Hidup bahagia adalah idaman semua orang. Anda pasti sepakat bahwa hidup bahagia layak menjadi pilihan kita. Bahkan, semua orang sepakat hidup bahagia layak kita perjuangkan. Tetapi, pertanyaan bisa muncul, apa itu bahagia? Apa itu hidup bahagia? Kata bahagia bisa hanya basa basi. Kecuali, kita serius berusaha untuk memahami.
Kita bisa menduga, jawaban tentang hidup bahagia adalah beragam dan berbeda-beda. Masalah lebih pelik bisa muncul. Orang mengira suatu sukses akan mengantarkan dia bahagia. Nyatanya, itu hanya tipuan belaka. Sukses yang dia raih justru menjadikan hidupnya penuh derita. Rumah tangga retak. Bahkan, dia terancam mendekam dalam penjara.

Tentu saja, ada sukses yang sekaligus mengantarkan kita menjadi bahagia. Seharusnya, sukses dan bahagia adalah satu kesatuan. Ketika sukses maka bahagia. Dan ketika bahagia maka sukses. Kadang kala, sukses dan bahagia, memang, tidak menyatu. Karena itu, dalam tulisan ini, kita akan membahas hidup bahagia lebih detil.
1. Bahagia Personal Mudah Saja
2. Filosofi EPIC
2.1 Etika Karakter
2.2 Membentuk Karakter
2.3 Habit Jadi Karakter
2.4 Filosofi TERASA
2.5 Kuadran Kebutuhan Hasrat
3. Bahagia Sosial Politik
4. Teman Paling Bahagia
5. Bahagia Ontologis
Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Kata orang, karena uangnya kurang banyak. Jika uangnya lebih banyak maka akan bisa membeli kebahagiaan. Tipuan dan kesalahan bercampur-aduk dalam penyataan di atas. Uang, memang tidak akan pernah mampu membeli kebahagiaan. Sebanyak apa pun uang tersebut. Tetapi, uang memang bisa digunakan untuk meraih kebahagiaan. Tanpa uang, manusia tetap bisa bahagia. Dan berlimpah uang, orang bisa makin menderita. Orang lain, berlimpah uang, bisa juga berlimpah bahagia.
Apa yang menjamin manusia menjadi bahagia? Menjadi seorang teman adalah yang menjamin Anda bahagia sejati. Beda dengan mempunyai seorang teman – tidak menjamin bahagia. Menjadi seorang teman beda dengan mempunyai seorang teman. Menjadi seorang teman, Anda pasti bahagia.
1. Bahagia Personal Mudah Saja
Cara bahagia mudah saja: pilihlah untuk bahagia.
Begitu Anda berkomitmen untuk bahagia maka pasti Anda akan bahagia. Apa pun situasi di luar, Anda, dalam diri Anda, akan tetap bisa menjadi bahagia. Bahagia seperti itu adalah jenis bahagia personal. Mudah bukan? Hanya perlu komitmen: bahagia.
Dalam ungkapan yang agamis, kita bisa menyatakan orang yang selalu bersyukur dan sabar dalam segala situasi maka dia akan menjadi orang yang bahagia. Dunia luar sana, bisa saja, terjadi pandemi. Jika dalam diri kita ada rasa syukur maka kita tetap bahagia meski pandemi. Ditambah dengan sikap sabar maka kita lebih kuat menghadapi beragam ujian. Banyak uang atau tidak ada uang, kita tetap bisa bahagia selama ada syukur dan sabar.
Semudah itukah untuk bahagia? Cukup dengan sikap syukur dan sabar? Mudah untuk diucapkan. Tidak selalu mudah untuk dijalani.
Untuk bisa bahagia lengkap dengan sikap syukur dan sabar, kita perlu membangun watak diri yang baik. Kita perlu mengembangkan karakter diri sempurna: bijak, apik, adil, dan berani.
Zeno (abad 4 SM) adalah pelopor filsafat stoa atau filsafat teras. Zeno melanjutkan filosofi Aristoteles yang mengakui bahwa bahagia adalah tujuan utama dari setiap manusia. Zeno melangkah lebih jauh, untuk meraih bahagia maka manusia perlu mengembangkan karakter yang baik. Kelak, empat karakter baik yang menjamin manusia menjadi bahagia dikenal sebagai ajaran dasar filsafat stoa – atau Stoicism.
Untuk membahas bahagia dari sudut pandang stoa ini, kita akan berkenalan dengan filosofi EPIC – ethic philosphy integrated in cosmos.
2. Filosofi EPIC
Sengaja, filosofi EPIC menampilkan kajian filosofis dengan fokus utama etik. Dengan demikian, manfaat filsafat kita rasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Filosofi EPIC, mengajarkan kita, etika apa saja yang mengantarkan kita hidup bahagia secara hakiki. Meski demikian, filosofi EPIC tetaplah suatu sistem filsafat yang berbeda dengan kajian motivasi, misalnya. Filosofi EPIC melanjutkan kajian etika dengan kajian ontologi dan epistemologi.
2.1 Etika Karakter
Filosofi teras (stoa) adalah filsafat yang sejak awal-awal mengutamakan pentingnya etika. Stoa meyakini bahwa tujuan tertinggi manusia adalah “bahagia” hakiki atau “eudaimonia”. Untuk mencapai bahagia sejati itu, manusia perlu mengembangkan etika karakter: bijak, apik, adil, dan berani.
Dengan empat karakter utama itu maka manusia akan berhasil hidup bahagia sejati, apa pun situasi di luar yang terjadi. Apakah Anda sedang dalam kesulitan ekonomi? Anda akan tetap berhasil hidup bahagia dengan karakter utama. Apakah Anda sedang berlimpah harta? Anda akan tetap berhasil hidup bahagia dengan karakter utama.
Apakah Anda sedang menderita sakit? Apakah Anda sedang dalam kondisi sehat bugar? Apakah Anda baru dipecat? Apakah Anda sedang mendapat promosi? Apakah Anda sedang kalah politik? Apakah Anda sedang jadi penguasa? Apa pun itu, Anda bisa hidup bahagia dengan karakter utama.
Covey (1932 – 2012) menekankan pentingnya etika karakter ini. Covey mengkritisi situasi mutakhir ini, yang menukar etika karakter menjadi etika kepribadian – motivasi, kompetensi, kesuksesan. Etika karakter adalah perkembangan jiwa sejati. Berbeda dengan etika kepribadian. Dengan motivasi tinggi dan keterampilan tinggi, maka seseorang bisa berhasil meraih sukses berdasar etika kepribadian. Tetapi, sukses ini bisa hampa, tidak bahagia.
Seseorang bisa sukses luar biasa, di saat yang sama, keluarganya berantakan. Seseorang bisa sukses dalam karir politik, di saat yang sama, jiwanya gundah lantaran terbelit korupsi. Etika kepribadian perlu diganti kembali dengan etika karakter: bijak, apik, adil, dan berani.
Covey menuliskan dengan rinci, dan praktis, tentang etika karakter dalam buku suksesnya “The 7 Habits”. Etika karakter tidak hanya mengejar sukses semata. Etika karakter mengajak kita untuk mengembangkan jiwa dengan sempurna, optimal dalam segala bidang yang ada.
Karakter bijak, wisdom, adalah karakter diri kita yang mempertimbangkan beragam sudut pandang. Sehingga, dengan sudut pandang yang luas, dan mendalam, kita megambil sikap yang terbaik untuk semua pihak. Baik para pihak itu sedang mengawasi kita atau tidak. Orang bijak tidak akan mengambil tindakan yang mengantarkan dirinya sukses besar, sementara, ada pihak lain yang dirugikan. Tentu saja, orang bijak tidak akan korupsi. Singkatnya, orang bijak selalu mengambil sikap bijaksana.
Karakter apik, baik, adalah watak kita yang menyikapi sesuatu tepat sesuai ukurannya. Ketika kita punya uang banyak, membeli makanan kesukaan dalam jumlah banyak. Semua makanan lezat itu sah milik kita. Kita bebas makan sepuas-puasnya tanpa batas. Orang apik tidak akan makan terlalu banyak. Karakter apik akan makan sekedarnya saja cukup untuk menikmati makanan tersebut dan menjaga kesehatan diri. Sementara, bagian makanan lainnya bisa dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Orang apik, sejatinya, masih bernafsu untuk menambah porsi makanan lezatnya. Tetapi watak apiknya, mengajaknya, untuk makan sekedarnya dalam ukuran optimal.
Karakter adil adalah karakter paling penting dalam kehidupan sosial – dan pribadi. Adil adalah, salah satu definisinya, menyampaikan segala sesuatu sesuai dengan hak masing-masing. Adil tidak merugikan siapa pun. Etika karakter mengajak kita untuk bersikap adil kepada semua pihak. Meski pun kita punya kekuasaan maka kita perlu bersikap adil kepada mereka yang lemah, kepada mereka yang sedang tidak hadir, bahkan kepada generasi masa depan. Lagi-lagi, meski pun ada kesempatan untung besar, orang adil tidak akan melakukannya jika ada pihak tertentu yang dirugikan. Korupsi tentu saja ditinggalkan jauh-jauh oleh watak adil.
Karakter berani adalah watak yang siap menghadapi berbagai macam tantangan. Dalam realitas alam raya, kita menghadapi banyak tantangan. Orang yang berkarakter berani menghadapi beragam tantangan untuk kemudian makin menguatkan karakternya. Bukan menghindari tantangan tetapi menghadapi tantangan dengan karakter yang kuat. Karakter berani, tentu saja, selaras dengan pertimbangan yang bijak, sikap yang apik, dan keputusan yang adil. Maju membabi-buta tanpa pertimbangan bijak bukanlah watak berani, melainkan itu adalah tindakan ngawur. Orang berkarakter, bersikap berani, dengan perhitungan yang matang.
Lengkap sudah empat karakter utama di atas. Selanjutnya, ditambah dengan sikap penuh syukur dan sabar maka Anda pasti berhasil hidup bahagia sejati.
Bagaimana cara membentuk karakter utama serta sikap syukur dan sabar?
Cara membentuk karakter, kita perlu membahas dikotomi kendali sampai gradatomi.
2.2 Membentuk Karakter
Epictetus (50 – 135 M) adalah pemikir stoa yang dengan cerdas menunjukkan cara membentuk karakter utama yang baik. Kita hanya perlu fokus kepada segala sesuatu yang bisa kita kendalikan. Sambil, kita iringi dengan cara berpikir yang benar, maka empat karakter utama akan terbentuk bertahap: bijak, apik, adil, dan berani.
Epictetus tidak hanya bicara melalui kata-kata. Dia membuktikan dalam hidupnya segala prinsip karakter utama dengan nyata. Epictetus terlahir sebagai seorang budak. Tetapi, dia meninggal sebagai orang merdeka. Bahkan, ajaran-ajarannya tetap dibaca luas sampai sekarang. Tentu saja, hidup sebagai budak bukanlah cara mudah menjalani hidup.
Majikan, sebagaimana majikan umumnya, sering memukul kaki Epictetus dengan kayu. Lalu, Epictetus menasehati majikannya bahwa perilaku seperti itu, memukul kaki dengan kayu, adalah perbuatan yang tidak baik. Majikan itu bisa memahaminya. Di lain waktu, majikan itu lepas kendali lagi. Majikan itu memukul kaki Epictetus. Kembali Epictetus menasehati, “Bukankah aku sudah mengingatkanmu?”
Epictetus konsisten berfokus kepada apa yang bisa dia lakukan. Pertama, dia menahan rasa sakit akibat pukulan pada kakinya. Kedua, dia menasehati si majikan. Ketiga, dia melakukan itu semua dengan cara yang bijak. Benar saja, dengan cara itu Epictetus berhasil mengembangkan karakter utama: bijak, apik, adil, dan berani.
Suatu ketika, Epictetus berjalan melewati jalan tanjakan dengan kaki pincang dibantu tongkat. Orang-orang bertanya,
“Bagaimana kamu menghadapi kesulitan jalan tanjakan?”
Epictetus menjawab,
“Tanjakan bisa menghalangi langkah kakiku. Tetapi, tanjakan tidak bisa menghalangi jiwaku.”
Hanya semudah itu, cara membangun karakter utama adalah dengan fokus kepada segala sesuatu yang bisa kita kendalikan saja. Sementara, hal-hal yang berada di luar kendali kita, berjalan dengan prinsip-prinsip alam yang terbaik. Sains modern berhasil mengungkap beragam hukum alam yang mempesona, prinsip alam terbaik. Karena kita fokus kepada apa yang bisa kita kendalikan maka hidup bahagia menjadi milik kita.
Dikotomi dalam kendali versus luar kendali, kelak, berkembang menjadi trikotomi. Yaitu dengan menambahkan sesuatu yang merupakan campuran antara dalam kendali dan luar kendali. Dengan cara pandang ini, kita bisa mengembangkan gradatomi yaitu tingkat kendali yang bergradasi. Dikotomi adalah 100% vs 0%. Trikotomi menambahkan dengan 50% vs 50%. Sedangkan, gradatomi menambahkan lebih banyak variasi 90% vs 10% atau 20% vs 80%, dan lain-lain.
Dengan memahami beragam gradasi kendali maka kita bisa mengembangkan beragam sikap yang lebih tepat. Terhadap hal-hal yang sebagian besar ada dalam kendali maka kita bersikap tegas sesuai karakter utama. Terhadap sesuatu yang cukup imbang antara kendali dan luar kendali, barangkali, kita bisa mengandalkan delegasi, komunikasi, manajemen, dan lain-lain. Sementara, terhadap hal-hal yang sebagian besar di luar kendali, kita bisa bersikap respek.
Covey mengembangkan lebih jauh tema ini dengan istilah proaktif. Kemudian, dilengkapi dengan habits (kebiasaan-kebiasaan) lain yang dapat kita gunakan untuk mengembangkan karakter utama secara praktis.
2.3 Habit Jadi Karakter
Covey sepakat dengan Aristoteles dan Epictetus cara mengembangkan karakter adalah melalui habits. Taburlah pengetahuan maka tuailah tindakan. Taburlah tindakan maka tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan maka tuailah karakter. Dan, karakter menentukan nasib Anda.
Kali ini kita akan membahas, secara singkat, cara mengembangkan karakter melalui pembiasaan, habits.
Habit 1. Proaktif adalah mengambil sikap tanggung jawab dengan fokus terhadap segala sesuatu yang berada dalam lingkar pengaruh atau lingkar kendali. Dengan karakter proaktif ini, kita mampu mengembangkan diri kita untuk terus maju. Segala yang ada dalam lingkar pengaruh, terus-menerus, kita kembangkan. Kehendak bebas, suara hati, pengetahuan, emosi, semangat, dan lain-lain ada dalam lingkar pengaruh kita. Itu semua menjadi modal bagi kita untuk terus berkembang.
Sementara, terhadap hal-hal yang berada di luar lingkar pengaruh maka kita bisa besikap respek atau ikhlas atau kadang tersenyum kepada mereka. Misal, tiba-tiba, terjadi hujan deras. Orang yang tidak proraktif akan mengeluh dengan bocornya air di beberapa tempat. Mereka juga bisa mengeluh terjadinya banjir di mana-mana. Mereka bisa jadi mengumpat walikota, gubernur, atau presiden yang tidak becus menangani banjir. Kebahagiaan mereka hanyut bersama derasnya aliran hujan. Mereka tidak proaktif.
Sementara, bagi orang yang proaktif, hujan deras menambah kebahagiaan. Dengan hujan, kita jadi tahu di bagian mana, rumah kita, yang masih bocor untuk kemudian kita perbaiki. Ketika ada banjir di beberapa titik, itu memberi ide bagi kita untuk mengembangkan kegiatan alternatif atau menemukan jalur baru untuk mencapai suatu tujuan. Atau, jika Anda adalah pihak yang bertanggung jawab menangani banjir maka Anda mendapat feedback nyata untuk bisa memperbaiki sistem penanganan resiko banjir. Barangkali Anda berminat di dunia politik? Anda bisa kampanye dengan memunculkan solusi penanganan banjir yang efektif.
Kejadian hujan deras, yang sama, mengakibatkan respon yang berbeda. Bagi orang yang tidak proaktif, mereka, menderita akibat hujan. Sementara bagi orang proaktif, mereka, makin bahagia dengan datangnya hujan.
Era digital memberi kesempatan bagus bagi orang-orang proaktif. Kita bisa meluaskan lingkar pengaruh kebaikan ke seluruh dunia melalui media sosial. Melalui internet, kita bisa menyebarkan ide-ide edukatif ke seluruh penjuru. Lingkar pengaruh kita menjadi makin meluas ke ujung dunia. Sementara, bagi orang yang tidak proaktif, media sosial justru menghantam mereka. Mereka makan hoax dan dimakan hoax. Kebahagiaan hancur berkeping-keping bagi mereka.
Habit 2. Memulai dari akhir dalam pikiran. Apa akhir terindah yang Anda harapkan? Bentuk husnul khatimah seperti apa yang Anda inginkan?
“Mulai dari akhir dalam pikiran” adalah disiplin karakter yang memastikan kita untuk meraih bahagia sejati. Tanpa disiplin ini, siapa pun bisa berakhir dengan penyesalan terbesar sepanjang hayat. Mereka, ternyata, salah arah. Sebaliknya, dengan disiplin “akhir yang baik” kita terarah menuju sukses bahagia sejati. Ketika muncul beragam kesulitan di tengah jalan, itu adalah bumbu-bumbu kehidupan yang menambah warna-warni bahagia sejati.
Sejatinya, setiap orang pernah gelisah menghadapi (memikirkan) kematian dirinya sendiri, akhir hidupnya. Apa yang akan terjadi ketika mati menghampiri diri ini?
Heidegger (1889 – 1972) menilai bahwa kematian adalah kepastian yang menjadi milik setiap manusia. Manusia, untuk menghindari rasa gelisah terhadap kematian, menyibukkan diri dengan beragam kegiatan sehari-hari. Ada yang sibuk kerja agar lupa dengan datangnya kematian. Ada yang sibuk berkarya, ada yang sibuk olahraga, dan lain-lain. Usaha untuk melupakan kematian, menghindari gelisah karena akan mati, akan sia-sia belaka. Karena kematian pasti akan tiba dan di saat yang sama, lupa akan kematian, menjadikan manusia tidak bersikap otentik. Manusia justru lupa dengan hakikat dirinya.
Kematian justru harus kita hadapi dengan baik. Apa yang kita siapkan untuk menyambut kematian diri kita sendiri?
Barangkali Anda ingin menjadi orang tua yang baik, yang dibanggakan oleh anak-cucu Anda, ketika mati? Jadi bapak yang baik atau jadi ibu yang baik adalah contoh akhir yang baik bagi seseorang. Dari “akhir yang baik” ini, kemudian, kita memproyeksikan apa perilaku kita hari ini yang bisa mendukung menjadi orang tua yang baik. Perilaku kita hari ini perlu selaras dengan tujuan akhir. Dan, perilaku ada dalam lingkaran pengaruh. Sehingga, kita bisa untuk menguatkan, membiasakan, perilaku yang baik untuk membentuk karakter diri kita menjadi lebih baik.
Bisa jadi, kita punya cita-cita “akhir yang baik” dalam jumlah yang banyak. Di bidang profesional, apa “akhir yang baik” yang Anda harapkan? Apakah Anda ingin mencapai puncak karir? Apakah Anda ingin menjadi direktur? Apakah Anda ingin menjadi investor sukses? Apakah Anda ingin menjadi seorang menteri? Ataukah Anda ingin menjadi seorang presiden?
“Akhir yang baik”, di bidang profesional, bisa saja berupa suatu karya – bukan hanya jenjang karir. Apakah Anda ingin menghasilkan produk inovatif? Apakah Anda ingin menciptakan banyak lapangan kerja? Barangkali, Anda bercita-cita mengentaskan kemiskinan? Atau, apakah Anda ingin menghasilkan uang dalam jumlah besar?
Mendengarkan suara hati dan meluaskan wawasan, membantu kita untuk memilih “akhir yang baik” dengan bijak. Memilih “akhir yang baik” adalah karakter kepemimpinan personal. Tanpa karakter kepemimpinan, manusia bisa terjebak dalam dua situasi.
Pertama, terbawa aliran arus. Orang-orang hanya sibuk berangkat pagi untuk kemudian pulang malam hari. Tanpa terasa, umur makin tua. Kematian pasti tiba. Andai tidak mati maka sudah lemah tua renta juga. Tetapi semua sia-sia. Tidak ada “akhir yang baik” yang dia raih. Bahkan, dia menyesal mengapa tidak dari muda menetapkan tujuan akhir yang bermakna.
Orang kadang berdalih bahwa hidup ini mengalir saja bagai air. Maka kita bisa menikmati hidup mengalir penuh bahagia. Hal itu benar adanya. Tetapi mereka lupa. Air mengalir itu, sejatinya, punya tujuan akhir yang jelas: menuju pusat gravitasi bumi. Karena air sudah punya tujuan akhir yang pasti maka air mengalir dengan santai saja – pasti mengarah ke pusat gravitasi bumi. Apakah orang yang mengalir bagai air juga memiliki tujuan yang pasti? Jika kita memang sudah punya tujuan yang pasti maka kita bisa hidup bahagia dengan mengalir. Jika tidak, maka penyesalan terbesar menghadang di depan.
Kedua, tujuan akhir yang salah. Di masa tua, usia 60an atau 70an, baru sadar bahwa apa yang mereka kerjakan selama ini adalah salah. Mereka bertujuan, misalnya, untuk mengumpulkan kekayaan. Seandainya sukses pun terlalu besar pengorbanan yang diberikan. Kesehatan di masa tua rapuh. Anak dan istri terasa jauh. Mereka, selama ini, memang terpisah jauh. Anak dan istri ada di rumah. Sedangkan, suami bekerja nun jauh di sana. Di masa tua, mereka tidak bisa mengulang kehidupan kembali muda.
Tentu saja, mengumpulkan kekayaan dan uang bukanlah dosa. Hanya saja, kita perlu tujuan “akhir yang baik” yang lebih jauh dari sekedar mengumpulkan uang tersebut.
Disiplin karakter kepemimpinan “akhir yang baik” barangkali merupakan disiplin yang paling penting. Kesalahan menetapkan “akhir yang baik” tidak bisa ditebus dengan manajemen efisien atau pun teknologi yang canggih. Manajemen dan teknologi justru lebih cepat mengantar seseorang ke arah yang salah. Lebih parahnya, meski mereka sudah tiba di arah yang salah, mereka tetap tidak (mau) sadar bahwa itu adalah salah. Mereka, berulang kali, menggunakan manajemen dan teknologi untuk lebih jauh melangkah – ke arah yang salah.
Kesalahan dalam disiplin kepemimpinan hanya bisa dikoreksi dengan disiplin kepempimpinan yang lebih benar. Kepemimpinan yang mengarahkan kita menuju “akhir yang baik”.
Ketika kita menetapkan suatu “akhir yang baik”, ternyata, tidak hanya ada satu “akhir yang baik”. Tetapi terdapat sangat banyak “akhir yang baik”. Bagaimana kita bisa meraih tujuan yang begitu banyak? Kita memerlukan disiplin manajemen pribadi yang efektif berdasar karakter utama, yaitu habit 3.
Tentu saja, kematian bukanlah akhir dari segala. Memang, kematian adalah akhir dari hidup seseorang di alam dunia ini. Tetapi, anak-anak dan cucu-cucu masih terus melanjutkan kehidupan di muka bumi ini. Sehingga, ada baiknya, kita menetapkan “akhir yang baik” melampaui ketika maut menjemput. Apa kontribusi kita mencegah krisis iklim yang terjadi pada tahun 2050? Apa peran kita menyiapkan generasi masa depan menghadapi artificial intelligence di tahun 2100? Apa yang bisa kita berikan kepada generasi yang lahir di tahun 2200?
Habit 3. Utamakan yang utama. Terdapat lebih banyak pekerjaan penting dari waktu yang kita miliki sepanjang hayat. Begitu kita menetapkan ingin sukses profesional maka banyak sekali tugas profesional harus dikerjakan. Ketika menetapkan ingin menjadi ayah yang baik, atau anggota keluarga yang baik, maka lebih banyak tanggung jawab yang harus ditunaikan. Demikian juga ketika menetapkan ingin menjadi warga yang baik, penduduk dunia yang baik, maka bertumpuk tugas untuk diselesaikan. Bukannya hidup bahagia yang kita jalani, justru, hidup sengsara dengan tumpukan tugas tanggung jawab. Untuk mengatasi itu, kita perlu mengembangkan karakter utama dengan disiplin manajemen: utamakan yang utama.
Musuh dari tugas paling penting bukanlah tugas yang tidak penting. Tetapi, tugas penting lainnya. Maka singkirkan tugas-tugas penting itu dan kerjakan hanya tugas-tugas paling penting. Tugas paling penting pun tidak sedikit jumlahnya. Utamakan yang utama.
Untuk memilih yang utama, kita bisa membedakan kesibukan berdasar tingkat “penting” dan tingkat “urgen”. Dengan demikian, kita memperoleh empat kuadran.
Kuadran 1, penting dan urgen. Tugas dalam kuadran ini harus diselesaikan dengan baik. Kita tidak bisa menolak tugas yang penting, di saat yang sama, urgen atau mendesak. Maka perlu kita selesaikan di saat yang tepat. Memenuhi target kerja, memenuhi janji, melunasi hutang, berobat bagi yang sakit adalah beberapa contoh tugas penting dan urgen.
Seperti bisa kita duga, kuadran 1 meski penting tidak membuat kita bahagia. Sebabnya adalah aspek urgen atau mendesak. Apa bahagianya dikejar-kejar pekerjaan? Apa indahnya diancam deadline? Di kuadran 1, sejatinya, kita tidak sedang mengerjakan pekerjaan. Tetapi, kita sedang dikerjai oleh pekerjaan. Maka kuadran 1 haruslah hanya mendapat porsi sedikit dari hidup kita.
Kuadran 2, penting tetapi tidak urgen. Porsi terbesar hidup kita seharusnya ada dikuadran 2 ini. Kita fokus mengerjakan hal-hal yang penting. Di saat yang sama, tidak urgen, tidak mendesak. Sehingga, kita bisa menikmati pekerjaan tersebut. Dan, bila sewaktu-waktu ada pekerjaan lain yang lebih penting maka kita bisa menunda pekerjaan awal – karena tidak urgen meski penting.
Beberapa contoh kuadran 2 adalah perencanaan, bekerja bertahap konsisten, belajar, pelatihan, membaca buku, investasi, berdoa, olahraga dan lain-lain. Pekerjaan kuadran 2 ini, bila tidak kita kerjakan dengan fokus maka, mereka, akan bergeser menjadi kuadran 1 yaitu penting dan urgen.
Olahraga adalah kegiatan penting tapi tidak mendesak untuk menjaga kesehatan kita saat ini. Tetapi, orang yang malas olahraga maka sewaktu-waktu dia bisa jatuh sakit. Saat itu, dia tidak bisa olahraga lagi. Dia harus dirawat di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit adalah tugas penting dan mendesak, terpaksa harus dilakukan. Kuadran 2 bergeser menjadi kuadran 1.
Seharusnya, kita mengurangi kuadran 1 dan menambah kuadran 2. Alangkah bahagianya jika pekerjaan kita sebagian besar adalah kuadran 2, penting dan tidak mendesak!? Perlu komitmen, strategi, dan disiplin tinggi untuk sampai ke sana.
Kuadran 3, tidak penting tetapi mendesak. Mana mungkin ada kegiatan tidak penting tetapi mendesak atau urgen?
Justru di sini poin pentingnya: urgen telah menipu banyak orang. Karena suatu tindakan bersifat mendesak, urgen, maka banyak orang mengira bahwa tindakan itu pasti penting. Padahal, tidak ada kepastian antara urgen dan penting.
Membicarakan gosip adalah mendesak. Jika kita tidak segera membahas gosip itu maka kita ketinggalan info, kita ketinggalan gosip. Jika kita membahas gosip yang dimaksud di bulan depan, gosip tersebut sudah tidak trending lagi. Gosip harus kita bahas saat ini, saat hangat-hangatnya. Gosip adalah urgen, mendesak. Tetapi, apakah gosip itu penting? Tidak. Tidak penting.
Lebih parah lagi, banyak orang berdalih bahwa pekerjaan yang dia lakukan adalah penting. Padahal tidak penting, hanya mendesak saja. Lobi antara pejabat dengan pengusaha, misalnya, mendesak harus segera dilakukan. Apakah penting? Yang jelas, urgen. Ujung-ujungnya, malah ditangkap KPK.
Menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas rendah adalah tidak penting. Karena sudah mendekati batas waktu, atau bahkan melewati batas waktu, maka perlu kerja lembur. Pekerjaan selesai. Satu bulan kemudian, pelanggan komplain bahwa pekerjaan tersebut tidak sesuai standard. Perlu dilakukan perbaikan atau bahkan pekerjaan ulang. Kerja lembur, umumnya, adalah kuadran 1: penting dan mendesak. Tetapi, kerja lembur, sering terjadi kualitas rendah, menjadi kuadran 3: tidak penting meski mendesak.
Perlu sikap bijak dan berani untuk mengakui bahwa sebagian pekerjaan kita adalah, memang, tidak penting. Untuk kemudian, kita mengurangi pekerjaan tidak penting ini dan menggantinya dengan pekerjaan yang lebih penting. Utamakan yang utama.
Kuadran 4, tidak penting dan tidak mendesak. Bisa kita duga kegiatan kuadran 4 perlu kita tinggalkan: sudah tidak penting, tidak urgen pula. Membuat api unggun dekat SPBU adalah tidak penting dan tidak mendesak. Tidur-tiduran di tengah jalan juga termasuk kuadran 4. Tanpa perlu alasan panjang, semua orang normal, tentu, meninggalkan kuadran 4.
Utamakan yang utama. Kita fokus lagi bagaimana disiplin manajemen yang bisa mengantarkan kita menuju bahagia sejati. Jelas, kita perlu mengutamakan kegiatan di kuadran 2: penting dan tidak mendesak. Barangkali, porsinya, bisa sebagai berikut:
Kuadran 1 = 10% : penting, mendesak
Kuadran 2 = 75 – 80% : penting, tidak mendesak
Kuadran 3 = 10% : tidak penting, mendesak
Kuadran 4 = 0 – 5% : tidak penting, tidak mendesak
Biasanya, orang sukses tetapi tidak bahagia porsi kuadran 1 terlalu besar misal 80%. Sehingga, dia sibuk tiap hari. Dari pagi sampai malam selalu mengerjakan hal-hal penting dan mendesak. Dalam satu hari, bisa bekerja sampai 12 jam atau 16 jam. Bahkan, jika mereka bisa, ingin bekerja lebih 24 jam tiap harinya.
Sebaliknya, orang sukses dan bahagia, justru, tampak santai dalam bekerja. Sebagian besar pekerjaan pentingnya tidak urgen, tidak mendesak. Sehingga, kita bisa mengerjakan pekerjaan itu sepenuh hati. Kita bisa menikmati pekerjaan penting itu tanpa harus dikejar-kejar batas waktu. Ketika kita ingin istirahat, boleh-boleh saja. Karena, meski penting tetapi tidak mendesak. Betapa bahagianya, kita bisa menikmati pekerjaan tiap saat?
Bagaimana cara kita mengubah dominasi pekerjaan penting mendesak agar menjadi tidak mendesak? Bukankah pekerjaan kuadran 1 memang harus kita selesaikan? Jika kita menundanya, agar tidak mendesak, menjadi melewati batas waktu?
Benar! Kita tidak bisa menolak kuadran 1. Kita tidak bisa menunda kuadran 1. Kita harus, suka rela atau terpaksa, mengerjakan kuadran 1.
Cara kita untuk mengatasinya, justru, dengan mengidentifikasi kuadran 3: tidak penting tapi mendesak. Kuadran 3 ini sering menipu banyak orang dengan bertopeng kuadran 1: seakan-akan penting dan mendesak. Kita perlu jeli, berani, dan jujur kepada diri sendiri bahwa sebagian (besar) pekerjaan adalah kuadran 3.
Selanjutnya, pekerjaan kuadran 3 ini kita tinggalkan karena memang tidak penting meski urgen. Waktu longgar yang tersedia, akibat membuang kuadran 3, kita gunakan untuk mengerjakan kuadran 2: penting dan tidak mendesak. Dengan mengerjakan kuadran 2 maka kuadran 1, berangsur-angsur, berkurang. Karena pekerjaan kuadran 1 kita kerjakan sebelum mendesak maka berubah menjadi kuadran 2. Manajemen prioritas seperti ini bisa kita lakukan secara konsisten. Hasilnya, kita lebih banyak bekerja di kuadran 2: penting dan tidak mendesak. Hidup kita menjadi lebih bahagia dengan menikmati pekerjaan-pekerjaan penting pilihan suara hati kita.
Habit 1, 2, dan 3, di atas, berhasil mengembangkan karakter utama secara pribadi. Kenyataannya, kita adalah makhluk sosial yang banyak berhubungan dengan orang lain. Habit 4, 5, dan 6 merupakan pengembangan karakter dalam konteks kehidupan sosial. Sementara, habit 7 menguatkan seluruh karakter utama yang kita kembangkan.
Bagian selanjutnya, kita akan membahas habit 4, 5, 6, dan 7 secara ringkas.
Habit 4, solusi win/win. Dalam kehidupan bersama, hanya ada satu pilihan yaitu win/win, saling menguntungkan. Pilihan lain akan berakhir menjadi loss/loss, sama-sama rugi. Meski pada tahap awal, bisa saja satu pihak untung, sementara pihak lain rugi. Dalam jangka panjang, kerja sama semacam itu akan retak dan berakhir sama-sama rugi. Pilihan kita, sejak langkah pertama, hanya win/win saja.
Solusi win/win bukanlah suatu kompetensi, yang sedemikian hingga, bila dipelajari dengan baik maka orang lain akan setuju dengan usulan kita. Lebih dari itu, solusi win/win adalah karakter diri kita yang mengutamakan keuntungan semua pihak. Bahkan, tetap membela keuntungan bagi pihak yang lemah atau pun pihak yang tidak hadir. Barangkali, kita bisa meluaskan jangkauan untuk menjamin keuntungan bagi pihak yang hadir di masa depan: generasi masa depan.
Habit 5, berusaha memahami baru dipahami. Prinsip komunikasi empati ini sering menguji kesabaran dan emosi kita. Karena, dalam komunikasi, kita sudah memiliki praduga tertentu. Sehingga, ketika datang informasi tertentu ke kita, kita seakan-akan langsung paham akan info itu. Bahkan, info itu sesuai dugaan awal. Nyatanya, proses memahami informasi seperti itu sering salah. Kemudian, menimbulkan banyak masalah.
Pertama, kita harus benar-benar berusaha memahami lebih dulu. Meski, kita sudah punya praduga tertentu terhadap suatu info, anggap saja itu sebagai salah satu versi pemahaman. Kemudian, kita berusaha memamahami info lebih mendalam dari perspektif sumber berita. Perspektif yang berbeda, bisa saja menghasilkan pemahaman yang jauh berbeda bahkan bisa bertentangan. Perspektif dengan memanfaatkan konteks yang lebih luas, bagus untuk kita coba dalam usaha memahami setiap info. Kedua, setelah benar-benar kita berusaha memahami, kemudian, kita boleh meng-klaim bahwa diri kita sudah paham benar tentang info itu – dalam kadar tertentu.
Tugas berikutnya, dalam komunikasi empati, lebih berat lagi. Kita harus berusaha memastikan agar ide-ide kita dipahami orang lain. Lebih sulit lagi, karena, orang lain tidak benar-benar berniat memahami ide kita. Bagaimana pun, tetap menjadi tugas kita agar ide-ide kita bisa dipahami dengan benar oleh kawan bicara. Setelah terjadi saling memahami maka langkah berikutnya adalah sinergi.
Habit 6, sinergi. Secara alamiah, kita melanjutkan ke bentuk sinergi – setelah saling memahami dan solusi win/win. Sinergi adalah bentuk kerja sama yang hasil keseluruhan lebih besar dari jumlah masing-masing unsur. Contoh, 1 + 1 = 3, adalah sinergi. Sementara, 1 + 1 = 2, bukan sinergi – hanya biasa-biasa saja.
Anda mendapat tugas lari ke depan hanya menggunakan kaki kanan butuh waktu 10 menit. Kemudian, lari kembali ke tempat awal, hanya menggunakan kaki kiri butuh waktu 10 menit juga. Kesempatan terakhir, Anda mendapat tugas lari berangkat dan balik, dengan jalur yang sama, dengan menggunakan kaki kanan dan kiri. Berangkat, Anda butuh waktu 2 menit, dan balik, butuh waktu 2 menit juga. Kaki kanan dan kiri adalah contoh sinergi. Hasil sinergi 5 kali lebih hemat dari kerja sendiri-sendiri. Pun, sinergi membutuhkan energi lebih ringan.
Habit 7, asahlah gergaji. Asahlah diri Anda. Asahlah diri Anda agar lebih efisien, lebih cerdas, lebih efektif, dan lebih berkarakter. Dari pada Anda butuh waktu 45 menit untuk memotong kayu dengan gergaji, sisihkan waktu 5 menit untuk mengasah gergaji. Kemudian, hanya butuh waktu 5 menit juga untuk memotong kayu dengan gergaji yang lebih tajam. Jauh lebih efektif dan efisien.
Banyak orang memaksakan diri untuk bekerja keras. Hasilnya tidak efektif. Karena gergaji dirinya sudah tumpul. Sebaiknya, kita meluangkan waktu untuk mengasah diri kita. Mengasah diri secara fisik agar lebih bugar, mengasah mental agar lebih cerdas, mengasah emosi agar lebih lembut, dan mengasah spiritual agar lebih luhur. Semua karakter utama, juga perlu kita asah agar lebih bijak, lebih apik, lebih adil, dan lebih berani.
Sampai di sini, kita sudah membahas etika karakter secara cukup lengkap. Dengan karakter yang kuat, maka kebahagiaan hakiki siap hadir dalam seluruh hidup kita. Meski, mengembangkan karakter tampak mudah, yaitu cukup hanya fokus kepada segala hal yang ada dalam lingkar kendali kita, realitasnya, tidak semudah itu. Kita membutuhkan komitmen dan konsistensi yang tinggi.
Kritik terhadap etika karakter juga sudah ada sejak ribuan tahun yang lampau. Prioritas utama kepada karakter mengubah manusia menjadi bersikap terlalu disiplin. Mereka kurang sensitif terhadap sentuhan lembut perasaan, bisikan mesra angin malam, dan sapaan hangat matahari pagi. Kita akan membahas kritik ini pada bagian selanjutnya: filosofi TERASA.
2.4 Filosofi TERASA
Sesuai namanya, filosofi TERASA, memang mengutamakan rasa. Bukan sebarang rasa. Filosofi TERASA, secara tegas, mem-prioritaskan rasa nikmat yang mengantarkan manusia meraih bahagia hakiki, eudaimonia. Rasa nikmat adalah alamiah bagi manusia – dan setiap makhluk hidup. Kita, setiap saat, mencari rasa nikmat dan menghindari rasa sakit. Justru, itu adalah yang benar.
Rasa nikmat bisa bersifat badani misal nikmat makanan, minuman, hubungan badan, dan lain-lain. Rasa nikmat bisa juga non-badani misal nikmatnya memahami rumus baru, nikmatnya mendengar alunan lagu, nikmatnya jatuh cinta, dan lain-lain. Kedua rasa nikmat, badani dan non-badani, sama-sama penting untuk mengantar kita mencapai bahagia sejati.
Dengan filosofi TERASA tampak mudah bagi kita untuk mencapai bahagia yaitu cukup dengan menikmati segala kenikmatan. Ditambah, menghindari segala penderitaan. Bukankah semua orang bersedia melakukan itu?
Memang mudah untuk meraih bahagia karena tinggal menikmati kenikmatan. Nyatanya, tidak semudah yang dibayangkan. Karena, untuk bisa menikmati segala kenikmatan, kita justru harus mengendalikan nafsu. Kita perlu berpuasa agar bisa menikmati berbuka. Mana ada orang bisa menikmati berbuka tanpa puasa?
Epicurus (341 – 270 SM) adalah filosof kuno yang, dengan tegas, menyatakan bahwa rasa nikmat adalah lebih penting dari segalanya untuk mencapai bahagia. Bahkan rasa nikmat itu lebih utama dari karakter manusia. Meski, Epicurus mengakui karakter adalah penting, tetapi, rasa nikmat lebih penting dari karakter itu sendiri.
Epicurus memberi empat solusi (tetrapharmakos) bagi manusia untuk meraih bahagia sejati: jangan memusuhi Tuhan, jangan takut mati, bahagia itu mudah, susah itu tidak abadi.
Jangan memusuhi Tuhan. Banyak orang menderita karena takut terhadap murka Tuhan. Padahal, Tuhan itu Baik. Tuhan tidak mengganggu manusia. Selama manusia berbuat baik maka Tuhan tidak akan murka. Bahkan, Tuhan menyerahkan urusan dunia ini kepada manusia. Maka berbahagialah. Tuhan selalu menjaga kita. Tuhan tidak memusuhi manusia. Kita, jangan memusuhi Tuhan.
Jangan takut mati. Rasa takut mati banyak menghantui pikiran manusia. Sehingga manusia sulit untuk merasa bahagia. Tidak perlu takut mati. Siapa pun orangnya, pada waktunya, akan mati. Mati adalah proses alamiah. Maka kita perlu menerima datangnya mati dengan senang hati. Nikmati hidupmu. Dan, siapkan cara menghadapi mati yang paling penuh arti. Hidup bahagia dan mati juga bahagia.
Bahagia itu mudah. Benar, bahagia memang mudah. Karena hidup bahagia adalah hidup selaras realitas alam. Manusia hidup di alam raya untuk mencapai bahagia. Sementara, alam raya tercipta untuk mendukung manusia bahagia. Sehingga, wajar saja, bahagia itu mudah. Jika ada orang hidupnya tidak bahagia, itu karena, dia menentang realitas prinsip alam. Menentang hukum alam, memang, bukan tugas yang mudah. Di saat yang sama, penentangnya itu, hidupnya menjadi tidak bahagia.
Hidup bahagia itu mudah dengan cara selaras dengan alam raya. Hidup adalah untuk menikmati segala kenikmatan. Dan, menghindari penderitaan. Semudah, dan senikmat, itu cara hidup bahagia sejati.
Susah itu tidak abadi. Setiap kesulitan itu tidak kekal. Kesulitan pasti berlalu. Ada kalanya, kita harus memilih hidup susah untuk meraih bahagia dalam jangka panjang. Atau kadang, kita dihadapkan pada kenikmatan sesaat dengan resiko penderitaan yang panjang. Pilihan rasional bagi manusia adalah menerima hidup susah, yang tidak kekal itu, demi kebahagiaan sejati di masa depan yang lebih panjang.
Pengorbanan sesaat demi kebahagiaan dunia – dan akhirat – adalah pilihan yang tepat.
Dalam derajat yang lebih tinggi, kita perlu belajar menikmati bahagianya suatu pengorbanan. Orang lain, bisa saja, memandang pengorbanan adalah suatu penderitaan. Kita, sebagai pelaku yang berkorban, bisa saja penuh bahagia dalam berkorban. Bukankah kita merasa bahagia tiada tara ketika berkorban waktu dan harta demi suksesnya pendidikan anak kita? Bukankah kita merasa bahagia yang sempurna ketika berkorban demi kebahagiaan pasangan tercinta? Bukankah kita merasa bahagia berjuta rasa ketika berkorban demi kebaikan umat manusia?
Tema ini, bahagia dalam pengorbanan, akan kita bahas lebih panjang di bagian bawah.
Sementara, kita kembali ke: mengapa kita perlu kritik kepada etika karakter?
Kritik karakter. Mengapa rasa nikmat lebih utama dari karakter utama? Mengapa menikmati hidup bahagia, yang terbebas dari segala penderitaan, lebih utama dari hidup yang berkarakter utama bijak, apik, adil, dan berani?
Kita bisa menjawabnya dengan analisis eksklusif atau terpisah. Yakni, jika kita harus memilih salah satu saja antara rasa dan karakter, mengapa kita harus memilih rasa? Bukan memilih karakter? Jawabannya: karena kita manusia.
Karakter utama bijak, apik, adil, dan berani bisa saja dimiliki oleh robot cerdas – lengkap dengan artificial intelligence. Tetapi, robot cerdas itu tidak bisa menikmati pilihannya, untuk kemudian, hidup bahagia. Hanya manusia yang bisa menikmati hidupnya menjadi bahagia.
Resiko bagi orang yang mengutamakan karakter, dengan meninggalkan rasa, adalah dia bisa berubah menjadi robot cerdas. Robot yang disiplin dan kuat karakternya, tetapi bukan manusia seutuhnya. Sementara, resiko bagi yang mengutamakan rasa, dengan meninggalkan karakter, dia menjadi makhluk sensitif. Emosinya labil meski tetap sebagai manusia. Rasa mencakup rasional dan spiritual.
Sampai di sini, kita berhasil merumuskan dua kritik bersamaan: kritik karakter dan kritik rasa. Kritik karakter menyarankan, bagi Anda yang mengutamakan etika karakter, agar Anda melatih sensitivitas rasa. Anda perlu lebih peka dengan rasa nikmat, sedih, atau gembira. Sehingga, Anda tidak terjebak menjadi robot cerdas dengan karakter kuat. Anda adalah manusia utuh dengan berjuta rasa.
Kritik rasa menyarankan, bagi Anda yang mengutamakan rasa nikmat, agar memperkuat karakter. Sehingga, Anda tidak labil terombang-ambing perasaan. Meski Anda adalah manusia dengan perasaan lembut, Anda tetap membutuhkan karakter stabil sebagai fondasi diri Anda.
Bagaimana cara membangun karakter kuat, sekaligus, menjadi manusia berperasaan lembut penuh bahagia? Kita akan membahasnya di bawah ini dengan tema tentang hasrat.
2.5 Kuadran Kebutuhan Hasrat
Hasrat manusia menentukan apakah seseorang akan merasa nikmat atau sengsara sepanjang hayat. Ketika Anda berhasrat untuk makan, karena sedang lapar, maka makan nasi dengan sambal saja terasa begitu nikmat. Begitu juga sebaliknya, ketika Anda tidak berhasrat untuk makan, karena sudah sangat kenyang atau sedang sakit, maka makanan paling lezat pun terasa ada penolakan. Hasrat berpengaruh besar dalam seluruh hidup kita.

Epicurus meyakini bahwa nikmat dan derita saling berkontradiksi. Ketika ada nikmat maka derita musnah. Sebaliknya, bila ada derita maka nikmat musnah. Sehingga, Epicurus menyarankan kita agar menghindari derita – hasilnya, hanya nikmat dan bahagia yang ada. Cara menghindari derita adalah dengan mengelola hasrat. Baik derita badan mau pun derita ruhani.
Kita bisa mengelompokkan kebutuhan hasrat berdasar sumbu alamiah dan sumbu keharusan. Kita memperoleh empat kuadran: alamiah dan harus, tidak alamiah tetapi harus, tidak alamiah dan tidak harus, alamiah tetapi tidak harus.

Kuadran 1, alamiah dan harus. Di sinilah pusat kebahagiaan sejati umat manusia. Fokus pada kuadran 1, alamiah dan harus, menjamin kebahagiaan manusia jasmani dan ruhani. Contoh kebutuhan hasrat di kuadran 1 adalah: rumah, pangan, pendidikan, persahabatan, dan pasangan. Kuadran 1 menjamin hidup manusia merasa nikmat dan, di saat yang sama, terhindar dari derita.
Rumah adalah kebutuhan alami manusia dan harus kita miliki – dalam makna substansial sebagai tempat tinggal. Rumah memberi kita rasa nikmat bahagia, kehangatan bersama keluarga dan teman-teman. Tidak punya rumah, tidak ada tempat tinggal, mengancam seseorang dengan ragam derita: kehujanan, kedinginan, kepanasan, serangan binatang buas, dan lain-lain. Tidak adanya tempat tinggal juga mengakibatkan derita ruhani: rasa cemas dan takut. Sehingga, rumah adalah kebutuhan alami dan harus bagi setiap orang untuk memilikinya demi mencapai bahagia.
Barangkali, di berbagai negara, aturan kepemilikan rumah berbeda-beda. Ada yang harus dengan membelinya, menyewanya, membayar iuran, atau lainnya. Secara prinsip, manusia membutuhkan tempat tinggal untuk meraih bahagia.
Rumah mewah berbeda dengan tempat tinggal. Rumah mewah tidak menambah bahagia. Justru, rumah mewah menambah derita. Biaya untuk merawat rumah mewah begitu mahal. Berbagai macam aturan, ijin, pajak, dan lain-lain berkenaan rumah mewah bisa menyita pikiran dan mengakibatkan derita. Demikian juga rumah sebagai properti untuk investasi atau jual beli bisa menyebabkan derita. Rumah mewah bukanlah keharusan. Rumah mewah bukan kuadran 1 tetapi kuadran 4. Yang kita butuhkan adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memberikan kehangatan dan kebahagiaan.
Makan adalah kebutuhan alamiah dan harus. Dengan makan, kita menjadi sehat dan mampu menikmati hidup – serta menikmati nikmatnya setiap makanan. Kita, dan setiap orang, perlu mendapatkan makanan sehat dalam porsi yang memadai untuk menjamin hidup bahagia.
Kurang makan atau berlebihan makan, sama-sama, mengakibatkan derita. Orang menjadi sakit karena kurang gizi. Orang menjadi sakit karena berlebihan konsumsi gula, daging, anggur dan lainnya. Ketika sakit diabetes, misalnya, seseorang tidak bisa lagi menikmati manisnya gula. Makanan, yang semula, sebagai sumber kenikmatan berubah menjadi sumber derita. Untuk bisa menikmati makanan, kita perlu makan dalam kadar yang tepat. Berbahagialah bersama makanan Anda.
Pendidikan merupakan kebutuhan alami dan harus bagi setiap manusia. Dengan pendidikan, umat manusia menjadi lebih berkembang. Kita bisa membuat rumah, makanan, teknologi, dan sebagainya berdasarkan hasil pendidikan. Sehingga, pendidikan mengantar kita mampu menikmati hidup dengan bahagia. Lebih dari itu, pendidikan memberi kita kenikmatan rasional dan spiritual. Hidup bahagia menjadi sempurna dengan pendidikan yang baik.
Pendidikan atau jenjang sekolah untuk mengejar status bukanlah kebutuhan alami manusia. Pendidikan mewah semacam itu justru membuat manusia menderita. Karena harus menyediakan biaya yang besar dan, di saat yang sama, menempatkan pendidikan sekedar sebagai tanda gengsi status. Gengsi seperti itu justru menyebabkan hidup menderita. Menempatkan pendidikan sebagai instrumen untuk meraih kekayaan, melalui karir kerja atau jalur bisnis, juga berdampak penderitaan manusia.
Pendidikan yang baik adalah sarana, dan proses, bagi manusia untuk bertumbuh kembang menikmati hidup yang bahagia secara fisik dan ruhani. Pendidikan menyiapkan kita menangani beragam sumber penderitaan materi dan pikiran. Untuk kemudian, mengantarkan kita hidup bahagia.
Persabahatan adalah kebutuhan alami paling penting bagi setiap manusia. Sahabat atau teman adalah orang yang merasa bahagia karena membantu temannya. Dan, persahabatan adalah cara pasti untuk menjamin kita menjadi hidup bahagia. Setiap orang harus menjadi sahabat atau teman bagi banyak orang. Kita harus menjadi sahabat banyak orang. Karena pentingnya persahabatan ini maka kita akan membahas secara khusus di bagian bawah.
Pasangan hidup adalah kebutuhan alami dan harus demi kebahagiaan kita. Suami membutuhkan istri dan istri membutuhkan suami. Kehidupan suami istri adalah jalinan kehidupan paling ideal dalam alam raya. Dengan dikaruniai anak, rumah tangga menjadi lebih damai dan bercahaya.
Suami istri, kadang, menghadapi konflik. Bahkan, kadang, konflik dengan anak sendiri. Dengan sabar, dan disinari cinta, konflik-konflik itu justru mengantarkan pasangan suami istri untuk lebih saling memahami. Sehingga, kehidupan rumah tangga lebih bahagia penuh makna.
Lima contoh di atas adalah kebutuhan manusia yang bersifat “alami” dan “harus” di kuadran 1: rumah, makan, pendidikan, persahabatan, dan pasangan. Setiap orang yang fokus pada kuadran 1 akan berhasil meraih bahagia hakiki, eudaimonia. Kita akan terbebas dari berbagai macam penderitaan lahir mau pun batin. Di saat yang sama, kita menikmati hidup bahagia secara lahir dan batin pula.
Kabar buruknya, semua yang ada di kuadran 1 bisa berubah menjadi kuadran lain sewaktu-waktu bila tidak ada komitmen kita untuk menjaganya. Akibatnya, orang-orang menjadi menderita dalam hidupnya. Misal, rumah adalah tempat tinggal penuh kehangatan sumber bahagia. Rumah bisa berubah menjadi rumah mewah yang biaya perawatannya sangat mahal. Karena itu, orang harus bekerja keras, penuh derita, hanya sekedar untuk merawat rumah mewahnya. Rumah mewah menjadi beban derita.
Selanjutnya, kita akan membahas kuadran 2, 3, dan 4 yang perlu kita waspadai karena bisa menjadi sumber derita, menjauhkan orang-orang dari bahagia sejati.
Kuadran 2: tidak alami tetapi harus. Para pemikir kuno, tampaknya, melewatkan pentingnya kuadran 2 – kebutuhan yang tidak alami. Kita bisa maklum karena, pada jaman kuno, teknologi belum berkembang. Sehingga, hanya ada sedikit hal-hal positif yang tidak alamiah. Sementara, di jaman kita, teknologi sudah menembus hampir seluruh bidang kehidupan.
Dalam kadar terbatas, teknologi kita butuhkan untuk meraih bahagia. Teknologi adalah keharusan bagi setiap umat manusia, sekali lagi, dalam kadar terbatas. Kita bisa membuat akun media sosial, misalnya, untuk komunikasi penting dengan teman-teman kita yang terpisah jauh. Kita juga bisa mengirimkan bantuan ke sahabat yang di luar negeri melalui transfer internasional dengan jaringan digital dalam hitungan detik. Bila berminat, kita bisa berbagi ilmu kepada banyak orang melalui video di jaringan digital. Dan, masih banyak lagi manfaat teknologi untuk kebahagiaan manusia.
Sekali lagi, kita perlu waspada dengan teknologi – dan kuadran 2. Sewaktu-waktu, bisa berubah menjadi derita. Media sosial, misalnya, bisa menyebarkan hoax dan fitnah. Media sosial menghancurkan hidup banyak orang melalui penipuan.
Kuadran 3: tidak alami dan tidak harus. Tentu saja kuadran 3 harus kita tinggalkan. Kuadran 3 hanya menyebabkan derita belaka.
Tetapi meninggalkan kuadran 3 tidak selalu mudah. Nikmat sesaat dalam memuaskan nafsu, di kuadran 3, telah terbukti menjebak banyak orang. Kecanduan game online dan judi online telah merenggut masa-masa indah generasi muda – dan beberapa orang dewasa. Makan hoax dan termakan hoax sudah menjadi obat kuat bagi banyak orang frustasi.
Ada pula, mafia yang memanfaatkan kuadran 3 untuk mengeksploitasi korbannya. Mereka melakukan ancaman, pemerasan, dan penipuan dengan bantuan teknologi. Kuadran 3 hanya menjadi sumber derita. Tinggalkan kuadran 3. Nikmati hidup tanpa derita lahir dan batin. Nikmati hidup bahagia yang alamiah secara lahir batin.
Kuadran 4: alamiah tetapi tidak harus. Kuadran 4 ini adalah sumber derita. Tetapi, kuadran 4 sulit kita kenali karena mereka bertopeng sebagai kuadran 1. Sejatinya, kuadran 4 adalah kebutuhan alamiah yang “tidak harus” kita lakukan. Mereka menampakkan diri sebagai kebutuhan alamiah dan “harus” kita lakukan.
Rumah mewah adalah contoh kuadran 4 bertopeng kuadran 1. Rumah adalah kebutuhan alami setiap orang untuk menikmati hidup bahagia. Rumah adalah suatu keharusan bagi kita. Rumah mewah berbeda dengan rumah. Rumah mewah adalah kuadran 4 yang menyebabkan derita.
Untuk membangun rumah mewah, seseorang harus mengorbankan banyak hal – waktu, uang, tenaga, pikiran, resiko, dan lain-lain. Kemudian, untuk merawat rumah mewah, seseorang harus mengorbankan banyak hal pula – biaya listrik, perawatan, pajak, gaji, dan lain-lain. Ketika hendak menjual rumah mewah pun tidak mudah. Seseorang perlu membayar pajak besar, memilih pembeli hanya yang punya uang besar, menjaga diri dari penipuan orang-orang yang tidak mau membayar.
Tetapi, seseorang bisa berargumen bahwa rumah mewah memberi kita kebahagiaan yang setimpal. Kita tinggal di rumah yang nyaman. Kita bangga dengan memiliki rumah mewah. Bahkan, rumah mewah menjadi investasi masa depan yang harganya makin membubung tinggi. Dan, masih banyak argumen lainnya. Tentu saja, argumen-argumen itu bisa dibenarkan, meski pun, belum tentu benar.
Sejatinya, semua kebahagiaan yang kita perlukan dari rumah tempat tinggal bisa diberikan oleh “rumah” – tidak harus “rumah mewah.”
Pertanyaan yang lebih sulit dijawab oleh rumah mewah adalah: lebih bahagia mana, memiliki “rumah mewah” atau “rumah lebih mewah”?
Tentu saja, jika rumah mewah bisa memberikan kebahagiaan kepada manusia maka “rumah lebih mewah” bisa memberikan kebahagiaan lebih besar. Tetapi, “rumah lebih mewah” itu tidak ada batasnya. Hasrat manusia selalu menginginkan yang lebih mewah dari yang ada. Sehingga, akibatnya, pemilik rumah mewah tidak bahagia lantaran mengharapkan punya “rumah lebih mewah” yang, saat ini, tidak dia miliki. Mereka, pada akhirnya, tidak pernah bahagia dengan rumah mewahnya.
Jabatan dan poligami adalah beberapa contoh berikutnya dari kuadran 4: alamiah tetapi tidak harus.
Jabatan, misal jadi bupati atau ketua RW, adalah kebutuhan manusia alamiah tetapi “tidak harus”. Manusia hidup secara sosial sehingga perlu jabatan politis. Namun, orang perlu menghindari jabatan ini untuk bisa hidup bahagia. Bukankah dengan menjadi pejabat membuat kita lebih bahagia? Lebih berkuasa? Lebih kaya?
Pertanyaan sebaliknya lebih sulit dijawab: jika jabatan bisa memberi kebahagiaan kepada manusia maka apakah jabatan lebih tinggi memberi kebahagiaan yang lebih tinggi pula? Tetapi, jabatan lebih tinggi itu tidak pernah ada – atau tidak pernah bisa diraih. Lebih tinggi dari bupati adalah gubernur, presiden, penguasa bumi, penguasa tata surya, galaksi, dan seterusnya. Dengan demikian, orang yang mengejar jabatan tidak pernah bahagia.
Di sisi lain, kesibukan seorang pejabat begitu besar. Seorang bupati harus bertanggung-jawab urusan satu kabupaten. Seorang gubernur mengurus satu provinsi, dan seterusnya. Mereka sulit, atau tidak sempat, bahagia. Ditambah lagi, mempertahankan kursi jabatan bukan tugas ringan. Banyak lawan sedang mengincar kursi jabatan Anda. Dampaknya, seorang pejabat harus terus waspada terhadap setiap intrik politik.
Poligami – atau poliandri – sulit sekali menjadi bahagia. Istri yang dimadu sulit bahagia. Istri lebih banyak menderita karena poligami. Cemburu, rasa tidak aman, kurang perhatian, terbaginya waktu suami sulit ditangani dalam poligami. Analisis yang sama bisa kita terapkan terhadap kasus poliandri – seorang perempuan memiliki suami lebih dari satu orang.
Sejatinya, memiliki pasangan hidup adalah kebutuhan alamiah bagi manusia. Pasangan hidup memberi kita hidup lebih bahagia. Tetapi, memperbanyak pasangan hidup, misal poligami, menjadi suatu masalah yang berbeda.
Dengan punya satu istri, seorang suami begitu bahagia maka dengan punya dua istri, bukankah menjadi lebih bahagia?
Tidak. Suami tidak merasa lebih bahagia dengan dua istri. Lebih menderita, justru, bisa terjadi. Salah satu tugas suami adalah berusaha memahami hati seorang istri. Dan, seperti kita bahas sebelumnya, tugas “berusaha memahami” adalah tugas yang sulit. Apakah mudah memahami hati seorang istri? Lebih sulit lagi, memahami hati dua orang istri atau hati empat orang istri.
Saya pernah bertanya kepada teman, laki-laki, yang berpoligami,
“Apa yang paling membahagiakan dari poligami?”
“Yang paling membahagiakan adalah proses mendapatkan istri kedua.”
“Lalu, apa lagi?”
“Tidak ada. Ketika berjuang menaklukkan hati calon istri kedua, hatiku berbunga-bunga penuh bahagia. Rasa deg-degan itu membuat hidup terasa lebih hidup. Benar-benar bahagia. Lalu, aku menikahi istri kedua, dan biasa-biasa saja.”
“Tentu ada lagi yang membuat bahagia, apa coba?”
“Oh… ya, benar, ada. Ketika aku akan menikahi istri ketiga, aku kembali merasa bahagia, hati berbunga-bunga.”
Di kesempatan lain, saya berdiskusi dengan teman-teman, yang salah satu dari teman itu sudah matang. Sudah cukup kaya, pengalaman, pendidikan luas, dan sebagainya sehingga pantas bagi dia menambah istri. Saya bertanya,
“Mengapa kamu tidak menambah istri, berpoligami?”
“Menambah istri adalah menambah beban. Mengapa kita harus menambah beban?”
“Bukankah punya dua istri lebih bahagia?”
“Menambah istri adalah menambah tanggung jawab. Jangan lakukan itu kecuali itu suatu kewajiban, atau suatu keterpaksaan. Dan, sampai saat ini, tidak ada kewajiban poligami.”
Ide poligami, saat ini, lebih sulit kita pertahankan bila memperhatikan demografi, gambar kependudukan kita. Saat ini, di dunia, lebih banyak laki-laki dari perempuan. Untuk ukuran Indonesia pun, lebih banyak laki-laki dari perempuan. Yang menarik, di kota Bandung, yang begitu kelihatan banyak wanita cantik, ternyata, lebih banyak laki-laki dari perempuan.
Misal, di kota Bandung ada 100 ribu laki-laki usia siap nikah dan ada 90 ribu perempuan usia siap nikah. Jika mereka menikah berpasangan satu-satu, monogami, maka tersisa 10 ribu laki-laki di Bandung tidak mendapat pasangan istri. Barangkali, laki-laki Bandung ini bisa saja menikah dengan wanita luar Bandung. Tetapi, di luar Bandung juga lebih banyak laki-laki dari perempuannya. Sehingga, jika ada laki-laki yang berpoligami, memiliki lebih dari satu orang istri, maka berdampak makin banyak lagi laki-laki lain yang tidak kebagian calon istri. Apakah Anda tega?
Tentu saja, di masa tertentu, di wilayah terntentu, jumlah wanita bisa lebih banyak dari laki-laki. Sehingga ide poligami, barangkali, bisa menjadi solusi. Tetapi, di saat ini, poligami sulit dipandang sebagai solusi.
Terlanjur kaya harus bagaimana? Jika rumah mewah, jabatan, dan poligami tidak menambah bahagia maka bagaimana dengan orang yang terlahir kaya? Apakah mereka tidak bisa bahagia?
Bisa saja seseorang terlahir sebagai putra mahkota. Dia, putra mahkota, sejak lahir sudah memiliki rumah mewah. Pada waktunya, putra mahkota itu dilantik menjadi raja – menduduki jabatan paling tinggi. Dan, sebagai raja, tradisi atau konstitusi mewajibkannya untuk poligami.
Apakah putra mahkota yang seperti itu tidak bisa hidup bahagia? Tentu saja bisa. Putra mahkota tetap bisa hidup bahagia dengan cara menjadi seorang teman. Tema ini yang akan menjadi pokok bahasan pada bagian selanjutnya.
Kiranya, perlu kita garis-bawahi bahwa untuk hidup bahagia kita perlu fokus pada kuadran 1: kebutuhan alamiah dan harus. Dengan fokus pada kuadran 1 maka kita terbebas dari derita lahir dan batin. Untuk kemudian, kita menjalani hidup bahagia dengan menikmati kenikmatan lahir batin juga. Cara untuk bisa selalu menikmati hidup adalah dengan membatasi diri fokus di kuadran 1. Dengan berpuasa maka kita bisa menikmati bahagianya berbuka.
Sementara, dalam kehidupan nyata, kuadran 2, 3, dan 4 selalu ada. Kita perlu membatasi mereka – kuadran 2, 3, dan 4 – agar tidak bertambah banyak. Atau, kita perlu menggeser mereka agar lebih dekat ke kuadran 1. Sehingga, hidup bahagia menjadi milik kita semua. Apa yang bisa menjamin hidup kita bahagia? Menjadi seorang teman menjamin hidup kita bahagia.
3. Bahagia Sosial Politik
Hidup secara sosial politik adalah keharusan bagi setiap manusia. Awalnya, kita hidup secara sosial karena kita memerlukannya untuk bertahan hidup. Seorang petani membutuhkan cangkul padahal dia hanya bisa menghasilkan padi, petani tidak bisa memproduksi cangkul. Maka, petani perlu berdagang dengan produsen cangkul. Dalam makna yang luas, manusia butuh bersosialisasi.
Aspek politis, tentu saja, terlibat dengan kental dalam setiap interaksi sosial. Memang bentuk aktivitas politis bisa secara langsung atau tidak langsung. Sehingga, orang tidak bisa mengatakan bahwa dirinya tidak berpolitik. Pernyataan “tidak berpolitik” bermakna dia “berpolitik” dengan cara yang lain.
Tujuan bahagia adalah tujuan utama bersosial politik, berbeda dengan tujuan awal interaksi sosial, yang untuk memenuhi kebutuhan hidup praktis. Tujuan akhir bersosial politik adalah untuk meraih bahagia secara hakiki. Kebahagiaan hakiki seorang manusia hanya bisa diraih melalui interaksi sosial – sampai kadar tertentu yang tepat. Orang yang memisahkan diri dari kehidupan sosial, terus-menerus, tidak akan mencapai bahagia. Demikian juga tujuan politik adalah menciptakan bahagia untuk seluruh umat.
Kehidupan sosial politik membentuk karakter kita makin kuat, di saat yang sama, kita menikmati setiap prosesnya. Jika ada orang yang tidak bahagia dalam sosial politik maka hal itu karena ada yang salah pada diri orang tersebut. Orang sering salah, dengan menuntut dipuji karena status sosialnya. Dia sudah mengenakan baju mahal branded, ternyata, tidak ada orang yang memujinya. Kecewalah, dirinya dalam kehidupan sosial.
Pejabat tinggi, pejabat politik, marah-marah karena tidak mendapat fasilitas mewah. Wajar saja, pejabat marah. Hidup pejabat itu menjadi tidak bahagia dalam struktur politik yang ada.
Mereka, pejabat tinggi dan status sosial yang tinggi, terbalik bersikap dalam sosial politik. Pejabat tinggi, seharusnya, merasa bahagia karena bisa melayani, berkhidmat, kepada seluruh rakyat. Orang berstatus sosial tinggi, seharusnya, bahagia karena bisa berkarya untuk orang banyak. Jika mereka menuntut rakyat harus menghormati maka kecewa yang ada.
Peran sosial adalah kesempatan untuk memberi – berkhidmat kepada rakyat. Kita menjadi bahagia dengan memberi – bukan berharap sebaliknya.
Mengapa orang-orang berebut menjadi tokoh masyarakat? Mengapa berebut menjadi orang terkenal? Apakah ingin mendapat banyak uang karenanya? Jika demikian maka derita yang akan dia peroleh – derita lahir dan batin. Akan lebih baik, orang itu tidak menjadi tokoh masyarakat. Lebih bagus, orang itu tidak terkenal. Barangkali dengan menjadi orang biasa, dia bisa hidup bahagia.
Jabatan politis, misal sebagai bupati, adalah jabatan untuk melayani rakyat se-kabupaten. Bukankah itu tugas yang berat? Lalu, mengapa banyak orang berebut untuk menjadi bupati? Lebih serius lagi, mengapa mereka berebut untuk menjadi presiden? Jika mereka berebut jabatan politis demi bisa berkhidmat kepada rakyat maka jabatan politis adalah jalan yang tepat untuk menjadi bahagia. Sebaliknya, jika mereka berebut jabatan politis demi harta atau status maka derita lahir dan batin pasti mengancamnya.
Asumsikan benar bahwa mereka berebut jabatan politis demi bisa berkhidmat kepada rakyat banyak. Meski itu adalah jalan yang tepat untuk meraih bahagia, tetapi itu adalah jalan yang berat. Dengan demikian, apakah sebaiknya kita menyisih dari dunia sosial politik? Tidak. Tidak harus menyisih. Kita hanya perlu membatasi kehidupan sosial politik dalam kadar yang tepat. Dan kadar yang tepat adalah kadar yang rendah yaitu kuadran 1: kebutuhan alami dan “harus”. Sedangkan, kadar yang tinggi adalah kuadran 4: kebutuhan alami tetapi “tidak harus”.
Aktivitas wajib benar-benar dibutuhkan dalam sosial politik. Tentara wajib ada dalam masyarakat untuk menjaga keamanan dan pertahanan, misalnya. Sehingga, sebagian dari warga, bisa jadi diri kita, wajib untuk menjadi tentara. Suatu masyarakat, misal negara berdaulat, wajib memiliki tentara. Tanpa tentara, sewaktu-waktu, ancaman dari luar bisa berbahaya.
Masih ada beberapa aktivitas wajib yang harus dilakukan oleh masyarakat: polisi, hakim, kepala daerah, kepala negara, politikus, dan lain-lain. Aktivitas wajib ini bersifat terbatas yaitu bila kuota sudah terpenuhi maka warga yang lain gugur kewajibannya. Misal, bila sudah terpilih seorang presiden maka warga lain tidak perlu menjadi presiden tandingan. Demikian juga, jika jumlah polisi sudah memadai maka tidak perlu menambah lagi anggota polisi. Dalam istilah yang luas dipakai, aktivitas wajib adalah fardu kifayah.
Immanuel Kant (1720 – 1804) merumuskan filosofi moral berdasarkan kewajiban: categorical imperative dan hypothetical imperative. Suatu tindakan dikatakan bermoral atau baik karena tindakan tersebut adalah suatu kewajiban. Dan, setiap orang bisa memilih untuk melakukan tindakan bermoral atau melanggarnya. Justru karena ada pilihan bebas ini maka tindakan bermoral benar-benar bernilai moral – bukan karena paksaan. Selanjutnya, tindakan bermoral mengantar manusia meraih bahagia hakiki.
Dengan demikian, kita berhasil meraih bahagia sejati melalui sosial politik dengan fokus menjalankan kewajiban. Yaitu menjalankan kewajiban dengan karakter unggul serta menikmati setiap prosesnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menikmati kewajiban? Bukankah kewajiban itu wajib dilakukan, suka atau tidak?
Nikmat Kewajiban
Dari rumah, saya mendengar suatu kajian yang menyatakan bahwa, “Pernikahan itu, nikmatnya hanya 10%. Sisanya, yang 90%, adalah kewajiban dan tanggung jawab belaka.”
Pandangan seperti itu bisa dibenarkan oleh banyak orang. Tetapi, kita bisa membalik cara pandang, “Pernikahan itu, nikmatnya hanya 10%. Sisanya, yang 90%, adalah nikmat sekali.”
Kita, memang, bisa menjalani kewajiban, di saat yang sama, menikmati prosesnya. Perlu cara pandang khusus dan latihan sampai kita mahir menikmatinya.
a. Membatasi Kewajiban dalam jumlah yang sedikit sehingga kita mampu menjalaninya dengan mahir. Kita perlu fokus kepada kebutuhan kuadran 1: alamiah dan “harus”. Sementara, kuadran 2 dan 4 kita jaga dalam jumlah minimal.
Orang, pada umumnya, akan mampu membatasi kewajiban. Tetapi, orang yang terlahir sebagai pangeran, pewaris tahta kerajaan atau bisnis, sejak lahir, sudah memiliki kewajiban yang banyak. Sehingga, tidak mudah, bagi seorang pangeran untuk membatasi kewajiban dirinya.
Kerajaan Inggris termasuk contoh yang baik dan berhasil membatasi kewajiban raja – dan pangeran. Kerajaan Inggris memiliki konstitusi yang mengatur pemerintahan dan kenegaraan. Raja adalah kepala negara. Tetapi, kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri yang dipilih periodik melalui proses demokrasi. Dengan demikian, kewajiban raja berkurang, tidak lagi menjadi kepala pemerintahan. Raja memiliki peluang lebih besar untuk menjalani hidup bahagia dibanding sebelum adanya perdana menteri.
Mundur dari jabatan tertinggi, misal raja, tidak selalu mudah. Karena penguasa berikutnya, pejabat penggantinya, bisa saja menghukum raja yang sudah mengundurkan diri itu dengan penjara atau bahkan hukuman mati atau dengan serangan licik tersembunyi. Sebelum mundur atau mengurangi kekuasaan, seorang raja harus benar-benar menghitung segala resikonya. Barangkali, hasil analisis yang teliti ini menyarankan agar seorang raja tetap menjadi raja. Selanjutnya, raja tersebut harus menjalani seluruh kewajiban dengan bahagia melalui proses berkhidmat – pengabdian.
b. Berkhidmat adalah bukti sejati sebagai seorang sahabat. Seorang teman, atau sahabat, adalah orang yang merasa bahagia karena membantu teman lainnya. Seorang sahabat merasa bahagia dalam berkhidmat.
Membantu teman, barangkali, adalah pilihan bebas kita. Maksudnya, kita bisa memilih untuk membantu teman atau menolaknya. Dengan memilih membantu teman maka kita menjadi bahagia. Tetapi, tidak semua orang memiliki kemewahan untuk bebas memilih seperti itu. Seorang tentara, tidak bebas, wajib terjun ke medan perang. Seorang hakim, tidak bebas, wajib menghukum penjahat. Seorang raja, tidak bebas, wajib memerintahkan pasukan untuk menyerang balik pasukan lawan.
Bagaimana pun, kita punya pilihan untuk menjalani kewajiban sebagai jalan berkhidmat, pengabdian, atau lainnya. Ketika Anda menjabat sebagai gubernur, misalnya, maka gunakan jabatan itu untuk berkhidmat kepada rakyat. Maka Anda bisa menjalani kewajiban gubernur penuh nikmat bahagia. Kadang, berkhidmat menuntut kita untuk berkorban. Baik berkorban waktu, pikiran, dan beragam sumber daya. Bahkan, kadang menuntut pengorbanan jiwa.
c. Alunan serasi imajinasi, pemahaman, akal, dan alam raya mengantarkan kita jadi bahagia. Alunan selaras merupakan perpaduan dari seluruh keragaman menjadi satu, dengan tetap merawat perbedaan di antara mereka. Bahagia adalah satu dan, di saat yang sama, beragam. Bahagia adalah lengkap dan, di saat yang sama, sederhana.
Kant, dalam kritik ketiga, menyatakan bahwa penilaian terhadap obyek cantik memiliki klaim universal. Penilaian cantik ini didasarkan kepada tiga fakultas manusia secara harmonis: imajinasi, pemahaman, dan akal. Hal ini berbeda dengan penilaian akal murni terhadap pengetahuan empiris dan a priori, misal sains. Akal murni menyerahkan penilaian akhir kepada fakultas pemahaman saja. Sehingga, misal hukum Newton, bisa dinilai benar atau salah secara obyektif oleh orang-orang yang memiliki pemahaman terhadapnya.
Berbeda juga dengan penilaian moral, di mana, keputusan akhir diserahkan kepada fakultas akal saja. Seseorang bebas menggunakan akalnya untuk memutuskan apakah dirinya akan memilih tindakan bermoral – atau melanggarnya.
Sementara, menilai sesuatu yang indah, sesuatu yang cantik tidak bisa ditentukan oleh satu fakultas saja. Kita membutuhkan tiga fakultas yang selaras (imajinasi, pemahaman, akal) untuk menilai suatu alunan musik adalah merdu, misalnya. Tidak cukup hanya menggunakan akal saja untuk menilai bahwa suatu alunan musik adalah merdu nan indah.
Kita bisa mengilustrasikan fakultas rasa, yang merasakan indahnya alunan musik, adalah perpaduan selaras antara berbagai fakultas: imajinasi, pemahaman, dan akal. Sehingga, fakultas rasa bukanlah fakultas tunggal. Tetapi fakultas harmonis manusia.
Rasa bahagia, rindu, dan cinta merupakan alunan selaras antara beragam fakultas manusia dan alam semesta. Rasa cinta, misalnya, adalah alunan selaras imajinasi, pemahaman, akal, fisik, interaksi, dan alam raya. Dengan demikian, manusia tidak sepenuhnya bisa mengendalikan rasa cinta. Manusia hanya punya sebagian kendali terhadap rasa cinta. Sebagian besar rasa cinta ditentukan oleh keselarasan realitas.
Seorang pemuda yang sedang jatuh cinta kepada gadisnya tidak bisa kita suruh berhenti mencintainya. Bahkan, ketika pemuda itu berniat berhenti mencintai gadisnya, cinta itu tetap hadir memenuhi seluruh hati sang pemuda. Justru cinta yang mendominasi akal pemuda itu. Bukan akal yang mengendalikan cinta. Rasa cinta akan tetap bersenandung dalam jiwa sang pemuda.
Demikian juga, ketika, seorang gadis patah hati karena putus cinta. Rasa sedih memenuhi jiwa sang gadis. Kita tidak bisa menyuruh gadis itu untuk berhenti sedih, untuk melupakan patah hatinya. Gadis itu sedang dirundung nestapa akibat putus cinta. Andai saja, gadis itu ingin melupakan rasa sedihnya, tetap saja, rasa sedih terus memenuhi hatinya.
Rasa bahagia adalah selarasnya seluruh fakultas diri kita dan alam raya – dan karunia Tuhan. Tampak mudah untuk merasa bahagia: bersyukur dan bersabarlah maka kamu bahagia.
Meskipun seseorang berusaha bersyukur maka belum tentu dia bahagia. Meskipun seseorang berusaha sabar maka belum tentu dia bahagia. Syukur dan sabar adalah dua titik usaha manusia untuk menciptakan alunan selaras hati, pikiran, imajinasi, dan alam raya agar tercipta bahagia yang sempurna. Bagaimana pun, perlu usaha dan konsentrasi penuh untuk bisa benar-benar bahagia.
Mari kita ringkaskan untuk bisa bahagia dalam sosial politik. Pertama, kita perlu membatasi aktivitas sosial politik hanya fokus kepada kebutuhan hasrat alamiah dan “harus” saja. Kedua, kita perlu menjadikan aktivitas sosial politik sebagai jalan berkhidmat kepada umat. Ketiga, paling penting, rasa bahagia hadir dari selarasnya diri kita dengan alam raya. Karena itu, kita perlu secara konsisten sengaja meraih bahagia untuk diri kita – dengan mengalir selaras bersama alam raya. Cara yang paling pasti untuk meraih bahagia itu adalah dengan menjadi teman.
4. Teman Paling Bahagia
Teman adalah orang yang paling bahagia. Teman adalah orang yang merasa bahagia dengan cara membahagiakan temannya. “Punya satu musuh, terasa terlalu banyak. Punya seribu teman, terasa masih kurang.”
Pernyataan bahwa kita membutuhkan lebih banyak teman, memang, benar adanya. Karena, kita mengasumsikan hubungan teman adalah hubungan timbal-balik. Ketika Adi adalah teman dari Budi, maka, Budi adalah teman dari Adi. Sebagai teman, Adi merasa bahagia dengan menolong Budi. Demikian juga, Budi merasa bahagia dengan menolong Adi. Sesama teman, saling tolong-menolong dan sama-sama bahagia.
4.1 Teman Sosial
Teman sosial adalah yang paling umum kita pahami. Kita punya teman bermain, teman sekolah, teman kerja, dan lain-lain. Teman bermain adalah yang paling menunjukkan pertemanan sejati. Sesama teman, mereka bahagia bermain. Adi menang dalam bermain bahagia. Budi kalah dalam bermain juga bahagia. Menang atau kalah, dalam bermain, mereka sama-sama bahagia.
Teman kerja, sejatinya, juga saling bekerja sama dengan bahagia. Adi bahagia membantu Budi sukses kerja. Dan, Budi bahagia membantu Adi sukses kerja. Situasi menjadi rumit ketika terjadi kompetisi, misal, promosi jabatan kerja. Jika Adi mendapat promosi menjadi manager maka Budi sedih karena dirinya tidak terpilih jadi manajer. Demikian juga, jika Budi yang terpilih jadi manajer maka Adi sedih karena tidak terpilih.
Situasi kompetisi lebih rumit lagi dalam dunia politik. Jika Adi terpilih jadi bupati maka Budi dan semua teman lainnya tidak bisa menjadi bupati. Perebutan kursi politik memang melalui kompetisi. Meski, kompetisi ini bisa saja berlangsung adil, tetap saja, sulit menciptakan suasana bahagia khususnya bagi pihak yang kalah. Lebih parah lagi, sering terjadi kecurangan politik di mana-mana.
Bagaimana cara menciptakan situasi bahagia bagi semua pihak? Khususnya pada situasi kompetisi politik yang begitu tajam?
Kadang-kadang, memang, tidak ada solusi untuk situasi politik yang tajam. Hal semacam itu manusiawi, dalam arti, manusia bisa melakukan itu – kekejaman politik. Solusi yang sudah kita rumuskan di bagian sosial politik bisa menjadi pertimbangan. Di sini, kita akan menambahkan pembedaan fokus antara kompetisi dan kontribusi.
Banyak orang mengukur sukses dengan memenangkan kompetisi. Siapa juaranya? Siapa menang pilihan presiden? Siapa ranking satu?
4.2 Teman Saudara
4.3 Teman Pasangan
4.4 Teman Alam Raya
4.5 Teman Tuhan
5. Bahagia Ontologis
Excellent articles Paman Apiq!!
SukaSuka
Terima kasih,,, masih bersambung, hehehe
SukaSuka