Wacana Lanjutan

Visi Futuristik mengajak kita untuk lebih banyak mengembangkan wacana lanjutan. Saya mencatat tiga wacana lanjutan paling penting. (1) Kontribusi-kontribusi penting dari Filosofi Visi karya Suhrawardi; (2) Komparasi pemikiran-pemikiran Filosofi Visi dengan pemikir-pemikir lain; dan (3) Prospek pengembangan masa depan.

1. Kontribusi
1.1 Sains Huduri
1.2 Simbolisme Cahaya
1.3 Simplifikasi Logika
2. Komparasi
2.1 Kritik Metafisika Ghazali
2.2 Wujud Ibnu Arabi
2.3 Mir Damad dan Sadra
2.4 Kritik Karl Popper
2.5 Idealisme Plato
2.6 Historisisme Hegel
2.7 Void Zizek
2.8 Disjungtif McDowell
3. Prospek
3.1 Masa Depan Cemerlang
3.2 Sains Teknologi Bersahabat
3.3 Dialog Ekplanasi Deskripsi

Di antara kontribusi penting adalah: sains huduri, simbolisme ontologi cahaya, dan simplifikasi logika. Untuk komparasi, kita bisa menyandingkan dengan pemikiran Ibnu Arabi, Sadra, Hegel, Popper, dan McDowell. Komparasi dengan McDowell menjadi sangat menarik karena McDowell mengembangkan disjungtif epistemologis di akhir abad 20. Untuk prospek masa depan, kita mengajukan pertanyaan: apa peran Filosofi Visi bagi kemajuan masa depan?

1. Kontribusi

1.1 Sains Huduri

Sedikitnya, kita mencatat tiga kontribusi utama dari Filosofi Visi. Pertama, sains huduri; setiap pengetahuan adalah bersifat huduri pada analisis akhir; pengetahuan adalah realitas konkret; kita mengalami realitas pengetahuan secara langsung. Meski demikian, pengetahuan dapat tampil dengan mode ilmu huduri atau, sebaliknya, mode husuli. Sebagian besar sains modern tampil dalam mode ilmu husuli.

Sains huduri menjamin pengetahuan sains sebagai pengetahuan yang sah berupa realitas konkret. Di sisi lain, sains huduri berkembang sesuai kapasitas intelektual manusia yang bebas dan membutuhkan dukungan cahaya ilmu yang lebih tinggi; bersumber dari Cahaya Maha Cahaya. Dengan kata lain, sains huduri mencegah sains banal dan mendukung sains otentik.

1.2 Simbolisme Cahaya

Kedua, kontribusi penting berupa bahasa metafora; bahasa kaya akan simbol-simbol makna; dan terutama bahasa perlambang dalam ontologi cahaya. Alam semesta menjadi terang oleh cahaya; sementara, cahaya sudah terang dalam dirinya sendiri. Lebih jauh, ontologi cahaya adalah cahaya batin, cahaya abstrak, atau cahaya incorporeal.

1.3 Simplifikasi Logika

Ketiga, kontribusi sangat penting adalah penyederhanaan logika. Di satu sisi, logika sederhana mencegah kita dari falasi logika. Di sisi lain, kita bisa lebih fokus membahas problem fundamental dari logika itu sendiri.

2. Komparasi

Saya sudah membahas beberapa komparasi pemikiran Suhrawardi dalam buku Logika Futuristik. Berikut, kita akan membahas ulang dan menambahkan komparasi dengan Zizek dan McDowell. Zizek menjadi penting kita bahas karena meyakini hakikat akhir adalah “nothing” atau void atau hampa. Zizek mengacu kepada Hegel, Freud, dan Lacan. Sementara, McDowell sangat penting karena mengembangkan konsep pengetahuan langsung, direct knowledge, dalam kerangka epistemologi yang bersifat disjungtif, yang tampak selaras dengan sains huduri.

2.1  Kritik Metafisika Ghazali

Al Ghazali (1058 – 1111) telah melancarkan kritik keras terhadap filsafat (dan logika) klasik, kira-kira satu abad lebih awal dari Suhrawardi. Serangan Ghazali ini mengarah kepada Ibnu Sina (tokoh Peripatetik Muslim) sampai ke Aristoteles.

Kritik Ghazali, singkatnya, dengan menggunakan logika klasik yang sama seperti para filosof, kita bisa meruntuhkan semua bangunan metafisika sistem filsafat. Semua teori filsafat, terbukti, tidak konsisten. Karena itu, kita perlu menolak semua teori filsafat – termasuk logika klasik. Meski Ibnu Rusyd (1126 – 1198) menyerang balik Ghazali dan membela logika klasik Ibnu Sina, tampaknya, serangan Ghazali tetap berdampak lebih signifikan.

Setelah bangunan filsafat klasik runtuh, tentu saja, Ghazali memberi jalan keluar. Sayangnya, solusi Ghazali ini bukan solusi filosofis. Ghazali menunjukkan jalan kebenaran yang lebih valid adalah jalan sufi – mistisisme Islam. Sementara, filsafat dibiarkan begitu saja tersisa puing-puing belaka.

Dalam kaca mata modern, kritik Ghazali ini mirip dengan proyek “destruksi metafisika” oleh Heidegger (1889 – 1976). Setelah Heidegger berhasil meruntuhkan metafisika, dia tidak berhasil membangun sistem baru yang sebanding. Meski pun, Heidegger mengembangkan ontologi-dasein, tampaknya, hal ini tidak setara dengan sistem metafisika.

Derrida (1930 – 2004), murid Heidegger, mengganti proyek destruksi menjadi “dekonstruksi-metafisika”. Menurut Derrida, proyek destruksi terlalu sulit karena ada tanggung jawab untuk membangun sistem yang baru setelah runtuhnya metafisika. Sementara, proyek dekonstruksi lebih ringan. Kita hanya perlu menemukan lubang-lubang dan cacat-cacat dari suatu sistem pemikiran, untuk kemudian, dikritik sampai hancur. Sedangkan konstruksi utama tetap dibiarkan seperti sedia kala.

Kritik keras Suhrawardi terhadap logika klasik (Aristetoles – Peripatetik), menurut saya, lebih mirip dengan proyek dekonstruksi dari pada destruksi.

2.2 Wujud Ibnu Arabi

Ibnu Arabi (1165 – 1230) hidup sejaman dengan Suhrawardi. Mereka membangun sistem pemikiran yang selaras secara independen. Kita tidak menemukan bukti tertulis bahwa Ibnu Arabi saling mengenal dengan Suhrawardi. Tetapi, keduanya, tampak sama-sama terpengaruh oleh pemikiran Ghazali; baik mengkritisi atau melanjutkan.

Ibnu Arabi menulis sampai ratusan buku dengan kajian yang mendalam dan luas. Dua maha karya paling sering dikaji adalah (1) Fusus Hikam atau Gembok Kebijaksanaan sering disebut sebagai Fusus; hanya terdiri sekitar 100 sampai 200 halaman; dan (2) Futuhat Makkiyah atau Pembukaan Kota Mekah sering disebut Futuhat; terdiri sekitar 12000 halaman.

Dalam Fusus, Ibnu Arabi menggunakan bahasa metaforis dengan kreatif, padat, dan mendalam; Fusus mengisahkan 27 para Nabi dengan makna paradoks. Misal Nabi Adam adalah manusia mikrokosmos; sebagaimana kita semua adalah manusia mikrokosmos. Manusia adalah realitas paling rendah sekaligus paling tinggi. Manusia adalah paling rendah karena manusia berkhidmat, melayani dan membantu, seluruh alam semesta. Manusia adalah paling tinggi karena hanya manusia yang bisa terbang tinggi menjadi anggota kerajaan ilahi.

Tuhan adalah Al Haqq, Maha Benar, The Real, Cahaya Maha Cahaya; dalam dirinya, Tuhan adalah tersembunyi dari manusia atau apa pun; tetapi, Tuhan adalah yang paling jelas, Maha Dahir, di seluruh semesta. Realitas alam semesta adalah tajali, atau manifestasi, dari wujud Tuhan. Realitas, sebagai tajali, menunjukkan eksistensi Tuhan sekaligus menyembunyikannya. Kita akan menemukan banyak paradoks semacam itu dalam pembahasan Ibnu Arabi yang mengalun harmonis.

Bagian akhir Fusus membahas Nabi Muhammad yaitu puncak hikmah paling unik konkret. Hanya ada satu mukjizat Nabi paling utama yaitu kitab suci Al Quran. Karena hanya fokus kepada satu hal, yaitu kitab suci, maka mukjizat ini bernilai paling tinggi dan menjadi sumber inspirasi sepanjang masa. Kita dan generasi masa depan selalu bisa mereguk inspirasi bening dari kitab suci; tak pernah lekang oleh waktu.

Ibnu Arabi menambahkan bahwa yang paling dicintai di dunia ini oleh Nabi adalah: wanita, parfum, dan doa. Di sini, Ibnu Arabi piawai eksplorasi bahasa metaforis. Kita mencintai wanita karena wanita memang cantik secara fisik mau pun hatinya. Jadi, kita memang tertarik kepada kesenangan materi fisik. Parfum adalah materi fisik yang aromanya begitu mempesona; meski aroma tidak bisa dilihat oleh mata. Jadi, kita memang terpesona oleh materi tetapi lebih terpesona oleh aroma yang tak tampak oleh mata. Terakhir, kita bahagia dalam doa; di mana, doa adalah kata-kata yang mengantarkan makna spiritual tertinggi.

Futuhat, yang terdiri sekitar 12000 halaman, memberi ruang yang luas bagi Ibnu Arabi. Bahasa metafora bertebaran di banyak tempat. Ibnu Arabi membahas beragam konsep dari banyak sudut pandang: agama, filsafat, sains, hermeneutik, kisah, dan lain-lain. Meski, kadang-kadang, Ibnu Arabi mengkritik beberapa pemikir masa lalu tetapi hanya sepintas. Justru, Ibnu Arabi mengajukan pertanyaan mengapa para pemikir itu sering mengkritik pemikir terdahulu? Tetapi, mengapa para Nabi dan wali justru menguatkan para Nabi terdahulu? Para pemikir terlalu fokus terhadap konsep logika abstrak. Sementara, para Nabi fokus kepada hikmah. Ibnu Arabi lebih memilih jalan para Nabi.

Jadi, bagaimana komparasi Ibnu Arabi dengan Suhrawardi? Saya menemukan keselarasan antara Ibnu Arabi dan Suhrawardi.

Pembahasan Suhrawardi lebih kuat aspek filosofis; sementara, Ibnu Arabi lebih kuat aspek hikmah. Bagaimana pun, mereka sama-sama membahas hikmah dan filosofi.

Pembahasan oleh Suhrawardi lebih ringkas; sementara, Ibnu Arabi bervariasi dari sangat ringkas sampai sangat panjang. Barangkali hal ini berkaitan dengan usia hidup mereka. Suhrawardi hidup sampai usia 30an tahun; sedangkan, Ibnu Arabi sampai 70an tahun.

Konsekuensi logis berikutnya adalah Suhrawardi dominan dalam pencerahan intelektual dan spritual; sedangkan Ibnu Arabi lebih lengkap dari pencerahan intelektual spiritual sampai arahan praktis dan petunjuk etika sehari-hari.

Sedikit tambahan tentang penggunaan bahasa: Suhrawardi bisa dianggap sebagai esensialis sehingga dikritik keras oleh eksistensialis; sedangkan Ibnu Arabi bisa dibaca sebagai esensialis mau pun eksistensialis; meskipun, umumnya, Ibnu Arabi dianggap sebagai eksistensialis.

2.3 Mir Damad dan Sadra

Generasi pasca-Suhrawardi memberikan beragam komentar dan kritik terhadap karya Suhrawardi. Secara umum, dari Shahrazuri (1288) sampai Mir Damad (1561 – 1631), kritik bersifat konstruktif. Shahrazuri memberikan berbagai macam penjelasan lebih detil tentang “definisi” versi logika visi-iluminasi. Mir Damad memberikan penjelasan bagaimana antara yang “tunggal” bisa meliputi yang “jamak” penuh keragaman.

Mulla Sadra (1571 – 1635) muda sepakat dengan gurunya, Mir Damad, sepenuhnya sejalan dengan Suhrawardi. Pada masa dewasa, Sadra berbeda pandangan secara filosofis dengan Suhrawardi. Bagi Sadra, eksistensi lebih utama dari esensi. Sementara bagi Suhrawardi, esensi lebih utama dari eksistensi. Meski demikian, dalam sistem logika, Sadra selaras dengan logika Suhrawardi.

Sadra menambahkan konsep ambiguitas-eksistensi atau tasykik-wujud. Sebagai realitas fundamental, wujud adalah tunggal dan, sekaligus, beragam. Identitas wujud adalah keragaman dan keragaman wujud adalah identik.

Inovasi lanjutan dari Sadra adalah gerak-substansial, harakah jauhariah. Di mana gerak, atau proses perubahan, terjadi pada sisi substansi bukan hanya pada aspek aksidental belaka. Bahkan gerak-aksidental, pada analisis akhir, adalah dampak dari gerak-substansial. Dengan konsep yang canggih dari Sadra ini, maka, logika visi-iluminasi makin kokoh penuh dinamika.

Sangat disayangkan, sistem filsafat yang canggih dari Suhrawardi dan Sadra ini hanya sedikit dikaji di Barat. Sehingga, kita belum bisa melihat dengan tegas bagaimana respon cendekiawan Barat. Di bagian berikut ini, saya akan mencoba menerapkan kritik pemikir Barat kepada sistem filsafat dan logika Suhrawardi, tentu, secara tidak langsung.

2.4 Kritik Karl Popper

Karl Popper (1902 – 1994) adalah filosof sains paling disegani di masanya – atau sepanjang masa. Popper menolak pendekatan “verifikasi” untuk sains dan menggantinya dengan “falsifikasi”. Ribuan atau jutaan verifikasi tidak pernah bisa menjamin validitas suatu teori sains. Sebaliknya, satu bukti negatif atau penyangkalan, sudah berhasil menggugurkan suatu teori sains – itulah falsifikasi.

Popper meluaskan kajian filosofisnya dari sains alam ke sains sosial dengan karyanya “Open Society”. Di sinilah kritik filosofis dari Popper berdampak sangat luas. Secara terang-terangan, Popper menyerang tiga tokoh besar dunia: Plato, Hegel, dan Marx. Sebuah serangan yang benar-benar membalikkan konsep filosofis mereka. Kritik terhadap Plato dan Hegel relevan dengan pembahasan kita yaitu kritik kepada Suhrawardi.

Yang mengherankan dari Popper adalah, meski analisis filosofisnya begitu tajam, tetapi hanya sedikit orang yang menyetujui atau melanjutkan pemikiran Popper. George Soros (lahir 1930), investor kelas dunia, adalah salah satu dari sedikit orang yang mendukung Popper. Soros mendirikan Open Society Foundation untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran Popper, khususnya, untuk mengembangkan masyarakat tebuka yang adil dan makmur.

2.5 Idealisme Plato

Ziai (1943 – 2011) menyebut Suhrawardi berhasil membangkitkan idealisme Plato melebihi filsafat Aristoteles. Suhrawardi sendiri menyebut bahwa filsafat iluminasi sejalan dengan filsafat Plato. Dengan demikian, kritik Popper kepada idealisme Plato bisa kita sejajarkan sebagai kritik kepada filsafat Suhrawardi.

Popper mengkritik keras tatanan sosial ideal yang dikembangkan Plato. Menurut Popper, pandangan Plato melestarikan kesenjangan sosial. Hanya orang-orang dari latar belakang keturunan yang baik yang berhak menduduki suatu jabatan. Plato tidak demokratis. Pemimpin ideal adalah philosopher-king (raja-filosof) yang serba tahu akan segala sesuatu.

Karena raja-filosof adalah yang paling berkuasa, dan di saat yang sama, orang yang paling paham segala hal maka dia memimpin secara otoriter. Lagi-lagi, Plato tidak demokratis. Plato adalah musuh dari masyarakat terbuka.

Apakah Suhrawardi juga musuh dari masyarakat terbuka, open society?

Pertama, Suhrawardi menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk visi, melihat kebenaran sejati. Meski, masing-masing orang kemampuan visi bisa saja berbeda-beda dipengaruhi oleh beragam kondisi.

Kedua, Suhrawardi memang membahas politik kekuasaan secara singkat di mukadimah Filsafat Iluminasi. Alam raya ini, menurut Suhrawardi, tidak pernah hampa dari ahli hikmah, filosof bijak. Dan, ahli hikmah berkuasa terhadap alam raya. Baik berkuasa secara politik atau non-politik. Dengan demikian, Suhrawardi tidak mensyaratkan ahli hikmah untuk menjadi raja atau penguasa.

Tetapi, catatan sejarah sungguh memilukan. Suhrawardi syahid melalui eksekusi di usia muda, sekitar 36 tahun, atas perintah sultan Saladin Al Ayubi. Penyebab perintah eksekusi ini masih menjadi misteri sampai saat ini. Saladin yang begitu besar kekuasaannya di dunia, termasuk penakluk perang salib, tidak sepantasnya menyibukkan diri terhadap seorang pemuda cerdas yang tinggal di kota kecil Allepo. Dugaan sementara mengarah bahwa Saladin tidak suka dengan philosopher-king dan Saladin menyangka bahwa Suhrawardi akan mempengaruhi Malik Zahir, gubernur Allepo, putra Saladin, untuk menjadi philosopher-king. Seperti kita sebut di atas, Suhrawardi tidak mengajarkan menjadi philosopher-king. Suhrawardi mengajak kita untuk menjadi ahli hikmah.

Kembali kepada Popper, apakah Suhrawardi adalah musuh dari open-society? Tidak. Suhrawardi bukan musuh. Suhrawardi justru membuka peluang bagi seluruh warga untuk menyempurnakan diri melalui visi-iluminasi.

Tetapi, apakah Plato memang musuh dari open-society? Tidak. Para pendukung Plato menolak tuduhan Popper. Philosopher-king tidak ada keharusan menjadi otoriter atau diktator. Justru, philosopher-king mensyaratkan sikap bijak bagi setiap raja.

2.6 Historisisme Hegel

Serangan tajam berikutnya, dari Popper, mengarah kepada Hegel. Bahkan, serangan ini bisa jadi serangan terbesar terhadap Hegel. Popper menuliskan sekitar 70 halaman khusus untuk mengkritisi Hegel. Sementara, kritik Popper kepada Marx tampak tidak terlalu keras.

Iqbal (1877 – 1938) menyatakan bahwa filsafat Hegel selaras dengan filsafat Suhrawardi. Maka, kritik kepada Hegel ini akan kita gunakan untuk kritik kepada Suhrawardi.

Menurut Popper, konsep dialektika Hegel mengarah kepada keniscayaan mutlak terhadap sejarah. Peradaban manusia akan berkembang secara pasti mengikuti pola tertentu. Pandangan seperti ini adalah historisisme. Popper menolak historisisme seperti itu. Historisisme adalah mustahil, menurut Popper.

Perkembangan sejarah manusia ditentukan, dipengaruhi, oleh perkembangan pengetahuan. Sementara, perkembangan pengetahuan sering terjadi lompatan-lompatan inovasi yang tidak linear. Kita tidak bisa memprediksi arah perkembangan pengetahuan – dan teknologi. Akibatnya, kita juga tidak bisa memprediksi arahnya sejarah. Jadi, historisisme adalah mustahil.

Bukan hanya historisisme itu mustahil, tetapi, dampak keyakinan terhadap historisisme adalah terbentuknya kekuatan totalitar, bahkan fasis. Perang Dunia I dan Dunia II merupakan efek mengerikan dari historisisme.

“Apakah logika visi-iluminasi Suhrawardi juga meyakini historisisme?”

Tidak. Logika visi-iluminasi tidak mengajarkan historisisme. Jadi, Suhrawardi aman dari kritik Popper dalam kasus ini. Suhrawardi menyadari ada kecenderungan umat manusia terjatuh dalam perangkap nafsu serakah. Suhrawardi mengajak umat manusia untuk “membersihkan” jiwa dengan visi iluminasi agar peradaban manusia terus berkembang. Bagaimana pun, usaha ini tidak terjamin untuk selalu berhasil. Sehingga, tidak ada aspek historisisme dalam ajaran Suhrawardi.

“Tetapi, apakah benar Hegel meyakini historisisme?”

Tidak juga. Popper, tampaknya, menafsirkan beberapa tulisan Hegel sebagai historisisme. Dan analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa Hegel tidak meyakini historisisme. Lagi, kritik Popper salah sasaran dalam kasus ini. Bagaimana pun, kritik Popper terhadap historisisme dan totalitarianisme tetap sah secara substansi. Sehingga, kita perlu tetap waspada terhadap beragam resiko yang mungkin terjadi.

2.7 Void Zizek

Slavoj Zizek (1949 – ) adalah pemikir paling berbahaya sejak abad 20 sampai abad 21 ini. Zizek sering melontarkan pemikiran yang paradoks, di luar dugaan, dan menghentakkan pikiran banyak orang. Zizek bukan hanya seorang filsuf tetapi juga selebritis. Baru-baru ini, Zizek dan teman-teman mengenalkan konsep short-circuit atau konslet. Filsafat adalah konslet pikiran. Marx membuat konslet kapitalisme; Freud membuat konslet psikologi; Einstein membuat konslet mekanika Newton; Anda akan membuat konslet apa?

Apakah sistem filsafat Zizek akan bikin konslet sistem filsafat Suhrawardi?

Tidak. Tidak akan konslet. Meski pikiran Zizek membuat kapitalisme konslet, sains empiris konslet, filsafat analitik konslet, dan lain-lain jadi konslet tetapi filsafat Suhrawardi tidak konslet. Saya melihat banyak selarasnya antara Zizek dengan Suhrawardi; dalam arti selaras meski banyak perbedaan.

Rumitnya, perbedaan antara Zizek dan Suhrawardi adalah perbedaan paling fundamental; kontradiksi paling fundamental. Zizek meyakini bahwa The Real adalah void; Suhrawardi meyakini bahwa Cahaya Maha Cahaya adalah Maha Nyata. Mana yang lebih meyakinkan antara void atau Maha Nyata?

Zizek terus terang bahwa dia Hegelian dan Lacanian. Bagi Hegel, Tuhan adalah Being murni sebelum menciptakan alam semesta. Tetapi, Being murni adalah absolut yang tidak bisa dibedakan dengan Nothing murni. Being dan Nothing berdialektika sehingga tercipta Becoming; alam semesta mulai eksis dengan proses Becoming.

Lacan berpikir: mana yang lebih fundamental antara Being dengan Nothing?

Untuk menjawabnya, Lacan mengusulkan segitiga register: simbolis, imajiner, dan The Real. Seluruh pengalaman kita tentang realitas adalah kombinasi antara simbolis dan imajiner. Pengalaman simbolis dan imajiner ini terus bergerak, tanpa henti, untuk meraih The Real. Pada akhirnya, kita hanya bisa mendekati The Real; tidak pernah sampai kepada The Real. Karena, ketika kita dekat dengan The Real maka terjadi konslet. Sains, filsafat, agama, seni, politik dan pemikiran atau realitas apa pun menjadi konslet bila mendekat The Real?

Mengapa konslet? Karena The Real adalah Nothing atau, bahkan menurut Zizek, adalah void; yaitu “Less Than Nothing.”

Mari kita tegaskan lagi: Zizek dan Suhrawardi nyaris selaras dalam seluruh domain kecuali pada The Real; Zizek meyakini The Real adalah void; Suhrawardi meyakini The Real adalah Cahaya Maha Cahaya yang Maha Nyata.

Tentu, banyak orang keberatan ketika saya mengatakan bahwa Zizek selaras dengan Suhrawardi. Seakan-akan Suhrawardi sudah antisipasi pemikiran Zizek ratusan tahun lebih awal. Tidak demikian maksudnya. Karena memang terdapat perbedaan-perbedaan tajam antara mereka. Bagaimana pun, perbedaan ini bisa selaras kecuali tentang The Real.

Argumen Zizek valid, The Real adalah void, ketika kita memandang The Real adalah Maha Akhir. Setiap manusia, pada akhirnya, akan mati; musnah; void. Alam semesta, pada akhirnya, akan hancur; big crunch; kiamat; void. Selanjutnya, segalanya akan konslet ketika mendekati akhir; mendekati void.

Bagaimana dengan Maha Awal? Bagaimana awal mula dari seluruh realitas?

Pemikiran Suhrawardi mampu menjawab dengan baik. Cahaya Maha Cahaya adalah Maha Akhir dan Maha Awal sekaligus. Selaras dengan Zizek, segalanya akan konslet ketika mendekat Maha Akhir mau pun Maha Awal. Bagi Suhrawardi, Maha Awal dan Maha Akhir adalah sama-sama Maha Nyata.

2.8 Disjungtif McDowell

John McDowell (1942 – ) mengembangkan konsep epistemologi disjungtif yang kontroversial. Beberapa pemikir besar dunia merespon McDowell semisal Charles Taylor dan Hilary Putnam. Tetapi, menurut McDowell, para pemikir besar itu salah paham terhadap buku Mind and World karya McDowell. Bagi kita akan sulit untuk memahami pemikiran McDowell secara ringkas karena, saat ini, McDowell masih terus mengembangkan konsep epistemologi disjungtif bersama para muridnya.

Untungnya, pemikiran McDowell ini nyaris seluruhnya selaras dengan pemikiran Suhrawardi; bagi Visi Futuristik, McDowell dan Suhrawardi saling menguatkan. Bagaimana pun, berikut ini, kita akan membahas Mind and World secara ringkas. Dalam edisi revisi, McDowell menambahkan introduksi untuk memudahkan beberapa pembaca. Kita akan mendiskusikan introduksi yang berperan sebagai ringkasan itu. 

2.8.1 Spirit Diagnosa

Kajian kita hanya beraroma spirit diagnosa. Yaitu, kita hanya mendiagnosa apa yang terjadi. Kemudian, diagnosa yang tepat akan menunjukkan arah solusi yang tepat. McDowell rendah hati di bagian awal ini: tidak klaim memberi solusi; hanya diagnosa masalah. Selanjutnya, solusi akan datang sendiri. Masalah utama yang sedang dihadapi adalah gelisah filosofis berupa dualisme Cartesian: bagaimana (1) pikiran yang bebas menjalin relasi dengan (2) alam yang taat aturan.

2.8.2 Empirisme Minimal

Solusi dari problem hubungan “mind” dan “world” adalah empirisme minimal. Pengalaman pikiran kita di dunia empiris adalah bersifat “tribunal,” yaitu, memberi keputusan. Ketika kita melihat pohon maka pengalaman kita itu memutuskan bahwa itu adalah pohon. Karakter tribunal, memberi keputusan, ini berlaku untuk pengalaman sadar mau pun pengalaman persepsi reseptif.

Sejak awal, pengetahuan kita tentang alam eksternal bersifat konseptual karena tribunal. Konsekuensinya, kita mampu menilai apakah pengetahuan kita itu bernilai benar atau salah dengan satu dan lain cara.

2.8.3 Hubungan Empirisme dan Pikiran

Empirisme adalah epistemologi. Sementara, problem hubungan pikiran dan dunia adalah problem ontologi. Solusi empirisme ini kita ambil dengan pertimbangan pikiran beraktualisasi obyektif melalui pengalaman empiris. Dari epistemologi menuju ontologi. Kita melakukan perjalanan dua arah: problem ontologi kita geser ke epistemologi, kemudian, solusi epistemologi kita geser sebagai solusi ontologi.

2.8.4 Mitos Given

Kerumitan muncul akibat mitos “given,” yaitu, prasangka yang meyakini bahwa alam raya sudah begitu adanya. Ketika kita mengalami melihat pohon maka sudah begitu adanya pohon. Tidak diperlukan lagi peran subyek kulo untuk menentukan status ontologi pohon. Akibatnya, kita tidak membutuhkan subyek dan akal-bebas sesuai prasangka ini. Realitas pohon adalah given. Tetapi, given adalah mitos.

2.8.5 Frame of Mind

Di sisi lain, ada pandangan frame-of-mind atau kerangka pikiran. Hanya pikiran yang mampu menentukan apakah yang kita lihat adalah pohon atau hanya halusinasi. Hanya pikiran yang mampu menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hanya pikiran yang mampu menentukan kausalitas, hubungan sebab-akibat.

Terjadi dikotomi, perlawanan, antara mitos-given dengan frame-of-mind. Tetapi, keduanya gagal memberi solusi yang kita harapkan.

2.8.6 Menolak Empirisme

Solusi pertama adalah menolak empirisme, karena given tidak menambah informasi apa pun bagi kita. Empirisme tidak menjadikan kita lebih cerdas karena hanya memberi informasi apa adanya. Kita perlu mengembangkan kecerdasan dalam kerangka pikiran. Data empiris hanya data mentah, untuk kemudian, pikiran kita yang mengolahnya menjadi berguna.

Dengan kata lain, empirisme sains adalah tidak memadai. Atau, sains empiris yang berpegang pada mitos given adalah salah arah. Realitas empiris, misal sains, membutuhkan peran subyek yaitu peran pikiran. Selanjutnya, mereka menolak empirisme; penolakan ini kurang bijak.

2.8.7 Menolak Dikotomi

Solusi kedua adalah menolak dikotomi antara empirisme dan pikiran. Empirisme adalah mengkaji nature. Sementara, pikiran adalah bagian dari nature. Sehingga, pikiran bisa dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kajian empiris terhadap nature adalah kajian yang lengkap dan tuntas.

Meski tampak menolak dikotomi, pendekatan naturalisme seperti itu, sejatinya, meruntuhkan pikiran ke dalam naturalisme. Pikiran yang merupakan akal-bebas menjadi tidak bebas lagi karena dikenakan hukum sebab-akibat empiris, misalnya. Pendekatan naturalisme ini kita sebut sebagai bald-naturalism yang perlu ditolak.

2.8.8 Nature Kedua

Bald-naturalism dan frame-of-mind gagal memberi solusi yang kita harapkan. Selanjutnya, kita mengkaji ulang solusi yang sudah kita singgung di awal: empirisme-minimal. Setiap pengalaman kita adalah tribunal. Lebih jauh, pengalaman empiris adalah aktualisasi kapasitas konseptual pikiran secara obyektif.

Pikiran, akal-bebas, adalah aggota unik dari alam ini. Unik karena akal-bebas bersifat spontan tidak terikat oleh hukum alam. Sementara, anggota alam yang lain selalu taat kepada hukum alam ini.

Bagaimana pikiran bisa menjadi anggota alam yang unik, sui generis?

Mudah saja. Karena ada alam kedua – second nature. Sejak jaman dahulu kala, kita mengenal alam kedua semisal budaya, bahasa, teknologi, dan lain-lain. Akal-bebas adalah sui generis dalam alam kita, tepatnya alam kedua.

Akal-bebas, dengan kapasitas konseptualnya, mengaktualisasi secara obyektif di alam faktual ini. Saya menyebutnya sebagai aktualisme obyektif. Jadi, realitas obyektif alam eksternal adalah realitas kompleks bersifat obyektif dan berpadu dengan realitas konseptual pikiran.

2.8.9 Bald Naturalism

Kita bisa membahas lebih jauh bald-naturalism yang memang makin berkembang di era kontemporer ini. Kabar baiknya, bald-naturalism itu tidak salah. Demikian juga, frame-of-mind tidak salah. Mereka hanya tidak sanggup memberi solusi yang diharapkan. Apa solusi yang diharapkan?

Sejarah sains menunjukkan bald-naturalisme mulai muncul di era Descartes dan menguat sampai awal abad 20 dengan berkembangnya positivisme. Era berikutnya, positivisme runtuh oleh kritik falsifikasi dari Popper, oleh pergeseran paradigma Kuhn, dan oleh pogram riset progresif dari Lakatos. Kita masih bisa mengajukan pertanyaan: apa solusi eksplisit terhadap problem relasi antara pikiran dan dunia eksternal?

(a) Solusi pertama adalah dengan menolak problem: tidak ada problem relasi antara pikiran dan dunia. Solusi ini adalah hasil dari diagnosa terhadap problem. Dengan kata lain, problem relasi pikiran dan dunia adalah problem yang mengada-ada belaka; atau problem semu.

(b) Solusi kedua adalah epistemologi disjungtif: pikiran terhubung dengan dunia eksternal secara langsung; direct knowledge. Kita akan membahas solusi kedua ini di bagian bawah.

2.8.10 Moral Akal Responsif

Masalah moral melanda dunia. Apa solusinya?

Moral dan sains sama-sama obyektif di alam ini. Mereka sama-sama aktualisasi dari akal-bebas. Sehingga, kita perlu mengkaji ontologi moral dengan lebih serius. Meski posisi moral sangat kuat, tidak berarti sains menjadi lemah. Sains justru dibutuhkan, dalam kadar tertentu, untuk aktualisasi moral.

Renungan mendalam terhadap realitas menghadirkan rasa tanggung jawab pada akal-bebas. Moral adalah respon dari akal-bebas. Sehingga, solusi dari masalah moral membutuhkan peran penting dari akal-bebas.

2.8.11 Epistemologi Disjungtif

Berikutnya kita akan membahas disjungtivisme yang merupakan solusi positif; sedangkan solusi negatif adalah menolak eksistensi problem relasi. Kita membutuhkan disjunctivisme epistemologi dan ontologi; prioritas ontologi kesadaran pikiran lebih utama dari materi fisik; atau, prioritas kesadaran adalah indexical. Sementara, McDowell lebih yakin disjunctivisme epistemologi. Sehingga pembahasan berikut adalah modifikasi saya.

V = kasus veridical = seseorang melihat “bola” dan memang ada bola nyata di alam eksternal.

H = kasus halusinasi = seseorang melihat “bola” tetapi tidak ada bola di alam eksternal; hanya halusinasi.

V dan H adalah berbeda, yaitu disjunctive. V dan H berbeda secara signifikan. Tidak ada persamaan yang signifikan antara V dan H. Istilah disjunctivisme muncul berawal dari sifat disjunctif antara V dan H.

Pandangan umum, V = H + bola, adalah tidak benar; menurut disjunctivisme. Tidak benar juga bahwa H = V – bola.

Meski V berbeda dengan H tetapi subyek tidak bisa membedakan melalui instropeksi. Subyek hanya bisa membedakan melalui refleksi internal atau verifikasi eksternal. Hanya saja, terjadi asimetri: [a] pengamat merasa mampu membuktikan V, yaitu persepsi yang benar; [b] pengamat merasa tidak mampu bembuktikan H, yaitu tidak bisa memastikan halusinasi atau tidak; ketika mengalami halusinasi. Barangkali, ilusrasi contoh akan memudahkan.

Tiba di kampus, saya membuka tas,

V1 = Saya melihat “buku logika.”

Seharusnya, saya membawa dua buku: buku logika dan buku quantum. Kemudian, saya telepon ke isteri di rumah dan isteri menjawab dengan yakin.

V2 = Saya (isteri saya) melihat “buku quantum” di rumah.

V1 dan V2 adalah pengamatan yang benar; dan terbukti benar dalam contoh di atas. Saya tidak perlu ragu dengan V1 dan isteri tidak perlu ragu dengan V2. Jadi, kita bisa yakin terhadap validitas persepsi yang benar.

Kasus yang berbeda terjadi pada halusinasi. Saya mencari-cari “buku renungan” di tumpukan buku-buku di rumah. Berhari-hari, saya mencari tetapi tidak menemukan “buku renungan” itu. Suatu malam, saya melihat di ujung meja,

H1 = Saya melihat “buku renungan”.

Saya ragu, apa benar itu buku renungan? Saya kucek-kucek mata; saya buka mata lebih lebar untuk memastikan apakah itu benar-benar buku renungan. Saya coba menyentuh buku itu… tetapi hanya halusinasi.

Halusinasi H1 tampak seperti nyata. Meski saya merasa ragu. Bila demikian, bukankah kita bisa membedakan veridical V dengan halusinasi hanya melalui instropeksi? Bila yakin maka V; bila ragu maka H. Tidak bisa seperti itu. Misal kita yakin V = 90% tetap ada peluang V salah. Meski ragu H = 50% tetap ada peluang H benar. Kita membutuhkan refleksi atau verifikasi untuk memastikannya.

Jadi urutan yang tepat adalah, pertama, menerima kesadaran persepsi; dan, kedua, menguji apakah persepsi itu veridical V atau halusinasi H. Urutan ini menjawab easy-problem (Chalmers) dan selamat dari petitio principii. Karena relasi antara subyek dan obyek dalam persepsi terjadi dalam selang waktu tertentu, terjadi hubungan timbal balik, maka tidak masalah bila sains empiris mengawali kajian dari obyek eksternal. Sementara, kajian filosofis akan menemui kesulitan dengan cara seperti itu.

Hasil dari pengujian persepsi bisa lebih beragam.

[p] Veridical yaitu benar ada buku di alam eksternal. Kajian veridical ini menjadi fokus ilmu pengetahuan atau sains.

[q] Halusinasi yaitu tidak ada buku. Dalam dosis kecil, halusinasi tidak masalah. Bila berlebih, barangkali, perlu kajian psikologis atau terapi.

[r] Ilusi yaitu ada benda mirip buku. Konsep ilusi sering dimanfaatkan dalam dunia hiburan misal sulap.

[s] Fiksi yaitu memang tidak ada buku; tapi suatu fiksi bisa jadi karya sastra. Puisi, novel, cerpen, dan lain-lain memanfaatkan fiksi untuk menumbuhkan imajinasi kreatif.

[t] Visi yaitu cita-cita untuk membuat bukti nyata. Pemimpin besar menggemakan visi besar untuk membangun negeri dalam 10 tahun ke depan. Bersama rakyat, mereka mewujudkan visi masa depan itu.

2.8.12 Intelektual sampai Spiritual

Bagaimana komparasi pandangan McDowell dengan pandangan Suhrawardi? Tidak ada masalah. Pandangan mereka selaras. Hal ini tidak berarti bahwa Suhrawardi sudah sepenuhnya antisipasi terhadap pikiran McDowell. Selaras bermakna bahwa pandangan mereka berbeda namun saling menguatkan. Perbedaan makin tajam bila kita memperhatikan cakupan pemikiran mereka.

McDowell membedakan pengetahuan sebagai (1) direct knowledge dan (2) inferensial; Suhrawardi membedakan pengetahuan sebagai (1) huduri dan (2) husuli.

McDowell lebih fokus kepada problem pengetahuan, sains, filsafat, dan moral. Sementara, Suhrawardi meluas sampai kepada nasib jiwa manusia setelah kematian badan. McDowell fokus kepada problem intelektual; Suhrawardi meluas sampai spiritual.

Apakah pandangan McDowell bisa diperluas sampai mencakup nasib jiwa setelah kematian badan? Saya yakin bisa. Sejauh ini, McDowell dan murid-muridnya belum mengembangkan sampai ke sana. Beberapa peneliti telah membuat beberapa kajian. Sedangkan, untuk filsafat moral, McDowell sudah membahas langsung dalam bukunya. Status ontologi moral dan etika adalah sama kuat dengan status ontologi matematika mau pun sains. Dengan demikian pembahasan filsafat moral sama penting, atau lebih penting, dari filsafat sains. Ringkasnya, McDowell dan Suhrawardi adalah selaras; McDowell meluaskan pengetahuan sains sampai pengetahuan moral; Suhrawardi meluaskan sampai spiritual.

3. Prospek

3.1 Masa Depan Cemerlang

Pertama, Visi Futuristik menjanjikan masa depan semesta yang cemerlang; peradaban manusia berpotensi terus berkembang tanpa batas akhir; alam semesta terus berkembang secara dahir dan batin. Di sisi lain, manusia berada dalam resiko terjebak kegelapan; bisa merusak lingkungan; dan bisa meruntuhkan kehidupan di bumi ini. Konsekuensinya, kita perlu bersiap menyongsong masa depan cemerlang dengan pengetahuan yang lebih cemerlang.

3.2 Sains Teknologi Bersahabat

Kedua, sains dan teknologi perlu bersahabat dengan Visi Futuristik. Kita sadar manfaat besar dari sains. Tetapi, kita juga sadar bahwa sains bisa menghancurkan alam semesta dan manusia. Karena itu kita perlu solusi bagi sains. Visi Futuristik menawarkan solusi.

3.3 Dialog Eksplanasi Deskripsi

Ketiga, membuka prospek dialog antara eksplanasi dan deskripsi. Ada trend umat manusia hanya mengejar eksplanasi yaitu penjelasan sebab akibat misal versi sains. Dari eksplanasi, mereka bisa menciptakan teknologi kemudian sukses mengumpulkan keuntungan. Tetapi, dampak teknologi, terjadi krisis alam raya. Kita butuh deskripsi yaitu kajian realitas konkret dari banyak aspek yang luas. Tidak cukup hanya eksploitasi lingkungan; kita perlu deskripsi untuk hidup selaras bersama lingkungan dan masyarakat luas. Visi Futuristik mengajak kita menerobos ke deskripsi terdalam dari misteri realitas ini.

Kita hanya menyebut tiga prospek di atas. Sejatinya, kita bisa mengembangkan prospek lebih luas dan lebih dalam.

Ontologi cahaya senantiasa bergerak menuju cahaya yang lebih sempurna; maksudnya, realitas selalu bergerak menuju yang lebih baik; semangat dan optimis. Sementara, realitas materi bergerak mengikuti realitas cahaya; sehingga bergerak menuju sempurna juga. Pada waktunya, menurut ajaran agama dan sains, bumi ini akan hancur mengalami kiamat. Bagaimana kiamat bisa dikatakan lebih sempurna dari masa sekarang, tahun 2024, dan masa lalu? Secara pribadi, masing-masing dari kita akan mengalami kiamat kecil yaitu mati. Bagaimana mati bisa dikatakan lebih sempurna dari hidup ini? Dalam usaha, atau sistem pemerintahan, sering terjadi bangkrut. Bagaimana bangkrut di masa depan bisa dikatakan lebih sempurna dari sukses di masa lalu?

Kita perlu waspada; kadang-kadang memunculkan gelisah eksistensial, gelisah intelektual, gelisah spiritual. Di saat-saat tertentu, kita membutuhkan gelisah; yaitu gelisah akan nasib masa depan diri, masa depan orang-orang di sekitar, dan masa depan alam raya. Gelisah ini mengetuk hati kita untuk bersikap dan bertindak antisipasi demi kebaikan futuristik.

Mari kita cermati mengapa bangkrut di masa kini adalah lebih sempurna dari sukses di masa lalu. Tetapi perlu kita catat bahwa sukses di masa kini lebih baik dari bangkrut di masa kini; dalam pengertian umum. Konsekuensinya jelas, kita perlu memilih sukses dari pada bangkrut; baik di masa depan, masa lalu, mau pun masa kini. Di sini, kita perlu cermat dengan aspek waktu. Masa depan selalu lebih baik dari masa lalu; atau, masa depan lebih sempurna dari masa lalu; apa pun konten masa depan dan masa lalu yang kita maksudkan. Karena masa depan sudah bergerak makin dekat dengan realitas cahaya yang lebih sempurna. Jika bentangan waktu adalah sama maka sukses lebih baik dari bangkrut.

(3) Masa Lalu, Sukses(4) Masa Depan, Sukses
(1) Masa Lalu, Bangkrut(2) Masa Depan, Bangkrut

Mari kita perhatikan 4 kuadran di atas untuk memudahkan perbandingan. Yang terbaik adalah kuadran (4) Masa Depan, Sukses. Yang terburuk, hanya secara relatif, adalah kuadran (1) Masa Lalu, Bangkrut. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana komparasi kuadran (2) Masa Depan, Bangkrut dengan kuadran (3) Masa Lalu, Sukses?

Maksud masa lalu dan masa depan adalah sama-sama konkret, nyata, dan eksis; bukan sekedar abstraksi. Anda ketika usia 7 tahun adalah masa lalu konkret; Anda ketika usia 20 tahun adalah masa depan konkret; relatif terhadap usia 7 tahun. Tetapi, Anda saat ini usia 30 tahun misalnya. Jadi masa depan dan masa lalu adalah indeks dan relatif serta konkret.

P = Masa Depan, Bangkrut = Usia 20, Bangkrut

Q = Masa Lalu, Sukses = Usia 7, Sukses

P adalah lebih baik dari Q. Bangkrut di usia 20 adalah lebih sempurna dari sukses di usia 7 tahun. Karena, ketika seseorang bangkrut di usia 20, dia sudah pernah sukses di usia 7. Sementara, ketika dia sukses di usia 7, dia belum pernah berusia 20 tahun.

R = Masa Depan, Sukses = Di usia 20, Sukses.

R lebih baik dari P. Sukses di usia 20 tentu lebih baik dari bangkrut di usia 20. Bagaimana pun, masa depan pasti datang kepada Anda. Usia 20 pasti datang kepada seorang anak yang usia 7 tahun bila berumur cukup panjang. Karena usia 20 adalah lebih baik dari usia 7 maka kita semua, sejatinya, selalu bergerak menuju sempurna. Hanya saja, pilihan Anda, ingin sukses atau bangkrut di masa depan? Itulah pentingnya Visi Futuristik.

S = Masa Lalu, Bangkrut = Di usia 7, Bangkrut.

S adalah paling buruk secara relatif. Bangkrut di masa lalu adalah buruk. Tetapi, kita bisa mengubah masa lalu dengan maraih masa depan yang lebih baik. Ketika seseorang bergerak dari kuadran (1) Masa Lalu, Bangkrut menuju kuadran (2) Masa Depan, Bangkrut maka dia benar-benar merugi; dan masa lalu bangkrut itu tetap buruk. Di sisi lain, kita bisa bergerak dari kuadran (1) Masa Lalu, Bangkrut menuju kuadran (4) Masa Depan, Sukses; sehingga kita benar-benar menjadi baik. Kita mengubah masa lalu yang buruk menjadi penopang masa depan yang baik. Jadi, semua bentangan waktu adalah sama-sama baik.

Masa lalu adalah hikmah; masa kini adalah amanah; dan masa depan adalah berkah. Semua masa adalah anugerah.

Dari ontologi cahaya, kita bisa memahami bahwa masa depan lebih kuat dari masa lalu. Masa depan adalah sebab bagi masa lalu. Masa depan menarik masa lalu untuk menuju masa depan; masa lalu rindu untuk menuju masa depan. Kabar baiknya, kita bisa memilih masa depan idaman.

Kita sadar bahwa kita memiliki masa depan yang pasti yaitu mati. Karena mati ada di masa depan maka mati adalah lebih sempurna dari masa lalu. Meski mati adalah pasti tetapi jalan kematian adalah beragam. Ada yang mati secara alami; ada yang mati bunuh diri; ada yang mati kecelakaan; dan ada yang mati terbaik; husnul khatimah. Pada waktunya, bumi ini akan hancur kiamat; mati dan kiamat adalah sebuah kesempurnaan. Apa yang telah Anda siapkan?

Berikutnya, mari kita cermati bahwa Visi Futuristik mengajak sains teknologi menjadi sahabat sejati bagi umat dan semesta raya. Problem dari sains, dan teknologi, adalah kecenderungannya untuk memisahkan diri dengan pemikiran yang mendalam; cenderung eksplanasi dengan melupakan deskripsi. Berikut beberapa problem utama: makna sains; sains banal; sains palsu; sainisme; dan filsafat sains teknologi.

Apa makna-sains? Tentu, sains tidak akan berhasil menemukan makna-sains; karena tugas sains adalah menjalankan prosedur sains. Tetapi, saintis bisa menemukan makna-sains; bahkan harus menemukan makna-sains. Saintis bisa memanfaatkan kajian deskripsi terhadap sains untuk menemukan makna-sains. Sayangnya, beberapa saintis justru bersikukuh hanya mengkaji eksplanasi sains; sehingga, sains versi mereka menjadi gersang. Kita perlu memperkaya makna-sains melalui deskripsi sains yang terbuka terhadap perkembangan masa depan.

Sains-palsu, atau pseudosains, menjadi problem yang rumit. Beberapa orang melakukan penipuan dengan kedok sains lalu mengambil keuntungan finansial. Mereka itu tidak menjalankan sains tetapi hanya sains-palsu. Sebaliknya, ada pihak yang menuduh pihak lain sebagai sains-palsu; konsekuensinya, pihak tertuduh menjadi dikucilkan dan dirugikan. Pihak penuduh mengambil keuntungan finansial dan politis. Apa itu sains-palsu? Apa itu sains-asli? Sains tidak bisa menjawab ini kecuali meluaskan kajian menuju deskripsi sains.

Gagal menjawab makna-sains dan sains-asli mengakibatkan sains berubah menjadi sains-banal; sains yang tidak peduli terhadap beragam makna. Kita perlu menggeser kembali agar sains menjadi sains otentik dengan cara melakukan kajian sains deskripsi.

Sainsisme bergerak lebih jauh dari sains; mereka menerobos batas-batas sains itu sendiri. Sainsisme menganggap sains adalah satu-satunya cara untuk menentukan kebenaran. Mereka menerapkan kajian sains meluas ke realitas psikologis, realitas sosial, realitas seni, realitas agama, dan lain-lain. Tentu saja, sains tidak memadai untuk menyelesaikan problem seluas itu. Dari arah berbeda, misal sarjana agama, berniat menerapkan metode sains untuk kajian bidangnya. Sama saja, mereka menemukan jalan buntu. Sainsisme memang salah arah. Sains tidak perlu menerobos batas; sains hanya perlu menjalin relasi harmonis dengan bidang-bidang lain. Lagi, kajian deskripsi sains membuka peluang harmonis ini.

Problem lebih parah adalah teknologi; dianggap sekedar penerapan dari sains. Akibatnya, kajian deskripsi teknologi menjadi ketinggalan. Sulit sekali kita menemukan kajian filsafat teknologi misalnya. Kajian filsafat sains masih berlangsung di beberapa tempat; meski, perlu untuk lebih ditingkatkan lagi. Kita perlu mengembangkan kajian deskripsi terhadap teknologi dan sains; salah satu bentuknya bisa berupa kajian filsafat teknologi dan filsafat sains.

Untuk memperjelas pemahaman bahwa kita memerlukan keduanya, deskripsi dan eksplanasi, mari kita buatkan perbandingan.

Ekplanasi/Deskripsi

Apel jatuh dari pohon menuju ke bawah yaitu bumi. Eksplanasi bisa menjelaskan bahwa apel jatuh karena ada hukum gravitasi (Newton). Dari eksplanasi hukum gravitasi kita bisa membangun jembatan yang mampu menampung mobil sampai maksimal 100 buah, misalnya. Jadi, eksplanasi bermanfaat jelas secara praktis. Dari sudut deskripsi, kita bisa bertanya mengapa apel jatuh? Barangkali karena buah apel sudah cukup matang; kemudian, kita bisa panen apel untuk dibagi kepada masyarakat luas. Kita semua berbahagia panen apel bersama warga. Dari sudut deskripsi, kita juga bisa bertanya apa makna hukum gravitasi? Maknanya adalah alam semesta ini berjalan dengan aturan hukum alam yang begitu indah; kita makin terpesona oleh alam dengan mempelajari alam lebih dekat lagi. Dan masih banyak deskripsi yang bisa terus kita kembangkan.

Posisi/Perspekstif

Dari posisi sains, kita bisa mengembangkan formula hukum gravitasi Newton. Kita bisa menghitung kecepatan dan posisi apel jatuh dengan akurasi dan presisi yang diharapkan. Kemudian, kita bisa mengembangkan formula gravitasi ini untuk desain jembatan, gedung pencakar langit, sampai produksi pesawat terbang. Posisi sains adalah salah satu perspektif. Kita bisa mengembangkan perspektif alternatif, misal, posisi sosial memandang bahwa apel jatuh sebagai tanda apel sudah matang. Saatnya, panen apel untuk keperluan masyarakat sekitar. Posisi seni bisa memandang apel jatuh sebagai sumber inspirasi untuk menulis puisi. Posisi agama bisa memandang apel jatuh adalah karunia Tuhan kepada alam semesta. Perspektif adalah luas dan beragam. Satu posisi, misal sains, barangkali cukup dengan suatu prosedur tertentu. Sementara, deskripsi terhadap perspektif membutuhkah sikap terbuka pikiran dan hati. Kita membutuhkan posisi dan perspektif. Realitas makin bertabur pesona.

Situasi/Kondisi

Situasinya jelas, saat itu, apel jatuh dari atas ke bawah. Bagaimana kondisinya?

Situasi bisa kita jelaskan dengan eksplanasi. Sedangkan, kondisi perlu kita gambarkan dengan deskripsi. Situasi bersifat eksplisit dan kuantitatif; kondisi lebih implisit dan kualitatif. Kondisi apel bisa jatuh niscaya ada ruang dan waktu; ada suatu aturan tertentu; ada suatu makna tertentu. Umat manusia membutuhkan keduanya: deskripsi kondisi dan eksplanasi situasi.

Visi Futuristik mengajak kita menjelajahi deskripsi sehingga memperkaya eksplanasi. Sebagai bonus dari deskripsi dan eksplanasi ini adalah setiap pengetahuan menjadi berlimpah makna.

Bagaimana menurut Anda?

Kembali ke: Filosofi Visi

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar