Ontologi Moral

Mengapa dunia Barat lebih maju dari dunia Timur?

Karena Barat menguasai sains dan teknologi. Sehingga, Barat menguasai bidang ekonomi, militer, dan politik. Dengan demikian, Barat mendominasi segala bidang. Benarkah seperti itu?

Pantai Timur Versus Pantai Barat, Yang Mana Lebih Indah?

Barangkali, bila kita melihat situasi akhir-akhir ini, memang benar Barat lebih maju dari Timur – secara umum. Bila kita membaca sejarah lebih panjang sampai ribuan tahun yang silam maka kita menemukan bahwa Timur pernah jauh lebih maju dari Barat. Pertimbangkan sejarah besar bangsa-bangsa Timur: Mesir, Persia, Cina, Arab, Baghdad, India, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, kita punya sejarah besar Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan lain-lain.

Dalam rentang sejarah yang panjang, Timur dan Barat saling silih berganti memimpin peradaban. Hal seperti itu tampak wajar. Pada tulisan ini, kita akan membahas perbedaan prioritas filsafat Timur dan Barat – dengan asumsi filsafat berkorelasi dengan peradaban. Meski ada titik temu, bahkan sinergi, antara filosofi Timur dan Barat, kali ini kita sengaja akan mencari perbedaannya. Di sini, kita tidak bermaksud mengkaji sejarah. Kita hanya fokus membahas sedikit tema tentang ontologi dan moral.

1. Ontologi Barat

2. Moral Timur

3. Manusia Skepo
3.1 Moral Barat
3.1.1 Stoic
3.1.2 Epicurus
3.1.3 Plotinus

3.2 Ontologi Timur
3.2.1 Ibnu Sina
3.2.2 Suhrawardi
3.2.3 Sadra

3.3 Skepo
3.3.1 Penasaran
3.3.2 Membuka Judgment
3.3.3 Positif Partisipasi

Secara filosofi, Barat lebih mengedepankan ontologi (metafisika). Sedangkan, Timur lebih mengedepankan moral (etika). Sebagai manusia, kita membutuhkan keduanya. Sehingga, tantangannya adalah bagaimana mengambil porsi yang tepat, antara metafisika dan etika. Untuk kemudian, menciptakan alunan harmonis keduanya.

Saya mengusulkan sikap skepo untuk mengakomodasi ontologi dan moral dengan baik.

1. Ontologi Barat

Pertanyaan ontologi (metafisika) begitu kuat di Barat sejak masa-masa pra-Sokrates. Misal, Thales (624 – 548 SM), yang ahli matematika begitu bersemangat menjawab pertanyaan: tersusun oleh apakah alam semesta ini? Secara ringkas, para pemikir kuno menemukan jawaban bahwa alam raya ini tersusun oleh unsur-unsur dasar: api, air, tanah, dan udara. Tampak, unsur-unsur dasar tersebut bersifat materi. Sementara, para pemikir kuno tidak bermaksud membatasi hanya dunia materi. Sehingga, unsur-unsur dasar di atas juga bisa bersifat unsur spiritual.

Russell (1872 – 1970) memuji Demokritus (460 – 370 SM) karena menjawab bahwa penyusun alam raya adalah atom. Bagi Russell, jawaban atom ini adalah jawaban paling ilmiah di jamannya, dan bahkan, tetap relevan sampai saat ini.

Plato (428 – 348 SM) membahas dengan tuntas tema ontologi. Alam raya tercipta dari Idea yang ada di alam ideal dan bayang-bayang dari alam ideal itu membentuk alam nyata kita, yang tidak ideal ini. Kemudian, Aristoteles melengkapi dengan beragam teori termasuk teori bentuk dan materi.

Descartes (1596 – 1650) berhasil memisahkan dengan tegas substansi materi dengan substansi jiwa. Substansi materi, dunia materi, merupakan dunia independent yang dapat kita kaji dengan sains. Isaac Newton (1642 – 1726) berhasil dengan cemerlang menerapkan matematika di dunia sains. Konsekuensinya, kekuatan ilmu pengetahuan menjadi bersifat eksak – bukan sekedar coba-coba. Selanjutnya, perkembangan sains dengan teknologi makin erat. Ditambah dengan kepentingan ekonomi dan politik maka dunia Barat menyebarkan kolonialisme ke penjuru dunia.

Kemajuan sains dan teknologi di Barat begitu luar biasa. Lengkap dengan beragam dampak negatif yang sulit ditangani.

2. Moral Timur

Nabi Ibrahim atau Abraham (2000 SM) adalah tokoh moral agama terbesar di dunia. Ajaran Ibrahim yang berkomitmen tinggi kepada kebenaran sejati, kemudian, berkembang menjadi dasar-dasar moral dan agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Buddha (abad 6 SM) mengajarkan cara hidup bermoral tinggi untuk kebahagiaan seluruh umat manusia. Konghucu (551 SM) mengajarkan umat manusia, baik rakyat atau bangsawan, untuk konsisten dalam amal kebajikan.

Sunan Kalijaga (1450 – 1513) adalah tokoh moral paling terkenal dari Walisongo. Kalijaga dikagumi masyarakat luas lantaran begitu fleksibel mengajarkan prinsip moral ke seluruh kalangan. Bahkan, Kalijaga berkreasi dalam ragam bentuk seni, misal cerita wayang, untuk menanamkan prinsip-prinsip moral: membela kebenaran, sabar, dan pantang menyerah.

Sangkan paraning dumadi” adalah ajaran moral yang mengajak kita untuk merenungi dari mana kita berasal dan ke arah mana kita menuju akhir. Kita berasal dari Tuhan dan kita pasti akan kembali menuju Tuhan pula. Maka dalam hidup ini, kita perlu konsisten hidup dengan moral tinggi sesuai ajaran Tuhan.

Kita perhatikan, fokus moral ini berbeda dengan ontologi. Ketika ontologi bertanya tersusun dari apakah alam raya ini, moral langsung bertanya dari mana dan ke arah mana alam raya ini. Ontologi sibuk merumuskan unsur-unsur dasar api atau atom. Moral sibuk memperbaiki perilaku manusia agar sejalan dengan moral tuntunan Tuhan.

Mamayu hayuning bawana” adalah ajaran moral agar kita ikut serta menciptakan kebaikan alam raya. Kita perlu berpartisipasi menjaga kelestarian lingkungan, membantu orang-orang yang perlu pertolongan, dan berbagi kebaikan.

Lagi, kita perhatikan, ketika ontologi sains menyelidiki hukum gravitasi, moral justru mengajak umat manusia untuk saling berbagi. Mengalahkan nafsu diri yang ingin menikmati fasilitas dunia berlebihan. Membaginya, sumber daya dan fasilitas yang ada, untuk kebaikan umat manusia.

Urip kudu urup” ajaran moral yang mengajak kita hidup penuh semangat. Apakah Anda seorang petani? Maka jadilah petani yang semangat. Apakah Anda seorang pedagang, karyawan, atau seniman? Maka hiduplah dengan semangat dalam segala situasi.

Ontologi teknologi menyelidiki cara meng-eksplorasi alam raya, sementara moral, mengajak kita hidup penuh semangat dengan segala yang alam raya ada.

Tentu, perbandingan berlawanan antara ontologi dan moral, di atas, kita buat agar tajam perbedaannya. Kita masih bisa membuatnya lebih ekstrem lagi perlawanan keduanya. Atau sebaliknya, kita bisa mencari alunan harmonis antara ontologi dan moral.

3. Manusia Skepo

Sebagai manusia, kita membutuhkan keduanya: ontologi dan moral. Sejatinya, para pemikir Timur dan Barat, juga membahas kedua-duanya. Tugas kita adalah menciptakan alunan serasi antara ontologi dan moral. Sebuah tugas yang tidak pernah ada titik hentinya. Mengajak manusia untuk bahagia dari suatu alunan ke alunan berikutnya. Sikap manusia skepo kita perlukan di sini.

3.1 Moral Barat

Agar alunan alam raya ini terasa lebih serasi, kita akan membahas moral Barat dan ontologi Timur. Sehingga, kita mendapat gambaran lebih kuat bahwa alunan indah ontologi moral ini memang ada di mana-mana. Meski moral di Barat sudah berkembang sejak awal-awal peradaban, tetapi, dominasi moral tampak sangat jelas sekitar abad ke-3 SM. Lahirlah tiga madzhab moral filosofis: Stoic, Epicurus, dan Plotinus.

3.1.1 Stoic

Zeno (334 – 262 SM) adalah pendiri Stoic (Filosofi Teras) yang terus berkembang sampai saat ini. Silicon Valley, Hollywood, dan Eropa, dikabarkan saat ini, tengah jatuh cinta lagi dengan filosofi Stoic. Bahkan di Indonesia, saat ini, juga berkembang filosofi Teras.

Stoic mengajarkan bahwa tujuan utama filosofi adalah mengajak manusia hidup bahagia sempurna melalui penyempurnaan empat karakter kebajikan utama: bijak, apik, adil, dan berani. Cara mengembangkan empat kebajikan ini adalah dengan fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan, untuk kemudian, berkembang makin meluas.

Sementara, kajian filsafat lainnya, semisal ontologi dan epistemologi, diarahkan untuk membantu manusia mengembangkan empat karakter kebijakan utama di atas.

3.1.2 Epicurus

Epicurus (341 – 270 SM) mengembangkan aliran filsafat yang berpengaruh besar, di jaman, bersamaan munculnya Stoic. Mereka, Epicu dan Stoic, bersaing mengajak umat manusia hidup bahagia melalui jalan filosofi moral.

Secara konsep, filosofi Epicu ini sangat kuat. Tetapi, bagi masyarakat awam, butuh perjuangan lebih besar untuk bisa memahami filosofi Epicu. Jefferson, presiden US, mengaku menggunakan filosofi Epicu untuk mendorong kemajuan US. Karl Marx mengkaji filosofi Epicu dalam disertasi doktoralnya, yang kelak, menjadi rujukan utama sosialisme. Deleuze (1920 – 1995) mengkaji teori atom Epicu untuk menjelaskan beragam sumber perbedaan.

Filosofi Epicu dengan tegas menyatakan bahwa tujuan filsafat adalah mengantar manusia bahagia sempurna dengan cara menikmati alam raya secara lahir dan batin. Tentu saja, kita setuju diajak menikmati alam raya secara lahir dan batin. Tetapi, Epicu mengajarkan caranya dengan tepat. Dan, banyak orang berpikir ulang dengan cara Epicu itu.

Pertama, untuk bisa menikmati alam raya, kita perlu membatasi diri – bukan mengumbar nafsu. Anda bisa menikmati makanan dengan cara membatasi jumlah makan. Anda hanya bisa menikmati olahraga dengan cara membatasi kadar olahraga. Anda hanya bisa menikmati musik dengan cara membatasi bermusik. Kedua, untuk menikmati alam raya, kita menjalani hidup berdasar persahabatan. Sahabat adalah orang yang merasa bahagia karena membantu sahabatnya. Hidup ini bukan transaksi dagang, bukan pula transaksi politik. Hidup ini adalah persahabatan. Ketiga, untuk menikmati alam raya, kita perlu mengembangkan pengetahuan seluas-luasnya. Pengetahuan fisik dan pengetahuan ruhani. Kita mendalami ilmu agar mampu membatasi diri tidak mengumbar birahi. Kita mendalami ilmu agar politik penuh arti tidak hanya mengumbar janji. Kita mendalami ilmu sejati adalah bahagia sejati.

3.1.3 Plotinus

Plotinus (204 – 270) adalah pendiri neo-platonisme. Di akhir hayat, Plotinus menegaskan bahwa tugas kita sebagai filosof adalah “membawa cahaya ke dalam diri manusia” atau “membawa diri manusia ke dalam cahaya.” Dan, Plotinus berhasil menjalankan tugas itu dengan baik. Dibimbing oleh gurunya: Ammonius. Dibukukan oleh muridnya: Porphyry.

Pengaruh Plotinus, secara ontologi dan moral, terhadap generasi berikutnya sangat besar baik di Barat mau pun Timur. Tetapi, karena Plotinus berulangkali menyebut ajarannya sebagai Platonisme, maka orang-orang menganggap semua yang diajarkan Plotinus bersumber dari Plato. Meski benar, Plotinus sangat kuat merujuk ke Plato – dan Aristoteles, di saat yang sama, banyak ajaran orisinil dari Plotinus.

Pertama, Plotinus menolak ontologi yang menyatakan hanya ada realitas fisik belaka. Plotinus menegaskan adanya realitas spirit ideal yang lebih tinggi. Kita berasal dari Yang Maha Baik dan kebahagiaan hakiki adalah kita kembali kepada Yang Maha Baik. Kedua, untuk mencapai kebaikan hakiki maka kita perlu menjalani hidup dengan baik secara moral dan profesional. Bertahap, setiap saat, menapaki tangga yang lebih tinggi. Ketiga, jiwa manusia adalah cahaya. Maka hadirkan cahaya dalam jiwa. Atau, hadirkan jiwa dalam cahaya. Hakikat manusia adalah jiwa memancarkan cahaya bahagia.

3.2 Ontologi Timur

Berikutnya, kita akan membahas beberapa tokoh penting dari Timur yang mengembangkan ontologi dengan cemerlang. Dengan demikian, meski di Timur dominan moral, tetap saja kajian ontologi terus berkembang. Ontologi dan moral mengalun serasi dengan seimbang.

3.2.1 Ibnu Sina

Ibnu Sina (980 – 1037) adalah pemikir besar yang terkenal di Timur dan Barat – dikenal sebagai Avicenna. Ibnu Sina mendalami ontologi Plato, Aristoteles, dan Plotinus yang dilengkapi sudut pandang Al Kindi dan Al Farabi. Ketika Ibnu Sina mengalami kesulitan memahami maksud Aristoteles maka dia membaca tulisan Al Farabi. Dengan memahami Al Farabi, Ibnu Sina berhasil memahami Aristoteles.

Pertama, Ibnu Sina berhasil membuktikan eksistensi jiwa manusia yang mandiri dari badan manusia – secara ontologis. Ibnu Sina mengenalkan eksperimen pikiran “manusia terbang”. Ketika Anda di dalam ruangan, pejamkan mata Anda. Lalu bayangkan bahwa diri Anda terbang melayang-layang. Kita berhasil melakukan eksperimen pikiran itu. Jiwa kita, diri kita, tidak terikat pada badan untuk eksis. Kelak, Descartes (1596 – 1650) mengembangkan lebih jauh konsep ini dengan dualisme subtansi: jiwa dan materi.

Kedua, Ibnu Sina membedakan keniscayaan sebagai wajibul-wujud-bidzati dan wajibul-wujud-bighoirihi. Segala sesuatu perlu sebab untuk bisa eksis di alam raya ini. “Sebab” itu sendiri perlu “sebab lain” dan demikian seterusnya. Mereka, yang perlu sebab lain, adalah wajibul-wujud-bighoirihi. Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya keharusan sebab yang mandiri yaitu wajibul-wujud-bidzati. Kelak, Leibniz (1646 – 1716) mengembangkan lebih jauh konsep ini menjadi konsep “keniscayaan” dan “kontingensi”.

Ketiga, konsep wajibul-wujud melangkah maju berhasil membuktikan eksistensi Tuhan sebagai Tuhan Yang Maha Ada, Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana. Saat ini, metode pembuktian dengan cara Ibnu Sina kita kenal sebagai bukti ontologis eksistensi Tuhan.

3.2.2 Suhrawardi

Suhrawardi (1154 – 1191) fokus kepada kajian ontologis paling fundamental: logika. Semua pengetahuan manusia, yang valid, didasarkan pada sistem logika yang harus valid juga. Sayangnya, sistem logika sejak Aristoteles sampai Ibnu Sina, justru, rapuh di bagian fondasi.

Apa itu manusia? Bagaimana manusia bisa mengetahui sesuatu? Seberapa meyakinkan kebenaran suatu pengetahuan?

(A): Setiap manusia bisa mati. (B): Suhrawardi adalah manusia. Maka kesimpulan yang sah adalah (C): Suhrawardi bisa mati.

Proses berpikir dari (A) dan (B) untuk menghasilkan kesimpulan (C) adalah silogisme logika yang wajar. Masalahnya, justru, bagaimana kita bisa mengetahui premis, pernyataan (A), bernilai benar? Karena, ketika, pernyataan (A) tidak meyakinkan maka semua kesimpulan logika juga tidak meyakinkan.

Suhrawardi memberi solusi dengan pendekatan logika visi-iluminasi. Pertama, realitas paling nyata adalah “cahaya” sehingga segala sesuatu perlu cahaya untuk bisa dijelaskan. Sementara, cahaya sendiri tidak memerlukan yang lain sebagai penjelas baginya. Tentu, yang dimaksud cahaya di sini bukan cahaya fisik tetapi cahaya ontologis.

Kedua, realitas cahaya berbeda-beda dalam kadar intensitas dan bentuknya. Sehingga, kita bisa menyaksikan keragaman di alam raya. Mereka, manusia dan alam raya, sama-sama cahaya, di saat yang sama, mereka berbeda-beda sesuai kadar intensitas.

Ketiga, untuk bisa mendapatkan pengetahuan (sejati), manusia perlu memiliki kemampuan melihat (visi). Kemudian menghadapkan visi ke obyek yang bercahaya, iluminasi. Di antara subyek (visi) dan obyek (iluminasi) tidak ada penghalang. Sehingga, visi dan iluminasi saling hadir membentuk satu kesatuan utuh pengetahuan sejati, knowledge by presence atau ilmu hudhuri. Pengetahuan visi-iluminasi ini bersifat pasti dan non-proposional.

Langkah selanjutnya, kita bisa mengungkapkan pengetahuan visi-iluminasi melalui simbol-simbol (perlambang) atau pernyataan proposisional (subyek – predikat). Dengan demikian, logika berhasil memperoleh fondasi pengetahuan yang kokoh.

3.2.3 Sadra

Mulla Sadra (1571 – 1635) mengembangkan sistem metafisika (ontologi) dengan canggih.

3.3 Skepo

3.3.1 Penasaran

3.3.2 Membuka Judgment

3.3.3 Positif Partisipasi

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: