Meski hasil survey terbaru, diumumkan Februari 2021, menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia termasuk demokrasi cacat maka itu harus menambah semangat kita untuk memperbaiki. Kita? Kenapa harus kita? Kan mereka yang membuat cacat. Kami hanya rakyat. Di sana banyak pejabat.

Justru karena kita rakyat. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Maka kita semua bersama-sama jadi lebih kuat. Meski ada wakil rakyat dan pejabat, demokrasi tetap untuk rakyat. Teori bisa beda dengan apa yang ada di masyarakat. Bagaimana pun tetap semangat.
Solusi dari demokrasi cacat adalah demokrasi yang tepat.
Kesetaraan vs Kesenjangan
Solusi paling dasar dari demokrasi adalah kesetaraan bagi seluruh rakyat. Kesetaraan dalam politik, ekonomi, kebebasan, pendidikan, dan lain-lain. Sayangnya baru-baru ini, Februari 2021, BPS mengumumkan bahwa kesenjangan di Indonesia makin melebar. Ditandai dengan rasio Gini yang makin melebar G = 0,385 dari tahun sebelumnya hanya G = 0,381.
Untuk meningkatkan kesetaraan saya sudah membuat model dan simulasi. Sudah saya tuliskan pada tulisan-tulisan saya sebelumnya. Intinya adalah meningkatkan kekuatan, ekonomi, dan pendidikan dari orang-orang lemah maka kesetaraan makin menguat. Di saat yang sama, orang kaya tambah kaya tidak masalah asalkan orang miskin juga ikut meningkat daya ekonominya. Kondisi paling parah adalah yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya. Salah satunya ditandai oleh melebarnya rasio Gini.
Pemerintah pusat perlu menyusun program pemerataan ekonomi-politik ini dengan serius. Di sisi rakyat juga perlu menyambut program-program penguatan. Serta selalu siap memanfaatkan setiap kesempatan untuk lebih maju.
Pengembangan Manusia
Solusi terpenting kedua memperbaiki demokrasi adalah pengembangan manusia Indonesia seutuhnya. Ketika masyarakat cerdas maka demokrasi berkembang dengan sehat. Rakyat akan memilih wakil-wakil yang tepat. Karena memang tersedia calon-calon yang terpercaya. Pejabat pun diisi oleh orang-orang hebat bermartabat.
Peran pendidikan menjadi sangat penting di sini. Sayangnya, di masa pandemi, program pendidikan tampaknya termasuk paling terpukul. Pendidikan paling hancur. Maka kita perlu bangkit lagi. Kita? Bukannya ada menteri pendidikan? Betul. Mas Menteri dan kita dukung.
Kebebasan
Solusi ketiga adalah menjamin kebebasan. Pemerintah Indonesia sudah berniat baik meminta kritik pedas, beberapa minggu lalu. Sejauh ini kita belum melihat adanya kritik pedas untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Yang kita temui justru pertanyaan mantan wapres, “Bagaimana cara mengkritik ke pemerintah tanpa dipanggil polisi?” Karena resiko dipanggil polisi tentu tidak memudahkan rakyat untuk berpartisipasi.
Revisi UU ITE tampaknya menjadi solusi untuk kembali meningkatkan kebebasan berdemokrasi. Sayangnya tuntutan revisi UU ITE sudah pernah diajukan dan gagal. Apakah kali ini akan gagal? Jika yang merevisi DPR dan pemerintah tentunya tidak ada kata gagal. Bahkan presiden bisa lebih proaktif dengan menerbitkan perppu bila perlu.
Bagaimana menurut Anda?