Jika tampak ada pertentangan moral antara ajaran kitab suci dengan akal maka kita harus memilih yang mana?

Bisa saja tafsir terhadap kitab sucinya salah maka kita harus berpegang kepada akal. Tapi bisa saja, akal yang salah paham sehingga kita harus berpegang kepada kitab suci. Bila kitab suci dan akal sama-sama benar tetapi bertentangan maka pilih yang mana?
Sambil memikirkan hubungan kitab suci dengan akal, silakan mempertimbangkan dilema Nabi Ibrahim untuk mengorbankan Putranya; dan sikap Hamzah membela minoritas. Kesimpulan awal: akal membutuhkan kitab suci dan kitab suci membutuhkan akal.
Dilema Ibrahim: Tuhan memerintahkan agar membunuh putranya. Haruskah Ibrahim mengikuti perintah Tuhan? Atau Ibrahim harus mengikuti akal untuk melindungi putranya?
Sikap Hamzah: Hamzah menolak ajaran Islam ketika Nabi mengajaknya untuk memeluk Islam. Seiring waktu, pemeluk Islam di Makkah terus bertambah meski amat minoritas sebagai muslim. Abu Jahal, seorang paman Nabi sebagaimana Hamzah, melakukan penindasan kepada minoritas muslim. Hamzah menolak penindasan itu dengan membela minoritas muslim dengan cara Hamzah memeluk agama Islam.
1. Posisi Kitab Suci dan Akal
(A) Bantuan Pengetahuan (Epistemik)
(B) Bantuan Motivasi
(C) Kemungkinan Kebajikan Tertinggi
(D) Menyelesaikan Masalah Koordinasi
(E) Persyaratan Spiritual
(F) Menghargai Hubungan Kita dengan Tuhan
(G) Nilai Devosional
(H) Dasar untuk Perluasan Moralitas Non-Antroposentris
(I) Penguatan Kebenaran dan Pikiran
(J) Diskusi
2. Utamakan Kitab Suci
(A) Ghazali
(B) Abdul Jabbar
(C) Farabi
3. Utamakan Akal
(A) Ar Razi
(B) Akal Jujur
(C) Interpretasi Kontekstual
4. Penguatan
(A) Penguataan Kebenaran-Realitas
(B) Penguatan Pikiran
(C) Petunjuk Beda dengan Klaim Kebenaran
(D) Hakikat Manusia Futuristik
(E) Hakikat Manusia Asli
5. Diskusi
5.1 Keragaman
5.2 Kitab Suci Konkret
5.3 Akal Konkret
Ibrahim mengutamakan perintah Tuhan untuk mengorbankan putranya; dan melemahkan posisi akal di bawah perintah Tuhan. Hamzah berbeda. Hamzah menolak ajakan Nabi; melemahkan perintah Tuhan untuk masuk Islam pada awalnya. Hamzah menguatkan sikap akal untuk membela minoritas yang tertindas. Baru setelah itu, Hamzah menerima ajaran Tuhan dengan memeluk Islam. Mana yang harus menjadi teladan: Ibrahim atau Hamzah?
1. Posisi Kitab Suci dan Akal
Kutipan-kutipan dalam bahasa Inggris berikut bersumber dari karya Amir Saemi yang terbit 2024.
“(A) Epistemic Assistance. Scripture’s moral teachings about benevolence and justice can help ordinary people to learn about the high demands of morality. Our vices sometimes cloud our moral reasoning, and self-interest might prevent some people from knowing what moral obligations they have. Scripture can help many people across the world to know about their moral duties and obligations. Consider these (Medinan and Meccan) verses of the Qur’an: “You will not attain virtuous conduct until you give of what you cherish” (3:92). “And to be of those who believe, and advise one another to patience, and advise one another to kindness” (90:17). Ideally, we should know by reason that virtue requires sacrifice, and that we have an obligation to be kind to one another. But verses like these are very reassuring and instructive for people who might have reservation about how they should live their lives.”
(A) Bantuan Pengetahuan (Epistemik):
Ajaran moral dalam kitab suci mengenai kebaikan hati dan keadilan dapat membantu masyarakat umum memahami tuntutan tinggi dari moralitas. Terkadang, kebiasaan buruk kita bisa mengaburkan penalaran moral, dan kepentingan pribadi mungkin menghalangi sebagian orang untuk mengetahui kewajiban moral mereka. Kitab suci dapat membantu banyak orang di seluruh dunia untuk memahami tugas dan kewajiban moral mereka.
Sebagai contoh, perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an berikut (baik dari periode Madinah maupun Mekah): “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai” (QS. Ali Imran: 92). Dan, “Dan termasuk orang-orang yang beriman, serta saling menasihati untuk kesabaran dan saling menasihati untuk kasih sayang” (QS. Al-Balad: 17).
Idealnya, kita seharusnya sudah tahu melalui akal bahwa kebajikan membutuhkan pengorbanan, dan bahwa kita memiliki kewajiban untuk bersikap baik satu sama lain. Namun, ayat-ayat seperti ini sangat menenangkan dan memberikan petunjuk bagi orang-orang yang mungkin masih ragu tentang bagaimana seharusnya mereka menjalani hidup.
“(B) Motivational Assistance. Scripture can provide us with motivational assistance for moral behavior. In fact, the Muʿtazilites held that an instance of divine grace (lutf) is God’s motivational help for us to act morally. Various studies have shown that the belief in the existence of an outside observer motivates people to act morally. Belief in the cosmic punitive system also might provide extra reasons or incentives for people to act morally. One might think that the afterlife incentive is the wrong kind of reason to act morally, but as various philosophers have argued, believers need not act morally purely out of self-interest. Afterlife can play a supplementary role for moral behaviors.”
(B) Bantuan Motivasi:
Kitab suci dapat memberikan kita dorongan atau motivasi untuk berperilaku sesuai moral. Bahkan, aliran Mu’tazilah (salah satu kelompok pemikir dalam Islam) berpendapat bahwa salah satu bentuk rahmat ilahi (lutf) adalah bantuan motivasi dari Tuhan agar kita bertindak secara moral. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa keyakinan akan adanya pengamat dari luar (misalnya, Tuhan) memotivasi orang untuk bertindak secara moral. Keyakinan pada sistem pembalasan di alam semesta (pahala dan dosa) juga bisa memberikan alasan atau dorongan tambahan bagi seseorang untuk bertindak secara moral.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa motivasi pahala di akhirat adalah alasan yang kurang tepat untuk bertindak moral. Namun, seperti yang telah disampaikan oleh berbagai filsuf, para penganut agama tidak harus bertindak moral semata-mata karena kepentingan pribadi. Harapan akan kehidupan setelah mati dapat berperan sebagai pelengkap atau penguat bagi perilaku moral.
“(C) The Possibility of the Highest Good. Kant famously identified the highest good with “happiness distributed [to persons] quite exactly in proportion to [their] morality (as a person’s worth and his worthiness to be happy).” The highest good, for him, is neither merely being happy nor merely acting morally, but rather being happy because of our moral behaviors. The Muʿtazilites had the exact same conception of the highest good. According to them, the value of receiving heavenly rewards because of one’s efforts is much higher than the value of receiving some favor of God when one has done nothing to deserve it. In Kant’s view, while morality would be pointless if the highest good were not attainable for us, we cannot show that it is attainable—we can only hope that it is. Scripture can reassure believers that the highest good is attainable.
