Aku Berpikir Maka Saya Ada

Descarters (1596 – 1650) mengguncang dunia dengan meditasi yang berbunyi, “Cogito ergo sum.”

“Aku berpikir maka saya ada.”
“I think therefore i am.”

Dari cogito Descartes ini, umat manusia menjadi yakin dengan kemampuan berpikirnya. Jika Anda berpikir maka Anda menjadi ada. Sebaliknya juga mudah dipahami. Jika seseorang tidak mau berpikir maka dia tidak ada; tanpa berpikir, eksistensi orang itu menjadi tanpa makna. Eksistensi Anda ditentukan oleh pikiran Anda.

Cogito berhasil mendorong kemajuan sains, teknologi, dan ekonomi. Di saat yang sama, cogito berdampak bencana, eksploitasi, dan penjajahan dunia. Kita akan mencoba mencermati.

1. Kekuatan Pikiran
2. Sains Terbebas dari Agama
3. Resiko Terasing
4. Kritik Dasein
5. Aku Berbeda dengan Saya

Dalam bahasa Indonesia, kita bisa menerjemahkan cogito sebagai,

“Aku berpikir maka saya ada.”

Terjemahan ini membedakan antara “aku” dengan “saya”. Pembedaan ini kita bahas di bagian akhir karena paling penting.

1. Kekuatan Pikiran

Sangat mengagumkan bahwa cogito membangkitkan optimisme masyarakat untuk mengandalkan pikiran mereka. Padahal, Descartes menemukan cogito berdasarkan skeptisme bukan optimisme. Descartes meragukan segala sesuatu. Descartes ragu terhadap uang, ragu terhadap kenikmatan, ragu terhadap alam sekitar, ragu terhadap perang dan lain-lain. Sama juga, Descartes ragu terhadap Plato, Aristo, Ghazali, dan lain-lain.

Tetapi Descartes tidak bisa ragu bahwa dirinya sedang ragu; dirinya yakin bahwa sedang berpikir meragukan segala sesuatu. Descartes yakin, “Cogito ergo sum.”

“Aku berpikir maka saya ada.”

Tahap selanjutnya, kita bisa mengembangkan pikiran untuk mengembangkan segala sesuatu. Pikiran sehat menjadi pemandu kemajuan peradaban sehat. Sains menjadi berkembang pesat. Teknologi dan ekonomi mengikuti; berkembang maju membubung tinggi.

2. Sains Terbebas dari Agama

Ada problem besar masa itu: sains sering berbenturan dengan ajaran agama. Sains, misal, menyatakan bahwa bumi mengitari matahari tetapi agama meyakini bahwa matahari mengitari bumi. Pertentangan ini dimenangkan oleh agama. Sains harus mundur teratur. Banyak ilmuwan dihukum mati akibat benturan semacam ini.

Descartes berhasil melepaskan sains dari agama karena pikiran manusia berbeda dengan alam raya. Sains memanfaatkan pikiran manusia untuk mengkaji alam raya yang bersifat materi duniawi. Sedangkan agama mengkaji jiwa manusia yang bernilai tinggi. Dengan demikian, berdasar cogito, biar urusan duniawi ditangani oleh sekedar sains saja. Urusan nasib jiwa, yang bernilai tinggi, menjadi wewenang agama.

Pemisahan antara materi dan jiwa ini, kelak, kita kenal sebagai dualisme Descartes; menjadi solusi dan menjadi problem itu sendiri.

3. Resiko Terasing

Manusia menjadi terasing; manusia kesepian. Karena jiwa manusia terpisah dengan alam sekitarnya berdasar dualisme cogito.

Alam raya adalah alam raya tanpa kesadaran; tanpa nilai spiritual. Sehingga, manusia bebas eksplorasi alam raya sampai eksploitasi. Suatu kisah, orang bertanya kepada Descartes,

“Apakah seekor anjing punya kesadaran?”
“Tidak punya kesadaran,” jawab Descartes.

“Mengapa anjing menjerit ketika kakinya tergilas roda kereta?”
“Karena ada bagian fungsi kaki yang rusak sehingga fungsi mulut adalah untuk menjerit.”

Anjing tidak memiliki kesadaran layaknya kesadaran seorang manusia. Anjing memiliki beragam fungsi. Apakah bisa dibenarkan manusia melakukan eksploitasi kepada anjing? Eksploitasi terhadap alam raya?

Manusia menjadi terasing di dunia ini.

4. Kritik Dasein

Banyak kritik terhadap cogito. Salah satu kritik keras adalah dasein dari Heidegger (1889 – 1976). Dasein adalah manusia sejati sebagai manusia konkret apa adanya. Dasein selalu berada dalam dunia; being-in-the-world. Manusia selalu berada dalam dunia ini. Andai, manusia bisa terlepas dari dunia ini maka manusia itu akan berada dalam dunia yang lain. Manusia tidak bisa eksis hanya seorang diri. Manusia, sebagai dasein, selalu berada dalam dunia.

Bagaimana pun, dasein beda dengan dunia; dasein transenden terhadap dunia meski dasein berada dalam dunia.

5. Aku Berbeda dengan Saya

Kita sampai ke pembahasan paling penting: “Aku berpikir” adalah berbeda dengan “Saya ada.”

“Cogito ergo sum.”
“Aku berpikir maka saya ada.”

Aku adalah ruh, spiritual, fenomenologi, atau intelektual yang transenden.
Saya adalah jiwa, diri, nafsu, hasrat, rasa, atau psikologi yang imanen.

Aku adalah manusia transenden. Aku berada dalam dunia ini dan, di saat yang sama, aku melampaui seluruh dunia ini. Saya adalah manusia imanen. Saya berada dalam dunia ini dan, di saat yang sama, saya selalu interaksi dengan dunia ini. “Aku berpikir maka saya ada.”

Aku sendiri mencari Tuhan. Saya bersama masyarakat dan alam raya menghadap Tuhan.

Aku ketuk pintu masjid; aku ketuk pintu gereja; aku ketuk setiap pintu rumah Tuhan untuk mencari Tuhan. Aku mengetuk pintu dari dalam.

Saya ciptakan pertanian bersama masyarakat; saya ciptakan sistem ekonomi dan sistem politik; saya persembahkan karya sampai maha karya. Di setiap tempat, di setiap saat, bersama masyarakat, bersama alam raya, kami menghadap Tuhan.

Mengapa saya ada? “Aku berpikir maka saya ada.”

Mengapa aku berpikir? “Saya ada maka aku berpikir lagi.”

Bagaimana aku bertemu dengan saya? Bagaimana saya berpisah dengan aku? Aku adalah saya dan saya adalah aku; bagaimana pun, aku berbeda dengan saya.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar