Massa menjarah rumah Sahroni, Eko, Uya, dan Sri. Apakah para penjarah ini melanggar hukum pidana? Apakah mereka bertindak kriminal? Apakah mereka perlu dihukum penjara?

Kita butuh hakim yang bijak untuk menghakimi mereka: sebagian massa yang menjarah rumah Sahroni. Tidak cukup hanya KUHP atau undang-undang belaka. Bila cukup dengan undang-undang maka masukkan undang-undang ke AI kemudian AI akan memutuskan apakah pelaku itu bersalah. Tidak bisa seperti itu. Kita membutuhkan manusia yang bijak untuk menghakimi kasus ini.
1. Mengikuti Aturan Wittgenstein
2. Berpikir Aturan Heidegger
3. Kejahatan Banal Arendt
4. Diskusi
Hakim Frank Caprio adalah hakim bijak yang manusiawi telah meninggal dunia sepekan sebelum terjadi demo besar 2025 di Jakarta dan Indonesia. Hakim Caprio menampilkan suasana sidang yang haru dan, bahkan, lucu. Kita terhibur dan tertawa oleh bijaknya seorang hakim Caprio.
Salah satu kasus adalah seorang kakek mengemudi mobil melanggar lampu merah lalu lintas. Lampu menyala merah tetapi kakek itu terus menerobos. Kakek kena tilang dan menghadapi pengadilan oleh hakim Caprio.
“Jelaskan siapa diri Anda dan kejadiannya,” perintah hakim Caprio.
“Saya seorang laki-laki usia 96 tahun yang tidak mengendarai mobil kecuali terpaksa. Saya berkendara selalu dengan pelan-pelan.”
“Mengapa Anda menerobos lampu merah?” tanya Caprio.
“Saya buru-buru mengantar anak saya untuk perawatan cek darah ke rumah sakit. Anak saya mengidap kanker sejak kecil.”
“Berapa usia anak Anda?”
“Usia 63 tahun.”
“Anda merawat anak sampai sekarang?”
“Benar.”
“Kita membutuhkan banyak orang yang tetap menjaga anak-anaknya sampai kapan pun. Anda dibebaskan dari segala tuntutan,” hakim Caprio memutuskan.
Secara aturan tertulis, kakek melanggar aturan lampu merah. Secara bijak, hakim Caprio membebaskan kakek dari segala tuntutan; dengan mempertimbangkan konteks dan situasi apa yang terjadi. Bagaimana dengan para pelaku satroni rumah Sahroni?
1. Mengikuti Aturan Wittgenstein
Wittgenstein (1889 – 1953) adalah pemikir jenius abad 20. Bahkan bisa lebih jenius dari Einstein. Wittgenstein mengajukan pertanyaan paradoks, “Apakah manusia bisa mengikuti aturan?” Sampai sekarang tetap paradoks.
(a) Manusia bisa mengikuti aturan; tetapi manusia sejatinya hanya mengikuti pikiran dan hati mereka sendiri; bukan mengikuti aturan.
(b) Manusia tidak bisa mengikuti aturan; tetapi manusia selalu bisa menyatakan bahwa dia telah mengikuti aturan tertentu; aturan yang telah ada atau pun aturan yang baru dibuat.
2. Berpikir Aturan Heidegger
Heidegger (1889 – 1976) adalah pemikir terbesar abad 20. Heidegger menyatakan bahwa tugas manusia bukan untuk mengikuti atau melanggar aturan. Tugas manusia adalah untuk menghormati aturan karena setiap aturan sejatinya adalah aturan dari Tuhan. Apa maksud menghormati aturan?
Menghormati aturan adalah berpikir untuk memahami aturan kemudian memutuskan untuk: (a) mengikuti aturan; (b) tidak mengikuti aturan; atau (c) membuat aturan baru. Tindakan menghormati aturan adalah tindakan besar yang menuntut manusia berpikir secara mendalam.
3. Kejahatan Banal Arendt
Hannah Arendt (1906 – 1975) adalah filsuf politik terhebat abad 20. Arendt mengejutkan dunia dengan melaporkan kejahatan banal yang dilakukan oleh Eichmann seorang pegawai Nazi. Eichmann telah menyebabkan ratusan atau ribuan Yahudi dihukum mati dalam kamp konsentrasi Nazi. Arendt bertugas meliput sidang tuntutan terhadap Eichmann di pengadilan Israel. Sebagai seorang Yahudi, Arendt diharapkan akan mengungkap kejahatan terbesar di dunia yang telah dilakukan oleh Eichmann.
Arendt melaporkan bahwa Eichmann telah melakukan kejahatan besar yaitu kejahatan banal; kejahatan yang tampak biasa-biasa saja tetapi dampaknya luar biasa. Kejahatan banal Eichmann adalah kamuflase “Saya sekadar menjalankan aturan.”
Eichmann, waktu itu sekitar perang dunia 2, mendapat tugas untuk mendaftar nama-nama orang Yahudi. Kemudian, Eichmann menyerahkan daftar nama itu ke tentara Nazi. Hari demi hari, Eichmann bekerja sesuai aturan yaitu menjalankan tugas. Laporan Arendt menunjukkan itulah kejahatan banal: sekadar menjalankan aturan; sekadar menjalankan tugas.
4. Diskusi
Bagaimana menurut Anda?
Hakim adalah seorang yang bijak; yang berlimpah hikmah. Hakim tidak sekadar menjalankan aturan; hakim tidak sekadar menjalankan tugas. Hakim berpikir mendalam: apakah vonis hukuman atau membebaskan; atau mengajukan aturan baru. Hakim memang menghadapi paradoks.
Mempertimbangkan pandangan Arendt, Heidegger, Wittgenstein, Caprio, dan lainnya maka apakah para pelaku satroni Sahroni perlu dihukum? Atau perlu dibebaskan?
Anda tentu pernah dengar cerita tentang Abu Nawas yang cerdik itu. Bagaimana jika Abu Nawas menjadi hakim? Ayah dari Abu Nawas adalah seorang hakim yang bijak. Ketika sang ayah makin tua, masyarakat mendorong Abu Nawas agar jadi hakim menggantikan ayahnya. Di satu sisi, Abu Nawas lebih cerdik. Di sisi lain, Abu Nawas mewarisi sikap bijak dari ayah.
Beberapa tahun kemudian, ayah yang hakim bijak itu meninggal dunia. Abu Nawas berbakti dengan melaksanakan pemakaman ayahnya dengan khidmat. Abu Nawas mencium ayahnya untuk terakhir kali. Tercium aroma wangi dari telinga kanan ayah. Tetapi, tercium bau busuk dari telinga kiri ayah. Selesai upacara pemakaman, dukungan masyarakat makin kuat agar Abu Nawas menjadi hakim tertinggi menggantikan almarhum ayahnya.
Abu Nawas tidak bisa menolak dukungan warga. Tapi, Abu Nawas merasa keberatan untuk jadi hakim. Abu Nawas menemukan solusi: ia menjadi gila. Warga tidak bisa komunikasi dengan Abu Nawas yang gila itu: ia selalu ngelantur kemana-mana dalam bicara. Abu Nawas tidak pantas lagi untuk menjadi hakim. Warga kemudian sepakat memilih orang lain sebagai hakim di sana.
Setelah terpilih hakim itu, Abu Nawas sembuh dari gilanya. Warga bertanya, “Mengapa Abu Nawas pura-pura gila?”
“Ayahku yang amat bijak itu saja sebelah telinganya berbau busuk karena menjadi hakim. Bagaimana bila saya jadi hakim? Bukan hanya telinga yang busuk. Mata, hidung, dan mulutku bisa menjadi busuk karena menjadi hakim,” terang Abu Nawas.
Tugas menjadi hakim adalah sangat berat. Berpikirlah yang panjang dan mendalam sebelum menghakimi apa pun itu.

Tinggalkan komentar