Suhrawardi mengaku menuliskan buku ini bukan dari hasil pemikiran diskursif, tetapi, dari pengalaman langsung. Baru, kemudian, dia mencari-cari pembuktian rasional. Seandainya, tidak ditemukan bukti rasional pun, hal tersebut, tidak mengubah kesahihan buku ini. Nyatanya, buku ini menghadirkan bukti rasional yang kreatif.
(1) O God, glorious is Thy mention and mighty Thy holiness.
(1) Wahai Tuhan, Maha Agung nama-Mu dan Maha Mulia kesucian-Mu

Suhrawardi membuka dengan memuji keagungan Tuhan, memohon anugerah bagi Nabi Muhammad, dan memohon pertolongan dianugerahi Cahaya Tuhan serta bersyukur atas semua karunia.
Awalnya, Suhrawardi tidak berniat menulis buku. Tetapi, karena sahabat-sahabat memintanya untuk mengungkapkan pengalaman dan perolehan dalam renungan suci, maka, Suhrawardi memenuhi permintaan itu. Setiap jiwa manusia, termasuk jiwa kita, memiliki porsi tertentu dari Cahaya Tuhan. Sehingga, setiap orang memiliki kesempatan mencicipi indahnya anugerah Cahaya Maha Cahaya. Pintu langit tidak pernah tertutup bagi umat manusia. Cahaya Tuhan selalu ada.
Sebelum buku ini, Hikmah Al Isyraq (HI), Suhrawardi sudah menulis beberapa buku sesuai metode Peripatetik – pendekatan Aristoteles di dunia Muslim. Tetapi, buku HI ini berbeda dari yang lainnya. HI membahas Peripatetik dengan singkat dan tajam. Lebih sistematis, cermat, dan mudah dipahami. Suhrawardi menulis HI berdasar pengalaman langsung, kemudian, memperkuat dengan dalil rasional.
Pembahasan ilmu ontologi cahaya ini selaras dan saling menguatkan dengan kajian tokoh-tokoh masa lalu: Plato, Hermes, Empedocles, Pythagoras, dan lain-lain. Mereka menggunakan ungkapan simbolis atau bahasa perlambang. Perlambang tidak bisa dibantah. Orang-orang hanya bisa membantah makna literal dari perlambang. Mereka salah memahami makna sejati perlambang. Pengalaman cahaya sejati juga selaras dengan tokoh-tokoh timur: Jamasp, Frahostar, dan Bozogmehr, serta tokoh sebelum mereka.
(4) This world has never been without philosophy or without a person possessing proofs and clear evidences to champion it. He is God’s vicegerent on His earth.
(4) Dunia ini tak pernah kosong dari filosofi atau kosong dari orang yang memiliki pembuktian dan bukti jelas untuk menguasainya. Dia adalah wakil Tuhan di bumi-Nya.
Filsuf dari jaman kuno sampai sekarang sepakat dan sama dalam prinsip-prinsip mendasar. Mereka hanya berbeda dalam bahasa dan tingkat terus terangnya. Mereka sepakat tentang tiga dunia (intelek, jiwa, dan badan) dan sepakat tentang ketunggalan Tuhan.
Tingkat para filsuf beragam, bisa kita kelompokkan: (1) mahir intuisi tetapi lemah diskursif, (2) mahir diskursif tetapi lemah intuisi, (3) filsuf suci yang mahir diskursif dan intuisi, (4) filsuf suci yang mahir intuisi tetapi menengah atau lemah diskursif, (5) mahir diskursif tetapi menengah atau lemah intuisi, (6) murid filosofi intuisi dan diskursif, (7) murid diskursif, dan (8) murid filosofi intuisi. Penguasaan dunia dan peran wakil Tuhan diberikan kepada filsuf yang mahir intuisi dan mahir diskursif. Jika tidak ada maka diberikan kepada filsuf mahir intuisi tetapi menengah diskursif, kemudian, mahir intuisi tetapi lemah diskursif. Dunia ini tidak pernah kosong dari filsuf mahir intuisi.
(5) The vicegerency need direct knowledge. By this authority I do not mean political power.
(5) Kepemimpinan membutuhkan pengetahuan langsung. Otoritas ini tidak mengharuskan kekuatan politik.
Buku HI ini ditujukan kepada murid filosofi intuisi dan diskursif. Buku ini tidak berguna bagi filsuf diskursif yang tidak menguasai intuisi, atau tidak sedang mengasah intuisi. Pembaca diharapkan pernah mengalami cahaya suci pada tingkat tertentu – tidak cukup satu kali tetapi teratur. Orang lain tidak akan memperoleh manfaat dari HI. Bagi yang berminat mengkaji diskursif silakan merujuk metode Peripatetik. HI tidak berkepentingan dengan itu. Andai dalil rasional tidak sanggup mengantarkan ke cahaya suci, maka, jiwa yang bersih akan menggapainya dengan bertahap.
Kami telah menyederhanakan “tool” penjaga pikiran dari kesalahan menjadi hanya sedikit aturan penting paling berguna. Hal ini sudah memadai bagi yang cerdas dan yang sedang mencari pencerahan. Bagi yang berminat lebih detil – ilmu tentang tool – silakan merujuk ke buku-buku lainnya.
Buku ini hanya terdiri dari dua bagian.
Dua bagian tersebut adalah (1) logika dan (2) ontologi cahaya.
Di bagian intro ini, sudah jelas, Suhrawardi menekankan pentingnya pengetahuan langsung atau direct knowledge. Perdebatan rasional diskursif saja tidak memadai. Bahkan, dunia ini tidak pernah kosong dari filsuf intuisi yang mahir direct knowledge. Mereka adalah pemimpin dunia bisa melalui kekuatan politik atau tanpa politik.
Suhrawardi mengkaji pemikiran jaman dulu dari Plato, Aristoteles, dan era sebelumnya. Dari timur, Suhrawardi mengkaji pemikir Persia kuno sampai Ibnu Sina. Suhrawardi, mestinya, mengenal baik karya Al Ghazali yang ditulis setengah abad lebih awal. Tetapi, saya tidak menemukan rujukan kepadanya. Dalam kajian kita kali ini, saya akan menyandingkan HI dengan filosofi kontemporer abad 21. Sebut saja McDowell, Zizek, Heidegger, Iqbal, Hegel, Einstein, Popper, dan Kant. Tentu saja, kita juga perlu menyandingkan dengan Ibnu Arabi, Mulla Sadra, dan Hossein Ziai.
Selamat mengkaji…!
Kembali ke: Filosofi Visi
Lampiran





Kembali ke: Filosofi Visi

Tinggalkan komentar