(C) Kemungkinan Kebajikan Tertinggi:
Immanuel Kant, seorang filsuf terkenal, mengartikan kebajikan tertinggi sebagai “kebahagiaan yang diberikan kepada seseorang secara tepat sesuai dengan moralitasnya (sebagai nilai dan kelayakannya untuk bahagia).” Bagi Kant, kebajikan tertinggi bukanlah sekadar bahagia atau sekadar bertindak moral, melainkan menjadi bahagia karena perilaku moral kita.
Aliran Mu’tazilah memiliki konsep kebajikan tertinggi yang persis sama. Menurut mereka, nilai menerima pahala surgawi karena usaha seseorang jauh lebih tinggi daripada menerima karunia Tuhan tanpa melakukan apa pun untuk layak mendapatkannya. Dalam pandangan Kant, moralitas akan menjadi tidak berarti jika kebajikan tertinggi tidak dapat kita capai. Namun, kita tidak bisa membuktikan bahwa hal itu bisa dicapai—kita hanya bisa berharap. Kitab suci dapat meyakinkan para penganut agama bahwa kebajikan tertinggi memang dapat dicapai.
“(D) Solving Coordination Problems. The possibility of performing collective actions is dependent on solving various coordination problems. In general, coordination problems for collective action can be solved by authorities. In a religious context, Scripture can help us to perform collective religious actions. For example, we might think that whatever value there is in prayer is magnified when many individuals are required to pray together. The nature and the value of prayers can be transformed when done in a coordinated group. In this Medinan verse, the Qur’an exhorts us to pray collectively: “O Mary, be devoted to your Lord, and bow down, and kneel with those who kneel” (3:43). But collective prayer requires coordination on the location and timing of prayer. In this way, Scripture can make new values available to us by making it possible to perform collective religious actions.”
(D) Menyelesaikan Masalah Koordinasi:
Kemampuan untuk melakukan tindakan bersama (kolektif) bergantung pada penyelesaian berbagai masalah koordinasi. Secara umum, masalah koordinasi untuk tindakan kolektif dapat diatasi oleh pihak berwenang. Dalam konteks keagamaan, kitab suci dapat membantu kita untuk melakukan tindakan keagamaan secara bersama-sama. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir bahwa nilai dari doa akan berlipat ganda ketika banyak individu diminta untuk berdoa bersama. Sifat dan nilai doa dapat berubah ketika dilakukan dalam kelompok yang terkoordinasi.
Dalam ayat Madinah ini, Al-Qur’an memerintahkan kita untuk salat secara berjamaah: “Wahai Maryam, taatlah dengan khusyuk kepada Tuhanmu, sujudlah, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (QS. Ali Imran: 43). Namun, salat berjamaah membutuhkan koordinasi lokasi dan waktu salat. Dengan cara ini, kitab suci dapat memberikan nilai-nilai baru bagi kita dengan memungkinkan dilakukannya tindakan keagamaan secara kolektif.
“(E) Spiritual Requirements. Spiritual requirements are those requirements that help us to grow spiritually. Scripture can teach us about spiritual requirements. In particular, some spiritual requirements might not be precisely translatable into empirical requirements. For example, consider the history of praying toward the qiblah (direction of prayer toward the Kaaba, the House of God, in Mecca). We can think of the qiblah as a spiritual requirement (prayer figuratively oriented toward God) translated into an empirical requirement of literally facing Mecca. Praying itself might be another spiritual requirement. The specific way that Islamic prayer is performed (e.g., five times a day in a specific manner) is a translation of the spiritual requirement into an empirical requirement. The same can be said of other Islamic rituals. Scripture can teach us empirical requirements that correspond to spiritual requirements.”
(E) Persyaratan Spiritual:
Persyaratan spiritual adalah kebutuhan-kebutuhan yang membantu kita untuk bertumbuh secara rohani. Kitab suci dapat mengajarkan kita tentang persyaratan spiritual ini. Khususnya, beberapa persyaratan spiritual mungkin tidak dapat diterjemahkan secara persis menjadi persyaratan yang bersifat fisik atau empiris.
Sebagai contoh, perhatikan sejarah salat menghadap kiblat (arah salat menuju Ka’bah, Baitullah, di Mekah). Kita bisa menganggap kiblat sebagai persyaratan spiritual (salat yang secara kiasan berorientasi kepada Tuhan) yang diterjemahkan menjadi persyaratan empiris, yaitu secara harfiah menghadap Mekah. Salat itu sendiri mungkin merupakan persyaratan spiritual lainnya. Cara spesifik salat dalam Islam dilakukan (misalnya, lima kali sehari dengan tata cara tertentu) adalah terjemahan dari persyaratan spiritual menjadi persyaratan empiris. Hal yang sama dapat dikatakan untuk ritual-ritual Islam lainnya. Kitab suci dapat mengajarkan kita persyaratan empiris yang sesuai dengan persyaratan spiritual.
“(F) Valuing Our Relationship to God. Suppose my mother asks me to do something. My special relationship to my mother gives me a reason to do her bidding—regardless of whether there are any other, independent reasons to do the thing she asks me to do. My decision to do as she asks in this instance allows me to demonstrate that I value my special relationship to her for its own sake. Similarly, to do God’s bidding allows one to show that one holds one’s relationship with God in special esteem, for its own sake. For instance, if God asks me to go above and beyond the call of duty and perform certain supererogatory or ritualistic actions, I may show that I value my relationship to God (for its own sake) by following this command. I do what God asked me to do in part because He asked me to. I do God’s bidding because I value my relationship to God (this provides a reason for a believer to adhere to the requirements of praying, fasting, and pilgrimage found in many Medinan verses).”
(F) Menghargai Hubungan Kita dengan Tuhan:
Bayangkan jika ibu saya meminta saya melakukan sesuatu. Hubungan istimewa saya dengan ibu memberikan alasan bagi saya untuk menuruti permintaannya—terlepas dari apakah ada alasan lain yang independen untuk melakukan hal yang diminta. Keputusan saya untuk menuruti permintaan ibu dalam kasus ini menunjukkan bahwa saya menghargai hubungan istimewa saya dengannya demi hubungan itu sendiri.
Demikian pula, menuruti perintah Tuhan memungkinkan seseorang untuk menunjukkan bahwa ia sangat menghargai hubungannya dengan Tuhan, demi hubungan itu sendiri. Misalnya, jika Tuhan meminta saya untuk melakukan lebih dari sekadar kewajiban dan melaksanakan tindakan-tindakan sunah atau ritual tertentu, saya dapat menunjukkan bahwa saya menghargai hubungan saya dengan Tuhan (demi hubungan itu sendiri) dengan mengikuti perintah ini. Saya melakukan apa yang Tuhan minta sebagian karena Dia yang memintanya. Saya menuruti perintah Tuhan karena saya menghargai hubungan saya dengan Tuhan (ini memberikan alasan bagi seorang penganut agama untuk mematuhi persyaratan salat, puasa, dan haji yang banyak ditemukan dalam ayat-ayat Madinah).
“(G) Devotional Value. Religious requirements can help us to develop religious virtues. For instance, the Buddha is reported to have compared the dharma to a raft that disciples might use to cross a river— only to then leave it behind as they progress further along the path to Enlightenment. To give another example, a practitioner might be directed to recite a certain text an arbitrary number of times. Obedience to such a directive might be necessary for teaching the practitioner to moderate his compulsive need for personal control over his circumstances, and that (in turn) may be necessary for him to progress toward liberation and salvation. Scripture can specify requirements involving devotional values.”
(G) Nilai Devosional:
Persyaratan keagamaan dapat membantu kita mengembangkan kebajikan-kebajikan religius. Sebagai contoh, Buddha dilaporkan pernah membandingkan ajaran (dharma) dengan rakit yang dapat digunakan para murid untuk menyeberangi sungai—hanya untuk kemudian meninggalkan rakit itu setelah mereka melangkah lebih jauh di jalan menuju Pencerahan.
Untuk contoh lain, seorang praktisi mungkin diarahkan untuk melafalkan teks tertentu berkali-kali. Ketaatan terhadap arahan semacam itu mungkin diperlukan untuk mengajarkan praktisi agar mengendalikan kebutuhan kompulsifnya akan kendali pribadi atas keadaannya, dan hal itu (pada gilirannya) mungkin diperlukan baginya untuk maju menuju pembebasan dan keselamatan. Kitab suci dapat menetapkan persyaratan yang melibatkan nilai-nilai devosional.
“(H) A Basis for Nonanthropocentric Expansion of Morality. Many of us believe that our moral duties are not only to humans; we have duties to nonhuman animals as well. Some environmental ethicists believe that we have also duties to nonliving objects, including ecosystems, mountains, rivers and the earth itself. But it is hard to figure out what the basis of our duties to nonliving things would be. A popular approach in environmental ethics is to hold that the self is part of the natural world and that the earth, from a moral point of view, should be treated as a living thing. But it is hard to find convincing arguments for such views. Scripture can offer believers a divine view of nature and its connection to the self. As a result, Scripture can provide a more secure basis for a nonanthropocentric ethics in which we have duties to both living and non-living elements of the natural world.”
(H) Dasar untuk Perluasan Moralitas Non-Antroposentris:
Banyak dari kita percaya bahwa kewajiban moral kita tidak hanya berlaku untuk sesama manusia; kita juga memiliki kewajiban terhadap hewan non-manusia. Beberapa etikus lingkungan bahkan berpendapat bahwa kita memiliki kewajiban terhadap benda mati, termasuk ekosistem, gunung, sungai, dan bumi itu sendiri. Namun, sulit untuk menemukan dasar yang jelas mengenai kewajiban kita terhadap benda-benda tak hidup.
Pendekatan populer dalam etika lingkungan adalah berpendapat bahwa diri adalah bagian dari alam, dan dari sudut pandang moral, bumi harus diperlakukan sebagai makhluk hidup. Namun, sulit untuk menemukan argumen yang meyakinkan untuk pandangan semacam itu. Kitab suci dapat menawarkan kepada para penganut agama pandangan ilahi tentang alam dan hubungannya dengan diri. Sebagai hasilnya, kitab suci dapat memberikan dasar yang lebih kokoh untuk etika non-antroposentris, di mana kita memiliki kewajiban terhadap elemen hidup maupun tidak hidup di alam.
(I) Penguatan Kebenaran dan Pikiran
Kitab suci dalam bentuk bahasa adalah untuk menguatkan kebenaran-realitas dan menguatkan pikiran. Awalnya, realitas sudah ada, misal gerhana bulan. Kemudian, kitab suci menguatkan kebenaran-realitas gerhana bulan sebagai tanda keagungan Tuhan. Kita menjadi lebih kagum dan syukur atas beragam anugerah realitas yang ada karena kitab suci menguatkan kebenarannya.
Kitab suci menguatkan pikiran yang semula baru berupa benih. Anda terlintas ide untuk mengajari anak-anak tetangga matematika dengan cara menyenangkan. Kemudian kitab suci menegaskan bahwa membela masyarakat kecil, misal mengajari anak tetangga, adalah amal yang dicintai Tuhan. Ide Anda yang awalnya berupa benih itu bertumbuh pucuk daun yang makin lebat dengan dahan makin kuat dan cengkeraman akar yang mengikat. Kitab suci menguatkan pikiran-pikiran terbaik umat manusia.
(J) Diskusi
Bagaimana menurut Anda?
Jadi, bagaimana solusi dari dilema Ibrahim: Apakah Ibrahim harus mengikuti perintah Tuhan untuk membunuh Putranya? Atau Ibrahim memilih menjaga Putranya tetap hidup? Poin pembahasan A sampai I di atas sudah cukup untuk menyelesaikan dilema Ibrahim. Lebih detil solusi dilema ini sudah saya bahas pada tulisan terdahulu.
Untuk poin I, Penguatan Kebenaran dan Pikiran, akan kita bahas lebih lenjut di bagian bawah. Poin I ini merupakan salah satu poin terpenting.
2. Utamakan Kitab Suci
Kitab suci dijamin benar; akal memiliki beragam keterbatasan. Solusi: utamakan kitab suci. Meski, dalam mengutamakan kitab suci, kita perlu memanfaatkan akal secara maksimal.
(A) Konsekuensi Ghazali
Ghazali berpandangan bahwa setiap perilaku moral berdampak suatu konsekuensi. Akal mampu memahami konsekuensi moral dengan batas-batas tertentu. Sementara, Tuhan Maha Tahu terhadap segala konsekuensi. Solusinya, adalah taat kepada kitab suci yang berupa firman Tuhan Maha Tahu; sambil memanfaatkan akal untuk memahami konsekuensi secara maksimal.
Maksud Ghazali tentang perilaku moral dan konsekuensi adalah bersifat konkret; bukan sekedar universal abstrak. Ketika Anda berbagi makanan kepada tetangga Anda yang membutuhkan maka itu adalah perilaku moral konkret yang nyata. Konsekuensinya juga nyata, misal, tetangga Anda menjadi bahagia karena bisa makan enak dan sehat hari itu. Kemudian, tetangga Anda menjadi semangat untuk bekerja dan menolong tetangga lainnya. Dari sisi Anda, barangkali Anda bersyukur karena bisa sedikit banyak meringankan beban tetangga. Hidup Anda, hari itu, menjadi lebih kaya makna dan masih ada konsekuensi lainnya.
Apa konsekuensi nyata dari perilaku moral Anda kepada tetangga itu? Ghazali yakin bahwa akal kita bisa memikirkan konsekuensi-konsekuensi itu. Tetapi, kita yakin hasil pikiran kita pasti terbatas; ada konsekuensi yang terlewat dari pikiran kita; bahkan bisa lebih banyak yang terlewat. Solusi Ghazali adalah agar kita mengutamakan petunjuk Alquran. Kajilah Alquran lalu pikirkan baik-baik. Kaji Alquran lagi dan berpikirlah lagi. Kaji Alquran lebih mendalam lagi dan bukalah pikiran Anda seluas-luasnya.
