Problem Deduksi vs Problem Induksi

Metode berpikir deduksi dan induksi membantu kita lebih mudah untuk mengambil kesimpulan. Deduksi, kita mulai dari prinsip umum kemudian menarik kesimpulan khusus. “Setiap sapi yang sehat maka berkaki empat.” Dan, “Siputih adalah sapi yang sehat.” Kesimpulan, melalui deduksi, “Siputih berkaki empat.” Deduksi adalah valid.

Sedangkan berpikir induksi bergerak pada arah sebaliknya; dari beberapa pengamatan khusus, kemudian, menarik kesimpulan yang bersifat umum. “Kita melihat 5 sapi yang sehat, semua sapi, masing-masing berkaki empat.” Kesimpulan, berdasar induksi, “Setiap sapi yang sehat maka berkaki empat.”

Saya sudah membahas metode berpikir deduksi dan induksi dalam buku saya “Logika Futuristik.” Silakan merujuk ke buku saya bila diperlukan. Dalam tulisan kali ini, kita akan fokus terhadap problem deduksi dan problem induksi saja.

1. Problem Induksi Hume
2. Problem Deduksi
3. Solusi Falsifikasi Popper
4. Solusi Interpretasi Kuhn
5. Solusi Populasi Statistik

David Hume (1711 -1776) mengajukan problem induksi dan tidak ada solusi tuntas sampai saat ini. Kita akan mengajukan beberapa solusi dalam tulisan ini. Francis Bacon (1561 – 1626), sekitar 100 tahun lebih awal dari Hume, menolak metode deduksi dan menggantinya dengan metode induksi untuk mengembangkan pengetahuan. Apa problem dari deduksi? Kita akan membahasnya plus mengajukan beberapa solusi.

1. Problem Induksi Hume

Menurut Hume, induksi tidak bisa dijustifikasi secara rasional. Justifikasi induksi hanya bersifat probabilitas, psikologis, moral, pragmatis, spiritual, dan lain-lain. Problem justifikasi rasional logis terhadap induksi ini dikenal sebagai problem induksi dari Hume.

Ketika kita sudah melihat “5 sapi sehat, masing-masing berkaki empat” maka “apakah sapi sehat ke 6 juga berkaki empat?”

Tidak ada jaminan bahwa sapi-6 akan berkaki empat. Mungkin saja sapi-6 berkaki empat; tapi bisa jadi sapi-6 tidak berkaki empat. Tidak ada kontradiksi logis dari dua alternatif di atas; masing-masing dari kedua alternatif adalah logis. Sehingga, berpikir induktif terhadap sapi-6 akan selalu problematis secara rasional logis; itulah problem induksi.

2. Problem Deduksi

Kita bisa mengajukan beberapa problem deduksi.

“Setiap sapi sehat maka berkaki empat.”
“Siputih adalah sapi sehat.”

Kesimpulan,
“Siputih adalah berkaki empat.”

[1] Problem Realitas Univesal

Bagaimana kita bisa meyakini klaim,”Setiap sapi sehat berkaki empat?” Karena selalu ada “sapi sehat” yang luput dari pengamatan; misal sapi sehat yang hidup 500 tahun di masa lalu atau di masa depan. Jadi, realitas universal tidak pernah bisa tuntas untuk diamati.

[2] Problem Apriori Aksioma

Kita bisa membuat definisi “sapi sehat adalah sapi yang berkaki empat” secara aksiomatik. Kita menghadapi problem, “Mengapa definisi seperti itu?” Tersedia alternatif definisi sapi sehat misal sapi yang beratnya lebih dari 200 kg; terlepas dari jumlah kaki yang mereka miliki.

[3] Problem Konsekuensi

Asumsikan “semua sapi sehat berkaki empat” berhasil diamati secara tuntas sampai saat ini. Bagaimana konsekuensi masa depan? Apakah sapi sehat di masa depan tetap berkaki empat? Kita tidak yakin dengan situasi masa depan; akibatnya, kita tidak berhasil memastikan klaim universal.

3. Solusi Falsifikasi Popper

Karl Popper (1902 – 1994) memberi solusi kepada problem induksi berupa falsifikasi. Popper setuju dengan Hume bahwa induksi memiliki problem yang tidak bisa diatasi. Kemudian, Popper menolak induksi sepenuhnya; kita tidak butuh induksi. Kita bisa menerapkan falsifikasi yang berupa metode deduksi.

Karena falsifikasi adalah metode deduksi maka falsifikasi menghadapi problem deduksi seperti kita sebut di atas.

Mari kita ambil contoh konkret apel jatuh bebas berdasar hukum Newton.

[a] Secara deduksi, dari hukum Newton, kecepatan apel adalah percepatan gravitasi kali waktu.

[b] Secara deduksi, akan teramati bahwa kecepatan apel pada t = 0 adalah 0; pada t = 1 adalah 10; pada t = 2 adalah 20.

[c] Dilakukan pengamatan empiris. Hasil pengamatan mungkin saja [c1] sesuai deduksi di atas; kesimpulannya, hukum Newton terkoroborasi makin kuat; atau hasil pengamatan [c2] tidak sesuai dengan deduksi di atas; kesimpulannya, hukum Newton runtuh terfalsifikasi berdasar deduksi.

Kita menghadapi problem deduksi dari falsifikasi di atas. [1] apakah hukum Newton berlaku universal? Tidak. Hukum Newton tidak berlaku untuk quantum mau pun relativitas; [2] mengapa memilih hukum Newton sebagai titik awal? sebagai aksioma apriori? Tersedia alternatif aksioma atau postulat misal mekanika Aristoteles atau mekanika relativitas Einstein; [3] apakah hukum Newton tetap konsisten di masa depan? Tidak ada jaminan. Bahkan, ketika hukum Newton sudah terkoroborasi, tetapi di masa depan, bisa saja runtuh terfalsifikasi. Kita perlu mempertimbangkan solusi interpretasi.

4. Solusi Interpretasi Kuhn

Klaim deduksi menghadapi problem yang tidak bisa diatasi. Kita bisa mengajukan solusi berupa interpretasi.

Makna-deduksi adalah sebuah interpretasi. Deduksi adalah sebuah interpretasi di antara beragam interpretasi lain yang sama kuat atau sama lemahnya.

Thomas Kuhn (1922 – 1996) mengenalkan konsep pergeseran paradigma. Ketika kita mengamati suatu fenomena maka kita memahami dan menafsirkan fenomena berdasar paradigma tertentu. Jika kita menggeser paradigma, mengganti dengan paradigma yang beda, maka kita akan mendapat pemahaman dan interpretasi yang berbeda. Perbedaan ini adalah perbedaan yang revolusioner. Sementara, proses terbentuknya suatu paradigma berupa evolusi kompleks.

Interpretasi adalah bebas. Konsekuensinya, terdapat keragaman interpretasi; mereka perlu saling respek. Karena makna-deduksi adalah sebentuk interpretasi maka akan terdapat keragaman deduksi; kita perlu saling respek. Tentu saja, induksi juga merupakan suatu interpretasi.

Mari kita ambil beberapa contoh pergeseran paradigma.

[1] Revolusi Copernicus

Sejak jaman Aristoteles, masyarakat meyakini paradigma geosentris; bumi adalah pusat alam semesta; rembulan, matahari, planet, dan bintang-bintang bergerak mengitari bumi. Ptolemy (100 -170) mengembangkan sistem astronomis yang akurat berdasar geosentris; mereka bisa menentukan kapan gerhana, musim hujan, musim panas, dan lain-lain.

Copernicus (1473 – 1543) adalah astronomer yang mengkaji Ptolemy (dan Aristo). Copernicus menemukan beberapa kesulitan untuk menentukan pergerakan venus. Untuk menyelesaikan kesulitan itu, kita membutuhkan formula adhoc. Makin lama makin banyak kesulitan dan bertambah formula adhoc. Tetapi, kesulitan-kesulitan itu bisa diatasi dengan menerima paradigma heliosentris, matahari sebagai pusat; bumi dan planet-planet lain berputar mengelilingi matahari.

Heliosentris, paradigma Copernicus, menggeser paradigma lama geosentris yang sudah diterima lebih dari 1500 tahun. Tentu saja, penolakan terhadap heliosentris terjadi di beberapa tempat.

Galileo (1564 – 1642) mengembangkan teknologi teleskop. Galileo percaya dengan heliosentris dan berhasil mengamati, dengan bantuan teleskop, ada satelit yang mengitari planet Yupiter; ada benda langit yang tidak mengitari bumi. Konsekuensinya, paradigma geosentris bisa ditolak dan makin yakin terhadap heliosentris. Bagaimana pun, penolakan terhadap heliosentris masih terjadi di banyak tempat.

Newton (1643 – 1727) berhasil membuktikan heliosentris berdasar analisis matematika, hukum mekanika klasik, dan data astronomis yang tersedia. Secara umum, paradigma heliosentris berhasil menggantikan paradigma geosentris, terhitung, sejak era Newton dan berlaku sampai hari ini.

Pergeseran paradigma heliosentris ini bersifat revolusioner besar-besaran. Pergeseran paradigma bisa saja bersifat lokal, terbatas, meski tetap revolusioner; misal penemuan sel Volta.

[2] Revolusi Volta

Sejak ribuan tahun yang lalu, umat manusia mengenali fenomena listrik pada petir. Energi petir yang sangat besar menyulitkan ilmuwan untuk bisa mengkaji fenomena listrik. Kemudian, ilmuwan berhasil menemukan fenomena listrik pada binatang-binatang tertentu. Binatang-binatang itu bisa menyengat dengan kekuatan listriknya.

Ratusan tahun waktu berlalu, para ilmuwan mengkaji fenomena listrik pada binatang. Tetapi, hanya terjadi sedikit kemajuan.

Galvani (1737 – 1798) berhasil membuat eksperimen listrik dengan menggunakan kaki katak. Eksperimen ini merupakan kemajuan besar karena katak mudah diperoleh sehingga ilmuwan lebih mudah untuk eksperimen.

Volta (1745 – 1827) melangkah lebih jauh dengan menggeser paradigma; meski kaki katak adalah bagian dari hewan hidup tetapi bukan hewan hidup itu yang menghasilkan fenomena listrik. Volta yakin bahwa fenomena listrik dihasilkan oleh materi, fisik atau kimiawi. Dengan paradigma baru itu, Volta melakukan beragam eksperimen listrik tanpa melibatkan binatang.

Singkat cerita, Volta berhasil memunculkan fenomena listrik melalui reaksi kimia tanpa melibatkan binatang. Kelak, kita mengenal eksperimen Volta dengan sebutan sel Volta yang menjadi cikal bakal teknologi batere sebagai sumber listrik.

Volta berhasil menggeser paradigma secara revolusioner yang bersifat lokal; sementara revolusi Copernicus bersifat besar-besaran.

[3] Revolusi Quantum

Umumnya, revolusi quantum bermula pada tahun 1900 ketika Planck mengenalkan konsep energi quantum sebagai satuan energi diskrit terkecil. Paradigma mekanika klasik Newton berasumsi bahwa besaran energi bersifat kontinyu; sehingga, besaran energi adalah bisa sangat kecil mendekati 0. Asumsi kontinyu seperti itu menyebabkan anomali pada radiasi benda hitam tanpa ada solusi. Planck mengusulkan pergeseran paradigma menjadi energi bersifat diskrit, berupa quantum, dan berhasil menyelesaikan anomali.

Pada tahun 1905, Einstein mengusulkan paradigma quantum yang diskrit untuk menyelesaikan anomali efek fotolistrik. Hanya saja, Einstein meyakini sifat diskrit adalah sifat dari obyek itu sendiri yaitu energi. Sementara, Planck meyakini sifat diskrit adalah metode menghitung saja; sedangkan obyek energi tetap kontinyu. Pada tahun 1908, Planck setuju bahwa obyek energi memang bersifat diskrit. Atas pertimbangan ini, Kuhn menilai revolusi quantum bermula pada 1905 oleh Einstein; pandangan umum menyatakan revolusi quantum bermula 1900 oleh Planck.

Revolusi quantum, di atas, bersifat lokal. Tetapi, quantum makin berkembang dan memunculkan lebih banyak revolusi. Bohr mengusulkan kulit atom bersifat diskrit; Schrodinger mengusulkan gelombang quantum sehingga realitas bersifat probabilistik dan superposisi semisal kucing Schrodiger; Heisenberg mengusulkan ketidakpastian quantum secara inheren. Sampai tahap ini, revolusi quantum bersifat besar-besaran.

Kita masih bisa menambahkan revolusi quantum lebih banyak: pelanggaran ineq Bell yang menolak local-hidden-variable dari EPR; sukses eksperimen dari ineq Bell; pengembangan komputer quantum; sukses observasi Higgs Boson; dan lain-lain.

Dari beberapa contoh di atas, terlihat, pergeseran paradigma berkonsekuensi pada perubahan interpretasi dan perubahan deduksi. Pada gilirannya, berkonsekuensi pada perubahan dunia itu sendiri.

Kita perlu respek terhadap keragaman interpretasi ini. Geosentris bernilai tinggi pada konteks historinya; eksperimen listrik pada binatang bernilai tinggi pada konteks historinya; besaran energi sebagai kontinyu juga bernilai tinggi pada konteks historinya. Sampai sekarang, tetap terbuka posibilitas untuk mengembangkan paradigma-paradigma baru atau merevisi paradigma yang pernah ada.

Berpikir secara induksi dan deduksi selalu berkaitan dengan paradigma tertentu dan konteks histori tertentu.

5. Solusi Populasi Statistik

Solusi populasi adalah menerapkan metode induksi dari sample terbatas meluas ke populasi terbatas. Pendekatan ini sudah banyak diterapkan dalam probabilitas dan statistik. Solusi populasi valid karena berupa solusi kompleks yang melibatkan margin error dan derajat keyakinan.

Quick count hanya menghitung 2 ribu TPS yang terbatas; kemudian, melakukan induksi terhadap 800 ribu TPS se-Indonesia; terbukti valid. Dalam kehidupan sehari-hari, koki masak soto 1 panci; kemudian, koki mencicipi sepucuk sendok untuk mengetahui tingkat asin; selanjutnya, melakukan induksi untuk 1 panci soto; terbukti valid.

Catatan Penutup

Deduksi mau pun induksi memiliki keunggulan dan problem masing-masing. Kita membutuhkan keduanya; deduksi dan induksi. Di saat yang sama, kita perlu sadar bahwa semua solusi tetap terbuka terhadap suatu kelemahan. Karena itu, kita perlu terus berpikir terbuka; baik menerapkan deduksi mau pun induksi. Sebagai manusia, kita bertanggung secara moral terhadap semua sikap yag kita pilih. Jadi, problem induksi dan problem deduksi adalah problem manusiawi.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar