Anak SMA tidak Bisa Berhitung

Anda gemas. Saya juga gemas. Siswa-siswa SMA tidak bisa berhitung dasar. Beberapa bulan lalu, tersebar video bahwa anak SMA/SMK tidak bisa berhitung 24 dibagi 4 hasilnya berapa. Beberapa hari lalu, Gubernur Jabar bertanya, “Setahun ada 12 bulan. Maka 2 tahun ada berapa bulan?”

Siswa-siswa SMA, dalam video itu, tidak bisa menjawab ada berapa bulan dalam 2 tahun.

Mengapa Indonesia separah itu?
Apakah negara lain sama parah?
Atau negara lain lebih parah?

Kita perlu menjawab beberapa pertanyaan itu. Kemudian, menyusun beberapa solusi serta menerapkan solusi yang terus direvisi.

Saya adalah pendidik matematika berpengalaman lebih dari 30 tahun. Saya bisa mengajari anak-anak SMA yang sulit berhitung, di atas, sampai bisa berhitung dalam 1 pertemuan belajar saja. Tetapi masalah berhitung, dan matematika, bukan masalah satu atau dua siswa saja. Kita menduga ada ribuan atau jutaan siswa Indonesia yang tidak mampu berhitung.

1. Belajar Berhitung
2. Hadiah Berhitung
3. Gangguan Kalkulator
4. Gangguan AI
5. Diskusi

Solusi paling mudah untuk berhitung adalah ajarkan siswa dengan alat peraga konkret. Peraga paling mudah, untuk di Indonesia, adalah uang; uang kertas atau uang logam.

Untuk 2 tahun ada berapa bulan: sediakan uang 12 ribu untuk tiap 1 tahun; tanyakan ada uang berapa ribu untuk 2 tahun? Anak akan menjawab 24 ribu. Ada berapa bulan dalam 2 tahun? Anak akan menjawab 24 bulan. (Selesai). Masih banyak proses-proses kreatif yang bisa kita kembangkan untuk memajukan pendidikan.

1. Belajar Berhitung

Problem belajar berhitung adalah problem serius. Sayangnya, banyak orang dewasa menganggap remeh problem berhitung semacam 2 + 3 hasilnya berapa. Bahkan, banyak guru yang menganggap remeh juga. Mengapa? Karena orang dewasa itu sudah paham berhitung. Bagi anak yang belum paham, berhitung adalah tugas sulit; baik siswa TK, SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa perguruan tinggi.

Saya mengembangkan alat peraga berhitung ada puluhan sampai ratusan macam media; agar anak-anak bergembira kreatif dalam belajar berhitung dan matematika bersama paman APIQ.

2. Hadiah Berhitung

Hadiah adalah amat penting. Belajar berhitung perlu hadiah. Apa hadiah yang tepat?

Hadiah yang bagus adalah senyuman, tawa, dan rasa bahagia ketika belajar berhitung; menjelang dan setelah belajar berhitung. Hadiah paling bagus adalah anak paham berhitung itu sendiri. Anak merasa bangga dan bahagia karena paham berhitung. Tentu, kita bisa mengembangkan beragam jenis hadiah yang lebih variasi.

Sayangnya, hadiah yang mudah di atas sudah dirampas dari siswa. Banyak siswa stres lantaran belajar berhitung atau matematika. Hasil akhirnya, siswa tetap tidak paham matematika. Sungguh menyedihkan.

Problem lebih rumit ketika hadiah jangka panjang dirampas pula: berhitung tidak berguna untuk kerja mau pun untuk melanjutkan sekolah tingkat lebih tinggi. Untuk mendapat pekerjaan cukup menjalin relasi tertentu dengan penguasa atau pengusaha. Untuk melanjutkan sekolah cukup dengan jalur zonasi atau jalur mandiri atau lainnya. Lengkap sudah problem pendidikan kita.

3. Gangguan Kalkulator

Kita sadar bahwa kalkulator adalah gangguan besar dalam belajar berhitung. Sehingga, kita melarang anak kecil untuk menggunakan kalkulator. Bagaimana dengan gangguan internet dan AI?

4. Gangguan AI

Tentu saja gangguan AI (akal imitasi / artificial intelligence) sangat ngeri bagi negeri ini. Jika kalkulator menyebabkan siswa malas belajar berhitung maka AI menyebabkan siswa malas belajar segala hal. Karena AI bisa menjawab segala hal; andai jawaban AI benar bisa dipercaya. Sayangnya, jawaban AI sering halusinasi alias ngawur.

5. Diskusi

Banyak hal yang bisa kita kaji.

Bagaimana menurut Anda? Mari kita bahas sebagian di antaranya.

[a] Solusi Sederhana

Solusi paling sederhana adalah kita membekali siswa, guru, dan orang tua dengan kemampuan belajar matematika yang kreatif; misal Anda bisa belajar matematika kreatif melalui buku, web, dan video paman APIQ. Ketika para siswa menguasai cara belajar matematika kreatif maka mereka pasti mampu berhitung dengan tepat dan cepat. Jadi fenomena “siswa SMA tidak bisa berhitung” sudah selesai.

Tentu saja, muncul tantangan baru: bagaimana membekali para guru dengan kemampuan matematika kreatif? Selalu ada solusi untuk ini; untuk meningkatkan kemampuan para guru di seluruh Indonesia baik melalui buku, pelatihan tatap muka, mau pun pelatihan daring.

[b] Peta Masalah

Kita perlu solusi yang lebih fundamental.

Meski solusi sederhana berupa membekali siswa dengan kemampuan belajar matematika kreatif tampak bagus tetapi ada masalah lebih mendasar. Jika masalah mendasar belum terungkap, sehingga belum terselesaikan, maka masalah kesulitan berhitung bagi siswa akan muncul berulang dalam beberapa tahun ke depan.

Saya setuju dengan Acemoglu, pemenang Nobel ekonomi 2024, bahwa problem mendasar adalah problem lembaga: lembaga politik, ekonomi, dan sosial. Termasuk dalam problem lembaga adalah penetapan konstitusi, undang-undang, dan peraturan. Jadi, kita perlu peta masalah-masalah fundamental ini kemudian merumuskan solusi.

[c] Problem Alat: Kalkulator AI

Mengapa kalkulator membantu pedagang pasar tetapi mengganggu siswa belajar? Mengapa AI membantu programer menulis kode program tetapi mengganggu siswa belajar? Mengapa teknologi membantu orang-orang tertentu tetapi merugikan lebih banyak orang lain?

Kita bisa menjawab pertanyaan ini dengan meminjam konsep teknologi dari Simondon (1924 – 1989). Simondon membedakan individu (badan), unsur, dan rangkaian. Untuk bisa memanfaatkan teknologi, misal kalkulator atau AI, kita perlu memahami badan ditambah satu rangkaian lebih tinggi dan satu unsur lebih rendah.

Kalkulator membantu pedagang pasar karena pedagang memahami badan, rangkaian, dan unsur. Tetapi siswa tidak sama dengan pedagang.

Bagi pedagang,

badan: jual-beli dagangan
rangkaian:
komunikasi dengan pembeli dan distributor
unsur: kalkulator, warung, dan barang dagangan

Untuk bisa sukses, pedagang wajib sangat mahir menguasai badan “jual-beli dagangan.” Sedangkan untuk rangkaian dan unsur, pedagang cukup mahir dalam menggunakannya. Misal pedagang perlu mahir menggunakan kalkulator untuk penjumlahan harga-harga barang dagangan. Tetapi pedagang tidak perlu memahami proses kalkulator menghitung penjumlahan itu. Karena kalkulator adalah unsur bukan badan.

Bandingkan dengan siswa belajar berhitung,

badan: belajar berhitung perkalian
rangkaian: latihan dan komunikasi dengan guru
unsur: penjumlahan, menulis, membaca

Siswa perlu mahir “berhitung perkalian” dan menggunakan “penjumlahan.” Kalkulator mengganggu proses-proses itu. Dengan kalkulator, siswa gagal memahami “penjumlahan” dan akibatnya siswa gagal “perkalian.” Jadi, siswa harus dilarang menggunakan kalkulator. Sementara, pedagang boleh menggunakan kalkulator.

Apakah mahasiswa akuntasi boleh menggunakan kalkulator? Boleh. Karena bagi mahasiswa akuntasi, kalkulator adalah sekedar “unsur” sehingga hanya perlu mahir menggunakan kalkulator tanpa harus memahami proses hitungan kalkulator.

Apakah mahasiswa informatika boleh menulis kode program pakai AI? Tidak boleh. Karena menulis kode, dalam koding, adalah “badan” yang harus mahir dikuasai oleh mahasiswa informatika.

Apakah programer senior boleh menulis kode pakai AI? Boleh. Karena bagi programer senior, yang sudah lulus dari kuliah informatika, menulis kode adalah “unsur” yang hanya perlu mahir menggunakannya. Bagaimana pun, programer senior tetap perlu waspada karena AI sering halu alias ngawur.

Jadi, meski kalkulator AI adalah alat tetapi posisi alat ini bisa sebagai “badan” atau “unsur”. Karena posisi kalkulator AI bagi siswa sebagai “badan” dalam belajar maka AI sering merugikan proses belajar siswa dan mahasiswa. Sementara, bagi pedagang dan programer senior, kalkulator AI bisa menguntungkan.

Menganggap teknologi sebagai alat adalah cara pandang paling rendah dalam memaknai teknologi. Teknologi adalah “teman hati” bagi umat manusia untuk mendaki nilai-nilai lebih tinggi.

[d] Badan Pendidikan

Badan utama pendidikan bersifat dinamis. Yang semula “unsur” bisa berubah menjadi “badan” dalam proses pendidikan berikutnya. Hal ini berbeda dengan “badan” pedagang yang cenderung stabil. Kalkulator akan tetap menjadi “unsur” bagi pedagang dalam rentang waktu yang lama; mungkin bertahun-tahun.

Hari ini, siswa bisa belajar “tanaman” sebagai “badan.” Sedangkan pupuk sekedar sebagai “unsur” hari itu. Pertemuan berikutnya, belajar pupuk menjadi “badan” utama pembelajaran. Jadi, siswa tidak cukup hanya mengenal pupuk; tetapi siswa perlu mempelajari pupuk secara mendalam sebagai “badan” pembelajaran.

Konsekuensinya, kita perlu super hat-hati menggunakan teknologi dalam pendidikan semisal kalkulator atau AI. Karena ada resiko bahwa kalkulator, atau teknologi, menggantikan tugas belajar “badan” utama bagi siswa.

Alat peraga cenderung aman karena bertugas memudahkan pemahaman siswa. Anak SD belajar penjumlahan uang 5 ribu + uang 2 ribu hasilnya adalah uang 7 ribu. Kemudian, tanpa uang, dia paham 5 + 2 = 7. Alat peraga berupa lembaran uang adalah baik-baik saja. Berbeda halnya dengan kalkulator. Siswa SD tekan tombol kalkulator menjadi tahu 5 + 2 = 7. Tanpa kalkulator, siswa SD itu tidak bisa menghitung 5 + 2 hasilnya berapa. Alat peraga, misal lembaran uang, menguatkan pemahaman siswa. Tetapi kalkulator, atau teknologi, merusak pemahaman siswa.

[e] Pemiskinan Siswa

Orang miskin semakin miskin; itulah pemiskinan atau proletarisasi. Miskin bisa meluas ke miskin jiwa, miskin pikiran, dan miski ilmu. Kita perlu waspada terhadap resiko pemiskinan terhadap siswa.

Penggunaan kalkulator oleh siswa SD adalah pemiskinan pikiran. Siswa SD menjadi malas berhitung dasar. Penggunaan AI oleh siswa, mahasiswa, atau masyarakat umum adalah pemiskinan pikiran. Masyarakat jadi malas berpikir karena semua bisa tanya ke AI. Jadi, andai AI bisa memberi jawaban yang valid maka tetap terjadi resiko pemiskinan. Lebih bahaya lagi karena AI sering halusinasi.

Proses pemiskinan perlu dilawan dengan proses anti-pemiskinan yaitu proses pengayaan; agar siswa kaya pikiran, kaya ide, dan kaya jiwa. Di antaranya, siswa perlu berlatih menulis bebas mulai dari 3 paragraf sampai 3 halaman; atau, bila sampai 30 halaman bisa menjadi buku. Dampak penting dari latihan menulis adalah siswa menjadi terlatih berpikir panjang, berpikir banyak, dan berpikir sistematis. Dampak sampingan yang lebih penting lagi adalah siswa menjadi lebih mudah paham dalam membaca; membaca buku mau pun membaca situasi.

Mengapa minat membaca turun drastis akhir-akhir ini?

Karena siswa, dan masyarakat umum, memang sudah tidak mampu “membaca” lagi. Mereka hanya bisa menonton gosip, hoaks, atau fitnah serba instan di media yang memang instan. Hanya sedikit orang yang mampu membaca. Kita perlu membangkitkan kembali minat baca para siswa dan masyarakat. Dengan latihan menulis, minat baca siswa akan tumbuh subur.

Sistem pendidikan yang berkualitas membutuhkan solusi yang utuh komprehensif. Meski demikian, praktek solusi pendidikan bisa bertahap dan sesuai dengan situasi konkret masing-masing wilayah. Pendidikan perlu merangkul teknologi yang tepat; dan menolak sebagian besar teknologi – secara bijak. Tumbuh kembang siswa adalah paling utama.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd
  2. avatar Paman APiQ
  3. avatar Tidak diketahui

3 Comments

Tinggalkan komentar

Tinggalkan Balasan ke Paman APiQ Batalkan balasan