(B) Kewajiban Abdul Jabbar
Setiap orang memiliki kewajiban tertentu untuk kebaikan dirinya dan alam raya (deontologi). Akal kita mampu memahami beragam kewajiban ini meski terbatas. Tuhan Maha Tahu atas segala kewajiban terbaik untuk semua orang. Jadi utamakan kewajiban yang ditetapkan Tuhan dalam kitab suci; sambil secara maksimal menggunakan akal untuk memahami kewajiban.
Kewajiban (versi Jabbar) ini berbeda dengan konsekuensi (versi Ghazali). Kewajiban bersifat universal: menghormati ibu, jangan mencuri, jangan membunuh, dan lain-lain. Sementara, konsekuensi mengkaji kasus konkret: apa konsekuensinya bila memberi hadiah baju baru untuk ibu lebaran tahun ini?
Kita, sebagai manusia, mampu memahami beragam kewajiban universal itu. Tetapi, menurut Jabbar, banyak kewajiban yang manusia tidak mampu memahaminya kecuali dengan bantuan kitab suci. “Jangan berkata ‘ah…’ kepada orang tuamu!” pesan dari kitab suci. Barangkali, akal kita mengira boleh-boleh saja bilang sekadar “ah” kepada orang tua. Kitab suci dengan tegas melarangnya. Kitab suci menegaskan kita wajib menghormati orang tua di segala situasi.
Russell (1872 – 1970) mengusulkan sebaiknya dibolehkan hubungan badan asalkan suka sama suka; dibolehkan zina. Kitab suci menegaskan larangan zina; mewajibkan pernikahan untuk hubungan suami istri. Kajian menunjukkan bahwa zina merugikan para pelakunya dan merugikan masyarakat serta alam sekitar. Kajian yang lain menunjukkan zina berdampak baik. Sampai saat ini, masih terjadi pro-kontra bila menggunakan akal saja. Sementara, kitab suci dengan tegas melarang zina demi kebaikan bersama. Kitab suci menjadi panduan kewajiban yang jelas.
(C) Karakter Farabi
Setiap manusia memiliki karakter untuk berkembang terus menjadi karakter sempurna sebagai insan kamil; sebagai manifestasi Nama-Nama Indah Tuhan. Kita memahami beragam karakter utama untuk menjadi manusia dewasa. Sementara, Tuhan Maha Tahu atas segala karakter utama buat manusia dan cara-cara untuk mengembangkannya. Solusinya: utamakan bimbingan kitab suci untuk menyempurnakan karakter insan kamil; sambil secara maksimal memanfaatkan akal.
3. Utamakan Akal
Utamakan akal setelah berjuang secara maksimal memahami kitab suci dan seluruh situasi. Tentu saja, maksud akal di sini adalah akal sejati bukan sekadar akal-akalan. Mengutamakan akal adalah tugas yang lebih berat; karena kita harus bertanggung jawab penuh atas proses dan hasilnya. Jadi, orang jujur yang mengutamakan akal lebih besar menanggung beban tanggung jawab.
(A) Surga Perjuangan – Razi
Surga yang indah itu menjadi hadiah dari Allah yang sangat bermakna ketika Anda memperoleh surga melalui perjuangan. Sementara, fasilitas yang diperoleh tanpa perjuangan menjadi hilang makna; atau miskin makna. Bahkan, perjuangan itu sendiri yang memberi makna; atas karunia Allah semata.
(B) Akal yang Jujur Bisa Paham
Akal yang jujur bisa memahami moral baik mau pun buruk; tentu tetap mempertimbangkan batas-batas akal. Hakim agung bisa saja membebaskan penjahat; bisa juga menghukum orang yang tak berdosa; karena hakim agung bisa tidak jujur dengan akalnya. Selama akal jujur maka akal bisa diandalkan untuk penilaian moral terutama larangan atas pelanggaran moral.
Akal yang jujur mungkin tidak paham cara mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Tetapi akal jujur pasti paham bahwa merampas harta orang miskin adalah dosa besar; khianat adalah buruk; menipu adalah jahat; dan lain-lain. Jadi, akal yang jujur adalah memadai untuk bersikap moral. Apa atau bagaimana akal jujur itu? Akal jujur selalu melibatkan interpretasi.
(C) Interpretasi Kontekstual
Interpretasi atau tafsir adalah tugas penting bagi setiap manusia. Menjadi lebih penting lagi ketika Anda mengutamakan akal; karena akal selalu melibatkan sejenis interpretasi.
Strategi reinterpretasi. Ketika hukum potong tangan bagi pencuri ayam diperintahkan oleh kitab suci maka tampak akal tidak setuju secara moral. Akal melakukan reinterpretasi: orang miskin itu mencuri ayam karena untuk bertahan hidup di jepitan ekonomi yang sulit. Orang miskin itu tidak murni salah. Sehingga hukuman bagi orang miskin yang mencuri itu tidak harus potong tangan; tetapi cukup, misal, membersihkan gedung sekolah. Kemudian, si miskin itu diberi pekerjaan agar tidak mencuri lagi.
Potong tangan hanya berlaku bagi orang yang tidak kekurangan ekonomi tapi mencuri ayam atau mencuri benda lainnya. Mereka mencuri karena godaan nafsu. Hal seperti ini jarang terjadi meski bisa terjadi. Saemi mengajukan pertanyaan, “Meski jarang terjadi, apakah potong tangan bisa dibenarkan secara moral?”
Strategi konteks. Mempertimbangkan konteks sejarah lebih luas. Hukuman potong tangan bagi pencuri adalah tepat sesuai konteks sejarahnya. Kanjeng Nabi memberlakukan hukum potong tangan, di abad 7, adalah sebagai aturan-hukum; berbeda dengan aturan-moral.
Aturan-hukum harus bisa dijalankan secara praktis agar tatanan sosial kokoh dan dinamis menuju kemajuan. Jika aturan hukum tidak bisa dijalankan maka percuma; gagal sebagai aturan-hukum. Misal, hukuman bagi pencuri adalah kurungan 3 bulan. Tetapi, saat itu, tidak tersedia ruang penjara di Makkah mau pun Madinah. Jadi hukuman penjara kurungan 3 bulan adalah sia-sia belaka. Sementara, hukuman potong tangan, misal potong salah satu ujung jari, sangat mudah dijalankan dan memberi efek jera.
Bagaimana dengan konteks di Indonesia sekarang? Apakah perlu potong tangan bagi pencuri ayam? Ruang penjara masih tersedia meski mulai sesak. Dan bila, pada akhirnya, pencuri itu tidak benar-benar mencuri tapi hanya fitnah dari pihak kuat, terlanjur sudah hukum potong tangan maka bagaimana cara mengembalikan tangan agar utuh?
Penentu konteks. Siapa yang bisa menentukan hukum sesuai konteks yang tepat? Di Saudi berlaku hukum potong tangan; di Indonesia tidak berlaku. Apakah di Saudi tepat konteks untuk potong tangan? Sementara, di Indonesia tidak tepat konteks?
Pertanyaan tentang konteks yang tepat untuk menentukan aturan hukum adalah pertanyaan tanpa henti. Maksudnya, kita akan selalu bisa mengajukan pertanyaan lanjutan apa pun aturan hukum yang ditetapkan. Justru di sinilah tugas besar umat manusia: untuk menggunakan akalnya dengan baik; mengkaji kitab suci dengan baik; mempelajari konteks histori dengan teliti; kemudian mengambil keputusan terbaik untuk sesama, untuk diri, dan untuk alam ini.
4. Penguatan
Utamakan akal dan utamakan kitab suci. Meski pun seseorang mengutamakan kitab suci, dia tetap membutuhkan akal secara optimal. Meski pun orang lain mengutamakan akal, dia tetap membutuhkan bimbingan kitab suci. Di bagian awal, kita sudah membahas posisi akal dan kitab suci terdiri 9 poin (A sampai I). Dari 9 posisi ini bisa saja bergabung saling menguatkan. Kali ini, kita akan lebih dalam membahas poin I: kitab suci sebagai penguatan kebenaran-realitas dan penguatan pikiran.
(A) Penguatan Kebenaran-Realitas
Kebenaran-realitas berbeda dengan fenomena-realitas.
Fenomena adalah realitas apa adanya yang dilihat manusia; atau, kadang tidak dilihat oleh manusia. Bayangkan di alam ini belum ada manusia sama sekali; belum ada Adam dan Hawa. Seperti apa alam itu? Ada bumi, matahari, bulan, gunung, pohon-pohon, binatang-binatang, dan lain-lain. Mereka, alam dan isinya, bergerak biasa-biasa saja. Itulah gambaran fenomena-realitas.
Dalam dunia fenomena-realitas ini, tidak ada istilah benar atau salah; tidak ada baik atau buruk; tidak ada bagus atau jahat. Ketika tikus memangsa telur ayam; biasa-biasa saja; tikus tidak jahat. Ketika kucing memakan tikus; biasa-biasa saja. Bahkan ketika terjadi gempa dan letusan gunung sampai dinosaurus punah, diperkirakan terjadi 60 juta tahun lalu, itu adalah biasa-biasa saja; tidak bagus pun tidak jahat.
Bayangkan kemudian manusia datang ke alam fenomena-realitas itu. Mulai muncul kebenaran-realitas. Adam dan Hawa menjaga bumi adalah kebenaran-realitas; Qabil membunuh Habil adalah pelanggaran kebenaran-realitas. Nabi Nuh mengajak umat berbuat amal adalah kebenaran-realitas.
Mengapa dengan hadirnya manusia di alam fenomena menjadi ada kebenaran-realitas? Karena manusia menguasai bahasa. Manusia berpikir bersama bahasa dan akal.
Bahasa adalah rumah realitas; penguat kebenaran-realitas. Kitab suci adalah penguat kebenaran-realitas paling utama.
Alhamdulillah contoh bahasa dari kitab suci yang menguatkan kebenaran-realitas. Selesai mengerjakan sesuatu, selesai makan atau minum, ucapkan alhamdulillah maka kebahagiaan menjadi kebenaran-realitas Anda. Orang Indonesia ketika mendapat hadiah tak terduga sering mengatakan, “Alhamdulillah banget…!”
Sebaliknya juga bisa terjadi: kata-kata kasar menjadikan kejahatan sebagai pelanggaran kebenaran-realitas. Orang yang mengumpat, “Makanan ini menjijikan!”; maka benar-benar menjadikan makanan itu jijik yang bisa bikin muntah. Sementara, bagi orang yang bersyukur atas makanan yang ada di dekatnya maka makanan itu menjadi penuh nikmat dan berkah. Fenomena-realitas bisa sama-sama makanan; tetapi ungkapan kebenaran-realitas bisa berbeda. Dampaknya, menjadi berbeda.
Kitab suci adalah firman Tuhan dalam bentuk kata-kata yang menguatkan kebenaran-realitas. Jadi, kita bisa membaca kitab suci, misal Alquran, untuk menguatkan kebenaran-realitas yang sedang kita hadapi; baik sedang berlimpah nikmat mau pun sedang menghadapi ujian. Niscaya, manusia akan mendapat petunjuk dari kitab suci.
Kitab suci adalah petunjuk bagi setiap orang dan, terutama, petunjuk bagi orang baik; yaitu orang yang bertakwa. Orang baik pasti memperoleh petunjuk penguatan kebenaran-realitas dengan membaca kitab suci. Sedangkan orang umum, apalagi orang yang berniat jahat, bisa jadi mendapat petunjuk tapi bisa juga tidak mendapat petunjuk.
Tetapi kitab suci bukan pembenaran bagi klaim seseorang; kitab suci adalah petunjuk. Lembaga tertentu klaim bahwa cara mereka menentukan awal bulan puasa dibenarkan oleh ayat Alquran misalnya. Tidak bisa seperti itu. Klaim seperti itu batal. Yang bisa dilakukan adalah klaim bahwa cara menentukan awal bulan puasa berdasar petunjuk Alquran. Sehingga lembaga lain bisa saja menggunakan petunjuk Alquran dengan hasil awal bulan puasa yang berbeda. Klaim kitab suci sebagai petunjuk adalah sah. Klaim kitab suci sebagai pembenaran adalah tidak sah.
(B) Penguatan Pikiran
Pikiran manusia adalah lemah. Pikiran manusia membutuhkan penguat. Kitab suci adalah penguat pikiran manusia. Kita membutuhkan kitab suci.
Coba pikirkan betapa lemahnya pikiran Anda. Untuk berpikir Anda butuh bahasa, butuh angka, butuh badan, butuh makan, butuh udara, butuh kesehatan, butuh tempat, butuh waktu, dan butuh segala sesuatu. Tanpa dukungan fasilitas-fasilitas itu, Anda tidak bisa berpikir dengan baik. Andai semua fasilitas itu tersedia, pikiran Anda masih lemah juga. Anda butuh teman untuk diskusi. Anda butuh masyarakat untuk mendukung. Dan paling penting, Anda butuh kitab suci untuk menguatkan pikiran Anda yang lemah itu.
Berpikir formal berbeda dengan berpikir konkret.
Umumnya, orang-orang jaman ini, memaknai berpikir sebagai berpikir formal semisal matematika atau logika bahasa. Meski berpikir-formal membutuhkan dukungan, seakan-akan tampak mandiri. Dalam matematika bilangan asli 2 + 1 maka hasilnya pasti 3. Berpikir-formal ini tampak bisa mandiri tanpa butuh dukungan. Contoh 2 cangkir kopi + 1 cangkir kopi menghasilkan 3 cangkir kopi bukanlah dukungan kepada matematika. Tetapi, sebaliknya, yaitu matematika justru lebih kuat. Jika 2 cangkir + 1 cangkir hasilnya tidak 3 cangkir maka matematika mengatakan ada yang salah dengan cangkir kopi Anda. Kita membutuhkan berpikir-formal semacam matematika itu. Guru-guru kita di sekolah mengajari kita berpikir-formal matematika dengan baik.
Dalam berpikir-konkret, kita membutuhkan lebih banyak dukungan lagi.
Satu cangkir kopi di depan Anda adalah konkret. Apalagi Anda tambah dengan 2 cangkir kopi lagi sambil ngobrol bareng bersama teman-taman. Apa makna 1 cangkir kopi konkret itu? Apa makna 2 cangkir kopi konkret itu? Mereka bermakna luar biasa. Kopi itu nikmat dan hangat. Menambah obrolan bersama teman-teman makin akrab. Makna kopi konkret ini tidak pernah habis untuk dikaji. Kita membutuhkan bantuan penguatan untuk berpikir-konkret ini.
Anda berbuat baik menolong tetangga. Apa makna menolong tetangga? Saling tolong-menolong adalah kebaikan. Anda berpikir bahwa berbuat baik adalah kebaikan. Kemudian, kitab suci menegaskan: saling tolong-menolonglah dalam kebaikan. Kebaikan itu bermakna di dunia ini sampai dunia akhirat nanti. Tuhan ridha kepada Anda; bangga kepada Anda; dan Anda ridha kepada Tuhan. Kitab suci menguatkan pikiran Anda. Kita membutuhkan kitab suci untuk menguatkan pikiran.
(C) Petunjuk Beda dengan Klaim Kebenaran
Posisi kitab suci sebagai petunjuk kebenaran-realitas adalah tepat. Sementara, menempatkan kitab suci sebagai dalil pembenaran adalah salah. Karena kitab suci adalah petunjuk maka umat manusia mengembangkan pemikiran terus-menerus tanpa henti berdasar petunjuk. Sebaliknya, orang yang menempatkan kitab suci sebagai dalil pembenaran maka mereka mandeg, berhenti, jumud, statis, dan dogmatis pada klaim pembenaran itu.
Demikian juga, posisi kitab suci sebagai petunjuk penguatan pikiran adalah tepat. Sedangkan menempatkan kitab suci sebagai dalil pembenaran suatu pikiran adalah salah tempat.
Petunjuk adalah tarikan eksistensi oleh kitab suci kepada manusia. Klaim pembenaran kitab suci adalah pagar menghalangi eksistensi manusia.
Petunjuk kebenaran adalah rumah umat manusia. Klaim pembenaran adalah penjara umat manusia. Petunjuk kebenaran menjadikan manusia betah tinggal di rumah berupa kitab suci. Klaim pembenaran menjadikan manusia sesak dalam penjara atas nama kitab suci. Petunjuk kebenaran menjadikan manusia terus bertumbuh lebih matang. Klaim pembenaran mengunci manusia membusuk dalam jeruji.
Metafora rumah dan penjara ini menjadi sangat penting. Rumah dan penjara bisa saja sama persis; sama bentuk ukurannya; sama warna dan desainnya; sama bahan dan proses membangunnya. Tetapi, perbedaan rumah dan penjara adalah perbedaan hakikatnya. Hakikat rumah adalah tempat tinggal yang paling nyaman melindungi manusia. Hakikat penjara adalah bukan tempat tinggal bagi manusia. Perbedaan tipis ini kadang luput dari pengamatan kita. Akibatnya, ada risiko bahwa manusia akan mengubah rumah menjadi penjara. Kita perlu untuk waspada.
Hakikat Manusia
Hakikat manusia adalah hidup di rumah-kitab-suci; bukan dalam penjara atas nama kitab suci; bukan pula hidup di rumah fenomena-realitas. Tentu saja, manusia bisa terjebak hidup di rumah fenomena-realitas atau penjara atas nama kitab suci. Manusia perlu keluar menuju rumah-kitab-suci. Di dalam rumah-kitab-suci itulah manusia eksis sebagai manusia sejati; rumah-kitab-suci juga melindungi rumah fenomena-realitas; rumah-kitab-suci membongkar jeruji-jeruji penjara.
Darwinisme adalah contoh manusia yang hidup dalam rumah fenomena-realitas. Darwin merumuskan teori evolusi yang dilengkapi dengan data-data ilmiah. Sehingga, teori Darwin mengguncang dunia lebih dahsyat dari teori-teori yang ada sebelumnya. Darwin melucuti manusia tersisa hanya badan saja; yang merupakan hasil proses evolusi dari badan-badan binatang masa lalu. Darwinisme lupa bahwa manusia lebih dari sekedar fenomena-realitas. Mereka lupa bahwa manusia sejati hidup di rumah-bahasa dan rumah-kitab-suci. Ketika manusia tersisa sebagai fenomena badan maka manusia adalah sekadar hasil evolusi dari badan kera atau badan binatang kuno. Kita perlu menolak pandangan Darwinisme yang seperti itu.
Tetapi, Darwin sendiri hidup di rumah-kitab-suci. Darwin melakukan riset teori evolusi karena merespon penjara atas nama kitab suci. Agama, waktu itu, memastikan bahwa Adam dan Hawa turun dari langit menuju bumi sebagai pasangan manusia pertama yang hidup di bumi. Darwin memberontak klaim pembenaran dari penjara atas nama kitab suci itu. Darwin menempatkan kitab suci sebagai petunjuk untuk riset teori evolusi. Ia mengambil posisi tepat saat itu. Hanya saja teori Darwin berubah menjadi Darwinisme adalah sejenis cerita sebuah rumah yang berubah menjadi penjara.
Newtonisme merupakan cerita yang mirip: rumah berubah menjadi penjara. Newton melakukan riset sains (dan kalkulus) adalah untuk mengagumi keindahan alam raya yang diungkapkan dalam kitab suci. Newton menemukan bahwa formula gravitasi yang mengatur apel jatuh ke bumi sama indahnya dengan formula gravitasi yang mengatur bulan purnama mengitari bumi; rembulan yang indah itu tidak pernah jatuh ke bumi karena keindahan gaya gravitasi dan hukum gerak mengatur seluruh alam semesta tertata dengan indah.
Kemudian kajian Newton berubah menjadi Newtonisme adalah cerita yang berbeda. Newtonisme melucuti keindahan semesta yang dikuatkan oleh kitab suci menjadi hanya tersisa fenomena mekanika belaka. Mereka hanya debu-debu langit yang bisa dihitung sekadar sebagai angka-angka. Rumah indah yang dibangun oleh Newton berubah menjadi penjara gersang Newtonisme. Untung saja berkembang teori kuantum, teori relativitas, dan teori-teori sains terbaru yang mengguncang Newtonisme mau pun Darwinisme. Sudah waktunya, umat manusia untuk keluar dari penjara fenomena-realitas menuju rumah-bahasa yang indah; rumah-kitab-suci yang selalu dirindu hati nurani.
Siapa atau apa hakikat manusia?
(D) Hakikat Manusia Futuristik
Manusia futuristik adalah manusia masa depan; tujuan manusia. Hakikat manusia futuristik adalah: (1) arko atau khalifah atau wakil di bumi; (2) abdi atau beribadah; (3) rahmat atau anugerah bagi seluruh alam sebagai akhlak mulia.
Hakikat manusia futuristik adalah cita-manusia sebagai teladan konkret. Sebagian manusia berhasil meraih menjadi teladan cita-manusia ini. Sebagian yang lain tampaknya sulit untuk meraih teladan itu. Tetapi proses untuk meraih teladan itu sendiri sudah bernilai sangat tinggi. Bagaimana kita bisa meraih cita-manusia teladan itu? Kita perlu mengkaji hakikat manusia asli; karena setiap manusia adalah hakikat manusia asli; termasuk Anda dan saya.
Arko adalah hakikat manusia futuristik dan sekaligus hakikat manusia asli. Sejak kecil, kita sadar bahwa diri kita adalah arko (pemimpin) bagi diri sendiri; ibu adalah arko bagi kita (sebagai anaknya); ayah, kakek, tetangga, dan orang-orang lain adalah arko pada posisi tertentu. Kesadaran tentang arko sudah muncul sejak awal manusia ada.
Kita memilih makanan sehat ketimbang beracun. Kita memilih menghindari api ketimbang terbakar. Kita memilih menolong ibu ketimbang mengganggu. Sejak muda, kita sadar bahwa kita bisa memilih yang baik ketimbang yang buruk; itulah ibadah. Kadang, kebaikan itu untuk orang lain dengan merugikan diri sendiri. Anda memberi makan kepada fakir miskin padahal Anda bisa makan mewah bila tidak berbagi dengan fakir miskin. Bahkan, kita sadar bahwa kebaikan tertinggi adalah ibadah kepada Tuhan. Manusia futuristik sadar untuk ibadah.
Kesadaran kita mengantar bahwa kita lebih baik menjadi anugerah bagi alam semesta daripada merusaknya. Bahkan, diri kita bisa eksis di dunia ini adalah karena anugerah dari sumber anugerah. Bagaimana cara menjadi manusia futuristik ini? Kita perlu mengenali hakikat manusia asli. Tanpa mengenali hakikat manusia asli, seseorang yang berniat menjadi arko, ibadah, dan anugerah bisa terjerumus menjadi bencana bagi semua.
(E) Hakikat Manusia Asli
Dari mana asal-usul manusia? Berdasar kitab suci hakikat manusia asli adalah: (1) Jadilah maka terjadilah; firman kun fayakun; (2) Jadi pemimpin – khalifah; (3) Bentuk sempurna ditiupkan ruh; (4) Diajari dan menyebut nama semua; (5) Pohon terlarang dan tobat.
(1) Manusia dan kosmos adalah firman Tuhan, “Kun (Jadilah).” Hakikat manusia asli adalah firman, sabda, kata, atau bahasa. Kata adalah ungkapan kebenaran-realitas; demikian juga manusia adalah ungkapan kebenaran-realitas.
Proses selanjutnya “maka terjadilah” (fayakun) yaitu terjadi fenomena-realitas; atau terjadi ledakan besar pertama berupa bigbang fenomena-realitas. Sampai pada waktunya, manusia memperoleh anugerah badan.
(2) Sebelum manusia realisasi, Tuhan telah mengumumkan bahwa tugas manusia adalah menjadi khalifah (arko atau pemimpin atau wakil Tuhan) di bumi; ini adalah hakikat manusia asli. Peran sebagai arko ini membentang dari hakikat manusia asli sampai manusia futuristik.
(3) Proses berlanjut fenomena-realitas berupa tanah menjadi bahan untuk badan manusia kemudian ditiupkan ruh Tuhan; hakikat manusia asli menjadi sempurna. Manusia berpotensi menjadi “terbaik” dan ada risiko menjadi terburuk.
(4) Mengapa manusia menjadi terbaik? Karena Tuhan mengajarkan nama-nama dan manusia sanggup menyebut semua nama-nama; mengagumkan! Malaikat bersujud hormat. Hanya manusia asli yang mampu menerima pelajaran nama-nama; hanya manusia yang mampu menguasai bahasa; karena manusia adalah bahasa yang asli itu sendiri (firman).
(5) Hakikat manusia asli tinggal di surga yang bahagia dengan satu pantangan: jangan mendekat pohon terlarang. Tetapi manusia lupa sehingga malah mendekat pohon terlarang sampai menjauh dari pusat utama. Kemudian manusia bertobat (kembali) menuju pusat utama. Karena manusia sudah menjauh di dunia fenomena-realitas maka dia hidup bersama fenomena (dan bersama orang lain). Ketika manusia kembali menuju pusat maka ia menjadi pemimpin (arko) bagi seluruh dunia; ia menjadi anugerah bagi semesta sebagai akhlak mulia.
Apa itu anugerah bagi alam? Apa itu akhlak mulia? Apa itu menjadi pemimpin? Anugerah adalah dengan menyebut nama-nama indah; mengungkap bahasa mulia; mengarahkan tutur kata paling lembut. Sementara, fenomena-realitas akan mengikuti nama-nama indah itu.
Apakah manusia perlu berpikir? Perlu. Berpikir adalah nama-nama indah itu sendiri. Tujuan berpikir adalah untuk mengungkap nama-nama indah; yang sudah pernah disebut mau pun yang belum pernah disebut; yaitu asli baru. Berpikir, hakikat manusia, dan nama-nama indah adalah kesatuan yang beragam; atau keragaman yang satu.
Mengapa berbicara tentang nama-nama indah lebih utama dari tindakan kebaikan? Mengapa bahasa lebih utama dari fenomena? Mengapa lisan lebih utama dari tangan? Kita bisa belajar dari tiga kisah: (a) Qabil dan Habil; (b) Yusuf dan Yahuda; (c) Nabi Muhammad dan Quran.
(a) Qabil gagal karena mengutamakan tindakan ketimbang nama-nama indah. Habil berhasil menjadi orang baik karena mengutamakan nama-nama indah dari tindakan. Qabil mengancam akan membunuh (pelanggaran nama-indah); kemudian, Qabil membunuh (mendahulukan tindakan; adalah salah). Habil berkata tidak akan menyerang (mengutamakan nama-indah ketimbang tindakan). Habil berhasil menjadi orang baik yang disayang Tuhan.
(b) Nabi Yusuf mengutamakan nama-nama indah dengan berbincang kepada bapak (Nabi Yakub). Tetapi, kakak-kakaknya, salah satunya bernama Yahuda mengutamakan tindakan (mengelabui bapak agar mengijinkan Yusuf pergi main; kemudian Yahuda bertindak melempar Yusuf kecil ke sumur).
Kisah Yusuf yang indah diabadikan dalam bahasa Alquran yang begitu mempesona.
Singkat cerita, Yusuf berhasil menjadi menteri di Mesir. Yahuda dan saudara-saudara kelaparan karena paceklik. Yusuf menerima Yahuda dengan kata-kata yang indah penuh respek; Yusuf sudah mengucapkan dalam hati memberi maaf kepada Yahuda bahkan ketika Yahuda belum memohon maaf. Yusuf sukses karena mengutamakan nama-nama indah dari tindakan.
(c) Nabi Muhammad memiliki banyak mukjizat yang luar biasa. Nabi bisa mengeluarkan air bening dari sela-sela jari tangan, bisa membelah rembulan, bahkan bisa terbang ke langit dalam Isra Miraj. Tetapi dari banyak mukjizat itu, yang paling utama adalah Alquran; kitab suci yang berisi nama-nama indah.
Mukjizat terbesar, yaitu Alquran, benar-benar berupa nama-nama indah; untaian bahasa yang penuh pesona. Bila mukjizat lain terbatas oleh ruang dan waktu. Mukjizat Alquran dapat dirasakan nyaris oleh semua orang tanpa batas ruang waktu. Kita, yang hidup lebih 1400 tahun setelah Nabi, tetap bisa merasakan Mukjizat Alquran. Nama-nama indah memang mukjizat terbesar bagi kita semua.
Kiranya, tiga contoh di atas cukup menunjukkan bahwa nama-nama indah lebih utama dari fenomena-realitas. Nama-nama indah adalah jati diri seorang manusia.
Jadi hakikat manusia asli adalah nama-nama indah; yang berbicara dengan menyebut nama-nama indah; yang berpikir dengan nama-nama indah. Konsekuensinya: fenomena-realitas akan mengikuti nama-nama indah.
Manusia tinggal di rumah bahasa yaitu rumah-realitas. Kitab suci adalah teladan bahasa terbaik. Kitab suci menguatkan kebenaran-realitas dan menguatkan pikiran manusia. Kitab suci menguatkan hakikat manusia.
5. Diskusi
Bagaimana menurut Anda?
Kita membutuhkan keduanya: kitab suci dan akal. Bila dipaksa menyusun prioritas maka pilihan terbaik adalah utamakan akal dengan mengkaji kitab suci yang mencukupi. Apakah Anda setuju? Akal akan berusaha untuk itu: membantu Anda untuk setuju atau tidak setuju.
Mari kita cermati lagi dilema Ibrahim dan sikap Hamzah.
Dilema Ibrahim: Tuhan memerintahkan agar membunuh putranya. Haruskah Ibrahim mengikuti perintah Tuhan? Atau Ibrahim harus mengikuti akal untuk melindungi putranya?
Sikap Hamzah: Hamzah menolak ajaran Islam ketika Nabi mengajaknya untuk memeluk Islam. Seiring waktu, pemeluk Islam di Makkah terus bertambah meski amat minoritas sebagai muslim. Abu Jahal, seorang paman Nabi sebagaimana Hamzah, melakukan penindasan kepada minoritas muslim. Hamzah menolak penindasan itu dengan membela minoritas muslim dengan cara Hamzah memeluk agama Islam.
Interpratasi umum memaknai bahwa Ibrahim mengutamakan perintah Tuhan dan melemahkan posisi akal berada di bawah perintah Tuhan. Pada tahap akhir, sesaat Ibrahim akan mengorbankan putranya, Tuhan menggunakan hak veto agar Ibrahim membatalkan pengorbanan. Putra tercinta selamat. Ibrahim memang mengembangkan misi untuk saling kasih dan sayang; bukan saling menyerang. (Ada interpretasi lain yang menyatakan bahwa Ibrahim mengutamakan akal. Detil interpretasinya tentu berbeda).
Sikap Hamzah sudah jelas secara umum bahwa Hamzah menguatkan panggilan akal untuk membela kaum tertindas. Kemudian, untuk membela kaum tertindas, Hamzah mendukung perjuangan Nabi dan mengikuti ajaran kitab suci.
Meski kita bisa sepakat dengan kesimpulan di atas tetapi kita bisa mempertimbangkan keragaman sikap.
5.1 Keragaman
Keragaman terjadi: sebagian orang mengutamakan kitab suci; sebagian lain mengutamakan akal; dan sebagian yang lain lagi seimbang. Bagaimana pun, kita perlu mempertimbangkan bahwa pada situasi tertentu kita dipaksa menyusun prioritas satu yang paling utama.
Misal Anda akan memilih seorang mantu (atau seorang istri): pilih Rina atau Rini? Rina dan Rini sama-sama cantik, baik, dan memesona.
(a) Bujang. Bila Anda bujang, belum punya istri, maka Anda bisa memilih dua-duanya; menikahi Rina dan Rini bersamaan; poligami.
(b) Dewasa. Bisa jadi Anda adalah lelaki dewasa yang sudah punya 3 orang istri. Sehingga Anda dipaksa hanya memilih 1 orang saja untuk istri terakhir: Rina atau Rini.
(c) Kembar. Anda dipaksa hanya boleh memilih 1 saja antara Rina dan Rini karena mereka adalah saudara kembar.
Kita harus memilih prioritas dalam kasus tertentu, misal kitab suci atau akal; kembar Rina atau Rini.
5.2 Kitab Suci Konkret
Kitab suci adalah paling utama dalam situasi konkret.
Bagi orang-orang yang saat ini hidup sibuk di kota besar Jakarta, Bandung, Singapura, London, New York, dan lain-lain barangkali lebih tepat mengutamakan kitab suci di atas akal. Situasi persaingan serba cepat kota besar memaksa akal untuk terburu-buru; maka kitab suci akan memberi panduan dan peringatan paling utama.
Secara umum, saat ini, umat manusia hidup serba sibuk dalam kompetisi beragam situasi ekonomi, politik, olah raga, dan lain-lain. Barangkali, bagi mereka paling tepat mengutamakan kitab suci di atas akal. Tentu saja, bagi orang tertentu yang sedang dalam kesulitan akalnya maka lebih tepat mengutamakan kitab suci: kecanduan judi, narkoba, game, dan lain-lain
5.3 Akal Konkret
Secara konkret Anda perlu lebih mengutamakan akal bila Anda seorang pemikir, intelektual, peneliti, pemimpin, atau imam.
Sebagai pemikir, Anda bertanggung jawab atas pikiran Anda yang menggunakan akal; kitab suci adalah penguat pikiran dan ungkapan kebenaran bagi Anda. Tetapi tanggung jawab ada di pundak Anda.
Pemimpin spiritual misal Paus, Rahbar, Kyai, atau Imam bisa dengan mudah klaim justifikasi berdasar kitab suci. Tetapi, seorang imam akan sadar bahwa Tuhan memberi amanah, kepercayaan, kepada akal sang imam untuk mengambil keputusan. Tuhan mengirim pesan kepada Nabi Musa melalui Nabi Khidir agar Musa membunuh anak kecil itu. Musa sadar bahwa dirinya bebas mengambil keputusan: membunuh anak itu atau membiarkan hidup. Musa bertanggung jawab atas pilihannya. Kita tahu, dalam kisah itu, Musa menolak perintah Khidir, Musa memilih membiarkan anak itu tetap hidup. Nabi Musa adalah seorang pemimpin sejati.
Pemimpin negara bisa dengan mudah klaim bahwa yang dilakukan adalah berdasar kitab suci atau konstitusi. Bagaimana pun, pemimpin misal presiden sadar dirinya bebas: apakah memberi amnesti atau tanpa amnesti. Presiden memberi amnesti adalah tanggung jawab seorang presiden sebagai manusia berakal. Jadi, setiap pemimpin lebih tepat mengutamakan akalnya dan tanggung jawab; dalam pengertian akal secara luas.
Bukankah setiap manusia adalah pemimpin? Bukankah Anda seorang khalifah? Bukankah kita adalah arko?
Bagaimana menurut Anda?

Tinggalkan komentar