Adil Permata Tiada Tara

Adil adalah cita-cita paling utama seluruh umat manusia. Bahkan, adil adalah cita-cita untuk seluruh alam semesta. Adil mendorong terwujudnya masyarakat sejahtera. Adil menjaga alam semesta harmoni berkelanjutan. Adil adalah permata tiada tara.

Menariknya lagi, kita semua paham apa itu adil. Meski pun, kita kadang sulit untuk mengungkapkan adil dengan kata-kata. Sementara, kita bisa merasakan bahwa sesuatu itu adil atau tidak – misal adanya kejanggalan.

Dalam kehidupan sosial, adil adalah kriteria paling utama. Menjadi landasan segala kriteria lainnya. Ketika kriteria adil dihapus maka segala kriteria positif di masyarakat menjadi kehilangan arti. Misal kehidupan masyarakat makmur tetapi tidak adil. Maka makmur menjadi tidak berarti karena di masyarakat terjadi ketidak-adilan: penindasan, pembungkaman, perkosaan, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak berarti bila tanpa keadilan. Ketimpangan yang kaya dan miskin makin menganga. Kecemburuan sosial mengancam kehidupan sosial.

Sehingga, kita harus membahas tema adil dengan adil.

1. Konsep Umum Adil
2. Adil sebagai Fairnes
3. Adil sebagai Dinamika
4. Cakupan Adil
5. Tanggung Jawab Etika
6. Diskusi Teori Keadilan
6.1 Justifikasi
6.2 Hasil vs Kesempatan
6.3 Dimensi
6.4 Totalitas
6.5 Distribusi
6.6 Personal vs Institusi
7. Ringkasan

Secara umum, adil adalah memberikan sesuatu sesuai haknya, sesuai ukurannya. Apa itu hak? Apa itu ukuran?

Adil adalah “fairness”, suatu kewajaran. Apa itu fairnes? Untungnya, Rawls sudah mengusulkan ukuran-ukuran fairness.

Adil adalah dinamis. Apa itu dinamis? Untungnya, kita bisa menghitung dinamika sosial dengan beragam cara.

1. Konsep Umum Adil

Sejak jaman Socrates, Plato, dan Aristoteles (abad 4 SM) adil merupakan konsep paling penting bagi manusia sebagai pribadi, masyarakat, alam raya, dan makhluk Tuhan. Demikian juga, filosofi Timur menempatkan adil pada posisi sangat tinggi misal Farabi, Ibnu Sina, Ghazali, Ibnu Arabi, dan Sadra. Di tanah air, kita mengenal konsep Ratu Adil yang menegakkan keadilan untuk seluruh warga semesta.

Adil adalah memberikan sesuatu sesuai haknya, sesuai ukurannya, demikian konsep umum adil. Plato menekankan penting harmoni ideal sebagai ukuran adil. Sementara, Aristoteles memperkuat konsep adil distributif. Segala sumber daya alam perlu disalurkan ke masyarakat secara adil merata.

Tentu saja, adil retributif menjadi dasar. Seorang pencuri wajib mengembalikan barang yang dia curi. Seorang koruptor wajib mengembalikan seluruh kekayaan korupsinya. Seorang pengusaha, dan penguasa, perlu memperbaiki kerusakan lingkungan.

Pemikir Timur, meluaskan konsep adil kepada Tuhan. Setiap manusia perlu mengabdi kepada Tuhan dengan memakmurkan bumi dan memajukan peradaban.

Secara pribadi, kita perlu adil kepada badan kita. Badan perlu istirahat dari beban kerja tiap hari. Olahraga rutin barangkali bisa memenuhi hak badan Anda. Otak perlu asupan vitamin berupa ilmu-ilmu yang luas. Hati meminta gizi hati berkualitas tinggi.

Anak Anda, istri Anda dan keluarga besar Anda, juga perlu mendapat perhatian secara adil.

Meski pun, tugas berbuat adil, tampak, begitu banyak jika kita lakukan semua justru hasilnya lebih baik bagi diri kita. Komitmen kita kepada adil menjamin kebaikan hidup bersama. Pertanyaannya, justru, bagaimana jika ada orang yang melanggar keadilan? Tentu, pelanggaran itu berdampak negatif bagi banyak orang.

Jika pelanggaran itu bersifat kriminal, misal pencurian, maka pengadilan pidana bisa menjadi solusi. Tetapi, jika pelanggaran itu berupa pelanggaran strategis, atau policy, maka apa solusinya?

Apakah pemindahan ibu kota negara (IKN) adalah adil di saat ini?
Apakah proyek kereta api cepat adalah adil bagi rakyat?
Apakah jutaan orang hidup miskin adalah adil?

Untuk menjawab pertanyaan sejenis itu kita perlu membahas konsep adil sebagai “fairness”.

2. Adil sebagai Fairnes

John Rawls (1921 – 2002) berhasil dengan gemilang merumuskan konsep adil yang nyata dalam kancah sosial politik. Sehingga, konsep adil tidak hanya pada tataran normatif. Adil sebagai “fairness” bisa dinyatakan dalam undang-undang atau konstitusi dan bisa diverifikasi secara obyektif.

Rawls menyusun dua prinsip paling mendasar – landasan adil sebagai fairness. Pertama adalah prinsip kesetaraan yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan yang sama, yang setara.

“Each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all”.

Kedua, prinsip tentang perbedaan. Tampak, Rawls mengakui realitas alam semesta ini dipenuhi dengan beragam perbedaan – meskipun prinsip pertama merupakan prinsip kesamaan. Untuk itu, Rawls menyusun dua prinsip perbedaan, prinsip 2a dan prinsip 2b.

 “Social and economic inequalities are to be arranged so that they are both:

(a) to the greatest benefit of the least advantaged, consistent with the just savings principle, and
(b) attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity.”

Termasuk kebebasan yang setara, prinsip 1 tentang kesamaan, adalah negara menjamin kebebasan setiap warga untuk bebas berpikir, bebas menentukan pilihan politik, bebas berpendapat, bebas berserikat, bebas memilih pekerjaan, dan kebebasan lain yang ditetapkan oleh negara.

Di sini, tampak jelas, prinsip dari Rawls bisa kita terapkan secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga filsafat moral dan filsafat politik tidak hanya berhenti sebagai normatif. Filsafat politik bisa menjadi pegangan nyata dalam kehidupan politik.

Bercermin ke situasi Indonesia saat ini, barangkali, kita bisa menilai bahwa warga negara Indonesia sudah memiliki kebebasan dalam berpolitik, berserikat, memilih pekerjaan, dan lain-lain. Tentu itu adalah kabar baik. Khusus untuk kebebasan berpendapat, tampaknya, menjadi masalah besar bagi Indonesia dan dunia.

Kebebasan berpendapat menjadi masalah dunia dengan sering terjadinya “penghapusan” akun media sosial yang menyatakan pendapat berbeda dengan kekuatan politik tertentu. Misal akun medsos yang mengkritik presiden atau perdana menteri lalu dihapus oleh medsos. Atau akun medsos yang menyuarakan penderitaan orang-orang tertindas semisal Palestina, Kulit Hitam, Suku Asli, dan lain-lain juga terancam untuk diblokir.

Di Indonesia, ancaman pencemaran nama baik bisa lebih besar lagi. Bukan hanya akun medsos yang dihapus, tetapi sampai kepada kurungan pidana bertahun-tahun. Ancaman bagi kebebasan umat manusia. Ancaman bagi keadilan – adil makmur.

3. Adil sebagai Dinamika

Masyarakat perlu terus untuk bergerak maju. Negara perlu menjaga dinamika. Saya menambahkan prinsip dinamika, adil sebagai dinamika, prinsip ke 3 dari keadilan.

(3a) Masyarakat kelompok bawah perlu dijamin untuk terus dinamis menjadi lebih baik. Ukuran dinamika pertumbuhan, bagi kelompok bawah, dipastikan mencapai target tertentu.

(3b) Ukuran dinamika, minimal, mencakup dua parameter yang saling bertentangan.

(3c) Pertumbuhan kelas atas perlu berkontribusi kepada pertumbuhan kelas bawah.

Kita ambil contoh kasus di Indonesia. Berdasar SDG Report 2021, ada sekitar 50 juta orang Indonesia di bawah garis kemiskinan (Rp 450 ribu per bulan setara $ 3,2 US – PPP). Berdasar prinsip dinamika 3a, kelompok 50 juta orang paling miskin ini perlu kita jamin bertumbuh dinamis. Ukuran pertumbuhan bisa banyak hal. Misal dari pendapatan atau pengeluaran mereka meningkat jadi 600 ribu rupiah per bulan pada tahun berikutnya. Bisa juga, jumlah penduduk miskin yang berkurang menjadi di bawah 40 juta orang.

Dalam waktu lima tahun ke depan, diharapkan, 50 juta orang miskin di atas, berpenghasilan lebih dari 2 juta rupiah per bulan per kapita (setara 8 juta rupiah per bulan per keluarga tediri 4 orang). Atau, dalam 5 tahun ke depan, dari 50 juta orang miskin itu, tidak ada lagi yang berada di bawah garis kemiskinan.

Prinsip 3b memastikan ukuran dinamika lebih dari dua dimensi – yang bertentangan. Misal ukuran kerja yang layak. Orang miskin di atas, meski penghasilan menjadi 8 juta rupiah per bulan, menjadi tidak berarti bila mereka wajib bekerja 20 jam sehari. Jam kerja sebanyak itu tidak layak, tidak manusiawi. Sehingga ukuran kerja yang layak, dalam hal ini batasan jam kerja, menjadi kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan cara ini, kita berharap pertumbuhan ini bersifat harmonis.

Tentu saja, banyak alternatif parameter bisa kita kembangkan. Di antaranya kesehatan lingkungan, persepsi kebahagiaan, keanekaragaman hayati, konservasi lingkungan, dan sebagainya. Dari beragam parameteri ini, prinsip 3b, menyarankan agar kita fokus kepada dua parameter – bertentangan – yang paling penting.

Kelompok kelas atas, kelas kaya, mendapat dukungan untuk dinamis dengan prinsip 3c. Secara umum, kelas kaya mampu bertumbuh lebih dinamis dari kelas lainnya. Dan pertumbuhan kelas kaya ini, diharapkan, mendorong pertumbuhan ekonomi sosial secara umum. Dinamika pertumbuhan kelas kaya, harus, dipastikan berdampak positif terhadap dinamika kelas miskin.

Tahun 2021 ini, kita melihat pertumbuhan kekayaan orang kaya Indonesia yang luar biasa. Misal, Mas Nadiem, sebagai founder Gojek, kekayaannya bertumbuh 400 kali lipat dari semula menjadi lebih dari 4 trilyun rupiah. Demikian juga dengan William, founder Tokopedia. Yang terbaru, Zaki, founder Bukalapak, melejit kekayaannya dengan suksesnya IPO Bukalapak. Semua pertumbuhan orang-orang kaya itu sah dan baik, sejauh berdampak positif kepada orang-orang kelas bawah. Driver gojek penghasilan naik. Penjual di Tokopedia makin laris. Dan pelapak di Bukalapak makin untung.

Dinamika pertumbuhan adil makmur seperti itulah yang kita harapkan. Apakah itu yang terjadi di Indonesia?

IKN: Ibu Kota Negara

Kembali ke contoh pertanyaan awal: apakah pemindahan ibu kota negara (IKN) adalah adil?

Jawaban dari berbagai macam kajian adalah adil. Karena DKI memang sudah terlalu penuh sesak maka pemindahan IKN adalah adil. Apakah adil jika dilakukan saat ini, antara 2022 – 2024, ketika pandemi?

Pertanyaan, memang, bergeser kepada jadwal. Pandemi menyebabkan kemunduran di berbagai bidang: ekonomi, kesehatan, industri, pendidikan, dan lain-lain. Sehingga, ada yang mengusulkan, sebaiknya, Indonesia lebih fokus kepada pemulihan kondisi Indonesia saat dan setelah pandemi ini. Apakah IKN urgen?

Kita bisa menyusun beragam pertanyaan untuk dikaji lebih lanjut:

  1. Apakah IKN menjamin kesetaraan setiap warga? Apakah setiap warga bebas menyampaikan pendapat tentang IKN dan dipertimbangkan?
  2. Apakah IKN memberi keuntungan terbesar bagi masyarakat lapisan bawah? Atau hanya menguntungkan lapisan atas?
  3. Apakah IKN menghormati ragam perbedaan?
  4. Apakah IKN mendorong pertumbuhan lapisan bawah lebih dinamis?
  5. Apakah IKN memberikan pertumbuhan berimbang, mengurangi ketimpangan sosial?

Bagaimana pun sulitnya, bersikap adil, memang itu tugas manusia sejati. Kita perlu komitmen kuat untuk bersikap adil secara sosial mau pun personal. Adil adalah permata tiada tara.

4. Cakupan Adil

4.1 Universal

Adil bersifat universal; semua orang perlu adil; bahkan, terhadap semua dunia, kita perlu adil.

4.2 Konkret

Adil bersifat konkret sesuai situasi masing-masing orang.

4.3 Relasi

Adil bersifat relasional; struktural; jika ada yang dominan maka ada yang didominasi; jika adil di suatu lokasi maka berdampak adil ke lokasi sekitar.

5. Tanggung Jawab Etika

Adil adalah etika way of life. Kita perlu hidup secara adil; hidup sehari-hari mau pun kehidupan profesional.

6. Diskusi Teori Keadilan

Amartya Sen (1933 – ) mengembangkan teori keadilan berdasar kemampuan atau kapabilitas. Kita akan mendiskusikan teori keadilan dengan mengambil contoh teori keadilan kapabilitas. SEP memberikan pembahasan yang sistematis.

“The capability approach is a theoretical framework that entails two normative claims: first, the claim that the freedom to achieve well-being is of primary moral importance and, second, that well-being should be understood in terms of people’s capabilities and functionings. Capabilities are the doings and beings that people can achieve if they so choose — their opportunity to do or be such things as being well-nourished, getting married, being educated, and travelling; functionings are capabilities that have been realized. “

“Pendekatan kapabilitas merupakan kerangka teoritis yang mencakup dua klaim normatif: pertama, klaim bahwa [1] kebebasan untuk mencapai kesejahteraan merupakan kepentingan moral utama dan, kedua, bahwa [2] kesejahteraan harus dipahami dalam konteks kemampuan dan fungsi manusia. [a] Kemampuan adalah tindakan dan keberadaan yang dapat dicapai manusia jika mereka memilihnya — kesempatan mereka untuk melakukan atau menjadi hal-hal seperti mendapatkan gizi yang baik, menikah, mengenyam pendidikan, dan bepergian; [b] fungsi adalah kemampuan yang telah terwujud.”

6.1 Justifikasi

“First, a theory of justice needs to explain on what basis it justifies its principles or claims of justice.”

Teori perlu menjelaskan atas dasar apa prinsip dan klaim keadilan. Keadilan agama paling jelas untuk justifikasi yaitu adil didasarkan kepada kitab suci atau ajaran agama tersebut. Bagaimana pun, ajaran agama berupa “bahasa” sehingga perlu interpretasi. Sehingga muncul pertanyaan, “Interpretasi mana yang adil?”

Teori keadilan konstitusional bisa menjawab klaim adil berdasar teks konstitusi. Tentu saja, klaim ini menghadapi dua pertanyaan berat: [a] apakah konstitusi tersebut adil? [b] interpretasi mana yang adil?

Pertanyaan justifikasi adalah pertanyaan filosofis sehingga kita bisa terus mengkajinya tanpa henti.


6.2 Hasil vs Kesempatan

“Second, as indicated above, in developing a capability theory of justice we must decide whether we want it to be an outcome or an opportunity theory, that is, whether we think that we should assess injustices in terms of functionings, or rather in terms of capabilities, or a mixture.”

Teori keadilan perlu memutuskan apa yang perlu diperhitungkan: [a] hasil yang adil; atau [b] kesempatan yang adil; atau [c] kombinasi hasil dan kesempatan.

Liberal, atau libertarian, cenderung menguatkan kesempatan yang adil. Sosialis cenderung menguatkan hasil yang adil. Pancasila kombinasi sila 2 dan sila 5. Mana yang terbaik? Teori kapabilitas tampaknya mengutamakan untuk memberi kesempatan setiap warga agar mengembangkan kapabilitas sesuai freedom. Pada tahap akhir, teori kapabilitas mementingkan beragam fungsi (ke-berfungsi-an) hasil dari penerapan kapabilitas. Jadi, teori kapabilitas merupakan kombinasi; dengan porsi lebih besar terhadap kapabilitas dibanding fungsi.

6.3 Dimensi

“Third, a capability theory of justice will need, just as all other theories that are derived from the general and underspecified capability approach, to address the issue of selecting, quantifying and aggregating of dimensions.”

Teori keadilan perlu menetapkan dimensi apa saja yang perlu diukur. Umumnya, faktor ekonomi menjadi ukuran utama semisal pendapatan per kapita, misal liberal. Sosialis akan mengusulkan ukuran kesenjangan. Kapabilitas mengusulkan HDI (human development index). Bagaimana pun akan tersedia beragam dimensi dan beragam cara mengukur. Bagaimana cara menggabungkan semua dimensi?

6.4 Totalitas

“Fourth, a capability theory of justice may need to address other ‘metrics of justice’.”

Bagaimana pun tidak akan pernah ada teori keadilan yang 100% sempurna. Awalnya, teori kapabilitas adalah kritik terhadap Rawls. Jadi, asumsi awal, teori kapabilitas melampaui teori Rawls. Tidak bisa setegas itu. Teori Rawls lebih unggul dalam keadilan politik, misalnya. Konsekuensinya, suatu teori keadilan perlu mempertimbangkan totalitas dengan beragam teori alternatif. Lebih-lebih bila kita mengkaji secara filosofis maka histori dari teori menjadi sangat penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

6.5 Distribusi

“Fifth, a capability theory of justice needs to take a position on the ‘distributive rule’ (Anderson 2010: 81) that it will endorse: will it argue for plain equality, or for sufficiency, or for prioritarianism, or for some other (mixed) distributive rule?”

Teori keadilan perlu menetapkan bagaimana bentuk konkret distribusi? Apakah semua perlu dibagi sama rata? Atau ada batas minimal yang harus dimiliki, dan batas maksimal? Atau ada pihak-pihak tertentu mendapat prioritas?

6.6 Personal vs Institusi

“Sixth, a capability theory of justice needs to specify where the line between individual and collective responsibility is drawn, or how it will be decided, and by whom, where this line will be drawn.”

Apa tanggung jawab lembaga? Apa tanggung jawab individu? Bagaimana menentukan batas-batas?

7. Ringkasan

Tema keadilan tampak sangat luas. Sehingga sulit, bagi kita, untuk meringkas tema keadilan. Barangkali, kita bisa menekankan bahwa adil perlu ditegakkan secara formal institusional. Dari sisi personal, masing-masing dari kita perlu menjalani hidup hari demi hari dengan sikap adil.

Bagaimana menurut Anda?

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Join the Conversation

  1. avatar Tidak diketahui

1 Comment

Tinggalkan komentar