Sains sebagai Rekayasa Realitas

Sains tidak netral seperti dikira. Sains adalah rekayasa terhadap realitas. Secara umum, setiap pengetahuan adalah rekayasa terhadap realitas. Baik realitas dunia eksternal mau pun realitas dalam diri seseorang. Kita membutuhkan solusi berupa sains-eksistensial.

1. Problem Fisika Modern
2. Kubu Konservatif: Murni Obyektif
3. Kubu Liberal: Murni Otonomi
4. Matematika: Posibilitas Sains
5. Solusi Sains-Eksistensial
6. Makna Sains-Eksistensial
6.1 Respon Gelisah
6.2 Respek
6.3 Rekayasa
6.4 Logika Aturan
7. Enframing vs Poiesis
7.1 Esensi Teknologi dan Sains
7.2 Dominasi Seragam
7.3 Dominasi Terbalik
8. Nama Tuhan Sains
8.1 Definisi Sesuatu
8.2 Galilean First Thing
8.3 Sains Modern
8.4 Final-Cause: Paran
8.5 Pengganti Sains
8.6 Kita Butuh Tuhan
8.7 Pertolongan Tuhan
9. Awal Kemunculan Kognisi
9.1 Awal Subyektivitas
9.2 Di dalam Enframing
9.3 Solusi Enframing Sains
10. Rekayasa Realitas

Fisika modern, mekanika quantum dan relativitas, meruntuhkan dominasi asumsi fisika klasik; sains berasumsi bahwa fisika klasik adalah murni obyektif; tetapi, fisika modern membutuhkan peran subyek pengamat. Fisika modern memunculkan problem baru yang tidak bisa dipecahkan oleh fisika klasik.

Saya mengusulkan solusi berupa sains-eksistensial. Kita perlu bertanya apa makna-sains? Apa makna-atom? Makna-atom adalah [1] atom berinteraksi langsung dengan kita secara eksistensial. Makna-atom adalah [2] atom merupakan substansi fundamental penyusun suatu materi secara esensial.

Sains-eksistensial menghadapi dua kritik utama: kubu konservatif dan kubu liberal. Kubu konservatif menuntut sains sebagai obyektif murni. Kubu liberal menuntut bahwa manusia memiliki otonomi murni, freedom, sebagai pengamat. Kita akan menjawab kritik-kritik ini dengan tuntas.

1. Problem Fisika Modern

Fisika modern mengajak kita berpikir ulang apa makna-sains? Apa makna-fisika? Apa makna-matematika? Elektron tidak lagi murni obyektif. Elektron mengikuti kaidah ketidak-pastian Heisenberg. Pilihan subyektif pengamat menentukan apakah elektron akan berperilaku sebagai partikel atau gelombang. Ruang dan waktu tidak lagi murni obyektif. Kerangka acuan pengamat akan menentukan besaran ruang dan waktu.

Mari kita buat sedikit ilustrasi untuk memperjelas problem fisika modern. Ketidak-pastian Heisenberg membuktikan bahwa kita tidak bisa mengukur posisi dan kecepatan suatu obyek dengan tepat; khususnya obyek quantum. Ketika kita naik mobil, misal, kita bisa mengukur kecepatan mobil 60 (km/jam) dan posisi di km 25. Secara mekanika quantum, mobil dianggap sebagai obyek quantum, kita tidak mungkin bisa melakukan pengukuran seakurat atau sepresisi itu. [1] Kita hanya bisa melaporkan kecepatan mobil antara 55 – 65 dan posisi antara 23 – 27. [2] Bila ingin kecepatan lebih presisi, kita bisa mengukur dan melaporkan, misal, kecepatan antara 59 – 61 tetapi posisi antara 15 – 35. [3] Alternatifnya, kita ingin posisi lebih presisi, kita bisa mengukur kecepatan antara 50 – 70 dan posisi antara 24 – 26. Setiap posisi lebih pasti presisi maka kecepatan menjadi tidak pasti; begitu juga sebaliknya; setiap kecepatan ingin lebih pasti presisi maka posisi menjadi tidak pasti.

Apa yang menentukan, mana lebih pasti, antara posisi atau kecepatan suatu obyek? Subyek pengamat adalah yang menentukan. Ketika pengamat memutuskan ingin posisi lebih pasti maka dia memperoleh posisi lebih pasti, dan konsekuensinya, kecepatan menjadi tidak pasti. Jadi, subyek pengamat memegang peran penting bagi fisika modern.

(348) With the new physics, in contrast, a physicist who asks what the atom is ‘has every reason not to repeat Descartes’s error’ by determining this ‘is’ in terms of the properties of a discrete substance, but instead ‘to follow Heidegger in questioning what “being” itself means.

Kita, dan para ilmuwan, punya alasan kuat untuk tidak mengulangi kesalahan Descartes yang ingin menentukan jawaban sains sebagai “adalah” substansi diskrit. Sebaliknya, kita perlu meniru Heidegger yang menanyakan apa makna-being- sains itu sendiri.

Dalam ilustrasi kita di atas, mekanika Newton menganggap mobil sebagai substansi diskrit dengan posisi dan kecepatan yang diskrit pula; misal posisi tepat km 25 dan kecepatan tepat 60 (km/jam). Fisika modern menolak asumsi mekanika Newton. Obyek mobil memiliki relasi tertentu terhadap subyek pengamat; sehingga, posisi dan kecepatan ada relasi terhadap pengamat. Subyek dan obyek memiliki relasi eksistensial.

(349) Heidegger traced the original impulse of modern
treatments of the subject as a ‘living object’ not just back to Descartes, but still further back to Aristotle’s definition of the human being as zōon logon echon, later interpreted to mean ‘animal rationale,’ a living thing capable of reason.’

Sains memandang segala sesuatu sebagai obyek. Bahkan, sains memandang manusia sebagai obyek-hidup. Barangkali, sains berharap untuk mendapatkan hasil kajian yang obyektif sehingga menggeser manusia dari posisi subyek menjadi obyek-hidup. Tentu saja, pergeseran ini menimbulkan banyak problem. Sains-eksistensial menawarkan beragam solusi terhadap problem ini; dan memunculkan problem baru yang lebih tinggi.

(350) … the phenomenological deconstruction of the Cartesian subject-object distinction in its entirety, rather than on the reductive collapse of the subject-side of the distinction into its object-side.

Kita perlu meruntuhkan konsep subyek-obyek dari Descartes. Tidak cukup hanya menyatukan subyek dan obyek. Kita akan mengembangkan konsep sains-eksistensial; melengkapi sains-esensial murni yang sudah berkembang sejauh ini.

2. Kubu Konservatif: Murni Obyektif

(351) … the subject must be suppressed in order to conserve the propriety of established scientific norms. The liberal, in turn, feels threatened by attention to the subject because she views this as a sly attempt to reassert the authority of the subject-object distinction, and thus to re-impose an unwelcome and atavistic constraint on the recently won autonomy of the post-Cartesian scientific imagination.

Kita menghadapi kritik dari dua kubu: konservatif dan liberal. Konservatif menyatakan bahwa subyek harus dihapus, atau ditekan, agar kajian sains kokoh dan obyektif. Liberal khawatir, sains eksistensial akan mengungkung otonomi subyek yang selama ini mereka nikmati. Tentu saja, kritik-kritik ini perlu kita tangani.

(352) … the subject-object distinction in terms of a more basic subject-world relation. Now the subject is no longer seen as a social substance gaining access to an external world, but as an entity whose basic modes of existence include being-in-the-world and being-with-others.

Kubu konservatif yang ingin memperoleh sains murni obyektif pasti gagal. Karena, setiap pengetahuan pasti membutuhkan pengamat. Pengetahuan obyektif akan melibatkan suatu subyektivitas dalam satu dan lain bentuk. Kubu konservatif mengkritik sains-eksistensial gagal memperoleh sains obyektif murni karena sains-eksistensial gagal menunjukkan eksistensi obyek eksternal. Yang benar, beda dengan kritik kubu konservatif, justru, sains-eksistensial mengakui eksistensi obyek eksternal sejak awal. Hanya saja, sains-eksistensial bergerak lebih fundamental dari sekedar relasi subyek-obyek.

Seluruh realitas, termasuk obyek sains, adalah being. Bahkan, being yang nyata konkret.

Problem muncul: dari being yang mana kita bisa memulai kajian? Kita bisa mulai kajian dari being yang peduli dengan being itu sendiri yaitu dasein; being-there; wujud-itu; manusia otentik. Dasein peduli dengan eksistensi dirinya di masa depan, dasein peduli dengan dunia sekitarnya, dasein peduli dengan dasein lain. Dasein peduli dengan mengajukan pertanyaan apa-makna-being?

Mode eksistensi dari dasein adalah being-in-the-world; selalu berada dalam dunia. Kita bisa mengenali mode eksistensi dasein karena diri kita adalah dasein itu sendiri. Kita bisa melakukan pemikiran yang mendalam untuk itu. Jadi, bagi sains-eksistensial, manusia selalu berada dalam dunia, selalu punya relasi dengan dunia, dan selalu interaksi dengan dunia. Dunia bukanlah sesuatu yang asing bagi manusia. Dunia bukanlah sesuatu yang manusia bisa eksis di luar dunia. Dunia, termasuk obyek eksternal, adalah niscaya bagi manusia. Tugas manusia adalah memahami, proyeksi, antisipasi, dan memaknai seluruh dunia.

Subyek digunakan sebagai padanan istilah dasein dalam kajian kali ini. Meski kurang tepat, kita bisa memahaminya. Jadi, sains eksistensial mengakui eksistensi nyata obyek sains eksternal dan memastikan subyek selalu punya relasi dengan dunia eksternal tersebut. Sehingga, sains akan selalu merupakan kompleks subyek dan obyek.

3. Kubu Liberal: Otonomi Murni

Kubu liberal mengkritik bahwa sains-eksistensial akan meruntuhkan otonomi atau freedom manusia. Karena manusia selalu memiliki relasi dengan dunia, maka manusia tidak lagi bebas. Tentu saja, ini kritik yang tidak tepat.

Bagi sains-eksistensial, manusia adalah freedom itu sendiri. Untuk bisa menerapkan freedom, manusia membutuhkan modal yaitu dunia. Jika Anda ingin bebas menghirup udara segar maka Anda membutuhkan dunia yaitu udara segar. Bahkan, Anda perlu relasi khusus dengan udara segar itu agar Anda bisa menghirupnya. Dunia bukan penjara bagi manusia. Dunia adalah modal bagi freedom manusia.

Membayangkan bahwa manusia bisa bebas dalam kehampaan adalah ilusi. Apa yang Anda bisa lakukan dalam hampa? Anda mau minum tidak ada air. Anda mau tidur tidak ada kasur. Anda mau berjalan tidak ada bumi. Hanya ilusi.

Jadi, sains-eksistensial menjaga freedom manusia; dan manusia akan mampu meraih pengetahuan dunia eksternal yang kaya antara obyek dan subyek. Kita perlu mengembangkan sains-eksistensial.

4. Matematika: Posibilitas Sains

Matematika memiliki peran besar dalam perkembangan sains sejak Newton (1643 – 1727) menulis Principia. Kita perlu memperhatikan matematika secara khusus karena matematika adalah pembuka posibilitas bagi eksistensi sains modern.

(352) … mathematical projection is the existential condition which makes modern scientific activity — both theoretical and experimental — possible.

Newton berbeda dengan Galileo atau para pendahulu. Newton berhasil mengembangkan ontologi baru berupa materi ideal, semacam partikel, berada dalam ruang ideal yang halus mulus. Dengan ontologi ini, Newton berhasil mengembangkan kalkulus (matematika). Galileo tidak bisa mengembangkan matematika lebih jauh untuk sains karena Galileo tidak menciptakan ontologi baru. Galileo membukakan pintu untuk Newton.

Ditambah lagi, di negara tetangga Inggris, yaitu Jerman, Leibniz mengembangkan kalkulus dengan beberapa variasi. Perdebatan Newton dengan Leibniz menjadi pembahasan hangat di bidang filsafat dan sains kala itu. Matematika menjadi tema utama.

Matematika adalah prasyarat eksistensial bagi sains modern untuk bisa berkembang – teoritis mau pun praktis. Matematika, bersama sains, berkembang seiring dengan histori dan konteks.

(353) This is an idea which credits the human being with an intrinsic ability to throw off the cognitive constraints of its social and historical circumstances, so as to achieve autonomy. It is, in other words, an idea which directly challenges the finitude of human reason and imagination.

Melepaskan matematika dari konteks dan histori merupakan suatu challenge terhadap keterbatasan akal dan imajinasi manusia. Dengan pemahaman matematika seperti itu, seakan-akan manusia akan mampu memahami matematika tanpa batas. Konsekuensinya, manusia akan mampu memahami sains tanpa batas. Manusia bisa memanfaatkan teknologi komputer untuk menyimpan dan mengolah data dari sains. Bahkan, manusia bisa memanfaatkan seluruh jaringan komputer di dunia agar memperoleh sains yang sempurna tanpa batas. Manusia memiliki otonomi, sepenuhnya, untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan – tanpa batas. Apakah pandangan seperti itu posibel?

(353) Under this new, and allegedly more thoroughgoing, symmetry, the subject and object, society and nature, themselves become topics requiring explanation. As with Rouse, they are to be explained in terms of fields of circulating scientific practice. Thus the explanatory significance of the social subject has once again been neutralised.

Kita perlu dekonstruksi dualisme obyek-subyek, badan-pikiran, alam-sosial, kemudian memberi solusi berupa sains-eksistensial. Kita tidak perlu “membuang” dualisme tersebut. Kita membutuhkan, dan mengembangkan, keragaman dalam sains-eksistensial.

Menariknya, matematika memberi kita kemampuan untuk “membuang” dualisme. Kita bisa membuat model matematika terhadap obyek; kita bisa membuat model matematika terhadap subyek; konsekuensinya, obyek dan subyek kolaps menjadi satu dalam model matematika yang sama. Seluruh keragaman bisa kita satukan menjadi satu model matematika tunggal. Tetapi, di bagian bawah akan kita bahas, matematika menolak kesatuan homogen seperti itu. Matematika justru memunculkan keragaman (difference) dan senantiasa membedakan diri (diferensiasi).

(354) … Latour’s attack on the thing-in-itself amounts to a rejection of both minimal realism and the finitude of human understanding. As a consequence, Latour may be viewed as embracing a concept of unrestrained constructivity, as well as a position which I have dubbed ‘pragmatic idealism.’

Latour menolak thing-in-itself berkonsekuensi menolak realisme minimal dan keterbatasan manusia. Latour menggantinya dengan ANT – act of network theory. ANT membuka jalan bagi posibilitas kemampuan manusia untuk konstruksi tanpa batas sesuai kubu liberal.

Apakah ANT akan berhasil mengembangkan sains absolut, tanpa batas, misal melalui matematika?

Sejauh ini, matematika berkembang selalu dalam konteks histori. Jadi, matematika tidak berhasil menjadi sains absolut. Matematika bergerak menuju absolut dengan pendekatan “constructible set” dan “forcing”. Capaian terjauh matematika adalah menjadi hampir-absolut; bukan absolut.

(354) As a result, these critics seem to grant free licence to the subject’s activities while simultaneously withholding the conceptual tools by which to properly analyse and explain those activities. This unfortunate circumstance may be viewed as a form of — perhaps unwitting — intellectual dissimulation: the concealment of a concept which, in fact, plays a central role in the position being promoted. This concealed concept is, of course, the concept of the subject.

Menolak dualisme obyek-subyek, misal dengan menggunakan model matematika, sama artinya memberi kebebasan pada subyek tanpa tanggung jawab. Karena realitas bersifat homogen, peneliti bebas melakukan apa saja. Tetapi, ini justru menyembunyikan keyakinan metafisika terselubung yaitu konsep subyek.

Singkatnya, kita ragu bahwa matematika bisa berkembang tanpa subyektivitas. Matematika tetap membutuhkan subyek dalam kadar tertentu. Matematika adalah kajian obyektif yang berkelindan dengan kajian subyektif. Matematika berkembang dalam konteks histori tertentu.

Ringkasan

[1] Posibilitas Eksistensial. Matematika berperan sangat penting membuka posibilitas eksistensi sains modern. Dengan matematika, sains modern berkembang secara praktis mau pun teoritis. Tanpa matematika, sains modern tidak bisa eksis.

[2] Alternatif. Sains modern adalah salah satu alternatif dari beragam posibilitas. Ada posibilitas untuk mengembangkan sains non-matematis atau sains matematis dengan format yang berbeda. Kita perlu mempertimbangkan beragam alternatif. Di tulisan lain, saya membahas sains alternatif berupa sains-optik-matematis yang dikembangkan Alhazen untuk memahami fenomena alam raya; bukan untuk dominasi.

[3] Histori. Sains berkembang dalam konteks histori dan budaya. Matematika, meski tampak abstrak ideal, juga berkembang dalam konteks histori. Sehingga, kita perlu mengkaji histori untuk memahami sains dan matematika.

[4] Subyektivitas. Sains dan matematika perlu mempertimbangkan subyektivitas dari subyek karena mereka selalu dalam konteks histori.

[5] Esensialisme. Tidak cukup bagi kita memandang sains hanya dari perspektif esensialis. Kita perlu melengkapi dengan perspektif eksistensialis.

5. Solusi Sains-Eksistensial

Solusi awal adalah dengan mengenalkan kembali peran penting subyek pengamat atau, lebih tepatnya, dasein.

(355) The reintroduction of the subject allows us to topicalise practices in a way discouraged by those who, paradoxically, promote practice as one of their primary explanatory resources. By topicalising practices, we can develop a better understanding of what practices are, and this, in turn, will enable us to better control and apply the concept of practice as a central explanatory resource.

Mengenalkan kembali subyek dalam sains memberi kita landasan untuk mengkaji praktek sains dengan baik. Praktek sains menjadi bermakna dengan cara mempertimbangkan perspektif subyek pengamat.

(355) … ‘being’ is a polysemous word, with connotations of both existence and essence, that-being and what-being. Hence, to ask about the being of the atom is to ask both whether it is and what it is.

Makna-being adalah ganda: eksistensi dan esensi. Jadi, makna-atom adalah menyelidiki ada-atom dan apa-atom.

(356) The that-being and what-being of the atom correlate, respectively, to the receptivity and constructivity of the scientific subject. Hence, in order to understand the being of the atom, we must also investigate the structure of scientific experience.

Untuk memahami atom, kita perlu memahami struktur pengalaman sains. Eksistensi atom berkaitan dengan reseptivitas manusia; esensi atom berkaitan dengan konstruktivitas. Sedangkan, struktur pengalaman saintis bisa dilihat dari empat mode dasar yang saling berhubungan:

(1) being-in-the-world;
(2) being-with-others;
(3) understanding; and
(4) affectivity.

Being-in-the-world. Dunia adalah di mana setiap saintis selalu berada. Apa pun kajian sains, kita bisa memastikan saintis tersebut pasti dalam dunia. Dunia bermakna luas: dunia materi semisal batu dan pohon; dunia olah raga; dunia seni, dunia politik; dan tentu saja dunia sains.

Saintis, sebagai subyek pengkaji sains, berada dalam dunia tetapi melampaui dunia. Saintis adalah penghuni dunia tetapi dia melebihi dunia itu sendiri. Saintis tidak bisa direduksi menjadi bagian dari dunia dan dunia juga tidak bisa direduksi menjadi bagian dari saintis. Secara eksistensial, saintis menyatu dengan dunia meski tetap berbeda dengan dunia.

Dalam contoh kajian sains atom, being-subyek berinteraksi dengan being-atom. Interaksi ini melalui beragam peralatan laboratorium atau being-laboratorium. Analisis lebih jauh, badan kita sendiri terdiri dari atom-atom. Jadi, sejatinya, kita selalu berinteraksi dengan being-atom badan mau pun being-atom alam sekitar.

Being-with-others. Saintis selalu hidup bersama orang lain. Tidak bisa seorang saintis hidup seorang diri. Tentu, saintis itu pernah hidup dalam rahim ibu. Pernah hidup bersama ibu ketika lahir. Kita bisa memperluas, umumnya, kita hidup bersama keluarga, bersama tetangga, bersama teman-teman, dan bersama saintis lain.

Semua pengetahuan kita, termasuk sains, dipengaruhi oleh orang lain. Kita belajar bahasa dari ibu, keluarga, dan masyarakat luas. Lebih jelas lagi, pengetahuan kita tentang sains dipengaruhi oleh saintis lain. Jadi, tidak ada sains yang murni mandiri. Setiap sains berada dalam dunia dan berinteraksi dengan pengetahuan orang lain.

Dalam kajian sains atom, seorang saintis dipengaruhi oleh orang lain: rekan, pembimbing, donatur, keluarga, dan lain-lain.

Understanding. Memahami adalah mode eksistensial paling penting bagi seorang saintis dan manusia pada umumnya. Di setiap saat dan setiap tempat, kita selalu memahami sesuatu. Tidak pernah seorang manusia hampa dari pemahaman kecuali, barangkali, ketika pingsan.

Sains adalah sebentuk pemahaman. Kehidupan sehari-hari adalah sebentuk pemahaman. Demikian juga, kisah fiksi adalah pemahaman. Aspek utama dari pemahaman adalah proyeksi masa depan atau futuristik. Mengapa obyek sains yang saya selidiki adalah tentang “elektron”? Karena, bila di masa depan, ada saintis yang bertanya tentang kajian saya maka saya bisa menjawabnya tentang “elektron”. Tapi, bila saya tidak peduli dengan masa depan, maka tidak penting apakah elektron, atom, batu, pohon, atau apa pun. Tanpa peduli futuristik maka tidak ada pemahaman.

Mode pemahaman beragam: tacit-eksplisit; praktis-teoritis; proposisional-pengenalan; dan lain-lain. Menariknya, kita bisa menggeser jenis-jenis mode pemahaman. Melihat apel jatuh adalah pengenalan praktis. Mengubah pengalaman melihat apel jatuh menjadi persamaan mekanika adalah menjadikannya sebagai pemahaman teoritis. Bagaimana pun, pergeseran dari praktis menjadi teoritis, dipengaruhi oleh konteks being-in-the-world dan being-with-others.

Dalam contoh kajian sains atom, saintis berusaha membuat pemahaman tentang atom berdasar data laboratorium. Tanpa pemahaman, data itu sendiri tidak bermakna apa-apa. Saintis mengkonstruksi data agar menjadi masuk akal sebagai kajian atom. Tentu saja, konstruksi ini dipengaruhi dunia sekitar dan orang lain secara langsung atau tidak. Konstruksi teori atom ini adalah esensi-atom; sedangkan eksistensi-atom adalah atom yang ada di laboratorium itu sendiri.

Affectivity. Saling mempengaruhi. Elektron mempengaruhi kita dengan cara memberi nyala pada lampu listrik. Kita mempengaruhi elektron dengan cara membiarkan lampu listrik menyala atau memadamkannya. Karena elektron memberi pengaruh ke kita maka elektron adalah eksis. Tanpa ada pengaruh, kita tidak tahu apakah elektron eksis atau tidak.

Elektron membuka diri dengan memberi pengaruh. Dan, kita membuka diri dengan menerima pengaruh elektron. Manusia dan dunia saling memberi dan menerima pengaruh.

Tetapi, apakah elektron memang bermuatan negatif? Pertanyaan ini mengarahkan kita untuk menyelidiki esensi elektron secara teoritis. Sementara, pengaruh elektron kepada kita adalah pengaruh eksistensial secara praktis. Tentu saja, nama “elektron” itu sendiri sudah bersifat teoritis.

Dalam contoh kajian sains atom, saintis mempengaruhi atom melalui setting laboratorium. Atom mempengaruhi saintis dengan meninggalkan jejak data di laboratorium.

Sains, dan sainstis, selalu berada dalam empat mode eksistensi di atas: in-the-world; with-others; understanding and; affectivity. Konsekuensinya, kita membutuhkan sains-esensial meski tidak mencukupi. Kita perlu melengkapinya dengan sains-eksistensial.

Dari empat mode di atas, seluruhnya adalah mode eksistensi. Hanya “understanding” yang membuka posibilitas mode esensi. Dari “understanding”, sains bisa saja bergeser menjadi sains-esensial. Tetapi, kita sadar bahwa mode eksistensi punya peran sangat besar. Sehingga, kita perlu mengembangkan sains-eksistensial.

Ringkasan

[1] Pemisahan. Subyek dan obyek yang terpisah saling mandiri adalah asumsi metafisika yang perlu dikaji ulang.

[2] Mode Eksistensi. Sains-eksistensial menunjukkan beragam mode eksistensi yang lebih fundamental: being-in-the-world; being-with-other; understanding; affectivity.

[3] Subyektivitas. Sains-eksistensial menunjukkan peran penting subyektivitas. Di satu sisi, sains perlu menguatkan aspek obyektivitas. Di sisi lain, subyektivitas memberi kekuatan kepada sains untuk terus berkembang, lebih kreatif, dan bertanggung jawab.

6. Makna Sains Eksistensial

Apa makna-sains-eksistensial?

Makna-sains-eksistensial adalah sains yang merespon kegelisahan umat manusia; sains yang mengembangkan respek kepada dunia dan sesama; sains yang bertanggung jawab rekayasa dan direkayasa realitas.

6.1 Respon Gelisah

Pertama, sains adalah respon manusia terhadap gelisah. Pada gilirannya, sains menjadikan manusia gelisah lagi. Gelisah adalah yang menjadikan manusia sebagai otentik. Tanpa gelisah, manusia terjebak dalam banal. Kehidupan sehari-hari, sebagian besar, adalah banal. Bahkan kejahatan banal.

Sains adalah otentik ketika merespon kegelisahan subyek. Tetapi, sains menjadi banal jika menjadi prosedur yang biasa-biasa saja. Sains memberi pilihan kepada saintis: mengembangkan sains atau meninggalkan sains tertentu. Saintis tidak punya prosedur tertentu untuk menetapkan pilihan. Saintis menghadapi dilema gelisah. Dalam situasi seperti itu, sains, dan terutama saintis, dalam mode otentik. Apa pun pilihan seorang saintis, pada gilirannya, akan memicu gelisah lanjutan.

Ambil ilustrasi kasus Einstein. Apakah Einstein perlu mengembangkan teori energi atom atau tidak? Einstein gelisah dalam dilema. Tidak ada prosedur pasti bagi Einstein untuk menentukan pilihan.

Jika memilih mengembangkan energi atom bisa fatal, misal, jatuhnya jutaan jiwa akibat bom atom Hirosima Nagasaki. Jika tidak mengembangkan maka ada resiko pihak lawan yang mengembangkan kemudian menyerang. Apa pun pilihan Einstein akan memicu gelisah lanjutan. Einstein dalam mode otentik.

Alternatifnya, Einstein bisa mengusir rasa gelisah dengan obat penenang atau minuman alkohol. Einstein bisa mengambil keputusan sambil tertawa-tawa di tengah hingar-bingar pesta pora. Atau, Einstein bisa mengatakan, “Sekedar menjalankan tugas.” Gelisah hilang. Bila demikian, Einstein tidak otentik. Einstein menjadi banal.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda merasa gelisah? Apakah Anda manusia otentik? Atau, Anda biasa-biasa saja dan banal?

Rasa gelisah muncul sewaktu-waktu atau sekali waktu. Dalam sebagian besar hidup, kita dan saintis berada dalam mood umum: suka, duka, gembira, sedih, tenang, takut, ceria, bosan, dan sebagainya. Bagaimana pun, setiap orang selalu berada dalam satu mood yang bisa berubah ke bentuk mood lainnya.

6.2 Respek

Kedua, makna-sains-eksistensial adalah sains yang mengembangkan respek kepada dunia dan manusia. Saintis selalu hidup di dunia dan bersama manusia. Sehingga, sains-eksistensial adalah sains yang berkhidmat kepada dunia dan manusia. Sains adalah anggota dari dunia dan saintis adalah anggota dari umat manusia.

Dunia bermakna luas: dunia alamiah, dunia seni, dunia musik, dunia rasa, dunia olahraga, dunia bisnis, dunia sains, dan lain-lain. Saintis respek terhadap dunia dengan memikirkan masa depan dunia. Sains turut serta membuka posibilitas luas bagi perkembangan dunia. Sains tumbuh selaras dengan dunia.

Saintis menghormati setiap manusia sebagai subyek yang bermartabat tinggi. Setiap manusia memiliki cita-cita yang tinggi untuk dikembangkan dan diraih. Sains-eksistensial turut serta membantu umat manusia untuk meraih cita-cita mulia mereka.

6.3 Rekayasa

Ketiga, sains-eksistensial bermakna bahwa sains ikut bertanggung jawab dalam rekayasa realitas. Sains adalah rekayasa terhadap data sedemikian hingga data bersesuaian dengan standar sains. Data yang tidak sesuai standar disingkirkan atau bila sebagian besar data tidak sesuai standar maka proyek sains ditinggalkan; diganti dengan proyek sains yang lain.

Pada gilirannya, sains yang sudah matang akan berbalik me-rekayasa realitas dan manusia. Segala realitas perlu disesuaikan dengan standar sains yang sudah ditetapkan. Lengkap, sains dan realitas saling rekayasa.

Tidak ada masalah serius dengan isu sains saling rekayasa dengan realitas. Memang demikianlah yang terjadi. Masalah terletak pada tanggung jawab. Sains-eksistensial menerima tanggung jawab terhadap konsekuensi rekayasa. Dengan demikian, saintis perlu berpikir matang dalam setiap kajian.

6.4 Logika Aturan

Mengapa manusia membutuhkan aturan? Mengapa freedom membutuhkan aturan? Lalu, siapa yang mengatur peraturan?

(357) … the affective nature of receptivity in his phenomenology of respect for rules. The compulsive character of this respect provides an existential condition of possibility for thinking and doing, for understanding, as such.

Respek terhadap suatu aturan, misal aturan logika, adalah yang memungkinkan manusia untuk berpikir dan bertindak. Dengan aturan, kita bisa membuat pernyataan, pertanyaan, atau perintah. Dengan aturan pula, kita bisa menilai suatu kejadian sebagai benar atau salah, baik atau buruk, wajar atau keterlaluan. Tetapi bukan aturan itu sendiri yang menjadikan kita respek. Melainkan, ada komunitas yang menegakkan aturan. Kita respek kepada komunitas dengan cara respek kepada aturan.

“Saya hanya menjalankan tugas” adalah kejahatan banal.

“Menjalankan tugas” tampak seperti respek kepada aturan; tetapi tidak respek kepada komunitas. Bahkan “bekerja sesuai seluruh aturan dan prosedur” juga bisa kehilangan respek kepada komunitas. Aturan, legal, atau prosedur adalah representasi dari komunitas yaitu representasi dari subyek-subyek anggota komunitas. Tanpa respek kepada komunitas, hanya respek kepada aturan menjadi sia-sia belaka atau menjadi hilang makna. Jadi, “bekerja sesuai aturan” adalah bukan respek kepada aturan. Melainkan, memanfaatkan aturan untuk kamuflase menghindar dari tanggung jawab terhadap komunitas. Itu adalah kejahatan banal.

“Apakah seseorang bisa mengikuti aturan?”

[1] Tidak bisa. Karena setiap orang memiliki freedom, termasuk, untuk melanggar aturan. Jadi, seseorang tidak pernah bisa mengikuti suatu aturan. Dia hanya mengikuti freedom dirinya.

[2] Justru, seseorang selalu bisa mengikuti aturan. Karena, dengan freedom personal dan komunal, manusia selalu bisa membuat dalih telah sesuai dengan aturan. Bahkan seseorang bisa membuat aturan baru sehingga perilaku dirinya, bisa diklaim, mengikuti aturan baru tersebut. Jadi, yang lebih penting dari “mengikuti aturan” adalah “respek kepada aturan” yang bermakna respek kepada komunitas.

Ringkasan

Makna utama dari sains-eksistensial: gelisah; respek; dan rekayasa. Sains taat, dan menciptakan, aturan.

[1] Gelisah. Sains-eksistensial adalah respon terhadap kegelisahan manusia dan memicu gelisah lanjutan.

[2] Respek. Sains-eksistensial respek terhadap dunia dan terhadap manusia, serta berkontribusi memperluas posibilitas.

[3] Rekayasa. Sains-eksistensial bertanggung jawab terhadap konsekuensi rekayasa.

[4] Aturan. Sains-eksistensial menaati, dan menciptakan, aturan.

7. Enframing vs Poiesis

7.1 Esensi Teknologi dan Sains

Esensi teknologi adalah enframing dan poiesis. Teknologi adalah alat untuk mencapai suatu tujuan; sebagai alat bukanlah esensi teknologi. Teknologi adalah tujuan dan produk dari produsen teknologi; tujuan juga bukan esensi teknologi. Teknologi adalah penerapan dari sains; penerapan juga bukan esensi teknologi.

Enframing adalah esensi teknologi yaitu pembingkaian atau pencitraan. Enframing mengutamakan realitas tertentu dengan menindas realitas lain. Enframing hanya mengijinkan jenis realitas tertentu untuk eksis.

Poiesis adalah esensi teknologi yaitu memicu atau menyalakan. Poiesis memicu realitas-realitas tertentu untuk eksis tanpa menindas realitas lain. Poiesis mengijinkan keragaman realitas. Poiesis membuka posibilitas freedom.

(359) … the double meaning he ascribes to stellen by the concepts of enframing and poiēsis.

Aturan sains modern, yang berupa matematika, menyiapkan jalan bagi teknologi modern. Esensi dari teknologi adalah stell yang bermakna ganda: enframing dan poiesis. Demikian juga sains mirip dengan teknologi.

(360) … the mathematisation of early-modern science in terms of mathēsis, a process whereby final causes become consolidated under a single, uniform measure.

Sains modern, dan teknologi, menetapkan hanya ada satu tujuan akhir, final cause. Akibatnya, hanya ada satu jenis sains yang paling tepat. Enframing adalah tugas teknologi untuk kasus ini. Sementara, poiesis dilupakan untuk waktu yang lama.

(361) In this way, ‘[e]nframing […] blocks poiēsis,’
prevents us from encountering things in the heterogeneous light of multiply different pictures.

Bukan hanya teknologi yang menjalankan enframing. Sains itu sendiri sudah enframing. Enframing mencegah kita bisa melihat keragaman. Enframing mendorong keseragaman.

(361) ‘Modern physics is the herald of Enframing.’

7.2 Dominasi Seragam

Di era modern, enframing berhasil menundukkan poiesis. Sehingga, ketika mengkaji esensi teknologi, kita hanya akan menemukan enframing tanpa poiesis.

Mengapa kekuatan enframing begitu meluas? Karena enframing memang memperkuat dominasinya. Berbeda dengan poiesis. Seni dan pengalaman spiritual, sebagai contoh poiesis, mengijinkan pihak lain untuk berbeda sesuai sumber daya masing-masing tanpa dominasi. Karya seni adalah kreativitas unik tanpa duplikasi. Tetapi, kekuatan enframing mulai masuk ke seni misal melalui seni digital yang mudah duplikasi.

Akankah enframing mendominasi seluruh dunia? Ataukah enframing akan meruntuhkan enframing itu sendiri? Ataukah ada proporsi tertentu antara enframing dengan poiesis?

(363) … the reason that an alternative to enframing has
not yet presented itself ‘lies in the fact that the path of science has not yet reached its end.’ … He describes enframing as ‘the deconstruction of reality in conceptual acts of imagination, and the attempt to reconstruct the whole as the sum of interacting parts.’

Beberapa saintis, misal Weizsacker, optimis bahwa solusi berupa alternatif dari enframing akan muncul dari sains itu sendiri. Saat ini, sains belum sampai akhir perjalanan; masih banyak yang terus berkembang. Weizsacker memandang enframing sebagai proses dekonstruksi melalui aksi imajinasi yang akan disusul oleh rekonstruksi; menghasilkan solusi alternatif.

(364) Where Heidegger saw the path from enframing back to poiēsis as travelling through the fine arts, von Weizsäcker saw it as travelling more deeply into the natural sciences, or, more specifically, more deeply into the dynamics of enframing itself.

Heidegger memandang bahwa perjalanan kembali ke poiesis adalah melalui seni. Sementara, Weizsacker meyakini melalui sains itu sendiri atau melalui dinamika enframing.

7.3 Dominasi Terbalik

Bisakah, suatu saat, situasi berbalik? Bisakah poiesis mendominasi enframing? Tidak bisa. Karena poiesis adalah memicu freedom. Sehingga, bebas juga enframing untuk tetap eksis. Hanya saja, ketika jumlah poiesis lebih besar maka proporsi enframing menjadi lebih kecil.

Sedikit ilustrasi. Di kampung-kampung, sering terjadi, musang liar memangsa anak ayam. Bisakah terjadi sebaliknya? Bisakah anak ayam memangsa musang? Tidak bisa. Karena karakter anak ayam memang tidak memangsa musang. Sementara, karakter musang akan memangsa anak ayam bila ada kesempatan. Demikian juga, poiesis tidak akan mendominasi enframing. Karena karakter poiesis bukan dominasi. Di sisi lain, sewaktu-waktu, enframing bisa mendominasi poiesis.

Ringkasan

[1] Esensi teknologi adalah enframing dan poiesis. Saat ini, enframing lebih dominan dari poiesis.

[2] Esensi sains modern juga sama: enframing dan poiesis.

[3] Sains-eksistensial mengusulkan agar proporsi poiesis lebih besar dari enframing; baik untuk sains mau pun teknologi.

8. Nama Tuhan Sains

8.1 Definisi Sesuatu

Umumnya, kita menggunakan definisi esensial, yaitu genus dan diferensia terdekat, untuk mendefinisikan segala sesuatu. Kita perlu mengkaji lebih dalam dari sekedar definisi esensial. Apa hakikat segala sesuatu? Apa hubungannya dengan Tuhan? Apa makna, “Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kita?”

(368) What does the thing, by thinging, gather together?
According to Heidegger, it gathers together earth, sky, gods, and mortals in a unitary ‘fourfold.’

Apa maksud “sesuatu” atau thing? Thing adalah kesatuan dari 4 hal; kesatuan dari perempatan: bumi, langit, Tuhan, dan mati. Bumi adalah tempat berpijak. Kita tinggal di bumi bersama suatu tradisi. Bumi memberi banyak arti. Tetapi, kita memandang jauh tinggi ke langit; tanpa batas; langit luas. Kita bergerak dari realitas apa adanya menuju posibilitas. Atau, posibilitas masa depan, justru, yang menarik realitas masa kini untuk menuju takdirnya.

Tuhan memberi anugerah kepada realitas. Makna demi makna. Realitas bertabur makna. Pada akhirnya, setiap orang akan mati. Realitas menjadi sempurna dengan menjadi mati. Setiap orang mati dengan cara yang unik. Kematian seseorang tidak bisa dipertukarkan dengan kematian orang lain. Seorang manusia menjadi sempurna sepenuhnya dengan mencapai mati.

(369) With this end the thing does not finish, but rather, from it, the thing begins to be what, following its manufacture, it will be.

Mencapai akhir, atau paran, bukanlah sesuatu menjadi selesai. Justru dengan mencapai paran maka sesuatu mulai menjadi sesuatu itu sendiri. Sangkan paran(ing) dumadi. Sempurna.

Jadi, definisi esensial adalah pengantar bagi kita untuk mengkaji hakikat segala sesuatu. Kita perlu menambahkan perempatan kepada segala sesuatu: bumi, langit, Tuhan, dan mati. Definisi esensial adalah bagian dari bumi. Hanya saja, bumi lebih luas dari definisi esensial, karena bumi mencermati konteks histori.

8.2 Galilean First Thing

Galilean First Thing menjadi ontologi formal setelah Newton menetapkan hukum mekanika (Newton Pertama). Benda yang diam akan tetap diam selamanya dan benda bergerak kecepatan tetap akan bergerak dengan kecepatan tetap selamanya; kecuali ada gaya yang mengenainya.

(370) Viewed through the lens of Heidegger’s late reflections,
one might see the Galilean First Thing as a god which has successfully beaten back the other gods, thereby establishing itself as an autonomous and uniform measure for the mathematicisation of nature.

Galilean First Thing, semacam titik partikel ideal matematika, adalah satu Nama Tuhan yang mengalahkan seluruh nama-nama lain. Hanya dengan satu Nama Tuhan maka realitas segala sesuatu menjadi homogen. Padahal, sejatinya, Tuhan memiliki 99 Nama Tuhan yang indah, bahkan lebih banyak dari itu. Konsekuensinya, realitas adalah beragam, heterogen, sebagai mana keragaman Nama-Nama Tuhan.

Karena partikel ideal, Galilean First Thing, adalah pemenang tunggal maka seluruh realitas bisa direduksi sebagai tersusun oleh partikel-partikel ideal. Lebih menarik lagi, partikel-partikel ideal ini bisa ditempatkan di ruang halus mulus tanpa ganguan. Sehingga, matematika kalkulus adalah proyeksi realitas paling bagus.

Apel jatuh menuju bumi sampai rembulan mengitari bumi tanpa henti, semua bisa dihitung dengan matematika kalkulus hukum Newton. Lebih hebat lagi, dari sains, kita bisa mengembangkan teknologi canggih. Mesin-mesin pabrik, mobil, pesawat terbang, jembatan, sampai bendungan bisa dirancang berdasar matematika kalkulus Newton. Matematika ada di mana-mana.

Reaksi kimia, interaksi biologi, proses kerja syaraf dan psikologis, semua bisa dijelaskan dengan matematika. Pertumbuhan penduduk, angka kematian, kebutuhan ekonomi, keserakahan politik, umur alam raya, dan sisa usia matahari, semua bisa dihitung dengan pasti menggunakan matematika.

Matematika adalah juara. Sains dan teknologi adalah manifestasi dari matematika; sains dan teknologi juga juara.

8.3 Sains Modern

Tetapi, fisika modern dan matematika modern menggoyahkan sang juara dari singgasana. Sains modern tidak mengakui matematika sebagai juara utama. Atau, matematika jenis itu tidak lagi layak menjadi juara.

Relativitas Einstein mempertanyakan eksistensi partikel ideal di ruang halus, Galilean First Thing, apakah benar-benar ada? Apakah gerak lurus itu memang ada? Ketika Anda bergerak di jalan yang lurus dengan kecepatan konstan, seakan-akan, Anda bergerak lurus. Tetapi, bukankah permukaan bumi adalah melengkung? Jadi, Anda bergerak melengkung sesuai lengkungan bumi; Anda tidak bergerak lurus.

Bagaimana jika kita terbang lurus vertikal meninggalkan bumi? Bukankah itu benar-benar lurus? Tidak lurus. Gerak Anda seperti itu bisa saja melengkung mengitari matahari atau mengitari pusat gravitasi yang lain. Di mana pun kita berada, kita selalu dalam medan gravitasi. Konsekuensinya, setiap gerak adalah gerak melengkung. Ontologi gerak melengkung ini merevisi besar-besaran ontologi gerak lurus Newton. Dan, lengkungan itu dipengaruhi oleh medan gravitasi setempat. Tidak ada medan gravitasi yang homogen universal.

Mekanika quantum merevisi fisika Newton dari arah yang berbeda. Fisika klasik berasumsi bahwa kita bisa mengukur posisi dan momentum suatu obyek dengan eksak. Ketidakpastian Heisenberg membuktikan bahwa kita tidak pernah bisa mengukur dengan eksak. Selalu ada ketidakpastian. Pengukuran sains, atau perhitungan matematika, selalu bersifat probabilistik.

Secara teori ideal matematika, paradoks Godel menunjukkan bahwa setiap sistem formal pasti bersifat antara tidak lengkap atau tidak konsisten. Padahal, matematika membutuhkan karakter lengkap dan konsisten itu. Jadi, matematika harus direvisi besar-besaran secara teoritis.

Singkatnya, sains tidak lagi pantas menjadi juara tunggal. Sains tidak lagi berhak menjadi Nama Tuhan satu-satunya. Kita membutuhkan Nama-Nama Tuhan yang lebih banyak ragamnya. Baik Nama-Nama itu berada dalam sains atau di luar sains.

8.4 Final-Cause: Paran

Kita membutuhkan Nama-Nama Tuhan sebagai final-cause atau paran. Hanya dengan paran, semua gerak dan semua dinamika menjadi bermakna.

(371) … final causes: such causes provide the measure by which practitioners distinguish proper from improper action, thereby giving order and direction to their activities.

Final cause atau sebab-akhir memberi ukuran suatu tindakan sebagai baik atau tidak. Sebab-akhir ini, atau paran, adalah Nama-Nama Tuhan yang indah. Masing-masing subyek akan memilih satu paran tertentu sebagai posibilitas untuk mendefinisikan subyek itu sendiri.

Awal Menjadi Akhir

Sains menyamakan paran, yaitu sebab-akhir, dengan sebab-awal. Atau, sains menempatkan sebab-awal sebagai paran. Konsekuensinya, sains lebih perhatian kepada asal mula kosmologi, asal mula penyusun unsur materi paling dasar, asal mula evolusi manusia, dan asal mula lainnya. Tentu saja, bisa seperti itu; menempatkan sebab-awal sebagai paran. Karena, Tuhan memang Maha Awal dan Maha Akhir.

Galilean First Thing, atau titik ideal matematika, adalah contoh sebab-awal yang menempati paran. Ditambah lagi, asumsi bahwa masa lalu sudah berlalu secara obyektif. Sehingga, Galilean First Thing dianggap sebagai realitas obyektif di masa lalu tanpa perubahan lagi. Saintis menganggap problem sains adalah problem epistemologi; sementara problem ontologi dianggap sudah tuntas.

Titik ideal Galilean First Thing menghadapi problem serius: epistemologi, ontologi, dan aksiologi.

Di jaman kuno, titik ideal adalah atom. Perkembangan sains menunjukkan atom bukan titik ideal karena tersusun oleh elektron dan inti. Seterusnya, elektron atau inti bukanlah titik ideal karena tersusun oleh penyusun yang lebih mendasar lagi. Andai, pada suatu saat nanti, kita benar-benar menemukan titik ideal itu, maka, kita masih bertanya. Berapa diameternya? Bagaimana bila titik ideal itu dibelah lagi? Bagaimana hubungan partikel itu dengan ruang hampa?

Mekanika quantum, salah satu cabang fisika modern, menyadari kesulitan dari titik ideal – yang tanpa solusi selamanya itu. Quantum mengganti titik ideal dengan string atau benang-kusut; berdasar teori string. Benang-kusut adalah realitas paling fundamental. Kita tidak bisa observasi langsung benang kusut. Kita hanya bisa observasi konsekuensi dari benang-kusut melalui vibrasi empiris dan perhitungan matematika.

Teori benang-kusut atau teori string berhasil menyelesaikan banyak problem. Karena bentuknya yang kusut, string bisa teramati dalam keragaman observasi: bisa sebagai elektron, proton, neutron, quark, fermion, boson, atau lainnya. Lalu, mengapa string itu kusut atau acak? Karena memang kusut berdasar hasil observasi vibrasi atau pun perhitungan matematis. Mengapa begitu? Kita tidak bisa bertanya mengapa begitu. Saintis bisa puas dengan solusi benang-kusut. Filsuf masih memiliki banyak pertanyaan tak terjawab. Benang-kusut adalah solusi cerdik oleh para saintis.

Secara epistemologi, quantum dan benang-kusut menghadapi kesulitan tak terpecahkan: ketidakpastian Heisenberg. Setiap pengukuran sains, empiris dan matematis, selalu melibatkan ketidakpastian. Hanya ada satu solusi: rendah hati dengan berpikir terbuka atau epistemic-humility. Secara aksiologi lebih sulit lagi. Titik ideal, quantum sampai benang-kusut, tidak mampu menilai kebaikan, keburukan, keadilan, kecurangan, bahagia, derita, dan lain-lain. Sehingga, titik ideal tidak mampu mengajukan pertanyaan tentang etika. Apalagi solusi etika?

Bumi: Dahir dan Batin

Titik ideal selalu berada di bumi; berada dalam konteks histori. Melucuti titik ideal, Nama Tuhan versi Galilean First Thing, dari konteks histori memunculkan problem tak bisa diatasi; seperti kita bahas di atas. Solusi yang kita perlukan adalah menempatkan titik ideal kembali di bumi: Nama Tuhan Maha Dahir dan Maha Batin.

Dahir atau nyata: titik ideal selalu berada dalam konteks histori yang bersifat konkret. Atau, titik ideal selalu berada dalam medan; medan gravitasi, elektromagnetik, atau lainnya. Konsekuensinya, titik ideal tidak bisa diam dan tidak bisa gerak dengan kecepatan konstan. Andai, kita bisa menempatkan satu titik ideal yang diam di laboratorium di bumi; apakah titik ideal itu benar-benar diam? Tidak diam. Bahkan, titik ideal itu gerak dengan percepatan tertentu. Karena bumi selalu gerak rotasi terhadap sumbu dan revolusi terhadap matahari. Titik ideal itu bergerak mengikuti gerak bumi dan laboratorium. Bila ada titik ideal yang diam maka itu adalah kondisi khusus ketika resultan total medan bernilai nol.

Batin: titik ideal selalu berada dalam konteks histori yang bersifat batin, spiritual, asumsi, aksioma, postulat, dan lain-lain. Titik ideal memiliki asumsi ada titik ideal dalam diri mereka sendiri. Andai memang ada titik ideal ini sesuai asumsi maka asumsi itu berada dalam jaringan asumsi-asumsi lain. Di antaranya asumsi: obyektif, terhitung, dan terkendali.

Asumsi obyektif mengira bahwa titik ideal itu akan tetap ideal siapa pun orang yang mengamatinya dan apa pun situasi kondisi yang memenuhinya. Asumsi terhitung mengira bahwa titik ideal itu bisa dihitung jumlah, posisi, atau momentum dengan tepat. Asumsi terkendali mengira bahwa titik ideal itu bisa dikendalikan dan rekayasa sesuai aturan tertentu. Semua asumsi di atas adalah sekedar asumsi; bisa terpenuhi; bisa juga diganti dengan asumsi lainnya.

Elektron, misalnya, bisa melanggar beragam asumsi di atas. Spin elektron sulit ditentukan, di awal, secara obyektif sebagai up atau down. Posisi elektron tidak bisa diketahui secara pasti; sesuai ketidakpastian Heisenberg. Quantum state dari elektron tidak selalu bisa dimanipulasi.

Kita perlu menyadari aspek batin, atau transendental, dari asumsi-asumsi ini. Makin jelas asumsi-asumsi batin ini tertuang dalam formula bahasa maka makin besar peluang bagi kita untuk mengkajinya.

Menariknya, kita tidak pernah tuntas mengkaji aspek dahir dan batin dari suatu sains. Konteks histori dahir, meski tampak jelas, kita tidak bisa mengkajinya secara tuntas. Selalu ada bagian dari konteks histori yang terlewat dari kajian kita. Apalagi konteks histori batin, makin banyak yang tersembunyi. Makin jauh kita mengkaji konteks histori batin makin jelas batin adalah tersembunyi.

Langit: Awal dan Akhir

Titik ideal, Galilean First Thing, eksis dari jaman dulu, jaman sekarang, dan jaman yang akan datang. Tetapi, apakah titik ideal ini stabil? Ambil contoh elektron sebagai titik ideal; apakah elektron adalah sudah menjadi elektron dari awal dan tetap menjadi elektron sampai masa depan?

Awalnya, bisa saja, hanya hampa tanpa elektron. Kemudian, terjadi riak yang mengakibatkan lompatan quantum dari ruang hampa. Hasil lompatan quantum itu menghasilkan elektron dan anti-elektron (kelak dikenal sebagai positron). Selanjutnya, elektron akan terus menjelajahi dunia sebagai elektron. Sampai suatu saat, elektron bersatu kembali dengan anti-elektron menjadi kembali hampa.

Awal dan akhir adalah Nama-Nama Tuhan yang penting untuk menjadi pertimbangan sains. Awal dan akhir membuka posibilitas, freedom, dan komitmen yang luas. Realitas elektron, dan realitas pada umumnya, terbentang dari awal sampai akhir.

Jika awal dari elektron adalah hampa maka apa makna-hampa? Dari mana asal mula hampa? Apa dasar dari hampa?

Pertanyaan tentang awal mula dari elektron ini akan membuka beragam posibilitas. Hampa tersusun oleh string-string, berupa benang-kusut, dalam jumlah tak hingga. Dari mana asal mula string itu? Kita akan bisa mengajukan pertanyaan ini tanpa henti. Kita tidak akan menemukan awal yang paling awal itu. Karena awal absolut adalah Nama Tuhan yang Maha Awal.

Apa akhir dari elektron dan realitas pada umumnya? Lagi, pertanyaan tentang akhir elektron akan membuka posibilitas baru. Bagaimana pun, kita tidak akan mencapai akhir yang paling akhir. Karena, akhir yang paling akhir adalah Nama Tuhan yang Maha Akhir.

Realitas adalah bentangan posibilitas dari Maha Awal sampai Maha Akhir.

Sikap saintis, personal dan komunal, menetapkan titik awal dari elektron, misal string. Tetapi, karena string adalah ketetapan saintis maka saintis perlu bertanggung jawab. Demikian juga, saintis perlu bertanggung jawab terhadap titik akhir elektron. Secara umum, saintis bertanggung jawab terhadap setiap ketetapan yang mereka pilih. Ketika saintis menetapkan suatu obyek sebagai elektron maka saintis bertanggung jawab atas ketetapan itu.

Tuhan: Anugerah dan Terpilih

Mengapa elektron eksis? Mengapa manusia eksis? Mengapa Anda membaca tulisan ini?

Tentu, kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dan kita sadar, setiap jawaban akan memicu pertanyaan lanjutan, “Mengapa begitu?”

Pertanyaan mengapa akan mengantar kita kepada jawaban: karena anugerah dari Maha Pemberi Anugerah. Seluruh realitas menjadi eksis karena anugerah. Maha Anugerah adalah Nama Tuhan paling mendasar bagi eksistensi seluruh realitas semesta.

Ke arah mana gerak anugerah realitas alam semesta ini? Menuju kepada Maha Penyayang untuk menjadi yang Terpilih. Histori alam raya adalah dari anugerah menuju terpilih.

Histori elektron, misalnya, bermula dari anugerah sehingga elektron itu eksis di dunia ini. Kemudian elektron mengelilingi inti atom, berperilaku sebagai partikel atau gelombang, menjadi obyek kajian sains, dan akhirnya musnah, terpilih, menjadi penduduk realitas hampa setelah bertemu positron.

Kita tahu, histori elektron di atas terlalu reduktif karena terlepas dari konteks histori bumi. Kita bisa menambahkan, dalam perjalanannya, elektron menjadi penghantar energi listrik yang menerangi ruang belajar. Cahaya dari elektron itu menjadikan seorang siswa berhasil meraih cita-cita mulia. Barangkali, di kesempatan lain, elektron menjadi bagian dari senjata mematikan. Dan, masih banyak posibilitas elektron sepanjang perjalanan historinya.

Histori manusia, barangkali, lebih mudah kita pahami. Mengapa Anda bisa eksis di dunia realitas ini?

Jawaban mudah: karena ayah dan ibu bercinta lalu melahirkan anak berupa Anda. Tetapi, banyak ayah ibu yang bercinta dan tidak melahirkan anak. Bukan karena bercinta maka manusia menjadi eksis. Manusia menjadi eksis karena anugerah. Bahkan, cinta ayah kepada ibu dan cinta ibu kepada ayah adalah anugerah itu sendiri.

Awal histori manusia adalah dari anugerah. Diri kita adalah anugerah. Kemudian, kita menjalani histori di bumi. Kita bercita-cita untuk berhasil menjadi manusia pilihan; manusia dengan etika baik; manusia dengan pengetahuan yang baik pula. Cita-cita adalah tanggung jawab setiap anak manusia, personal dan komunal.

Sains perlu selalu mempertimbangkan makna-anugerah dan makna-terpilih.

Mortal: Mematikan dan Menghidupkan

Pemahaman kita terhadap suatu obyek hanya “lengkap” ketika obyek itu menjadi “mati.” Setelah mati, obyek menjadi sempurna sebagai dirinya. Mati adalah anugerah yang sempurna.

Histori elektron menjadi sempurna ketika elektron “mati” misal menjadi lenyap saat bersatu dengan anti-elektron.

Histori manusia lebih dinamis dan kompleks; meskipun manusia menjadi sempurna ketika manusia bersangkutan mati. Sementara, histori umat manusia masih terus bergulir ketika seorang aggotanya mati. Di sisi lain, seorang manusia yang mati bukannya historinya berakhir; tetapi histori yang sempurna justru baru dimulai. Baik histori di dunia ini mau pun di dunia yang berbeda. Jadi, mati adalah awal dari “kehidupan” baru yang lebih sempurna.

Kembali kepada elektron, bagaimana sains seharusnya memahami elektron? Sains perlu memahami elektron sampai elektron itu “mati.” Kita perlu mempertimbangkan histori elektron tersebut sampai elektron musnah; histori elektron tersebut berakhir ketika musnah. Tetapi, histori saintis tetap berlanjut ketika elektron musnah. Akhir histori sains, misal histori elektron, adalah awal histori saintis yang baru. Demikian seterusnya, histori terus bergulir.

Keragaman sampai Pembedaan

Nama-Nama Tuhan adalah beragam (difference). Lebih dari itu, Nama Tuhan melakukan pembedaan (diferensiasi). Konsekuensinya, makin banyak keragaman. Tuhan Yang Maha Esa memang tunggal; tetapi Nama-Nama Tuhan adalah tak terhitung banyaknya.

Tuhan adalah absolut. Nama-Nama Tuhan adalah hampir-absolut; atau, kadang Nama-Nama Tuhan bisa kita sebut sebagai absolut juga.

Sedikit ilustrasi barangkali akan memudahkan pemahaman. Absolut adalah jaring-jaring raksasa dengan lubang-lubang jaring yang berukuran raksasa pula. Lubang raksasa itu adalah hampir absolut. Banyaknya lubang adalah tak hingga atau hampir absolut juga.

Jaring-jaring raksasa, sebagai absolut, bisa merangkul seluruh alam semesta. Bahkan, satu lubang jaring hampir-absolut sudah mampu merangkul seluruh alam semesta. Hampir-absolut dan absolut adalah sama dalam hal bisa merangkul seluruh semesta. Tetapi mereka berbeda karena yang absolut hanya absolut itu sendiri. Sementara, yang lain adalah hampir-absolut.

Nama-Nama Tuhan adalah hampir-absolut sehingga mampu merangkul seluruh semesta. Sementara, hanya Tuhan saja yang absolut sempurna.

Sains membutuhkan lebih banyak Nama-Nama Tuhan (difference) dan perlu melangkah lebih jauh mampu membedakan masing-masing Nama Tuhan (diferensiasi) terus-menerus secara aktif.

Dalam contoh analisis di atas, tentang titik ideal Galilean First Thing, sains hanya mempertimbangkan satu Nama Tuhan yaitu Maha Awal. Akibatnya, keragaman dan pembedaan menjadi runtuh menjadi satu titik ideal yang mekanistis.

Kita perlu revisi titik ideal dengan pembedaan (diferensiasi) sehingga menghasilkan keragaman (difference). Tahap pertama, kita lakukan pembedaan berdasar perempatan: bumi, langit, Tuhan, dan mati. Tahap kedua, kita lakukan pembedaan pada masing-masing perempatan: dahir-batin; awal-akhir; anugerah-terpilih; dan mematikan-menghidupkan. Dengan demikian, sains terus bergulir dinamis. Tahap ketiga, kita perlu sadar, proses pembedaan (diferensiasi) dilakukan oleh saintis. Konsekuensinya, saintis dan umat manusia bertanggung jawab terhadap perkembangan sains.

Ketika sains bersikeras menetapkan hanya ada satu Nama Tuhan dalam sains, misal titik ideal Galilean First Thing, maka sains telah melakukan enframing. Bila, kemudian, sains melakukan diferensiasi maka sains melakukan poiesis. Peran ganda dari sains, enframing dan poiesis, akan mendorong pertumbuhan sains itu sendiri.

8.5 Pengganti Sains

Analisis kita menunjukkan bahwa sains modern memiliki banyak kelemahan. Lalu, apa alternatif yang lebih baik dari sains? Sains-eksistensial menawarkan beberapa solusi.

Solusi pertama, lanjutkan kajian sains seperti biasa dengan menambahkan kajian sains-eksistensial. Jadi, tidak harus meninggalkan sains; tidak harus menciptakan sains yang berbeda.

Solusi kedua, kembangkan sains baru, dengan forma baru, meski tetap berlandaskan matematika. Dengan demikian, kita memiliki keragaman sains, di antaranya: mekanika Newton, relativitas Einstein, mekanika quantum, matematika paraconsistent, dan lain-lain. Di bidang biologi, psikologi, sosiologi, histori, dan teknologi, kita bisa mengembangkan format matematika yang spesifik. Tentu saja, kita tetap perlu menambahkan dengan sains-eksistensial.

Solusi ketiga, kembangkan lebih banyak alternatif dari sains. Bisa saja, alternatif ini berupa program baru, paradigma baru, tradisi baru, atau praktek baru. Maksud baru, di atas, adalah relatif terhadap pandangan sains konvensional. Tradisi lokal yang sudah berumur ribuan tahun bisa saja kita anggap sebagai tradisi baru dalam hal ini. Dengan solusi ini, umat manusia memandang dunia dan dirinya dengan perspektif yang jauh lebih luas. Sains-eksistensial mengarahkan kita untuk berpikir terbuka.

8.6 Kita Butuh Tuhan

Semua orang butuh Tuhan. Bahkan, mereka yang mengaku ateis pun perlu Tuhan. Apa lagi, umat beragama sangat membutuhkan Tuhan.

(372) … the gods as providing the basis for ‘every affective disposition [wesentliche Gestimmtheit] from respect and joy to mourning and terror.’

Tuhan, atau Nama-Nama Tuhan, memberi manusia kemampuan merasa damai dan bahagia sampai duka dan teror. Nama-Nama Tuhan ini bekerja melalui konteks sosial dan histori budaya mau pun histori alamiah.

Anugerah Eksistensi

Diri kita adalah anugerah. Elektron adalah anugerah. Alam raya adalah anugerah. Setiap anugerah eksis bergerak menuju kesempurnaan akhir; menjadi yang terpilih. Sangkan paraning dumadi. Hanya karena anugerah eksistensi maka segala sesuatu, dumadi, menjadi eksis.

Kita sadar bahwa diri kita tidak bisa menjadi sebab bagi eksistensi diri kita sendiri. Maksudnya, seorang manusia tidak bisa eksis akibat diri orang itu sendiri. Demikian juga, elektron tidak bisa eksis sendiri; atau elektron tidak memadai untuk menjadikan elektron eksis dengan sendirinya. Diri kita, mau pun elektron, membutuhkan anugerah eksistensi.

Orang bisa berargumen bahwa elektron bisa eksis secara spontan. Kita sudah bahas, di atas, bahwa spontan itu akan memerlukan “sesuatu” yang lebih awal. Pada analisis akhir, kita akan sampai kepada Nama Tuhan Yang Maha Awal; Yang melimpahkan anugerah eksistensi. Jadi, kita membutuhkan Nama-Nama Tuhan.

Kemampuan Interaksi

Apa yang akan terjadi, andai, elektron eksis sendirian di ruang hampa? Elektron bebas bergerak ke mana saja tanpa hambatan. Elektron tidak bermakna apa-apa bila sendirian seperti itu.

Apa yang akan terjadi, andai, Anda hidup seorang diri di ruang hampa? Anda kesepian. Anda tidak punya teman. Anda tidak punya bumi. Anda tidak punya makanan atau pun udara segar. Anda tidak bermakna apa-apa bila hanya seorang diri.

Anugerah kemampuan berinteraksi dengan dunia, dan berada dalam dunia, adalah anugerah utama.

Manusia membuka diri kepada dunia dan dunia membuka diri kepada manusia. Lebih dari itu, manusia membuka diri terhadap masa depan; bersama dunia. Anugerah masa depan ini menjadikan segala sesuatu bermakna.

Konsekuensi Pilihan

Manusia menerima anugerah masa depan sebagai posibilitas yang luas.

Dari beragam posibilitas, manusia bisa memilih beberapa di antaranya sebagai suatu cita-cita. Dari suatu cita, manusia menciptakan beragam makna tentang dunia, diri, dan masyarakat luas. Manusia bebas memilih apa saja cita itu atau menciptakan cita yang baru. Selanjutnya, cita berkonsekuensi menuntut komitmen manusia agar selaras dengan cita.

Bagaimana pun, kita selalu hidup di dalam dunia dan selalu bersama orang lain. Konsekuensinya, realitas dunia dan cita orang lain memberi pengaruh kepada cita kita. Pada gilirannya, cita kita berpengaruh kepada orang lain dan realitas dunia. Kita dan dunia menjalin relasi eksistensial secara primordial.

Apakah sebuah elektron punya cita-cita? Atau, apakah setiap manusia punya cita-cita? Bagaimana dengan orang yang terpaksa tidak punya cita-cita?

Elektron memiliki cita-cita yang berbeda dengan cita-cita manusia. Sains menyebutkan cita dari elektron adalah menambah entropi. Bahkan, berlaku umum, realitas fisika bercita-cita untuk menambah entropi. Awalnya, sains mendefinisikan entropi sebagai ukuran keacakan atau ukuran ketidak-teraturan. Elektron senantiasa menuju entropi lebih besar, yaitu, makin tidak teratur. Akhir-akhir ini, teori informasi mendefinisikan entropi sebagai kandungan informasi. Sehingga, elektron senantiasa menyimpan informasi lebih banyak.

Menariknya, ketika sains yakin bahwa semua realitas cenderung menambah entropi, manusia justru bisa mengurangi entropi. Manusia bisa membuat batu-batu berserakan, entropi besar, menjadi bangunan yang indah penuh keteraturan, entropi kecil. Tentu saja, manusia juga bisa mengacaukan lingkungan sehingga entropi makin besar, misal, dengan meledakkan bom di berbagai tempat.

Manusia yang komitmen dengan cita-cita berkonsekuensi, menjadi sebab bagi, entropi berkurang. Cita-cita seorang arsitek untuk membangun rumah menjadikan batu berserakan berubah tersusun rapi sesuai rencana arsitek itu. Tetapi, manusia yang tidak peduli dengan cita-cita, mereka menambah entropi alam semesta; mereka menambah kekacauan alam semesta; mereka adalah manusia banal. Sementara, manusia yang peduli dengan cita-cita adalah manusia otentik.

Peduli terhadap cita dan konsekuensinya adalah anugerah yang dibutuhkan oleh manusia. Relasi antara cita dan ragam konsekuensi, kita sederhanakan sebagai hukum kausalitas. Dengan demikian, hukum kausalitas adalah anugerah bagi kita. Bagaimana pun, pemahaman tentang cita dan konsekuensi berbeda dengan kausalitas pada umumnya.

8.7 Pertolongan Tuhan

Manusia tidak mampu mengubah dunia menjadi lebih baik. Tuhan melimpahkan anugerah sehingga dunia menjadi lebih baik. Bagaimana pun, proses dunia menjadi lebih baik ini melibatkan peran serta manusia.

“Hanya Tuhan yang bisa selamatkan kita.”

Bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki dengan korban jutaan umat manusia. Artificial intelligence (AI) berpotensi menghancurkan dunia lebih parah dari bom atom. Apa yang perlu kita lakukan? Apa yang harus dilakukan oleh umat manusia? Jawaban sederhana adalah menambahkan sains-eksistensial pada setiap kajian sains.

Andai umat manusia berhasil menjadikan dunia ini lebih baik, maka, itu semua bukan karena tindakan manusia semata. Tetapi, dunia menjadi lebih baik berkat anugerah pertolongan Tuhan.

Ringkasan

Berikut adalah ringkasan tentang Nama-Nama Tuhan Sains.

[a] Titik ideal Galilean First Thing adalah Nama Tuhan bagi sains mekanika Newton; selaras dengan Nama Tuhan Yang Maha Awal. Tetapi, sayangnya, sains memandang alam semesta sebagai homogen sesuai Galilean First Thing belaka.

[b] Kita memerlukan diferensiasi sains untuk mengenal keragaman Nama-Nama Tuhan. Awal diferensiasi bisa menggunakan perempatan; sains adalah titik temu dari perempatan: bumi, langit, Tuhan, dan mati.

[c] Masing-masing dari perempatan bisa kita diferensiasi lebih lanjut; bumi: dahir-batin; langit: awal-akhir; Tuhan: anugerah-terpilih; mati: mematikan-menghidupkan. Dengan demikian, sains memiliki keragaman Nama-Nama Tuhan.

[d] Nama-nama Tuhan bagi sains memang beragam (differend); meski Tuhan adalah Maha Esa. Lebih dari itu, Nama-Nama Tuhan senantiasa membedakan diri (diferensiasi). Konsekuensinya, sains terus tumbuh tanpa henti.

[e] Sains membutuhkan Tuhan. Sains membutuhkan anugerah eksistensi untuk eksis dan sains membutuhkan anugerah pertolongan untuk mampu memperbaiki diri.

9. Awal Kemunculan Kognisi

9.1 Awal Subyektivitas

Bagaimana manusia bisa berpikir sebagai subyek?

(372) The norms governing behaviour are not, finally, to be located in a system, of which each person is a constitutive part, but in the often mundane interactions between persons who, to a greater or lesser extent, share a history and culture.

Kemampuan kognisi manusia berkembang sesuai norma-norma konteks histori. Norma-norma yang memandu perilaku para subyek tidak terletak dalam sistem. Tetapi, norma merupakan interaksi dari orang-orang dalam histori dan budaya tersebut.

(373) … the existential basis for this freedom to act, its
condition of possibility, is ontologically limited.

Basis eksistensial untuk bisa bebas bertindak adalah terbatas secara ontologi. Batasan ini tidak menghilangkan freedom manusia. Batasan ontologi adalah modal bagi freedom setiap manusia. Norma-norma adalah batasan dan, sekaligus, modal untuk berpikir dan bertindak.

Ketika norma-norma membimbing manusia untuk berpikir, sebagai being-with-others dan being-in-the-world, tetapi bagaimana manusia bisa berpikir pada awalnya? Manusia bisa berpikir karena anugerah Tuhan. Konsep anugerah Tuhan tidak bermakna dogmatis atau metafisis. Justru, karena anugerah Tuhan begitu besar, maka kita bisa mengkajinya tanpa henti. Analisis eksistensial terhadap dasein menjadi paling utama untuk mengenali anugerah.

Manusia adalah wujud paling beruntung dengan menerima anugerah menjadi dasein: wujud yang peduli dengan wujudnya sendiri; dengan bertanya makna wujud masa depan. Karakter peduli ini yang menjadikan manusia bisa memahami norma-norma. Kemudian, manusia merespon dengan cara otentik atau banal terhadap norma. Interaksi ini menjadikan manusia paham bahwa dirinya adalah subyek; selalu ada dunia di sekitar; dan selalu ada orang lain. Respon otentik akan mengarah kepada poiesis; respon banal akan mengarah ke enframing.

Eksperimen Tarzan

Tarzan adalah bayi yang diasuh oleh gorila sejak baru lahir dalam kisah fiksi. Apakah Tarzan bisa jadi manusia?

Tarzan berhasil menjadi manusia, pada akhirnya, setelah bertemu manusia lain saat remaja. Tarzan belajar bahasa manusia bersama manusia; being-with-others. Kisah fiksi itu menyatakan bahwa Tarzan berhasil menjadi manusia sempurna. Tetapi, andai Tarzan tidak pernah bertemu manusia maka apakah bisa menjadi manusia seutuhnya?

Mari eksperimen pikiran lebih lanjut. Asumsikan Tarzan belum pernah bertemu manusia. Di hutan dekat tinggal Tarzan, datanglah dua orang; Pak Banana dan Pak Orange; mereka hidup bertetangga. Pak Banana menanam pisang dan Pak Orange menanam jeruk. Pak Banana bisa barter pisang dengan jeruk kepada Pak Orange. Tetapi, mereka tidak pernah mencuri jeruk mau pun pisang karena sadar bahwa mencuri adalah dosa.

Di suatu siang yang sepi, kawanan gorila mencuri pisang dari kebun Pak Banana. Tarzan ikut kawanan gorila itu dan ikut mencuri pisang. Semua gorila tidak merasa dosa telah mencuri pisang dari kebun. Apakah Tarzan merasa berdosa mencuri pisang dari kebun?

[1] Tidak berdosa. Kita menduga bahwa Tarzan tidak merasa berdosa karena Tarzan tidak paham konsep dosa, tidak paham hak milik, dan tidak paham konsep mencuri atau lainnya. Bila demikian, Tarzan bukanlah manusia seutuhnya.

[2] Berdosa. Tarzan merasa berdosa karena mencuri pisang milik Pak Banana. Tetapi, dari mana Tarzan bisa memahami konsep dosa itu? Sulit percaya, bagi kita, bahwa Tarzan paham akan konsep dosa.

Bila kita merujuk kisah dalam Kitab Suci, Adam dan Hawa mampu memahami konsep dosa setelah Tuhan mengajari mereka konsep dosa melalui “bahasa.” Sementara, Tarzan belum belajar “bahasa” saat itu.

Rasanya Jadi Kelelawar

Bagaimana rasanya jadi kelelawar? Apa yang dipahami oleh kelelawar ketika melihat benteng-catur? Apa yang dipahami oleh saintis ketika melihat benteng-catur?

Kelelawar berbeda dengan manusia; kelelawar tidak punya mata sebagai mana manusia untuk mengenali dunia luar; kelelawar menggunakan gelombang suara ultrasonik untuk mengenali dunia luar, misal benteng-catur.

Tentu saja, tidak ada orang yang bisa klaim pernah jadi kelelawar. Sehingga, tidak ada orang yang bisa memastikan jawaban bagi pertanyaan bagaimana rasanya jadi kelelawar? Kita hanya melakukan beragam analisis rasanya jadi kelelawar.

Kelelawar tidak bisa membedakan warna benteng-catur sebagai hitam atau putih. Karena, warna adalah gelombang elektromagnetik bukan ultrasonik. Justru karena kelelawar tidak peduli warna maka kelelawar bisa terbang bebas meski gelap gulita. Jadi, kelelawar melihat benteng-catur hitam berbeda dengan penglihatan manusia.

Asumsikan kelelawar berhasil melihat bentuk benteng-catur meski tanpa warna. Apakah kelelawar paham bahwa benteng-catur bisa dimainkan dengan aturan gerak lurus vertikal atau horisontal pada papan catur? Tidak paham. Karena kelelawar tidak pernah belajar cara main catur. Jadi, makin jelas bagi kita, bahwa benteng-catur yang dilihat kelelawar berbeda dengan yang dilihat manusia. Bahkan orang yang tidak paham permainan catur, misal bayi, melihat benteng-catur dengan pemahaman berbeda dari pecinta catur.

Lalu, bagaimana saintis melihat benteng-catur? Apakah saintis akan mengukur dimensinya? Menimbang beratnya? Memeriksa bahan-bahannya? Atau, saintis melihat benteng-catur sebagaimana pecinta catur?

Kembali tentang kelelawar, kita menduga kelelawar memiliki subyektivitas ketika melihat benteng-catur; demikian juga, setiap manusia memiliki subyektivitas yang berbeda-beda. Subyektivitas kelelawar berkembang secara alamiah dan melalui interaksi dengan alam sekitar. Sementara, subyektivitas manusia berkembang dengan cara yang lebih kaya, misal, melalui proses budaya. Bahasa berperan penting bagi perkembangan budaya.

Bahasa Gudang Budaya

Memang benar, bahasa adalah alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa adalah gudang budaya; gudang budaya yang daya tampungnya nyaris tanpa batas; gudang budaya yang mampu memproduksi budaya kreatif. Bahasa adalah enframing yang mendorong poiesis. Bahasa adalah rumah-wujud; melindungi realitas dan menghadirkan realitas.

Dengan bahasa, kita bisa memahami pemikiran Aristoteles dan Plato yang hidup sekitar 2500 tahun yang lalu. Dengan bahasa, kita bisa memahami algoritma sistematis dari Aljabar yang hidup sekitar 1000 tahun yang lalu. Dengan bahasa juga, kita bisa menyiapkan Indonesia emas 2045. Dengan bahasa, kita bisa mengarungi masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Bahasa mampu mengungkapkan realitas mau pun fiksi serta cita-cita. Dengan bahasa, kita tahu bahwa Bima adalah pahlawan pembela kebenaran dalam kisah fiksi pewayangan. Dengan bahasa, kita tahu bahwa Arjuna adalah pecinta dan dicinta oleh wanita. Dengan bahasa, kita tahu Gundala putera petir.

Dengan bahasa, kita tahu sesuatu sebagai dosa atau amal. Kita memahami sesuatu sebagai baik atau buruk dengan bahasa. Seseorang menjadi takut, misal terhadap jarum suntik atau horor, karena memikirkan sesuatu melalui bahasa. Makanan menjadi terasa nikmat ketika Anda mengatakan bahwa makanan itu enak sekali. Makanan menjadi memuakkan ketika Anda makan sambil dimaki-maki atasan dengan bahasa kotor. Bahasa mempengaruhi realitas. Bahasa menjadikan kita sebagai manusia seutuhnya, yaitu, manusia yang mampu memilih amal padahal bisa memilih dosa.

Mari kita ringkas, sampai di sini, bagaimana subyektivitas terbentuk pada mulanya.

[1] Subyektivitas manusia terbentuk melalui interaksi alamiah dan budaya. Manusia mampu berinteraksi berkat anugerah rasa peduli dan terbuka kepada dunia.

[2] Bahasa adalah rumah-realitas yang membentuk subyektivitas manusia unik; berbeda dengan subyektivitas binatang atau tumbuhan.

[3] Bahasa memungkinkan manusia menilai sesuatu sebagai baik atau buruk dan, konsekuensinya, manusia mampu bertanggung jawab sebagai manusia seutuhnya.

9.2 Di dalam Enframing

Kita bisa membedakan enframing dengan poiesis untuk memudahkan pemahaman, seperti sudah kita bahas di atas. Sejatinya, di dalam enframing ada posibilitas poiesis; dan di dalam poiesis ada posibilitas enframing.

(374) The basic idea is that enframing ‘does not carry us along but rather […] we carry it along.’ The same insight may also be applied to systems: the system does not carry us along, we carry it along.

Kita bukan selalu berada dalam sistem enframing. Tetapi, kita selalu membawa sistem enframing ke mana saja dan kapan saja.

(374) … the aligned cognition and co-ordinated action — that is, the co-understanding — of subjects may enable a shared experience of the world as a single, integrated system, a coherently organised reality.

Bukan karena realitas dunia homogen kemudian kita berpikir secara homogen. Tetapi, karena kita saling interaksi menyesuaikan diri dan, kemudian, berpikir selaras maka realitas dunia menjadi koheren seperti homogen.

(376) This is an interactive system in which ‘the individual
constantly monitors how he or she stands in the eyes of others, and experiences feelings of pride or shame accordingly.’

Dalam interaksi sistem sosial, masing-masing individu berkaca apakah dirinya sebagai orang baik atau orang buruk. Dengan rasa peduli kepada norma sosial, kesatuan kelompok terbentuk. Tanpa rasa peduli maka tidak ada ikatan sosial sama sekali.

(376) … we saw that, historically, the idea of the good has played an essential role in organising understanding, enabling intelligibility, by allowing for normative distinctions to be made between epistemically good and bad phenomena.

Ide tentang baik dan buruk memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran seseorang. Termasuk, menentukan pengetahuan baik atau buruk; logika baik atau buruk; sains baik atau buruk.

Enframing sebagai Manusia

Enframing awal kita adalah kita merasa diri kita mirip dengan ibu, bapak, dan keluarga kita. Kita adalah manusia. Selanjutnya, kita menetapkan cita: belajar menjadi manusia melalui interaksi alamiah dan budaya, meski ketika bayi, kita belum bisa mengungkapkan cita dalam bentuk bahasa.

Bayi menangis minta susu kepada ibu secara alamiah. Kita, ketika bayi, benar-benar berutang budi kepada ibu; bahkan sampai dewasa. Beberapa bulan kemudian, kita mulai merespon ibu, dan alam sekitar, berdasar interaksi. Kita merasa aman bersama ibu. Tetapi, kita merasa aneh, atau terancam, bila bertemu orang asing. Bertahap, kita mulai akrab dengan lingkungan dan orang-orang di sekitar kita.

Kita, sebagai bayi umur beberapa bulan, belum menguasai bahasa. Bagaimana pun, ibu selalu berbicara kepada kita. Bahkan, ibu sering menceritakan dongeng kepada kita. Jadi, kita sudah berinteraksi dengan bahasa ibu sebelum kita bisa bicara. Secara alamiah, bayi kita mirip dengan bayi Tarzan. Tetapi, kita sudah akrab mendengarkan bahasa ibu. Sementara, bayi Tarzan tidak mendengarkan bahasa ibu.

Selanjutnya, umumnya, ibu menunjuk diri sebagai, “Ini mama.” Bayi menirukan, “Mama.” Bapak menunjuk diri, “Ini papa.” Bayi menirukan, “Papa.” Lalu, ibu menunjuk bayi, “Ini Asma.” Bayi menirukan, “Asma.” Bayi itu mulai mengenal beberapa nama: mama, papa, dan Asma; diri sendiri. Dalam contoh ini, bayi yang bernama Asma makin berbeda dengan bayi Tarzan.

Bayi yang bernama Asma itu, misal diri kita, mulai mengenal berbagai macam obyek eksternal lengkap dengan nama-namanya. Asma, pada waktunya, bisa membedakan manusia dengan obyek-obyek alam eksternal. Dan, Asma sadar bahwa dirinya adalah manusia seperti mama dan papa. Umumnya, makin bertumbuh, Asma akan mampu menyebut dirinya sebagai “aku”; sebagai orang pertama.

Pada tahap ini, Asma sudah berhasil menciptakan enframing dirinya sebagai manusia. Bagaimana pun, sudah kita sebut di atas, setiap enframing menyimpan posibilitas poiesis.

Enframing Manusia Baik

Ketika Asma merangkak mendekat pisau, ibu langsung merangkul Asma. “Hati-hati Asma, pisau itu tajam; berbahaya. Mama tukar dengan mainan bola ini ya!?”

Asma mulai memahami konsep bahaya. Asma memahami bahwa sesuatu yang berbahaya harus dicegah.

Tentu saja, bayi Tarzan juga mendapat perlindungan dari bunda Gorila ketika ada bahaya. Bagaimana pun, bunda Gorila melindungi bayi Tarzan tanpa mengajarkan konsep bahasa tentang bahaya. Bayi Tarzan belajar melalui interaksi pengalaman. Sedangkan, bayi Asma belajar melalui tambahan bahasa dan budaya.

Singkat cerita, ibu mengajarkan Asma tentang perilaku yang baik berbeda dengan perilaku yang buruk. Asma paham bahwa dirinya perlu untuk menjadi manusia baik dan mencegah jadi manusia buruk. Asma berlatih, melalui beragam pengalaman, berperilaku sopan dan sesuai tuntunan etika. Pada tahap ini, Asma berhasil menciptakan enframing “manusia baik.”

Yang menarik, untuk menjadi “manusia baik” tidak selalu mudah. Kadang-kadang “manusia buruk” lebih menguntungkan secara “ekonomis.” Bagaimana pun, Asma sadar meski pernah berbuat buruk, dia perlu kembali untuk menjadi “manusia baik” dengan beragam koreksi. Asma, sebagai bayi yang beranjak anak remaja, mulai mengenal konsep salah, dosa, amal, tobat, komitmen, dan lain-lain. Asma remaja makin berbeda dengan Tarzan remaja.

Sampai di sini, enframing oleh manusia makin kompleks. Enframing “saya adalah manusia” memunculkan pertanyaan “siapa atau apa itu manusia?” Demikian juga, “Apa makna manusia baik?”

Seperti sudah kita bahas sebelumnya, konsep manusia dan konsep manusia-baik selalu berada di bumi; selalu dalam konteks histori; dahir dan batin. Demikian juga, konsep manusia baik selalu dalam naungan posibilitas langit; awal dan akhir. Dan, konsep manusia merupakan anugerah Tuhan untuk menjadi manusia yang terpilih.

Konsep manusia itu, misal konsep manusia yang bernama Asma, menjadi sempurna hanya ketika manusia itu mati. Konsep sempurna ini bukanlah titik akhir; tetapi titik awal yang baru.

Bukan manusia selalu berada dalam enframing; tetapi manusia selalu membawa enframing ke mana saja dan kapan saja. Enframing Asma mirip dengan enframing ibu. Bagaimana pun, selalu ada perbedaan di antara enframing mereka. Meski, Asma berusaha meniru enframing ibu, tetap saja, ada perbedaan enframing. Dengan demikian, Asma memandang dunia mirip dengan ibu memandang dunia; berbeda dengan Gonzales memandang dunia di Mexico; berbeda dengan Tarzan memandang dunia di hutan. Mereka perlu mengembangkan sikap saling respek terhadap beragam perbedaan; itulah enframing “manusia baik.” Tentu saja, kita sadar bahwa kita berada dalam dunia alamiah yang sama. Jadi, Asma, ibu, Gonzales, dan Tarzan berada dalam dunia alamiah yang sama; di antara bumi dan langit yang sama. Apakah bumi dan langit adalah realitas alamiah yang murni obyektif?

Enframing Logika

Pada tahap lebih dewasa, manusia berhasil menciptakan enframing logika sains yang merupakan akumulasi interaksi alamiah dan budaya. Beberapa pemikir berharap bahwa enframing logika bersifat murni obyektif. Apakah akan berhasil menjadi obyektif murni?

Kita mengenal enframing logika sebagai tiga prinsip logika: identitas, non-kontradiksi, dan hukum-antara.

Prinsip identitas menyatakan bahwa segala sesuatu adalah identik dengan dirinya sendiri. Asma sadar bahwa Asma adalah Asma; mama sama dengan mama; papa identik dengan dirinya sendiri yaitu papa identik dengan papa.

Prinsip non-kontradiksi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi kontradiksi. Tidak mungkin Asma adalah bukan Asma; tidak mungkin mama adalah, sekaligus, bukan mama; tidak mungkin papa sekaligus identik dengan bukan diri papa.

Prinsip hukum-antara menyatakan sesuatu pasti antara penegasan atau penolakan; tidak ada posisi tengah di antara mereka. Seseorang pasti antara Asma atau bukan-Asma. Orang yang Anda lihat itu pasti antara mama atau bukan-mama.

Enframing logika di atas sudah berkembang sejak jaman Aristoteles. Enframing logika dianggap sebagai benar dan terbukti dengan sendirinya. Bagaimana bisa dianggap benar secara apiori dan universal seperti itu?

Stoic, Neo-Platonis, Ibnu Sina, Averous, Descartes, dan sampai saintis modern menerima enframing logika sebagai kebenaran universal. Immanuel Kant (1720 – 1804) sedikit bersikap berbeda. Bagi Kant, enframing logika adalah kategori transendental pada manusia bukan realitas alam raya. Russell (1872 – 1970) kembali menekankan validitas enframing logika; ketika kita berpikir sesuai enframing logika, bukan saja kita berpikir dengan logika yang benar, tetapi, memang demikianlah realitas sebenarnya.

Poiesis memberi challenge terhadap enframing logika: identitas vs difference; non-kontradiksi vs kontradiksi; hukum-antara vs konstruksi.

Prinsip difference menyatakan bahwa realitas eksis karena ada difference (perbedaan). Difference lebih prior dari identitas; atau, identitas terbentuk sebagai konsekuensi dari difference. Anggap hanya ada 3 orang: Asma, mama, dan papa. Asma adalah totalitas perbedaan yang selain Asma; Asma adalah bukan mama dan bukan papa. Prinsip identitas bisa afirmasi diri hanya dengan dirinya sendiri. Sementara, prinsip difference hanya bisa mengafirmasi diri dengan bantuan eksistensi pihak lain; being-in-the-world; being-with-others.

Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa setiap afirmasi realitas memunculkan kontradiksi terhadap afirmasi. Realitas Asma akan menegaskan esensi Asma. Saling kontradiksi antara esensi Asma dengan realitas-eksistensi Asma. Selanjutnya, esensi berdialektika dengan eksistensi dan menghasilkan becoming-Asma. Tetapi, becoming-Asma adalah realitas-Asma dengan derajat yang lebih tinggi. Konsekuensinya, terjadi kontradiksi terus-menerus tanpa henti antara esensi dan eksistensi dalam realitas.

Prinsip konstruksi menyatakan bahwa afirmasi atau negasi hanya valid ketika kita bisa meng-konstruksi salah satunya. Pernyataan “A or (-A)” hanya bernilai benar jika kita bisa konstruksi salah satu A atau (-A), negasi A. Tanpa kemampuan konstruksi, “A or (-A)” tidak bermakna apa pun.

Sedikit contoh barangkali bisa membantu pemahaman.

A: Lampu lalu lintas itu menyala.
(-A): Lampu lalu lintas itu tidak menyala.

Jika ternyata lampu lalu lintas tidak eksis, karena sudah dicuri oleh maling misalnya, maka “A or (-A)” menjadi tidak bermakna apa-apa.

Mari kita sebut logika-konvensional adalah enframing logika terdiri dari prinsip identitas, non-kontradiksi, dan hukum-antara. Logika-alternatif adalah difference, kontradiksi, dan konstruksi. Sejatinya, kita masih bisa mengembangkan lebih banyak lagi alternatif sistem logika.

Pertanyaannya: mana yang harus dipilih antara logika-konvensional atau logika-alternatif?

Tidak ada prosedur alamiah, ilmiah, atau eksak untuk menentukan prioritas antara logika-konvensional atau logika-alternatif. Keputusan prioritas ini bisa hanya bersifat normatif atau preferensi subyektif setiap individu.

Kita bisa belajar dari paradoks Godel yang terjadi pada sistem formal matematika; sistem yang dianggap paling logis rasional. Setiap sistem formal akan bersifat tidak konsisten atau tidak lengkap. Misal, sistem tidak bisa menentukan apakah A atau (-A) yang valid.

Berdasar pengalaman, Godel memilih A sebagai valid. Tetapi, apakah selalu A yang valid? Mengapa bukan (-A)? Tidak ada jawaban pasti. Hanya saja, Godel berhasil membuktikan bahwa A konsisten dengan sistem formal yang ada. Contoh dari A adalah afirmasi terhadap continuum hypothesis. Dengan menerima afirmasi A, kita bisa membangun sistem formal menuju lebih lengkap.

Tetapi, beberapa waktu kemudian, Cohen berhasil membuktikan (-A) adalah konsisten terhadap sistem formal melalui metode “forcing.” Konsekuensinya, berdasar “forcing” Cohen, kita bebas memilih A atau (-A) dan tetap menemukan sistem formal yang konsisten pada tahap itu. Kita dihadapkan kembali kepada pilihan berdasar kebiasaan, normatif, atau preferensi pribadi.

Sampai di sini, terbukti, sistem logika tidak murni obyektif. Ada unsur kebiasaan, normatif, atau preferensi individu yang berjalin kelindan dengan enframing sistem logika. Kelak, sistem logika dan sistem matematika berkembang menjadi fondasi perkembangan sains teknologi modern sampai jaman kita sekarang ini. Tidak ada masalah serius dari enframing. Karena, ke mana pun kita melangkah, kita selalu membawa serta enframing. Perlu kita sadari bahwa dalam setiap enframing terdapat posibilitas poiesis. Anda akan memilih posibilitas poiesis yang mana? Apa pun pilihan Anda, tetap saja, Anda harus bertanggung jawab.

9.3 Solusi Enframing Sains

Enframing dalam sains, secara umum, menimbulkan banyak masalah. Apa solusi dari sains-eksistensial?

(377) In his later writings, Heidegger argued, with von Weizsäcker’s agreement, that the collective good around which the community of modern physics organises itself is enframing. We should expect, on this argument, that the social interactions of modern physicists will be such that they defer to those who promote enframing and disregard those who do not.

Heidegger sepakat dengan Weizsacker bahwa sains modern adalah enframing. Tetapi mereka beda sikap. Bagi Weizsacker enframing oleh sains adalah sebuah kebaikan dalam berpikir maju. Di sisi lain, Heidegger tidak percaya enframing oleh sains akan membawa kebaikan kemajuan. Heidegger lebih mendukung sains yang berteman dengan poiesis; terbuka dengan keragaman berpikir.

(378) Hence, co-affectivity grounds the normativity of a practice, and co-understanding grounds the intelligibility, or order, of that practice.

Paran, atau final-cause, adalah dasar bagi saling pengaruh dan saling memahami. Pada gilirannya, menjadi dasar dari keragaman praktek yang tampaknya acak. Tanpa paran, praktek sains yang acak akan tetap acak tanpa bentuk dan tanpa makna. Dengan paran, praktek sains yang acak bisa membentuk suatu pola untuk mencapai tujuan akhir yang progresif.

(379) Hence, subjectivity continues to circulate, tacitly and obscurely, in these practice-based accounts of science, while inquisitive scholars are denied the critical tools by which to address, analyse, and understand its role. To pinch a phrase from Charles Baudelaire, under such circumstances, the scientist — including the social scientist — becomes ‘a prince who everywhere rejoices in his incognito.’

Tema subyektivitas subyek ditolak oleh para sainstis yang meyakini bahwa praktek sains adalah penjelas atas semua sains. Tetapi, subyektivitas tetap mengalir dalam setiap kajian sains. Hanya saja, mereka menyembunyikan subyektivitas tanpa kajian kritis. Saintis bagai seorang pangeran incognito. Apa untungnya?

(380) With the suppression of subjectivity, co-affectivity seems to have been buried more deeply than co-understanding, perhaps because we are taught that feelings are more private than thoughts.

Penolakan terhadap subyektivitas mengakibatkan co-affectivity (saling-pengaruh) terkubur lebih dalam dari saling-memahami. Saintis bisa merasa bebas konstruksi teori apa saja tanpa tanggung jawab sosial, tanpa tanggung jawab alam raya, dan tanpa tanggung jawab individual. Mereka merasa terbebas dari seluruh batasan konteks histori. Realitasnya, mereka tetap dalam batasan konteks histori.

Sekali lagi, batasan konteks histori tidak bermakna sebagai menghilangkan freedom; tetapi bermakna sebagai modal bagi freedom itu sendiri.

Solusi dari dalam Sains

Enframing sains menimbulkan banyak masalah yang rumit. Dari dalam sains muncul beragam solusi: mekanika quantum; teori relativitas; konstruksi set Godel; forcing Cohen; sistem informasi; artificial intelligence; dan lain-lain. Sejauh mana solusi dari dalam sains ini efektif?

Makin jauh kita mengkaji sains maka makin dekat kita ke titik ideal Galilean First Thing. Seperti sudah kita bahas di atas, titik ideal selalu melawan terhadap enframing logika rasional yang ketat. Mekanika quantum menghadapi ketidak-pastian Heisenberg sampai ke variasi tak tentu dari benang-kusut string. Teori relativitas menghadapi medan gravitasi yang memenuhi alam raya tanpa bisa diikat maupun dideteksi secara presisi. Setiap aksioma berkonsekuensi paradoks tidak konsisten atau tidak lengkap dari Godel. Forcing Cohen menunjukkan bahwa pengamat bisa memaksa sistem agar konsisten sesuai preferensi pribadi. Sistem informasi bisa berputar tanpa henti sesuai mesin Turing. AI (artificial intelligence) seakan bisa berpikir cerdas padahal AI tidak pernah mengerti.

Jadi, sains memberi solusi poiesis dari dalam enframing sains itu sendiri.

Problem muncul ketika komunitas sains hanya mengkaji sains normal; menerima hukum Newton; mengkaji konsekuensi teoritis hukum Newton; menerapkan hukum Newton dalam berbagai kepentingan. Saintis yang membatasi dalam sains normal akan terjebak dalam enframing sains. Perspektif filsafat sains bisa membantu menemukan solusi dalam situasi seperti ini.

Untungnya, saintis adalah manusia seutuhnya. Meski mereka terkurung dalam enframing, hati nurani mereka tetap memunculkan bisikan-bisikan otentik: moral, etika, spiritual, agama, dan lain-lain. Bisikan otentik ini akan mengajak saintis untuk mendobrak enframing dengan kekuatan poiesis.

Jadi, solusi dari dalam sains akan efektif jika saintis bergerak mengejar kajian titik ideal Galilean First Thing yang merupakan manifestasi Nama Tuhan Maha Awal. Solusi lebih efektif lagi ketika saintis terbuka dengan bisikan otentik suara hati. Sehingga terjadi diferensiasi Nama-Nama Tuhan.

Fiksi dan Cita Sains

Fiksi bisa menjadi inspirasi bagi sains. Kita mengenal beragam fiksi sains yang menarik. Di sisi lain, cita sains lebih konkret menjadi solusi futuristik bagi sains. Bagaimana kita bisa mengembangkan fiksi dan cita sebagai solusi sains yang efektif?

Fiksi dan cita secara efektif mampu membuka posibilitas sains; membuka enframing sains menjadi poiesis; kreativitas sains menjadi futuristik. Karena fiksi dan cita memang berbeda dengan sains (difference); fiksi dan cita membedakan diri dengan sains (diferensiasi).

Salah satu cara paling mudah adalah saintis mengambil inspirasi dari beragam karya seni yang memang poiesis. Sains mengalun harmoni bagai melodi; sains menjadi indah bagai lukisan; sains menjadi menyentuh hati bagai puisi. Cara yang lain adalah saintis mengambil inspirasi dari histori dan filosofi. Histori bertabur cita umat manusia sepanjang masa. Filosofi mengajak saintis berpikir kreatif kritis menembus setiap cakrawala. Cara alternatif lain, barangkali paling penting, saintis perlu mengkaji kitab suci dan ajaran agama ilahi.

Sains Kebebasan

Enframing sains bukan penjara; tetapi sasana. Sains adalah modal untuk meraih kebebasan dan untuk saling membebaskan. Apakah sains akan berhasil menjadi freedom?

Indikator paling dasar bagi saintis adalah perlu menjaga sains agar menjadi sumber freedom. Sains adalah bebas dan membebaskan. Sains membebaskan umat manusia dari kebodohan; membebaskan dari himpitan alam; membebaskan dari beban berlebihan. Sungguh ironi bila sains berperan sebaliknya; menjadikan saintis bodoh dengan kaca mata kuda; menjadikan masyarakat tertindas oleh kelangkaan sumber daya; menjadikan masyarakat pusing akibat beban berlebih. Hindari penjara sains dan jadikan sains sebagai sasana untuk meraih kebebasan bersama. Tanggung jawab ada di tangan umat manusia.

10. Rekayasa Realitas

Di bagian akhir ini, kita akan menegaskan kembali peran penting rekayasa realitas.

[1] Manusia me-rekayasa realitas melalui teknologi dan di-rekayasa oleh teknologi.

Kita sadar bahwa teknologi adalah rekayasa. Manusia rekayasa alam semesta memanfaatkan teknologi. Dan, teknologi itu sendiri adalah hasil dari rekayasa.

Putaran selanjutnya sering dilewatkan: teknologi me-rekayasa manusia. Teknologi operasi plastik me-rekayasa wajah manusia. Teknologi rekayasa genetika me-rekayasa bakat bayi yang akan dilahirkan. Teknologi senjata pemusnah massal me-rekayasa manusia untuk menghancurkan lawan.

Baik manusia me-rekayasa atau di-rekayasa teknologi, tetap saja, manusia adalah subyek yang bertanggung jawab.

[2] Manusia me-rekayasa realitas melalui sains dan di-rekayasa oleh sains.

Sains dianggap sebagai usaha untuk mengungkap realitas obyektif apa adanya. Lebih dari itu, sains juga mengkonstruksi realitas obyektif apa adanya.

Teori relativitas Einstein adalah hasil rekayasa dari teori Newton dan Maxwell; hasil rekayasa dari teori Aljabar; hasil rekayasa dari Pythagoras; hasil rekayasa dari pemikir-pemikir terdahulu.

Pada gilirannya, manusia di-rekayasa oleh sains itu sendiri. Dan, tetap saja, manusia adalah subyek yang harus bertanggung jawab.

[3] Manusia bertanggung jawab atas setiap rekayasa.

Problem dari manusia adalah mereka harus tanggung jawab sebagai subyek. Problem ini yang menjadikan manusia sebagai manusia sejati.

Manusia yang peduli, sehingga bertanggung jawab terhadap setiap rekayasa, bergerak mengembangkan sikap otentik. Sikap peduli ini memunculkan rasa gelisah: bagaimana masa depan semesta, masa depan umat manusia, masa depan saya, dan seluruh masa depan terkait rekayasa realitas?

Tentu saja, seseorang bisa memilih menutup mata, menutup telinga, dan menutup hati. Sehingga, dia tidak peduli. Dia hanya perlu menjalankan tugas dengan baik. Semua urusan beres. Orang semacam ini menghindar dari jalur manusia otentik dan memilih menjadi manusia banal.

Tetapi, Anda terlanjur membaca tulisan ini; Anda terlanjur punya rasa peduli; Anda terlanjur terbersit punya tanggung jawab. Masa depan apa yang Anda pilih untuk menjadi manusia bermakna?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui
  2. avatar Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
  3. avatar Paman APiQ

4 Comments

Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan ke Wijaya Kusumah Batalkan balasan