Hakikat Manusia di Rumah Bahasa

Manusia bertanya siapa jati diri saya?

Beberapa orang terjebak dalam hampa; gelisah tanpa makna. Beberapa yang lain hidup sesak-makna; mereka memaksa orang lain untuk ikut seperti mereka; bila ada yang menolak bisa dipaksa musnah; atau, minimal ditimpa sumpah serapah. Mereka tampaknya belum menemukan jati diri mereka; atau, bahkan, mereka tidak bertanya tentang jati diri mereka. Apakah kita bertanya siapa jati diri kita?

Menemukan jati diri adalah prestasi besar bagi setiap orang. Anda hidup menjadi penuh makna; baik ketika derita mendera mau pun ketika bahagia penuh cahaya. Kali ini, kita akan berpetualang menemukan jati diri sejati melalui bahasa.

1. Kapasitas Bahasa: Lebih dari Komunikasi
2. Evolusi Jati Diri
3. Media Budaya
4. Makhluk Berbahasa
5. Koneksi Kosmis
6. Ringkasan
7. Diskusi
7.1 Esensi Bahasa
7.2 Falsifikasi Hermeneutik
7.3 Nasib Manusia

Kutipan dalam tulisan berikut bersumber dari buku The Language Animal karya Charles Taylor; kecuali disebut lain. Dalam bagian diskusi, kita akan membahas lebih jauh makna jati diri manusia. Dalam satu perspektif, makna jati diri manusia adalah tidak ada; karena manusia tidak memiliki jati diri. Mengapa? Karena, dari perspektif lain, jati diri manusia adalah anugerah; tentu bukan dari manusia; tetapi anugerah dari sumber anugerah.

Bahasa menjadi sarana amat penting untuk mengenali jati diri manusia. Sulitnya, bahasa bisa menjadi rumah bagi manusia sehingga nyaman. Kesempatan lain, bahasa bisa menjadi penjara bagi manusia yang mengekang setiap orang. Lebih sulit lagi, rumah dan penjara adalah sama gedungnya, sama warnanya, sama ukurannya, dan nyaris sama segalanya. Perbedaan rumah dan penjara adalah perbedaan hakikat semata: rumah nyaman untuk manusia tinggal; penjara tidak nyaman.

1. Kapasitas Bahasa: Lebih dari Komunikasi

“But the discussion in the preceding chapters has shown that there is
much more to language than this. We do indeed, observe, inform ourselves about the world of self- standing objects, and do all sorts of things with the information. But we also build ourselves landscapes of meanings, both human meanings and footings (and these are related). We make these meanings exist for us by enacting them, then expressing them, naming them, critically examining them, arguing about them, fighting (sometimes) about them (e.g., egalitarians struggling to transform a hierarchical culture).” (332).

Namun, pembahasan pada bab-bab sebelumnya telah menunjukkan bahwa bahasa memiliki fungsi yang jauh lebih luas dari sekadar menyampaikan informasi. Memang, kita menggunakan bahasa untuk mengamati dan memahami dunia di sekitar kita, serta untuk menyampaikan berbagai informasi. Tapi lebih dari itu, kita juga membangun makna—baik makna yang bersifat manusiawi maupun makna yang berkaitan dengan posisi atau peran kita dalam masyarakat (dan keduanya saling berkaitan).

Kita membuat makna-makna ini menjadi nyata bagi diri kita sendiri dengan mewujudkannya (1) melalui tindakan, kemudian (2) mengungkapkannya, (3) memberi nama pada makna tersebut, (4) meninjaunya secara kritis, (5) memperdebatkannya, dan bahkan kadang-kadang (6) memperjuangkannya—seperti yang dilakukan oleh para pendukung kesetaraan yang berupaya mengubah budaya yang bersifat hierarkis.

(a) Instrumental: Penjara Bahasa

Tentu saja, seseorang bisa membatasi bahasa sekadar sebagai alat, instrumen, untuk komunikasi. Batasan ketat ini menjadikan bahasa sebagai penjara untuk manusia.

(b) Konstitutif: Rumah Bahasa

Alternatif yang lebih luas adalah membongkar jeruji penjara dengan menjadikan bahasa sebagai rumah manusia. Dalam rumah bahasa, masih terdapat tembok-tembok pembatas; tetapi tembok pembatas itu bukan kekangan melainkan sebagai modal untuk kreativitas tanpa batas. Bahasa memiliki karakter konstitutif, pembentuk, rumah manusia.

“The media of these constitutive exercises are not only (1) verbal, but also (2) enactive. But we have right away to recognize another range of media: there are also (3) what I have called portrayals, in literature, music, painting, dance which “present” [darstellen] meanings while neither describing them (making assertions), nor enacting them.”

Media untuk membentuk bahasa adalah: (1) verbal; (2) enactive; mengaktifkan; (3) potret; perlambang.

“… the linguistic capacity is essentially more than (1) an intellectual one; (2) it is embodied: in enacted meanings, in artistic portrayals, in metaphors which draw on embodied experience, and also in the iconic gestural portrayal which accompanies everyday speech, not to mention the ubiquity of body language…”

Kapasitas bahasa bersifat (1) intelektual dan (2) menubuh: makna yang diwujudkan, seni, metafor, dan bahasa tubuh.

“… is essentially shared: it sustains (1) a shared consciousness of the world, within which (2) individuals differentiate themselves by becoming particular voices in an ongoing conversation. This shared understanding develops a place for monological speech and writing, but this option is available for us only because we are inducted into speech as conversation.”

Bahasa terjaga dan menjaga kebersamaan: (1) kesadaran bersama; dan (2) memantapkan ciri pribadi.

“So our language straddles the boundary between “mind” and body; also that between dialogical and monological. There is also a third distinction which is often invoked, that between signs which are arbitrary or “unmotivated” and those which are iconic or “motivated”.”

“Jadi, bahasa kita (1) melintasi batas antara “pikiran” dan tubuh; juga
(2) antara dialogis dan monologis. Ada pula perbedaan ketiga
yang sering disinggung, yaitu (3) antara tanda-tanda yang arbitrer atau “tidak termotivasi” dan tanda-tanda yang ikonik atau “termotivasi”.”

Bahasa adalah rumah manusia yang melintasi batas perbedaan: (1) pikiran dan tubuh; (2) dialog dan monolog; (3) arbitrer dan ikonik.

Tetapi bahasa sebagai penjara justru menegaskan perbedaan antara 3 hal di atas. Tantangan bagi kita adalah untuk mengembangkan rumah bahasa bukan hanya penjara.

2. Evolusi Jati Diri

“Now this autonomization is what occurs through the two special constitutive functions of language: the exploration and naming of human meanings on one hand, and the setting up of footings on the other, along with the contestations that arise in each domain. Through the first, normative patterns, ethical virtues, moral rules, the pursuit of truth, and the creation of beauty are established as ends in their own right. Through the second, social structures are erected which have intrinsic value. This crucial feature of human life is inseparable from the development of language and its constitutive powers. Hominization depends on language not only for the coding of information and the resultant greater efficacy of action, but also for the definition of the goals, values, and modes of relation which are essentially human. Th ese cannot be defined by verbal formulae alone, or by objectively identifiable patterns of action. They address us as embodied agents who can be moved on all levels by these human meanings.” (336).

Otonomisasi ini terjadi melalui dua fungsi utama bahasa yang sangat penting: (1) pertama, eksplorasi dan penamaan atas makna-makna manusia; dan (2) kedua, pembentukan posisi atau peran sosial, termasuk berbagai pertentangan yang muncul dalam kedua ranah tersebut.

Melalui fungsi pertama, kita menetapkan pola-pola norma, nilai-nilai etika, aturan moral, pencarian akan kebenaran, dan penciptaan keindahan sebagai tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri. Melalui fungsi kedua, terbentuklah struktur sosial yang memiliki nilai intrinsik.

Ciri penting dalam kehidupan manusia ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bahasa dan kekuatan dasarnya. Proses menjadi manusia (hominisasi) tidak hanya bergantung pada bahasa sebagai (1) alat penyampaian informasi dan peningkatan efektivitas tindakan, tetapi juga sebagai sarana untuk (2) menentukan tujuan hidup, (3) nilai-nilai, dan cara kita (4) berhubungan satu sama lain—hal-hal yang secara esensial menjadikan kita manusia.

Semua ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan rumus kata-kata atau pola tindakan yang bisa diukur secara objektif. Makna-makna manusiawi ini menyentuh kita sebagai makhluk yang berwujud dan merasakan, yang bisa tergerak di berbagai tingkat oleh makna-makna tersebut.

Evolusi jati diri terjadi dalam: (1) ontogenetik; (2) filogenetik.

Ontogenetik adalah seorang bayi belajar bersama alam sekitar, tumbuh remaja dan sampai dewasa. Taylor tampak setuju dengan teori Tomasello; berbeda dengan Chomsky. Seorang bayi memiliki potensi untuk belajar bahasa (tapi bukan universal grammar; hanya warisan sejarah sebagai bayi manusia). Bayi berinteraksi melalui peniruan terutama berupa ritual: bangun pagi, mandi, makan, ibadah, kerja, dan lain-lain. Sambil interaksi, bayi belajar bahasa melalui contoh-contoh nyata yang berulang-ulang. Usia 2 sampai 4 tahun, seorang bayi nyaris mampu menguasai seluruh bahasa yang umum digunakan.

Karena interaksi lingkungan sangat penting dalam ontogenetik bahasa maka keragaman lingkungan akan memicu keragaman bahasa; termasuk keragaman grammar bukan seragam. Meski demikian, manusia bisa menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain sampai batas tertentu.

Filogenetik mencermati perkembangan bahasa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Taylor tampak setuju dengan Merlin Donald bahwa filogenetik terjadi melalui ritual: ibadah, museum atau perpustakaan, pelestarian dan pengembangan budaya. Seorang anak yang berdoa di masjid, misalnya, ia terhubung dengan Tuhan, tokoh-tokoh agama masa lalu, dan realitas spiritual; terhubung dengan orang-orang dan masyarakat sekitar; terhubung dengan alam. Museum dan perpustakaan mengabadikan bahasa masa lalu dan masa kini demi masa depan. Tentu saja, pelestarian dan pengembangan budaya memperkaya bahasa dari generasi ke generasi.

3. Media Budaya

“Here we reconnect with the fruitful theory of Merlin Donald. In the
early stages it is likely that the capacity for mimicry played an important
role. Th is would often occur in ritual or quasi- ritual form; as with a solemn emphatic enactment of the social order; or rituals of connection with the spirits, for instance the spirit of the deer; or rituals of connection/reconnection with the whole cosmic order. These rituals would be one way of becoming aware of the orders within which human life was set, society and its embedding in the cosmos.”

Di sini, kita kembali pada teori menarik dari Merlin Donald. Pada tahap awal perkembangan manusia, (1) kemampuan untuk meniru (menirukan gerakan atau suara orang lain) kemungkinan besar punya peran penting. Kemampuan ini sering digunakan (2) dalam bentuk ritual atau kegiatan yang mirip ritual.

Misalnya, manusia melakukan upacara yang menunjukkan bagaimana aturan dalam masyarakat bekerja, atau melakukan ritual untuk terhubung dengan roh—seperti roh rusa, atau roh alam semesta. Melalui ritual-ritual ini, manusia mulai menyadari bahwa hidup mereka berada dalam suatu tatanan—baik dalam masyarakat maupun dalam hubungan dengan alam semesta yang luas.

“But this awareness was complemented by verbal accounts, particularly
narrative, in the form of myths, about gods, spirits, and heroes. Later these would be supplemented, and then criticized and replaced by another kind of account, which Donald calls “theoretical”; philosophy, metaphysics, self consciously nonmythical histories.”

Namun, kesadaran ini didampingi oleh penuturan lisan, terutama dalam bentuk (1) cerita atau narasi mitos tentang Tuhan, roh, dan pahlawan. Di kemudian hari, cerita-cerita ini dilengkapi, lalu dikritik dan akhirnya digantikan oleh jenis penjelasan lain yang disebut oleh Donald (2) sebagai “teoritis”—yakni filsafat, metafisika, dan sejarah yang secara sadar tidak bersifat mitologis.

Kisah sedih selanjutnya terjadi di era modern Barat. Bahasa (3) dilucuti dari kekayaan sejarahnya menjadi hanya “teoritis” belaka. Bahasa matematika berupa angka atau simbol matematika menjadi paling utama. Bahasa matematika misal 2 + 1 = 3 untuk bilangan asli adalah valid bernilai benar secara absolut. Bahasa matematika menjadi mandiri terlepas dari sejarah, lingkungan, budaya, ruang, dan waktu.

Bila suatu bahasa matematika masih terhubung dengan suatu budaya maka hubungan tersebut dinilai sebagai subyektif; sebagai kualitas rendah yang perlu dihilangkan; agar menjadi obyektif murni. Bila bahasa apa pun mengandung aspek subyektif maka harus direndahkan, dipinggirkan, atau dimurnikan agar menjadi obyektif. Pemisahan obyek dengan subyek menjadi makin tegas dan mengantar manusia menuju jurang krisis kemanusiaan. Bahasa berubah menjadi penjara untuk saling dominasi antar pihak. Kita perlu mengembalikan bahasa sebagai rumah umat manusia, bukan penjara, untuk tumbuh kembang bersama.

4. Makhluk Berbahasa

“The upshot of all this is that we should feel the need to return to, while
reexamining, Aristotle’s defi nition of the human being as “Zwon echon logon”. This has been traditionally translated as “rational animal”; and may be we should bring this back to a more direct rendering as “animal possessing ‘logos’ ”, where this Greek word is allowed its full stretch of polysemy: ‘logos’ meaning in some contexts “word”, in others “discourse”, in others “account”. In short we might render it as “animal possessing language”. Th at this will in the end involve some notion of reason as crucial to human life is without doubt, but what this “reason” involves requires a lot of further examination.” (338).

Inti dari semua pembahasan ini adalah bahwa kita perlu kembali meninjau dan mempertimbangkan kembali definisi manusia yang pernah dikemukakan oleh Aristoteles, yaitu “Zōon echon logon.”

Selama ini, ungkapan tersebut sering diterjemahkan sebagai “makhluk rasional”. Namun, mungkin sudah waktunya kita menerjemahkannya secara lebih langsung sebagai “makhluk yang memiliki logos”. Kata logos dalam bahasa Yunani memiliki banyak makna—dalam beberapa konteks berarti “kata”, di konteks lain bisa berarti “wacana” atau “penjelasan”.

Singkatnya, definisi ini bisa dimaknai sebagai “makhluk yang memiliki bahasa.” Memang, pemahaman ini tetap menyiratkan bahwa “akal” atau “nalar” memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “akal” ini masih membutuhkan pembahasan dan pemahaman yang lebih mendalam.

Hakikat manusia adalah makhluk berbahasa. Anggap makna makhluk adalah seperti makna umumnya yaitu tumbuhan, binatang, dan manusia itu sendiri. “Berbahasa” atau memiliki bahasa adalah pembeda utama sebagai manusia. Kita akan lanjut mengkaji makna-bahasa itu apa.

Bahasa memberi manusia kapasitas lentur untuk menjadi apa saja.

(1) Manusia mirip dengan binatang dalam banyak hal: berkumpul, makan, minum, bercinta, beranak, dan lain-lain. Hanya saja, kucing di Asia hampir mirip-mirip saja dengan kucing di Eropa. Tetapi manusia di Asia bisa sangat beda dengan manusia di Eropa. Mereka berbeda dalam jenis makanan, cara berpakaian, bentuk tarian, musik, dan lain-lain. Perbedaan ini tampak tidak masalah. Bagaimana pun ada perbedaan manusia yang tidak bisa didamaikan.

Di Asia pasangan yang tepat adalah poligami; 1 suami dengan 2 istri atau lebih. Di Eropa tertentu pasangan yang tepat adalah poliandri; 1 istri dengan 2 suami atau lebih. Bila Anda mendukung poligami maka Anda harus menolak poliandri. Demikian halnya bila Anda mendukung monogami.

Adakah nilai universal? Mana satu yang universal: poligami, monogami, atau poliandri?

Bila kita terbuka terhadap jalannya sejarah maka kita lebih mudah memahami dengan bantuan bahasa yang fleksibel. Di wilayah yang menganjurkan poligami, saat itu, jumlah laki-laki hanya sedikit; sedangkan jumlah perempuan jauh lebih banyak. Dialog dalam sejarah sepakat bahwa mereka menguatkan etika poligami. Sebaliknya, di wilayah yang menganjurkan poliandri, mereka sedang berada dalam sejarah di mana jumlah perempuan amat sedikit; sementara jumlah laki-laki lebih banyak; sehingga perlu etika poliandri. Tentu saja, butuh usaha ekstra untuk bisa saling memahami dari pandangan etika yang saling berlawanan ini.

Jadi, bahasa menyediakan fleksibilitas bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan situasi komunitas secara konkret.

(2) Etika universal. Kita bisa menjawab positif: ada etika universal. Contoh: menghormati ibu adalah etika universal; semua orang di dunia sepakat.

Era Axial disebut sebagai kemunculan besar-besar etika universal di seluruh dunia dengan tokoh-tokoh: Budha, Konghucu, Nabi Musa, Socrates, dan lain-lain. Etika universal ini mengarahkan kita untuk meraih kebaikan yang lebih tinggi dari kebaikan umum. “Hidup sederhana lebih bernilai dari foya-foya” berlaku secara universal. “Menolong orang lemah adalah mulia.” “Jangan mencuri apalagi korupsi.”

Etika universal sering menuntut pengorbanan diri, bahkan, pengorbanan sosial demi kebaikan yang lebih tinggi. “Menolong korban bencana alam atau bencana perang” adalah mulia dan bisa saja kita tetap menolong meski diri kita sedang dalam kondisi sulit secara ekonomi. Manusia mampu untuk fleksibel semacam itu dengan bantuan bahasa. Selain manusia, misal kucing, tidak bisa fleksibel yang seperti itu karena kucing tidak memiliki bahasa.

Lalu, apa etika universal tertinggi? Mengungkapkan bahasa yang baik adalah etika universal tertinggi; atau, salah satu yang tertinggi. Mengapa Anda “berterima kasih” ke saya? Karena bahasa “berterima kasih” adalah etika tertinggi. Mengapa Anda “menasehati” saya? Karena bahasa “menasehati” adalah etika tertinggi. Mengapa Anda mengucapkan salam? Karena ucapan salam adalah etika tertinggi.

Bukankah tindakan nyata lebih bernilai dari sekadar ucapan bahasa?

Tentu tindakan adalah bernilai. Tetapi, nilai dari suatu tindakan bergantung kepada bahasa Anda; baik terucap atau pun bahasa dalam hati. Sehingga, doa adalah etika universal dengan kebaikan paling tinggi.

(3) Perlawanan terhadap universal. Meski etika universal tampak baik-baik saja tetapi sering terjadi perlawanan. Lagi-lagi, perlawanan ini menunjukkan betapa fleksibel manusia dengan bantuan bahasa.

Contoh paling terkenal adalah perlawanan oleh Joker dalam kisah fiksi Batman.

“… but rather from an excitement aroused in us by the rejection of the good itself. The motive here would be a kind of joy in destruction, a sense of heroic greatness in tearing down what the ethic of universal benevolence has tried to build.”

Joker menikmati kehancuran tatanan kota; menikmati tangisan derita penduduk; menikmati kesulitan yang ditanggung Batman.

Bagaimana dengan presiden Trump? Apakah menikmati kekacauan para mahasiswa luar negeri yang kehilangan beasiswa? Apakah menikmati tangisan orang-orang miskin yang kehilangan rumah dan kerja akibat tarif ekspor impor yang melangit?

Bagaimana dengan Netanyahu? Apakah dia menikmati kehancuran Gaza? Apakah bahagia dengan reruntuhan Tepi Barat? Taylor menyebut kejahatan yang dilakukan oleh Joker sebagai jahat-radikal atau radical-evil. Bagaimana jahat-radikal ini bisa muncul seiring bahasa masih menjadi misteri.

Apakah jahat-radikal ini memang perlawanan terhadap etika-universal? Tidak. Karena etika-universal tidak bisa dilawan; secara prinsip, semua manusia menerima etika-universal. Tetapi ada kemungkinan kamulfase-universal; yaitu mereka klaim sebagai etika-universal tetapi sejatinya hanya kamuflase. Bagaimana pun, kamuflase adalah jahat dan jahat-radikal memang jahat juga.

Mari kita ambil contoh kasus bom-Marriot beberapa dekade yang lalu.

Hotel Marriot klaim bahwa etika kapitalisme adalah universal; mengejar profit adalah universal. Tentu, kita sadar, itu hanya kamulfase universal; mengejar profit bukan etika universal. Kamuflase universal ini tampak dalam bentuk yang melanggar tatanan lokal misal mabuk-mabukan atau seks bebas; yang dinilai sebagai maksiat. Beberapa pihak melakukan perlawanan berupa bom terhadap Marriot karena menjadi pusat maksiat.

(a) Kamuflase universal menjadi pemicu; bukan etika universal sebagai pemicu. Kamuflase itu sendiri adalah jahat.

(b) Perlawanan berupa bom melukai banyak orang adalah tetap jahat.

(c) Etika universal adalah bahasa yang baik. Sementara kamuflase universal membutuhkan tindakan, sering berupa dominasi, untuk tegak.

Mari kita ringkas: hakekat manusia adalah makhluk berbahasa. Dengan bahasa, manusia menjadi sangat fleksibel: (1) adaptasi sesuai situasi konkret; (2) meraih etika universal; (3) risiko terjebak dalam kejahatan.

Fleksibilitas manusia yang sangat besar ini kami sebut sebagai posibilitas dalam buku Probabilitas et Realitas (2025). Hakikat manusia adalah suatu posibilitas menuju posbilitas lain yang lebih luas. Bahkan, kematian manusia adalah pembuka posibilitas yang imposibel bila tidak mengalami kematian. Jadi, manusia adalah posibilitas demi posibilitas. Apa posibilitas yang Anda buka secara luas?

5. Koneksi Kosmis

“Now to indicate in summary, provisional fashion, what this connection
amounts to, I’d like to look again at nature and role of ritual. Ritual serves to reconnect us to the whole. So I spoke above of rituals of reconnection. These not only serve to reconnect with the gods/spirits/cosmos, but also are the principal path by which this triple reality is conceived or understood, along with myth.” (343).

Sebagai rangkuman sementara, saya ingin menjelaskan kembali makna dari hubungan ini dengan melihat pada sifat dan peran ritual. Ritual berfungsi untuk menghubungkan kembali manusia dengan keseluruhan tatanan kehidupan.

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, ritual-ritual ini bertujuan untuk menjalin kembali hubungan—baik dengan Tuhan, roh, maupun dengan alam semesta. Namun lebih dari itu, ritual juga merupakan jalan utama bagi manusia untuk memahami keberadaan tiga hal tersebut (yaitu Tuhan/roh, alam semesta, dan kehidupan manusia itu sendiri), bersama-sama dengan mitos sebagai bentuk penjelasan simbolis dan naratif.

Sains modern yang mereduksi segala sesuatu menjadi angka belaka, atau menjadi sekadar data, adalah keliru besar.

“But my sense throughout this book has been that this reductive stance
is mistaken, and that these historically evolving intuitions correspond to
something real and important in our relation to our natural environment, something that we need to understand better, appreciate more fully, and in the end cherish more strongly—if this relation is not to turn terminally lethal. … I am proposing that the need / desire for cosmic connection has been a perennial feature of human life.” (Cosmic Connection, 596).

Namun, saya berpandangan bahwa pendekatan yang terlalu menyederhanakan suatu hal adalah keliru. Intuisi-intuisi yang terus berkembang sepanjang sejarah manusia, yang mendorong kita untuk merasakan keterhubungan, sesungguhnya memiliki nilai nyata dan penting dalam hubungan kita dengan lingkungan alam. Hubungan ini perlu kita pahami dengan lebih baik, hargai secara lebih penuh, dan pada akhirnya kita jaga dengan lebih kuat, agar tidak berubah menjadi sesuatu yang sangat merugikan.

Saya mengusulkan bahwa kebutuhan atau keinginan untuk terhubung secara kosmik—yaitu, merasakan ikatan mendalam dengan alam semesta yang luas—telah menjadi ciri khas yang abadi dalam kehidupan manusia.

“I have traced in this book some of the crucial stages of this aspiration to reconnect. And I am now, at the very end of this book, looking speculatively beyond its time frame of a scant two and a half centuries, to posit the idea of a perennial longing to invoke and renew this sense of connection.

As I said in that book, the “landscapes” of meaning we live by are never fully explicable by features of the world beyond our experience but have
to be explained and justified hermeneutically. Many of the crucial meanings that our world has for us are only identifiable in what I have
called here the “interspace.” …

On the other side, it invites us to engage in this navigation, this attempt to articulate what is really of ultimate importance to us, in the full gamut of media available to us, including the poetry which has been central to our discussion in this book. “(CC, 598).

Wilayah makna hubungan kosmik (1) tidak bisa digapai oleh bahasa abstrak matematika; tidak bisa bahasa metafisika; tidak bisa bahasa teoritis; tidak bisa penjara bahasa. Untuk meraih hubungan kosmik kita membutuhkan (2) bahasa hermeneutik; bahasa yang menggali makna terus-menerus; bahasa sebagai rumah umat manusia.

Semua ini mengajak kita untuk menyebut nama-nama paling indah; mengartikulasikan makna paling penting dengan berlimpahnya media bagi kita. Bahasa (3) puisi menjadi media utama untuk memasuki rumah bahasa.

6. Ringkasan

Bahasa memiliki dua mode: (1) instrumentalisme yang menjadikan bahasa sebagai penjara; (2) konstitutif yang menjadikan bahasa sebagai rumah umat manusia. Awalnya, bahasa adalah sebagai rumah. Kemudian, pihak-pihak tertentu mengubahnya menjadi penjara melalui dominasi.

Hakekat manusia di rumah bahasa adalah sebagai makhluk berbahasa yang memiliki fleksibilitas sangat luas: (1) dengan bahasa manusia mampu adaptasi terhadap situasi konkret dan membangun etika; (2) lebih lanjut mengembangkan etika universal; (3) dengan bahasa juga, manusia dalam risiko terjebak jahat-radikal.

Apa makna dari sebuah kata? Makna sebuah ucapan? Makna suatu bahasa? Makna dari sebuah kata adalah bersifal putaran hermeneutik; lingkaran hermeneutik; yang senantiasa menuju futuristik. Langkah menuju futuristik ini adalah penguatan dari hubungan kosmis; penguatan segala anugerah.

7. Diskusi

Bagaimana menurut Anda?

Taylor berhasil mengembangkan teori bahasa yang luas dan mendalam. Teori bahasa ini makin sempurna dengan terbitnya Cosmic Connection di 2024; Taylor usia 91 tahun kala itu.

Bagaimana hubungan bahasa dengan time? Dengan being? Dengan kehidupan setelah wafat?

7.1 Hakikat Bahasa

Apa sejatinya bahasa itu? Apa hakikat bahasa? Apa esensi konkret dari eksistensi bahasa?

Taylor bisa menjawab hakikat bahasa adalah yang dibahas oleh dua buku itu: The Language Animal dan Cosmic Connections. Meski dua buku itu menjelaskan hakikat bahasa dengan baik, kita membutuhkan penjelasan lebih singkat; barangkali sekitar 5 paragraf saja. Sulit untuk menemukan jawaban singkat dari Taylor. Kita akan mencobanya.

“But clearly the Romantics had a stronger thesis than this. They wanted
to claim not just that A-through- B structures play a big role in language, but also that signs really do inhere in things, and that we have lost the capacity to read them. This means that seeing the signs correctly is reconnecting; and that this makes a real difference; an ethical difference, in that it constitutes an important human realization. This needs further explanation.” (CC, 22).

“All this was lived by many people with a sense of loss, and with a corresponding aspiration to recover a contact with nature which the large scale, successful application of instrumental reason was destroying. This sense of loss, and longing to recover the link to nature, was a central aspiration of the Romantic period, and remains powerful today.” (CC, 23).

Esensi bahasa adalah: (1) instrumen komunikasi; (2) konstitutor realitas; (3) jawaban dari sapaan Tuhan.

Esensi bahasa sebagai instrumen dan konstitutor sudah kita bahas. Sedangkan esensi bahasa sebagai “jawaban” dari sapaan Tuhan adalah mengagetkan banyak pihak. Tuhan menyapa manusia melalui bahasa kemudian manusia menjawab berupa bahasa pula.

Naturalisme yang tidak membahas Tuhan, mereka selalu bingung bagaimana bahasa bisa muncul dalam peradaban manusia pertama kali. Mereka mengira bahwa jaman dahulu, kuno banget, ada masa ketika nenek moyang manusia tidak punya bahasa. Kemudian, nenek moyang itu berteriak menghasilkan suara-suara. Seiring waktu, suara-suara itu dikenali oleh nenek moyang sebagai bahasa; terciptalah bahasa. Anggapan seperti itu tidak terbukti benar.

Karena agar nenek moyang bisa mengubah suara-suara menjadi bahasa, nenek moyang perlu konsep berpikir yang berupa bahasa. Jadi, nenek moyang sudah memiliki bahasa ketika hendak mengubah suara menjadi bahasa. Kemampuan bahasa itu sudah ada pada nenek moyang; itu yang benar. Kemudian Tuhan menyapa nenek moyang melalui perjumpaan dengan orang lain atau melalui monolog; nenek moyang menjawab sapaan berupa bahasa.

“God didn’t teach us language in the way we teach each other. But on the other hand, our language is a response to God’s, the language of signs in the world. We don’t develop language fully on our own, as the mainline Enlightenment theory had it, and as Herder seemed to be saying in his own way. Our language is already a reply to a message addressed to us, a reply which consists of a translation. Language is thus in its very origin dialogical and continues to develop in exchange between human beings.” (CC, 30).

7.2 Falsifikasi Hermeneutik

Apakah esensi bahasa, sebagai jawaban atas sapaan Tuhan, bisa diuji secara ilmiah? Bisa difalsifikasi?

Popper menyadari bahwa falsifikasi berlaku terbatas kepada sains empiris. Esensi bahasa sebagai jawaban sapaan Tuhan bisa kita kenali secara empiris. Hanya saja, proses falsifikasi ala Popper justru memerlukan esensi bahasa sudah hadir lebih awal. Tanpa esensi bahasa, kita tidak bisa melakukan falsifikasi. Jadi, falsifikasi datang terlambat setelah esensi bahasa.

Cara yang lebih tepat mengenali esensi bahasa adalah melalui proses hermeneutik melingkar tanpa henti. Untuk bisa memahami esensi bahasa, kita butuh interpretasi; sedangkan untuk interpretasi, kita butuh esensi bahasa; kita berada dalam lingkaran hermeneutik yang tepat.

Esensi bahasa adalah (4) sapaan Tuhan: bagaimana manusia bisa mengucapkan bahasa? Manusia bisa mengucapkan bahasa karena esensi bahasa yang diucapkan oleh manusia adalah sapaan Tuhan yang sudah berupa bahasa. Tuhan menganugerahi manusia suatu bahasa. Kemudian Tuhan menyapa; lalu, manusia mengucapkan bahasa.

Bagaimana manusia bisa menerima anugerah bahasa? Manusia bukan suatu badan yang menerima anugerah bahasa. Manusia (5) adalah esensi bahasa itu sendiri. Tuhan berfirman dan firman itu adalah manusia.

Sampai di sini, kita mengenali esensi bahasa adalah: (1) instrumen komunikasi; (2) konstitutor realitas; (3) jawaban; (4) sapaan Tuhan; (5) esensi manusia. Kita bisa memahami beragam esensi bahasa tersebut dengan syarat berani mendobrak jeruji penjara bahasa sebagai instrumen; sehingga bahasa adalah rumah bagi umat manusia.

7.3 Nasib Manusia

Bagaimana nasib manusia sehubungan dengan esensi bahasa?

Secara garis besar ada dua macam nasib: (1) sengsara dalam penjara instrumen bahasa; atau (2) bermakna dalam rumah bahasa konstitutif realitas.

Penjara bahasa terbagi dua ekstrem: (a) penguasa elit yang mendominasi seluruh warga; dan (b) warga alit rakyat jelata tanpa daya. Penguasa elit bingung karena makin besar kekuasaan justru makin linglung. Warga alit, dalam jumlah yang besar, banyak yang sama bingung menjadi korban penindasan. Sebagian warga alit berjuang untuk bebas dari penjara menuju rumah bahasa. Sebagian sangat kecil dari penguasa elit juga berjuang untuk lepas dari penjara. Terdapat spektrum gradasi dari warga alit sampai penguasa elit.

Di tempat lain, penghuni rumah bahasa mengembangkan nasib yang lebih bermakna: ketika hidup mau pun mati. Manusia hidup di rumah bahasa dengan bantuan metafora, perlambang, dan puisi.

“We have to avoid two unsatisfactory notions of what philosophical poetry could be. Jarvis’ reflections on the possible relations of poetry to philosophy take us beyond the choice between (1) seeing poetry as a potentially decorative and pleasing presentation of a philosophical doctrine already elaborated elsewhere, on one hand, and (2) elevating it to the status of a direct route to philosophic truth, independent of ratiocination and argument, on the other. (1) denies that poetry can be a source of deep insight; (2) fails to see that it convinces through the force of the experience of connection, which is very different from conviction gained through the force of argument. This means that by its very nature, poetic insight will often be incomplete, tentative, and enigmatic (which is not to say that philosophical argument, which aims at clarity and certainty, will not frequently fail to encompass these in its own way); but it also means that serious philosophy cannot afford to ignore poetic insight.” (CC, 35-6).

Puisi berfungsi: (1) membantu memahami konsep filosofis dengan jalan yang lebih ringan; (2) mengangkat pemahaman manusia ke tingkat yang lebih tinggi dari proses pemahaman filosofis; secara langsung. Taylor mengingatkan peran penting: (3) menguatkan koneksi kosmis; termasuk koneksi antara nalar rasional, argumen filosofis, dan pengalaman estetis; termasuk pengalaman eksistensi ruhaniah. Bersama puisi, alam semesta kembali bertabur pesona.

But they both propose poetry as a way of filling the gap; more exactly a way of recovering the lost connection in a new form: what will sometimes be understood later as a way of “reenchanting the world.” (CC, 36).

Banyak posibilitas luas yang tersedia untuk nasib manusia di rumah bahasa. Terbuka posibilitas menembus sejarah masa lalu, mengarungi ombak kehidupan masa kini, dan menatap cahaya terang masa depan. Hakikat manusia berjalin kelindan dengan hakikat bahasa, hakikat waktu, dan hakikat wujud.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar