Tuhan atau Manusia

Mana yang lebih utama: Tuhan atau manusia?

Sekilas, jawabannya seperti jelas. Tuhan lebih utama, tentu, bagi umat beragama. Benarkah? Bagi umat yang tidak beragama, bagaimana?

Siapakah yang bertanggung jawab atas kejahatan? Tuhan atau manusia? Siapakah yang bertanggung jawab atas kelestarian alam? Siapakah yang bertanggung jawab atas kehidupan?

Pertanyaan bisa sedikit kita ubah: mana lebih utama, ketuhanan atau kemanusiaan?

Kedua-duanya, sama-sama utama. Tetapi, kadang kala, kita memang perlu membuat prioritas. Menyusun daftar sesuai urutan prioritas. Sehingga, kita perlu menjawab, dengan tegas, mana yang lebih utama.

1. Tuhan Utama
2. Manusia Utama
3. Kejahatan Manusia
4. Tanggung Jawab Semesta
5. Teman Dialog

Secara bertahap, kita akan membahas berbagai macam alternatif prioritas di atas. Pada bagian akhir, saya mengusulkan solusi dialektika. Tuhan dan manusia adalah teman dialog. Tentu saja, tidak semua manusia “berhasil” menjadi teman dialog. Hanya orang-orang tertentu yang berdialog dengan Tuhan. Anugerah, bencana, amal, atau pun kejahatan, semua adalah media dialog manusia dengan Tuhan.

1. Tuhan Utama

Tuhan adalah pencipta alam semesta. Tuhan Maha Pengasih. Tuhan Maha Penyayang. Maka Tuhan adalah yang paling utama. Segala perbuatan kita, yang kita niatkan tulus demi Tuhan maka menjadi ikhlas dan bernilai tinggi. Sementara, perbuatan orang-orang yang diniatkan untuk memperoleh pamrih manusia lain, maka, hanya pamer belaka. Tidak bernilai di sisi Tuhan.

Tetapi, bagaimana dengan teroris yang mengatasnamakan Tuhan dalam serangan mereka? Mereka hanya meng-klaim atas nama Tuhan. Memperhatikan bahwa mereka berani berkorban nyawa demi keyakinan mereka, tampaknya, klaim mereka sangat kuat. Apakah Tuhan, dengan demikian, benar-benar paling utama? Atau ada alternatif lain yang lebih utama?

Tentu saja, kita tahu bahwa tidak semua teroris mengatasnamakan Tuhan atau agama. Sebagian, tidak berhubungan dengan klaim Tuhan sama sekali. Bagaimana pun, teroris yang membawa nama Tuhan cukup merepotkan kita untuk justifikasi – Tuhan sebagai yang utama.

Kita bisa membela diri bahwa para teroris itu hanya sebagian kecil saja dari umat beragama. Mereka adalah pencilan, outlier. Karena itu, mereka, para teroris, bisa diabaikan. Mereka tidak mewakili umat beragama. Mereka tidak mewakili orang yang mengutamakan Tuhan. Secara statistik, memisahkan outlier seperti itu adalah metodologi yang sah.

Di sisi lain, orang bisa keberatan dengan argumen outlier ini. Meski mereka, ekstremis, hanya dalam jumlah kecil, tetap saja, mereka mengatasnamakan Tuhan dalam aksi terornya. Sehingga, mereka mengutamakan Tuhan di atas kemanusiaan universal. Dengan demikian, argumen outlier yang mengutamakan Tuhan, bisa ditolak.

Argumen lebih kuat untuk mengutamakan ketuhanan di atas kemanusiaan, barangkali, adalah proporsi. Benar bahwa terjadi penyimpangan dalam proporsi kecil, misal oleh teroris, di bawah 1%. Di sisi lain, lebih 99% orang yang mengutamakan ketuhanan, terbukti, berperilaku baik secara moral mau pun legal. Tidak masuk akal bila penyimpangan 1% membatalkan kebaikan yang 99% itu. Apa lagi, di dunia nyata, tidak ada praktek yang 100% ideal. Justru, karena lebih 99% menunjukkan perilaku yang baik maka kita harus menerima bahwa mengutamakan ketuhanan di atas kemanusiaan adalah sah.

Argumen proporsi ini berhasil menjustifikasi pengutamaan ketuhanan di atas kemanusiaan. Tetapi, argumen ini tidak berhasil menolak alternatif kebalikannya. Maksudnya, argumen proporsi tidak berhasil menolak bahwa kemanusiaan lebih utama dari ketuhanan. Karena itu, kita perlu mengkajinya. Apakah alternatif lain bisa ditolak atau, justru, harus diterima juga?

2. Manusia Utama

Apa pun yang kita pikirkan pasti bersifat manusiawi. Maka manusia adalah yang paling utama.

Bahkan keyakinan kita tentang Tuhan pun bersifat manusiawi. Maksudnya, keyakinan itu adalah keyakinan oleh seorang manusia. Jika tidak ada manusia maka tidak ada keyakinan tentang Tuhan – oleh manusia. Jadi, pada analisis akhir, manusia adalah yang paling utama.

Demikian juga, pengetahuan kita tentang alam raya juga bersifat manusiawi. Sains dan teknologi berkembang karena budaya manusia yang terus berkembang. Semua kemajuan adalah hasil perkembangan manusia. Bagaimana dengan perusakan alam oleh manusia? Bagaimana dengan kekejaman manusia? Bagaimana dengan keserakahan manusia? Apakah manusia bisa menjadi yang paling utama? Bukankah manusia itu jahat dan serakah?

3. Kejahatan Manusia

Sudah jelas bahwa manusia bertanggung jawab atas kejahatan manusia. Umat beragama meyakini bahwa Tuhan Maha Baik. Sedangkan, segala kejahatan adalah karena kesalahan manusia sendiri. Orang ateis, di sisi lain, meyakini kejahatan adalah benar-benar tanggung jawab manusia itu sendiri.

Justru sebagian ateis berargurmen bahwa kejahatan menunjukkan bukti jelas bahwa Tuhan Maha Baik itu tidak ada. Jika benar bahwa ada Tuhan Maha Baik maka Tuhan bisa mencegah kejajahatan dan menggantinya dengan kebaikan bagi seluruh semesta. Karena kejahatan nyata-nyata ada maka kebalikannya yang benar. Mereka memang, karena itu, ateis.

Tentu saja, orang ateis tidak akan mengutamakan ketuhanan. Mereka tidak percaya Tuhan. Mereka mengutamakan kemanusiaan. Kita tahu, tidak sedikit manusia yang jahat. Bagaimana kita bisa mengutamakan kemanusiaan?

4. Tanggung Jawab Semesta

Siapa yang bertanggung jawab menjaga kelestarian alam raya?

Manusia bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam. Bahkan manusia bertanggung jawab untuk mengembangkan alam. Siapa lagi yang harus bertanggung jawab jika bukan manusia? Tetapi, banyak manusia yang justru merusak alam. Kemajuan teknologi makin canggih, misal bom nuklir, justru mengancam alam semesta.

Tuhan, tentu, dengan mudah bisa menjaga kelestarian alam raya. Jika Tuhan sepenuhnya menjaga kelestarian alam raya, lalu, apa tugas manusia?

Memang Tuhan, di satu sisi, tetap menjaga kelestarian alam. Di sisi lain, manusia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian alam. Karena, tanpa beban tanggung jawab ini, justru manusia tidak punya arti hidup di dunia.

Demikian juga ketika ada orang-orang jahat yang justru merusak alam. Maka perilaku jahat seperti itu adalah tantangan yang harus ditaklukkan oleh pelaku itu sendiri dan oleh masyarakat luas. Tantangan ini yang memberikan makna bagi kehidupan manusia.

5. Teman Dialog

Tuhan berdialog dengan manusia. Manusia berdialog dengan Tuhan. Manusia dan Tuhan adalah teman dialog.

Nabi Ibrahim adalah teman dialog Tuhan. Dan, tentu saja, Tuhan adalah teman dialog Ibrahim. Kita tahu Ibrahim adalah bapak semua agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam. Predikat sebagai teman dialog yang baik adalah predikat tertinggi. Umat manusia perlu meneladani Ibrahim untuk menjadi teman dialog Tuhan.

Al Ghazali (1058 – 1111) menyatakan bahwa bila seseorang mampu mengendalikan diri dalam ekstase jatuh cinta kepada Tuhan maka akan muncul kesadaran baru yang lebih tinggi. Umumnya, orang akan menyebut, “Dia adalah Tuhan.” Tuhan terasa jauh di sana, transenden. Kesadaran baru yang lebih tinggi akan mengatakan, “Aku adalah Tuhan.” Tuhan hadir begitu dekat di dalam diri ini, imanen. Kesadaran lebih tinggi lagi akan mengatakan, “Engkau adalah Tuhan.” Tuhan selalu hadir di hadapan kita sebagai teman dialog, transenden dan imanen.

Ribuan tahun yang lalu, Ibrahim berdialog dengan Tuhan. Di jaman sekarang, apakah manusia masih bisa berdialog dengan Tuhan? Tentu saja bisa. Bahkan ada banyak cara untuk berdialog. Berikut, kita akan membahas beberapa cara dialog bersama Tuhan.

Sunan Kalijaga (1460 – 1513) mengingatkan kita bahwa ada resiko-resiko dalam dialog. Kalijaga menulis “Suluk Linglung” yang menggambarkan bagaimana proses dialog berlangsung. Pertama, kata “suluk” menunjukkan bahwa dialog adalah proses yang perlu dijalani oleh masing-masing diri manusia. Dialog ini bukan sekedar teori yang bisa diajarkan. Tetapi, dialog adalah proses perjalanan yang perlu dijalani dan direnungi.

Kedua, kata “linglung” menunjukkan suatu momen yang menjadikan logika bingung. Logika lama tidak bisa dipaksakan pada momen ini, linglung. Ada logika baru dalam momen dialog penting ini. Tentu saja, setelah kejadian, kita bisa merenungkan kembali momen-momen dialog sehingga memperoleh pemahaman dan formulasi lebih rapi.

5.1 Doa
5.2 Mimpi
5.3 Ilham
5.4 Alam Raya
5.5 Wujud

Kita boleh menolak penyataan, “Segalanya adalah Tuhan.” Tetapi, kita bisa menerima pernyataan, “Tuhan adalah segalanya.” Barangkali, kita bisa mengenang masa-masa jatuh cinta dengan merayu kekasih, “Engkau adalah segalanya.” “You are my everything.”

Tuhan adalah segalanya. Termasuk, Tuhan adalah teman dialog kita. Kapan saja, di mana saja, di setiap saat, di setiap tempat.

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: