OCL = 1,33 adalah terjadi over-confidence, terlalu percaya, terhadap suatu teori sebesar 33%. Teori tersebut mungkin tidak layak dipercaya. Tetapi, karena satu dan lain hal, kita percaya kepada teori tersebut yaitu over-confidence. Bisa saja teori tersebut adalah pseudosains (PS).
1.3.1 Ilustrasi OCL
Mari kita buat ilustrasi OCL agar lebih mudah memahami.

[1] Saya memilih 10 elemen untuk menilai suatu teori apakah sebagai PS berdasar formula Mario Bunge seperti di atas. Anda bisa saja memilih formula yang berbeda.
[2] Masing-masing elemen saya beri skor antara 1 sampai 5.
[3] Hitung nilai OCL. Salah satu skor, misal C, perlu dikonversi menjadi C = 11 – c untuk menjamin eksistensi simpangan.
Berikut beberapa ilustrasi.
(a) Teori mekanika klasik Newton = N = {6, 5, 5, 5, 5, 5, 5, 5, 5, 5}
OCL(N) = 1,04
Interpretasi. Terdapat over-confidence 4%. Atau, ada potensi 4% bahwa teori Newton masuk kategori PS. Angka 4% adalah relatif kecil.
(b) Teori relativitas Einstein= E = {7, 5, 5, 5, 5, 5, 4, 5, 4, 5}
OCL(E) = 1,15
Interpretasi. Terdapat over-confidence 15%. Atau, ada potensi 15% bahwa teori Einstein masuk kategori PS. Angka 15% adalah relatif kecil tetapi cukup besar dibanding teori Newton.
(c) Teori mekanika quantum= Q = {8, 5, 4, 4, 5, 5, 4, 5, 5, 5}
OCL(Q) = 1,22
Interpretasi. Terdapat over-confidence 22%. Atau, ada potensi 22% bahwa teori mekanika quantum masuk kategori PS.
(d) Teori bumi datar= B = {10, 1, 2, 2, 1, 2, 1, 2, 2, 1}
OCL(B) = 2,33
Interpretasi. Terdapat over-confidence 133%. Tidak logis atau tidak rasional ada penyimpangan lebih dari 100%. Secara sederhana, dalam konteks kajian kita, teori bumi datar termasuk kategori PS.
(e) Teori over confidence level = L = {9, 4, 5, 5, 5, 5, 5, 4, 5, 5}
OCL(L) = 1,22
Interpretasi. Terdapat over-confidence 22%. Atau, ada potensi 22% bahwa teori OCL masuk kategori PS.
1.3.2 Cara Menghitung OCL
Anggap kita sudah memiliki skor masing-masing elemen seperti di atas.
[1] Buat diagram Lorenz dari skor.
[2] Estimasi diagram Lorenz dengan integral Riemann f(x) = x^n
[3] OCL = n; (Selesai).
1.3.3 Interpretasi OCL
Kita melibatkan beberapa interpretasi. Di awal, kita membuat interpretasi ketika menentukan elemen-elemen dan skor masing-masing elemen. Di akhir, kita membuat interpretasi dari hasil OCL.
Manfaat utama OCL adalah memudahkan komunikasi dan memudahkan untuk membandingkan beragam teori; karena OCL menghasilkan satu angka tertentu.
Bagaimana pun OCL bukanlah akhir perhitungan tetapi awal perhitungan. Dari angka OCL, kemudian, kita perlu mengembangkan interpretasi lanjutan, lalu menghitung OCL iterasi kedua, sampai ditemukan angka OCL yang memadai dalam konteks bersangkutan.
Ringkasan Pseudosains (PS)
Kita menyaksikan bahwa PS adalah kompleks. Sehingga, tidak ada solusi sederhana terhadap PS. Berikut beberapa rekomendasi ringkas.
Pertama, sains adalah salah satu prosedur kebenaran. Masih ada prosedur kebenaran lain yang lebih banyak jumlahnya. Karena itu, kita perlu rendah hati dan lapang dada bahwa sains bukan yang paling sempurna.
Kedua, sains dan PS memiliki beragam teori dan obyek kajian yang mirip. Kita sulit membedakan berdasar teori mereka. Kita bisa mengenali dari sisi etika. Pendukung sains komitmen kepada etika. Sementara, pendukung PS terjebak BS, bullshit.
Ketiga, untuk memudahkan komunikasi dan diskusi gunakan OCL (over-confidence-level). OCL memberikan satu bilangan, atau angka, kepada PS sehingga lebih mudah bagi semua pihak untuk memahaminya.
2. Historical Epistemology (HS)
Sains berkembang seiring sejalan dengan histori. Para pemikir sepakat, umumnya, menyatakan bahwa histori adalah kontingen bukan sesuatu yang niscaya; histori bukan niscaya; histori beda dengan formula matematika. Apakah teori sains juga kontingen seperti histori? Apakah formula matematika juga kontingen? HE akan menjawab pertanyaan ini. Apakah HE akan berhasil? Kajian HE berkembang sejak akhir abad 20 dan makin menantang di saat ini.

2.1 Histori Konsep Apriori
2.1.1 Aristoteles sampai Kant
Sejak era Aristoteles (384 – 322 SM), konsep pengetahuan apriori bernilai penting. Apriori adalah konsep yang nilai kebenarannya mendahului pengamatan. Maksudnya, konsep apriori sudah bernilai benar bahkan tanpa pengamatan. Pernyataan matematika, misal operasi bilangan bulat 2 + 1 = 3, bernilai benar tanpa harus ada pengamatan empiris. Bahkan, bernilai benar secara universal sampai masa depan. Bila 100 tahun yang akan datang, misal tahun 2123, seorang bocah belajar penjumlahan bilangan bulat maka 2 + 1 = 3 adalah bernilai benar.
Apriori berbeda dengan posteriori; misal, “Besok akan turun hujan.” Kebenaran posteriori perlu pengamatan empiris. Jika besok memang hujan maka pernyataan bernilai benar. Kita sadar, posteriori bersifat kontingen; bisa benar atau kadang bisa salah.
Pemikir kuno cenderung lebih mengutamakan apriori karena bersifat pasti dan universal. Formula apriori berpuncak kepada skema kategori Kant (1720 – 1804).
Bagi Kant, apriori adalah suatu keharusan, prasyarat, dan yang memberi posibilitas kepada posteriori. Dengan kata lain, posteriori hanya bisa terjadi jika dipastikan ada apriori. Tanpa apriori maka tidak ada posteriori.
“Besok akan turun hujan” hanya bisa diuji posteriori jika kita menerima konsep apriori kuantitas dan kualitas, misalnya. Ada kuantitas apa sehingga bisa dikatakan sebagai turun hujan? Ada kualitas seperti apa sehingga bisa dikatakan sebagai turun hujan? Kuantitas dan kualitas adalah contoh apriori.
Kant menyadari dan menerima bahwa skema apriori ini mengantar kepada antinomi atau paradoks yang tidak bisa diselesaikan. Antinomi terjadi ketika apriori dan posteriori sama-sama tidak menghasilkan penilaian yang pasti.
2.1.2 Hegel: Dialektika Histori
Hegel (1770 – 1830) adalah idealis penerus dan perevisi Kant. Hegel merumuskan dialektika yang menyelesaikan antinomi dengan merangkul pihak yang saling kontradiksi.
Setiap realitas adalah eksistensi konkret. Dalam dirinya sendiri, eksistensi ini akan memunculkan esensi yang menguatkan sisi esensial dari realitas. Esensi berkontradiksi dengan eksistensi maka terjadilah proses dialektika menghasilkan becoming. Becoming itu sendiri adalah realitas konkrit yang berupa eksistensi dalam derajat lebih tinggi. Konsekuensinya, proses dialektika, antara eksistensi dan esensi, terus berlangsung sampai menuju spirit absolut.
Proses dialektika jelas membutuhkan, atau menghasilkan, waktu. Jadi, dialektika adalah histori itu sendiri.
Apa yang bersifat apriori menurut dialektika?
Tidak ada yang apriori dalam dialektika. Segala realitas berada dalam rangkulan histori dialektika. Atau sebaliknya, konsep apriori hadir dalam proses histori dialektika itu sendiri.
Bagi Kant, dan pemikir sebelumnya, konsep apriori bersifat pasti, universal, dan bahkan transendental. Bagi Hegel, konsep apriori dihasilkan oleh proses dialektika. Sehingga, konsep apriori itu sendiri bersifat kontingen dalam rangkulan histori.
Tetapi, bukankah proses dialektika itu sendiri bersifat apriori? Tidak apriori. Dialektika dihasilkan dari pengamatan realitas dan refleksi terhadap histori. Dialektika bersifat kontingen. Lalu, bagaimana bisa terjadi proses yang kontingen itu?
Perlu, kita mencatat bagaimana tema kontingensi muncul dalam filsafat.
Ibnu Sina (980 – 1037) adalah pemikir pertama yang menghadirkan tema kontingensi (wujud-mumkin) dalam kajian filsafat. Setiap realitas di alam ini adalah kontingen berimbang antara eksis dan tidak eksis. Agar menjadi eksis, realitas kontingen ini perlu sebab. Pada gilirannya, sebab itu sendiri bersifat kontingen sehingga membutuhkan sebab lagi. Sampai akhirnya, kita sampai kepada sebab yang bersifat niscaya (wujud-wajib-bidzati).
Suhrawardi (1154 – 1191) mengembangkan konsep most-noble-contingency atau imkan al-ashraf (IA). Konsep IA menyatakan jika realitas dengan posibilitas rendah sudah eksis maka realitas dengan posibilitas yang lebih tinggi pasti sudah eksis. Atau, posibilitas yang lebih tinggi meliputi posibilitas yang lebih rendah.
Sadra (1572 – 1640) mengembangkan konsep gerak substansial (harakah al jauhariyah); lebih dari sekedar gerak aksidental. Setiap realitas alam selalu bergerak dari eksistensi derajat rendah menuju eksistensi derajat lebih tinggi. Eksistensi yang lebih tinggi ini meliputi eksistensi yang lebih rendah; termasuk meliputi beragam apriori dan kontradiksi yang eksis di tingkat rendah.
2.1.3 Eksistensialisme Histori
Heidegger (1889 – 1976) adalah pemikir eksistensialis terbesar sepanjang sejarah tetapi menolak untuk bergabung gerakan eksistensialisme. Realitas paling utama untuk kajian adalah dasein, being-there, atau wujud-konkret. Manusia yang otentik masuk dalam kategori dasein.
Karakter fundamental dari dasein adalah peduli akan eksistensi dirinya dan dunianya di masa depan. Atau, bagi dasein, masa depan menarik masa lalu dan masa kini bergerak menuju masa depan. Masa depan itu sendiri adalah posibilitas. Realitas adalah posibilitas.
Dengan demikian, konsep apriori akan ditarik oleh masa depan agar konsep apriori menjalani histori menuju posibilitas masa depan. Atau, konsep apriori itu sendiri hanya punya makna ketika ada proyeksi oleh masa depan kepada konsep apriori. Konsep yang kita anggap sebagai apriori adalah menjadi apriori demi kepentingan kita di masa depan.
Kita perlu waspada dan kritis. Posibilitas masa depan seperti apa yang hendak kita pilih? Tanggung jawab apa, bagi kita, di masa depan? Komitmen masa depan apa yang perlu kita jaga?
2.1.4 Histori Sains: Bachelard dan Kuhn
Bachelard (1884 – 1962 ) dan Kuhn (1920 – 1996) membahas filsafat sains yang mempertimbangkan peran histori dengan teliti. Sejak revolusi teori sains relativitas oleh Einstein dan geometri non-Euclidian oleh Poincare, kita memandang sains melalui kaca mata histori. Maksudnya, sains berubah sampai dasar-dasar asumsi apriorinya melalui histori.
Kuhn menyatakan revolusi sains terjadi melalui pergeseran paradigma. Paradigma lama tidak lagi berlaku; digantikan oleh paradigma baru. Di mana terjadi incommensurabilitas; paradigma lama tidak bisa diterjemahkan ke paradigma baru secara memadai; sebaliknya juga tidak memadai. Terjadilah, revolusi sains.
Muncul pertanyaan sebagai konsekuensi revolusi sains. Apakah sains lama, yang sudah tidak berlaku, obyektif? Apakah sains bersifat rasional; khususnya sains lama? Apakah pergantian sains secara revolusioner itu bersifat progresif?
Kita berharap bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara konstruktif.
2.1.5 Historical Epistemology Kontemporer: Hacking dan Friedman
Sains bersifat obyektif, rasional, dan progresif. Bagaimana bisa seperti itu?
Hacking (1936 – 2023) merumuskan apriori historis. Konsep apriori itu menjamin sains bersifat obyektif, rasional, dan progresif. Di saat yang sama, konsep apriori itu berkembang melalui proses histori. Konsep apriori bisa diganti dengan apriori baru melalui perubahan yang radikal yaitu revolusi sains.
Friedman (lahir 1947) selaras dengan Hacking. Sains membutuhkan konsep apriori agar sains menjadi posible. Tanpa konsep apriori maka tidak akan ada sains apa pun. Bahkan, tidak ada pengetahuan apa pun; sesuai kritik dari Kant. Bagaimana pun, konsep apriori itu sendiri berada dalam konteks histori tertentu.
2.2 Ragam Historical Epistemology (HE)
Kita akan mengkaji hanya tiga bidang kajian HE: histori konsep; histori obyek; dan dinamika jangka panjang.
2.2.1 Histori Konsep Sains
Konsep sains, misal obyektivitas, selalu berada dalam konteks histori. Di jaman kuno, “pohon-itu” bersifat obyektif. Karena pohon-itu mandiri dari pengamat. Pohon-itu tetap eksis apakah Anda sedang melihatnya atau tidak melihatnya. Setiap orang bisa mendekati pohon-itu, kemudian melihat pohon-itu secara obyektif.
Konsep obyektivitas sedikit berubah di abad 17an. Galileo meneropong planet Yupiter melalui teleskop. Galileo melihat satelit-Yupiter yang mengelilingi Yupiter. Satelit ini adalah obyektif. Peneliti lain, bisa melihat satelit yang sama dengan menggunakan teleskop. Satelit tetap eksis, baik, ketika ada peneliti sedang meneropong atau tidak. Tetapi, orang awam tidak pernah bisa melihat satelit itu. Ketika orang awam melihat melalui teleskop maka mereka tidak paham bahwa satelit itu sedang mengitari Yupiter. Orang awam bisa memahami satelit itu melalui peraga multimedia. Bagaimana pun, peraga bukanlah obyek sebenarnya.
Abad 20, kita menyaksikan konsep obyektivitas makin berubah lagi. Elektron memiliki dualisme partikel-gelombang secara obyektif. Meski elektron adalah obyek yang obyektif, orang awam tidak akan pernah berhasil melihat elektron sebagai partikel mau pun gelombang. Lebih menarik lagi, saintis pun tidak pernah melihat elektron sebagai partikel atau gelombang. Saintis bisa menyimpulkan elektron sebagai gelombang, misalnya, melalui jejak-jejak yang ada dan bantuan formula matematika. Jadi, konsep obyektivitas sudah bertumbuh kembang seiring histori.
Konsep rasionalitas juga berubah seiring histori. Di jaman kuno, saintis dari Indonesia mengamati posisi bintang-bintang di malam hari. Kemudian, saintis itu melakukan beberapa perhitungan dan menyimpulkan bulan depan akan mulai masuk musim hujan. Memang benar, bulan depan musim hujan. Saintis itu berpikir secara rasional.
Di jaman sekarang, saintis memerlukan beragam data untuk menentukan apakah bulan depan adalah musim hujan. Data-data meliputi posisi matahari, luas lautan, kelembaban udara, ketinggian wilayah, dan lain-lain. Semua data ini akan diolah untuk menentukan apakah sudah mencukupi menjadi “sebab” bulan depan adalah musim hujan. Saintis jaman sekarang berpikir rasional dengan menemukan beragam relasi sebab-akibat.
Saintis lebih mutakhir memanfaatkan big-data dan statistik untuk menentukan apakah bulan depan sudah masuk musim hujan. Ribuan atau jutaan data yang tersedia diolah oleh komputer. Kemudian, komputer memberikan kesimpulan kapan akan datang musim hujan lengkap dengan debit, suhu, frekuensi, dan lain-lain. Berpikir memanfaatkan big-data dan statistik adalah rasional; atau, sebagian saintis meyakininya sebagai rasional.
Kita masih bisa menambahkan lebih banyak lagi konsep sains yang mengalami perkembangan seiring histori: bukti, aturan, kesimpulan, niscaya, probabilitas, dan lain-lain.
2.2.2 Histori Obyek Sains
Barangkali, atom adalah obyek sains yang mengalami perkembangan besar seiring histori.
Atom adalah penyusun terkecil dari semua realitas di alam raya ini. Atom tidak bisa dibagi lagi karena memang sudah yang terkecil. Kayu tersusun oleh atom-atom kayu; batu oleh atom-atom batu; dan air oleh atom-atom air. Demikian pandangan atomisme filosofis yang diajukan oleh Demokritus di jaman Yunani kuno.
Atom kuno itu tampaknya lebih cocok dengan konsep molekul di jaman modern ini. Air tersusun oleh molekul-molekul air. Molekul air adalah H2O yang tersusun oleh atom hidrogen dan oksigen. Obyek sains berupa atom ini mengalami revisi berkali-kali di era pencerahan.
Dalton menemukan bahwa atom adalah penyusun terkecil dari beragam materi. Hidrogen tersusun oleh atom-atom hidrogen; oksigen tersusun oleh atom-atom oksigen. Atom ini tidak bisa dibagi lagi, sehingga konsisten dengan pandangan Demokritus.
Thomson menunjukkan bahwa atom masih bisa dibagi lagi menjadi inti dan elektron-elektron yang menempel di inti seperti roti kismis. Tembaga, misalnya, bisa menghantar listrik karena elektron-elektron mengalir sepanjang logam tembaga. Sementara, inti tembaga tetap solid tidak berubah.
Rutherford, awal abad 20, menunjukkan bahwa elektron tidak menempel ke inti. Banyak ruang kosong antara elektron dengan inti. Elektron mengelilingi inti dengan jarak yang cukup jauh seperti rembulan yang mengelilingi bumi.
Bohr menetapkan bahwa elektron-elektron itu stabil pada jarak tertentu dari inti sesuai bilangan utama quantum. Dengan ketetapan postulat ini, teori atom melanggar hukum fisika klasik atau merevisinya. Kisah selanjutnya makin seru, karena berkembang teori fisika baru yaitu mekanika quantum.
Obyek Terkecil
Jika obyek sains atom bukanlah obyek terkecil maka apa obyek terkecil dari sains? String. Berdasar teori string, obyek terkecil adalah string atau benang kusut.
Teori string belum menjadi teori yang matang. Tetapi, kita akan meminjam teori string untuk melanjutkan pembahasan obyek terkecil dari sains.
Obyek terkecil dari sains adalah string berupa benang-kusut-terbuka atau benang-kusut-tertutup. Perhatikan bahwa string bukan lagi partikel tetapi benang kusut. Meski hanya ada dua jenis string, yaitu terbuka atau tertutup, sejatinya, ada tak terhingga jenis benang-kusut.
Solusi benang-kusut ini menyelesaikan banyak problem; fair atau tidak, itu masalah berbeda.
Problem dari partikel terkecil adalah kita selalu bisa bertanya berapa ukuran diameternya? Bagaimana bila partikel itu dibelah? Bukankah akan menghasilkan partikel lebih kecil lagi? Histori dari obyek atom menunjukkan hal itu: kita selalu ingin membelah atom lebih kecil lagi. Akibatnya, problem partikel terkecil tidak pernah selesai.
Teori string menyelesaikan problem, secara cerdik, menggunakan benang-kusut. Satu potong string, dalam dirinya sendiri, tidak berarti apa-apa dan tidak pernah dikenali. Tetapi, sejumlah potongan string yang membentuk benang-kusut bisa dikenali melalui vibrasi yang dihasilkan empiris atau matematis. Kumpulan lebih besar dari benang-kusut akan membentuk partikel elementer semisal boson atau elektron.
Benang-kusut secara fleksibel bisa menyusun partikel elementer yang dibutuhkan karena formasi benang-kusut adalah acak atau benar-benar kusut tanpa kepastian batas. Mengapa benang-kusut adalah kusut? Karena memang kusut. Atau, pertanyaan semacam itu tidak relevan.
Bandingkan dengan pertanyaan yang mirip tentang teori evolusi biologis: mengapa mutasi acak bersifat acak? Karena memang acak. Atau, pertanyaan seperti itu tidak relevan.
Tetapi, bukankah kita bisa memotong benang-kusut menjadi potongan string yang lebih kecil? Tidak relevan. Karena benang-kusut adalah realitas terkecil yang bisa dikenali yaitu string itu sendiri. Jadi, kita harus menerima realitas string sebagai benang-kusut sesuai formula matematis dan pengamatan empiris yang tidak deterministis.
Bandingkan juga dengan peristiwa big bang, di mana, semua hukum fisika runtuh. Mengapa semua hukum fisika runtuh? Mengapa logika runtuh? Mengapa rasionalitas runtuh? Karena memang runtuh. Karena runtuh, maka apa saja bisa terjadi.
Sejauh ini, teori string berhasil menyelesaikan problem filosofis dengan baik dari perspektif pendukungnya. Di sisi lain, secara matematis dan empiris, teori string belum memberikan solusi yang diharapkan.
Mari kita ringkas sejenak pembahasan tentang obyek sains terkecil. Obyek sains ini terus berkembang sesuai konteks histori. Awalnya, obyek terkecil adalah atom. Kemudian, atom tersusun oleh inti dan elektron. Lebih jauh lagi, penyusun partikel terkecil adalah string berupa benang-kusut. Tidak ada lagi yang lebih kecil dari string, baik secara empiris atau matematis. Andai, di masa depan, ditemukan obyek yang lebih kecil dari string maka dipastikan obyek tersebut adalah benang-kusut jenis baru. Karena, benang-kusut bersifat inklusif terhadap jenis keragaman baru yang belum diketahui.
Di bagian sebelumnya, kita sudah membahas konsep sains, misal obyektivitas dan rasionalitas, juga berkembang seiring konteks histori. Dengan demikian, konsep apriori sains bersifat historis.
2.2.3 Dinamika Jangka Panjang
Alternatif yang tersedia: mengkaji dinamika histori sains dalam rentang waktu yang panjang; dalam ruang yang lebih luas dan mendalam.
Studi kasus histori sains membantu kita lebih mudah untuk memahami tetapi tidak memadai. Karena, dari studi kasus, kita bisa menarik beragam interpretasi yang bisa saling kontradiksi. Sementara, dengan rentang yang lebih panjang, kita bisa membuat kesimpulan yang lebih matang.
2.3 Histori Futuristik
Kita sampai ke ide paling penting: histori adalah futuristik. Perjalanan histori adalah menuju masa depan; ditarik oleh masa depan; dimaknai oleh masa depan. Karena itu, kita perlu mengkaji masa depan sebagai paling utama. Masa depan diri kita, masa depan tetangga kita, masa depan umat manusia, masa depan bumi tercinta, masa depan alam raya, dan semua masa depan adalah paling utama.
Sains adalah futuristik.
3. Epistemic Injustice (EI)
Bias dalam penilaian sering terjadi. Sehingga, kesimpulan dari penilaian tersebut tidak valid dan salah. Kita bisa mengurangi bias karena sadar akan resiko bias. Epistemic injustice (EI) lebih lembut dari bias. Tetapi, EI lebih bahaya dari bias. Karena, seorang pemikir yang tulus pun bisa terjebak oleh EI. Fricker mengangkat tema EI pada tahun 2007. Masih banyak tantangan besar di depan mata tentang EI. Lebih rumit lagi, tema EI bagi sains, karena fakta dan value berjalin kelindan dalam sains.
3.1 Testimonial Injustice
Testimonial injustice (TI) terjadi ketika kita menolak testimoni, atau kesaksian, seseorang; penolakan ini terjadi secara halus; bukan sengaja; tanpa sadar. Jika terjadi secara sengaja maka terperangkap falasi logika berupa ad hominem. Tetapi, karena TI terjadi tanpa sengaja, tanpa sadar, kita perlu lebih waspada.
Di papan tulis terdapat problem matematika yang sangat sulit; melibatkan perhitungan tingkat tinggi misal persamaan diferensial. Problem matematika itu melibatkan konstanta k yang harus ditentukan: berapakah nilai k?
Seorang profesor matematika telah menuliskan kunci jawaban dari problem itu nilai k = … di secarik kertas. Hanya saja, kertas itu kena tumpahan kopi sehingga nilai k tidak bisa dibaca dengan jelas. Seorang bocah usia 8 tahun, bernama Andi, mengatakan bahwa dia, tadi, melihat k = 8.
Seorang mahasiswa menolak pengakuan Andi; tidak mungkin nilai k sesederhana itu; nilai k pasti melibatkan bilangan irasional semisal akar 3 atau lainnya.
Apakah Anda percaya dengan testimoni Andi?
Kita menduga karena usia Andi 8 tahun mungkin saja Andi mengira angka k sebagai 8. Jadi, wajar kita menolak kesaksian dari Andi. Bila demikian, kita terjebak dalam TI: testimonial injustice. Kita perlu lebih cermat terhadap sikap diri kita sendiri.
Seorang pejabat, presiden atau menteri atau gubernur atau lainnya, sudah keliling Indonesia; pejabat menyatakan bahwa dia melihat kondisi rakyat Indonesia adalah baik-baik saja. Seorang rakyat miskin, misal namanya Dumadi, mengaku bahwa sebagai rakyat Indonesia, dirinya, tidak baik-baik saja.
Apakah Anda percaya pengakuan rakyat miskin seperti Dumadi? Ataukah, Anda lebih percaya pengakuan pejabat? Lebih dari itu, pengakuan pejabat itu, kemudian, dilengkapi dengan data statistik.
3.2 Hermeneutical Injustice
Hermeneutical injustice (HI) terjadi ketika kita menolak interpretasi, atau penafsiran, atau penilaian pihak lain. Penolakan ini terjadi secara halus; tidak sengaja; tidak sadar. Jika penolakan ini terjadi sengaja maka kita terperangkap dalam falasi ad hominem. Karena tanpa sadar maka kita perlu waspada terhadap HI.
“Pilpres 2024 adalah curang,” kata Acid.
Apakah Anda percaya dengan penilaian Acid di atas? Jika kita menolak penilaian Acid maka kita terjebak hermeneutical-injustice (HI).
“Pilpres 2024 adalah jujur adil,” kata Bowo.
Apakah Anda percaya dengan penilaian Bowo di atas? Jika kita menolak penilaian Bowo maka kita terperangkap dalam HI. Bukankah interpretasi Bowo bertentangan dengan Acid? Sehingga, kita harus menolak salah satu di antara mereka?
3.3 Solusi EI
Solusi terhadap epistemic-injustice (EI), baik berupa TI mau pun HI, adalah kebajikan epistemik; yaitu proses epistemologi yang adil, memadai, terbuka, dan jujur. Solusi berupa kebajikan epistemik menuntut kita untuk profesional dalam kajian dan komitmen terhadap nilai-nilai etika.
Kita akan mencermati empat contoh kasus di atas sebagai kajian.
[a] Solusi Matematika
Wajar kita menolak testimoni oleh Andi yang mengatakan bahwa k = 8, dalam contoh kasus di atas. Andi masih anak-anak usia 8 tahun; kita menduga Andi salah lihat; atau Andi salah baca; atau Andi hanya mengarang saja. Kita terjebak dalam TI: testimonial-injustice.
Kita perlu kebajikan epistemik. Andi bisa saja berkata jujur; Andi bisa saja membaca k = 8 ketika secarik kertas masih jelas terbaca; Andi bisa saja benar-benar paham bahwa tulisan itu adalah k = 8. Langkah selanjutnya adalah menguji apakah testimoni Andi valid? Hasilnya bisa saja valid atau tidak. Bagaimana pun, dengan kebajikan epistemik, kita berhasil berlaku adil kepada Andi.
Problem lebih rumit dan lebih halus adalah kita tidak menolak testimoni Andi. Tetapi, cukup kita cuek, atau tidak peduli, terhadap testimoni Andi. Kita menganggap testimoni Andi sebagai tidak berarti. Kejadian seperti ini adalah jebakan TI yang ngeri. Perlu hati-hati.
[b] Indonesia Tidak Baik-Baik Saja
Dumadi, penduduk miskin di kampung, mengaku kondisinya sebagai rakyat Indonesia tidak baik-baik saja. Kadang, Dumadi tidak makan seharian karena tidak ada yang bisa dia makan. Sering dia harus cari utang agar bisa makan untuk hari itu. Cari kerjaan sama susahnya. Cari sekolah SMA negeri berkualtias di kampung sulit sekali; anak Dumadi berada di luar zonasi. Dumadi mengaku, “Saya tidak baik-baik saja.”
Kita bisa menolak pengakuan, atau testimoni, dari Dumadi. Para pejabat Indonesia mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja. Data statistik menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia hanya kecil, yaitu, di bawah 10%. Andai ada orang miskin, pemerintah sudah membantu mereka dengan BLT dan bansos dan lain-lain. Jadi, testimoni Dumadi perlu ditolak. Bila demikian, kita terjebak TI.
Dalam kasus Dumadi, di atas, TI berbaur dengan HI dalam kadar tertentu. Dalam realitas, memang TI sering bercampur dengan HI; makin bertambah rumit.
Solusinya adalah kebajikan epistemik. Kita perlu mendengar testimoni Dumadi dengan peduli. Kemudian, menguji testimoni Dumadi apakah valid atau tidak. Bila demikian, bukankah tugas pemerintah menjadi sangat berat? Karena harus menguji keluhan setiap warga? Tetapi, bukankah memang itu adalah tugas pemerintah, tugas pejabat? Andai ada pejabat yang tidak mampu untuk peduli kepada Dumadi, tidak mampu peduli kepada seluruh warga, maka sebaiknya pejabat itu mengundurkan diri. Biarkan orang lain mengganti jabatannya; banyak yang siap antri menjadi pejabat tinggi. Dengan menerima testimoni Dumadi dan mengujinya, maka seorang pejabat telah bertindak kebajikan epistemik; kita perlu mendukung pejabat itu.
Jebakan TI, testimonial-injustice, lebih halus adalah dengan mengatakan, “Pengakuan Dumadi kami tampung, kami catat, dan nanti kami tindak-lanjuti.” Gaya komunikasi politis semacam ini mencengkeram situasi di banyak tempat; gaya komunikasi pejabat ini adalah sikap cuek terselubung. Sikap paling bahaya dari TI adalah cuek, atau tidak peduli, terhadap testimoni. Karena cuek tidak bisa dilawan; cuek adalah tindakan banal; cuek perlu dihindari. Andai seorang pejabat menolak testimoni Dumadi maka bisa lanjut diskusi. Tetapi, sikap cuek menjadikan komunikasi terhenti. Cuek adalah pembungkaman teselubung. Kita semua rugi.
[c] Pilpres Curang
Hermeneutical-injustice (HI) memang lebih kompleks karena melibatkan interpretasi. “Pilpres curang” adalah interpretasi; karena tidak ada fakta obyektif yang berupa “curang” itu; yang bisa kita temukan adalah manipulasi, intimidasi, bagi-bagi uang, dan lain-lain; kemudian, kita membuat interpretasi itu semua sebagai “curang.”
Solusi terhadap HI menuntut komitmen personal dan sosial; termasuk komitmen etika dan politik. Semua kasus EI (epistemic-injustice) melibatkan struktur sosial; termasuk sistem politik. Meski, TI tampak hanya melibatkan testimoni personal, tetapi penolakan testimoni ini berada dalam jaring-jaring sosial. HI sudah jelas bersifat sosial.
Kita terjebak dalam HI bila merespon klaim “pilpres curang” dengan: [a] menolak klaim atau [b] cuek terhadap klaim.
Kebajikan epistemik merespon klaim “pilpres curang’ dengan: [a] menerima klaim lalu mengkajinya; [b] mengkaji struktur sosial, termasuk struktur politik, yang membuka posibilitas klaim; [c] mengkaji struktur tersembunyi dari beragam interpretasi.
Acid perlu melengkapi beberapa bukti atau petunjuk yang mendukung klaimnya “pilpres curang.” Barangkali curang terjadi di TPS; bagaimana sikap anggota KPPS dan para saksi terhadap kecurangan; atau curang terjadi pada proses rekapitulasi suara. Data-data seperti ini bisa kita peroleh langsung dari lapangan.
Asumsikan kita berhasil mendapatkan data yang mendukung klaim “pilpres curang.” Pertanyaan selanjutnya apakah curang tersebut TSM? Terstruktur, sistematis, masif? Jika benar curang TSM maka pilpres perlu dibatalkan lalu pilpres ulang; atau solusi lain yang pasti sulit. Jika tidak TSM maka perlu dilakukan perbaikan di beberapa tempat dan pilpres tetap valid. Kemungkinan besar memang tidak TSM dalam kasus ini.
Bagaimana jika semua proses kita serahkan sepenuhnya kepada mekanisme yang ada? Serahkan ke bawaslu dan MK? Sikap semacam ini adalah sikap banal; kita harus menghindari sikap banal dan menggantinya dengan sikap otentik penuh peduli. Tentu saja, kita tetap mengikuti mekanisme standar melalui bawaslu dan MK. Di saat yang sama, kita peduli dengan mencermati segala yang terjadi.
Kebajikan epistemik yang mengkaji struktur sosial menghadapi halangan besar. Acid mengklaim kecurangan terjadi sebelum pilpres itu sendiri. Putusan MK yang mengijinkan kepala daerah usia kurang dari 40 tahun mendaftar capres dan cawapres adalah curang menurut Acid. Sidang etik MKMK membuktikan terjadi pelanggaran pada MK. Jadi, bagi Acid, “pilpres curang” benar-benar terjadi. Lebih parah lagi, atau makin curang lagi, hasil MKMK tidak berpengaruh kepada usia capres dan cawapres.
Kita mengalami kesulitan melawan klaim Acid yang melibatkan struktur sosial ini. Sebaiknya, kita memang memperbaiki proses pilpres; terutama proses pra-pilpres. Kita bisa mengalahkan klaim Acid, di sini, dengan sikap banal: ikuti mekanisme resmi yang berlaku melalui bawaslu dan MK. Kita sudah sebutkan solusi ini adalah banal karena bawaslu dan MK adalah, bisa jadi, sebagai bagian dari masalah itu sendiri.
Klaim Acid tentang “pilpres curang” makin menguat ketika ketua KPU divonis melanggar ketika menerima pendaftaran cawapres di bawah usia 40 tahun; tepatnya, melanggar peraturan KPU itu sendiri. Lagi, kita bisa mengalahkan klaim Acid ini dengan sikap banal: ikuti mekanisme hukum positif yang ada; yaitu KPU memang salah tetapi pendaftaran cawapres tetap sah. Tidak adakah solusi alternatif selain sikap banal?
Kebajikan epistemik untuk mengkaji struktur tersembunyi menghadapi kesulitan lebih lembut lagi. Mengapa Acid membuat interpretasi “pilpres curang?” Bukankah banyak orang lain membuat interpretasi “pilpres tidak curang?” Mengapa banyak pejabat memilih sikap banal dengan hanya menyerahkan kepada mekanisme yang berlaku? Bukankah pejabat bisa membuat terobosan yang jauh lebih baik? Saya membahas pertanyaan-pertanyaan ini di tempat lain yang lebih tepat.
[d] Pilpres Jujur Adil
“Pilpres jujur adil” adalah interpretasi; tidak ada fakta obyektif berupa “jujur adil.” Jadi, klaim oleh Bowo ini bersifat interpretasi.
Seperti sebelumnya, kita terjebak HI (hermeneutical-injustice) bila menolak atau pun cuek terhadap klaim Bowo ini. Kita perlu kebajikan epistemik dengan: [a] menerima klaim dan mengkajinya; [b] mengkaji struktur sosial termasuk struktur politik; [c] mengkaji struktur tersembunyi.
Kajian terhadap data-data yang ada menunjukkan bahwa klaim “pilpres jujur adil” adalah valid. Memang terjadi curang di beberapa tempat ketika proses pilpres; tetapi curang ini hanya kecil; tidak TSM. Sehingga, kita bisa menerima klaim bahwa “pilpres jujur adil.”
Bagaimana dengan struktur sosial pra-pilpres? Apakah MK dan KPU juga jujur adil? Menuru Bowo, MK dan KPU adalah jujur adil. Memang terjadi pelanggaran di MK dan KPU; tetapi, konsekuensi terhadap proses pilpres tetap jujur adil. Maksudnya, MK dan KPU bertanggung jawab terhadap vonis masing-masing dan proses pilpres berlangsung jujur adil.
Bagaimana dengan struktur tersembunyi? Bowo mengklaim “pilpres jujur adil” karena klaim ini menguntungkan pihaknya. Hal yang sama terjadi pada Acid; yaitu Acid mengklaim “pilpres curang” karena klaim ini menguntungkan pihaknya. Apakah faktor keuntungan pribadi, kepentingan pihak tertentu, yang menentukan suatu klaim? Bila demikian, kita semua terjebak dalam epistemic-injustice (EI) yang amat dalam. Justru, tugas kita untuk membebaskan diri, dan membebaskan masyarakat, dari jebakan HI.
Barangkali, Acid dan Bowo bisa menemukan jalan keluar yang disepakati. Mereka menerima hasil pilpres dengan ragam dinamika; lalu, mengusulkan: [a] ketua MK dan kawan-kawan mengundurkan diri; [b] ketua KPU dan kawan-kawan mengundurkan diri; [c] presiden dan wapres-terpilih mengundurkan diri pada tahun pertama atau kedua dengan menyiapkan periode transisi. Bagaimana pun, itu semua hanya kesepakatan antara Acid dan Bowo yang merupakan dua tokoh fiksi dalam diskusi kita. Di dunia nyata, kita menghadapi fenomena yang lebih mempesona.
Kabar baiknya, kita semua paham bahwa solusi dari injustice adalah justice; solusi dari tidak-adil adalah adil. Dan, kita mampu mengenali apakah suatu situasi sebagai adil atau tidak. Jadi, pembahasan kita sejauh ini adalah untuk menjaga sikap kita agar selalu adil.
Kita sedang diskusi filsafat sains yang bersifat eksak; sementara, pembahasan EI, di atas, cenderung bersifat sosial non-eksak; apakah epistemic-injustice (EI) juga terjadi pada sains-eksak? Benar, EI terjadi pada sains-eksak juga.
Penghargaan, misal Noble, kepada kajian sains fisika bidang tertentu mendorong bidang tersebut berkembang lebih pesat. Larangan kajian sains tertentu, misal larangan pengembangan bom atom di suatu negara, mengakibatkan sains itu terhambat. Penghargaan dan larangan pada sains tertentu berpotensi terjebak epistemic-injustice (EI). Dan masih banyak contoh posibilitas jebakan EI pada sains-eksak.
Diskusi
D1: Ringkasan
Mari kita buat ringkasan diskusi kita sejauh ini.
Sains, dan teknologi, berkembang pesat memajukan peradaban manusia. Bagaimana pun, sains memiliki batas-batasnya. Sehingga, kita perlu analisis kritis terhadap sains dan teknologi. Filsafat sains memberi kerangka dinamis untuk analisis kritis ini.
Saat ini, barangkali sampai beberapa dekade ke depan, kita masih menghadapi tiga problem utama filsafat sains: [1] pseudosains (PS); [2] historical epistemology (HE) dan; [3] epistemic injustice (EI). Problem PS bisa kita hadapi dengan over-confindence-level (OCL); yang mengukur kelebihan keyakinan kita terhadap suatu sains. Sedangkan untuk HE, kita mengkaji proses histori dari konsep dan obyek sains; termasuk, kajian jangka panjang. EI menjadi problem paling sulit karena solusi EI melibatkan komitmen personal dan sosial kepada etika. Ketiga problem di atas mengingatkan kita agar berpikir terbuka terhadap sains setiap saat.
D2: AI, Bullshit, dan Banal
Tiga kata kunci mengancam peradaban manusia: AI, bullshit (BS), dan banal. Sikap banal adalah paling parah resikonya; BS resiko menengah; AI berimbang antara resiko dan manfaat. Hanya saja, AI memfasilitasi BS dan banal makin mencengkeram. Jaman dulu, banal dan BS terbatas hanya pada lokasi tertentu. Di era digital, banal dan BS mudah tersebar.
Apakah AI harus dikembangkan atau dipadamkan?
AI harus dipadamkan jika menyulut berkembangnya banal dan BS. AI harus dikembangkan jika mengurangi banal dan BS. Dengan analisis yang mirip, berkembangnya sikap banal dan BS akan meruntuhkan filsafat sains. Atau, dari arah sebaliknya, filsafat sains perlu mencegah sikap banal dan BS; filsafat sains perlu mencermati AI.
D3: Solusi Peduli
Solusi terhadap banal dan BS adalah sikap peduli dari umat manusia. AI tidak mampu bersikap peduli; AI bersikap hanya sesuai program dan training belaka. Solusi hanya bisa mengandalkan sikap manusia. Problem sains dan filsafat sains justru bermula di sini; bermula dari sikap manusia.
Teori Newton tetap menjadi teori Newton apakah kita peduli atau banal kepadanya. Asumsi umum, sains tetap menjadi sains apakah kita peduli atau banal kepadanya. Demikian juga, asumsi umum, filsafat sains tetap menjadi filsafat sains apakah kita peduli atau banal. Kita perlu revisi asumsi-asumsi ini.
Makna obyektif pada sains bukan bermakna obyektif plus banal; tetapi obyektif plus peduli. Sikap banal akan menghancurkan sains; sikap peduli akan mengembangkan sains. Pilihan sikap banal atau peduli ditentukan oleh freedom manusia sebagai subyek. Sehingga, pertumbuhan sains bersifat kontingen; bukan niscaya. Kita perlu menjaga sains; pada gilirannya, sains menjaga manusia. Bagaimana menurut Anda?

luar biasa
SukaSuka