Apakah seluruh ilmu pengetahuan bisa disatukan? Atau, justru harus dibeda-bedakan agar tercipta spesialis? Atau, harus kedua-duanya sebagai spesialis dan generalis?
Pada tulisan ini, kita akan mencermati pengetauan secara filosofis. Sebuah cara yang mencoba mempertimbangkan seluruh sudut pandang – berpikir spekulatif.

Saya akan mengambil tiga tokoh pemikir yang menjadi tumpuan analisis kita: Putnam, Badiou, dan Armahedi. Kemudian, saya akan lebih fokus kepada pemikiran Putnam (1926 – 2016). Sementara, pemikiran Badiou (1937 – ) dan Armahedi (1943 – ) sebagai konteks serta pembanding.
1. Konteks
2. Math
3. Sains
4. Ontologi
5. Etika
Pertama, kita akan mengkaji konteks pemikiran saat ini. Pemikiran filosofis analitis berkembang mendominasi dunia yang berbahasa Inggris – sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sementara, pemikiran filosofis yang lebih spekulatif berkembang sebagai filosofi kontinental yang, umumnya, bersumber dari negara berbahasa Jerman dan Prancis. Putnam mewakili tradisi filosofi analitis, Badiou mewakili tradisi filosofi kontinental, dan Armahedi mewakili filosofi timur serta Indonesia.
Kedua, kita akan membahas filosofi math. Bagi Putnam, kebenaran matematika adalah kebenaran paling kuat karena merupakan kebenaran-konseptual. Saya sering menyebut matematika sebagai kebenaran sistem aksiomatik. Bahkan, kebenaran matematika tetap terjamin kuat meski obyek matematika masih dipertanyakan apakah nyata, real, atau hanya fiksional. Selanjutnya, Putnam membuktikan bahwa obyek matematika adalah nyata dengan argumen tak-tergantikan (QPIA).
Ketiga, barangkali paling menarik, kita membahas sains lengkap dengan bayangannya yaitu pseudo-sains atau sains-palsu. Debat filosofis realisme/anti-realisme tetap mewarnai filosofi sains – barangkali sampai kapan pun. Putnam mendukung realisme sains dengan eksperimen pikiran “Brain in a Vat” yang dia kuatkan dengan eksternalisme bahasa “Twin Earth.” Meski sains bersifat obyektif, terdapat banyak teori untuk mendekati realitas yang sama validnya. Sains-palsu merupakan eksploitasi sains-buruk atau sains-eror dengan melanggar etika.
Keempat, membahas ontologi. Putnam mengusulkan perlunya “meluaskan” ontologi filosofi analitis sehingga berkontribusi secara sosial budaya yang lebih luas. Konsep internalism-realism menjamin pembahasan ontologi tetap fokus. Tidak melompat tinggi sebagai inflatory. Dan tidak reduksionis atau eliminatif sebagai deflatory. Saya menyebut pembahasan ontologi yang fokus ini sebagai noflatory. Di saat yang sama, Putnam menjaga pluralisme ontologi. Lebih rumit lagi, secara ontologis, ketika pikiran manusia mampu merekayasa alam semesta secara aktif. Kita, misalnya, menyaksikan perkembangan media sosial digital yang bertabur rekayasa.
Kelima, terakhir, kita membahas etika. Putnam menyatakan, “Etika tanpa ontologi.” Sebuah klaim yang sangat kuat. Saya memahami tanpa-ontologi adalah tanpa-ontologi eksternal. Sehingga, ontologi dari etika adalah kajian etika secara internal. Dan, nilai kebenaran etika sama kuatnya dengan kebenaran matematika karena sama-sama kebenaran-konseptual. Bagaimana pun, Putnam tetap konsisten dengan pluralisme termasuk dalam etika. Putnam menegaskan kembali karakter obyektif dari etika – meski dengan atau tanpa obyek.
1. Konteks
Apakah kita membutuhkan pemikir spesialis atau generalis? Sekilas, Putnam menyatakan bahwa pemikir spesialis tidak memadai untuk perkembangan sosial budaya umat manusia. Sehingga, kita membutuhkan pemikir generalis. Berapa proporsi generalis terhadap spesialis? Bagaimana dengan kedalaman pemikiran? Bagaimana dengan tantangan masa depan, misal, ledakan media sosial digital?
Kita akan mencoba membahasnya secara kontekstual di bagian ini.
Kita awali dengan mengkaji konteks pemikiran saat ini. Pemikiran filosofis analitis berkembang mendominasi dunia yang berbahasa Inggris – sebagian sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sementara, pemikiran filosofis yang lebih spekulatif berkembang sebagai filosofi kontinental yang, umumnya, bersumber dari negara berbahasa Jerman dan Prancis. Putnam mewakili tradisi filosofi analitis, Badiou mewakili tradisi filosofi kontinental, dan Armahedi mewakili filosofi timur serta Indonesia.
Badiou
Badiou meluaskan matematika sebagai ontologi atau filosofi. Matematika adalah ontologi dan ontologi adalah matematika. Dulu, sebelum abad 19, matematika belum berkembang. Sehingga, pembahasan ontologi menggunakan bahasa sehari-hari. Tentu saja, bahasa sehari-hari tidak memadai untuk membahas ontologi. Saat ini, matematika sudah berkembang pesat. Khususnya teori himpunan Cantor memudahkan kita membahas infinity tanpa batas sampai ke Absolut. Dengan demikian, matematika adalah ontologi itu sendiri.
Matematika, atau filosofi, adalah kajian tentang truth, atau kebenaran, secara ontologis. Hanya filosofi yang mengkaji truth sebagai truth itu sendiri. Sedangkan, bidang-bidang lain mengkaji truth sebagai prosedur truth. Badiou meng-klaim ada empat prosedur truth: sains, seni, cinta, dan politik. Banyak pihak mengusulkan agar Badiou memasukkan agama sebagai salah satu prosedur truth. Sejauh ini, Badiou masih bersikukuh hanya ada empat prosedur truth di atas.
Masing-masing prosedur truth memiliki prosedur yang mandiri. Meski demikian, di antara prosedur truth yang berbeda bisa saja saling berbaur. Realitas justru sebagai perpaduan dari beragam prosedur truth, termasuk, perpaduan dengan filosofi.
Armahedi
Integralisme adalah formulasi filosofis yang memandang realitas sebagai satu kesatuan, membentuk hirarki, dan bersumber kepada Sang Absolut atau Tuhan. Dengan integralisme, Armahedi yakin bahwa umat manusia akan mampu menemukan solusi yang dibutuhkan untuk menghadapi hiruk-pikuk dunia akhir-akhir ini.
Dunia Barat memisahkan sains dengan agama berdampak kepada sains yang kehilangan nilai-nilai universal sehingga mengancam alam semesta dan manusia. Sementara, dunia Timur menempatkan sains tunduk terhadap kekuatan politis atau agama. Sehingga, sains terpuruk. Sains tidak mampu melejit dengan kekuatan penuh.
Integralisme terjadi pada aspek vertikal dan horisontal. Dari aspek vertikal, realitas terdiri dari alam materi, alam kehidupan, psikologis, kalbu, dan spiritual. Sementara, dari aspek horisontal, realitas terdiri dari partikel-partikel, membentuk manusia, meluas ke alam raya, dan menggapai Sang Absolut. Integralisme ini mendorong realitas untuk bergerak dinamis secara terus menerus.
Dengan integralisme, kita berharap mampu untuk terus tumbuh berkembang secara dinamis.
Analytic – Continental
Secara garis besar, madzhab filsafat terbagi menjadi dua: analytic dan continental. Analytic mendominasi kajian filsafat sekitar 70% dan continental 30% – berdasar bidang kajian riset doktoral filsafat. Sementara, dalam tradisi analytic mulai muncul spesialisasi baru yaitu filsafat sains, sekitar 10%.

Putnam menempatkan kajian filosofi dalam tradisi analytic dan filsafat sains. Bagaimana pun, filosofi Putnam tetap berinteraksi dengan continental. Mereka saling mempengaruhi. Dari perspektif analytic, Putnam berusaha meluaskan ontologi agar filosofi lebih berpengaruh besar terhadap sosial budaya. Sehingga, beberapa pemikir menempatkan Putnam sebagai post-analytic.

Putnam lahir 1926 ketika analytic mulai terbentuk dengan kokoh. Awal abad 20, Russell bersama Frege dan Moore memantapkan logika dasar filosofi analytic. Kemudian, 1920an, Wittgenstein menerbitkan Tractatus yang melengkapi analytic dengan kajian bahasa secara logis.
Lebih lanjut, 1930-an, berkembang aliran positivisme-logika yang dipelopori oleh Carnap – dan Lingkaran Wina. Positivisme hanya mengakui kebenaran empiris dan analisis aksiomatik. Positivisme menolak metafisika – dan lebih banyak fenomena lainnya. Russell dan Wittgenstein tampak tidak sepakat dengan positivisme.
Dari sisi continental berkembang pemikiran yang segar: fenomenologi dan eksistensialisme. Russell dan Moore sudah mengkritik habis idealisme dialektika dari Hegel. Tetapi, eksistensialisme, yang muncul pada 1927 dengan terbitnya Being and Time karya Heidegger, aman dari kritik Russell. Continental terus berkembang dan berpuncak, salah satunya, pada dekonstruksi Derrida sejak tahun 1970an.
Putnam muda mengawali karir filosofisnya dengan pengaruh besar positivisme. Putnam, dan kawan-kawan, membuktikan bahwa tidak ada solusi umum untuk persamaan matematika Diophantine. Dalam philosophy-of-mind, Putnam merumuskan fungsionalisme yang menyatakan bahwa pikiran manusia adalah suatu “fungsi” layaknya komputer – ada perangkat keras dan perangkat lunak. Kelak, Putnam menolak konsep fungsionalisme ini.

Eksperimen pikiran “Twin Earth” dan “Brain in a Vat” menguatkan komitmen realisme dan eksternalisme bahasa. Bersama Quine, Putnam merumuskan indispensable-argument menguatkan realisme matematika. Bertahap, Putnam mejaga jarak terhadap positivisme dan lebih terbuka terhadap metafisika.
Pada masa dewasa, akhir abad 20, Putnam lebih intensif membahas pragmatisme. Meski kritis terhadap pragmatis, Putnam lebih banyak menerima konsep-konsep penting pragmatisme. Kita perlu membedakan pragmatis dengan praktis. Pragmatisme meyakini bahwa pengetahuan berkembang dengan menyempurnakan nilai pragmatis yang bersifat praktis dan intelektual. Bukan sekedar praktis saja. Putnam makin mantap dengan konsep realisme-internalisme-pluralisme. Pada abad 21, Putnam lebih fokus membahas etika dan agama.
2. Math
Kita akan membahas filosofi math. Bagi Putnam, kebenaran matematika adalah kebenaran paling kuat karena merupakan kebenaran-konseptual. Saya sering menyebut matematika sebagai kebenaran sistem aksiomatik. Bahkan, kebenaran matematika tetap terjamin kuat meski obyek matematika masih dipertanyakan apakah nyata, real, atau hanya fiksional. Selanjutnya, Putnam membuktikan bahwa obyek matematika adalah nyata dengan argumen tak-tergantikan (IAQP).

2.1 Persamaan Diophantine
Solusi Abad ini
Teori Fermat
Apigoras Diophantine
Masalah Kuno
2.2 Benar-Konseptual
Analitik Sintetik
Sistem Aksiomatik
Sistem Empiris
2.3 Realisme Matematika
3. Sains
Kita membahas sains lengkap dengan bayangannya yaitu pseudo-sains atau sains-palsu. Debat filosofis realisme/anti-realisme tetap mewarnai filosofi sains – barangkali sampai kapan pun. Putnam mendukung realisme sains dengan eksperimen pikiran “Brain in a Vat” yang dia kuatkan dengan eksternalisme bahasa “Twin Earth.” Meski sains bersifat obyektif, terdapat banya teori untuk mendekati realitas yang sama validnya. Sains-palsu merupakan eksploitasi sains-buruk atau sains-eror dengan melanggar etika.

3.1 Twin Earth
Eksperimen pikiran Twin Earth menjadi menarik karena mudah bagi kita untuk membayangkannya. Bagi Putnam, Twin Earth berhasil membuktikan karakter eksternalisme bahasa. Yaitu, makna bahasa merujuk ke realitas luar dari bahasa itu sendiri. Realitas luar, yang menjadi rujukan bahasa, misal pohon dan air, adalah benar-benar nyata. Dengan demikian, Putnam komitmen terhadap realisme.
Argumen Twin Earth bisa kita ringkas sebagai berikut.
(a) Bayangkan ada bumi-kembar, yaitu, sama persis dengan bumi ini kecuali kandungan kimia dari airnya. Di bumi kita ini, air adalah H2O. Sedangkan, di bumi-kembar, air adalah XYZ. Tetapi, semua penampakan air adalah sama di bumi ini dan bumi-kembar.
(b) Budi berkata tentang air di bumi ini. Maksud Budi adalah H2O. Di bumi-kembar, Budi-kembar berkata tentang air. Kita tahu, maksud Budi-kembar adalah XYZ. Sehingga, kata air merujuk ke sesuatu yang berbeda. Kepada sesuatu yang eksternal dari bahasa. Bukan hanya makna-makna internal dalam bahasa.
(c) Kita bisa menyimpulkan bahwa makna dari bahasa adalah merujuk ke alam eksternal. Putnam menyebut karakter rujukan ke eksternal ini sebagai eksternalisme bahasa. Tentu saja, sebagian makna bahasa merujuk ke bahasa itu sendiri.
Argumen Twin Earth berdampak ganda. Pertama, membuktikan bahwa makna bahasa adalah eksternal. Kedua, membuktikan realisme yaitu eksistensi dunia luar berupa air, pohon, gedung, dan lain-lain adalah nyata.
Tetapi, mengapa repot-repot membuktikan rujukan alam eksternal? Bukankah ketika kita bicara air memang maksudnya air di alam eksternal yang sudah jelas? Bukankah, jika bicara air tetapi tidak ada air di alam eksternal justru itu adalah bohong? Bukankah politikus yang hanya janji-janji tanpa bukti adalah pembohong?
Benar. Dalam kehidupan sehari-hari, kita meyakini realisme-naif. Yaitu suatu keyakinan bahwa alam eksternal ada secara nyata dan jelas dengan sendirinya. Hanya saja, dalam kajian filosofis, realisme-naif mudah untuk diragukan. Sehingga, pemikir-pemikir serius perlu mengembangkan realisme filosofis yang kokoh. Atau, beberapa pemikir justru bisa memilih bersikap anti-realisme.
Pertanyaan kepada Putnam masih bisa berlanjut. Jika kata-air merujuk ke air-eksternal bagaimana kata-air bisa membangun relasi dengan alam air-eksternal tersebut?
Korespondensi
Tidak bisa. Bahasa tidak bisa membangun relasi, atau hubungan, dengan alam eksternal. Makna air adalah konsep-air yang sudah kita kenali secara bahasa. Sedangkan, konsep-air itu sendiri maknanya merujuk ke konsep-air yang lebih awal lagi. Demikian seterusnya, makna merujuk ke makna sebelumnya tanpa henti.
Asumsikan pada suatu titik kita bisa membangun relasi antara kata-air dan air-eksternal. Dengan cara apa relasi itu terbentuk? Relasi terbentuk, misalnya, oleh imajinasi kita. Kata terhubung ke imajinasi dan imajinasi terhubungan ke alam eksternal. Dengan demikian tercipta relasi sesuai teori korespondensi.
Dengan apa kata terhubung dengan imajinasi? Misal, terhubung oleh A. Lalu, dengan apa A terhubung dengan kata? Misal dengan B. Dan seterusnya tanpa henti. Kita gagal membangun teori korespondensi.
Putnam dengan cerdik menggunakan istilah merujuk ke alam eksternal – referensi bukan relasi. Makna kata merujuk ke alam eksternal bukan menciptakan relasi dengan alam eksternal. Dengan demikian, Putnam mengembangkan teori semantik eksternalisme bukan korespondensi.
Tampaknya, Putnam sudah menyadari konsep makna dari Wittgenstein bahwa “meaning as use.” Makna adalah “penggunaan.”
Meaning as Use
Kita memahami makna kata air karena menggunakan kata tersebut dalam konteks tertentu. Secara umum, Wittgenstein mengembangkan teori “language game.” Kata dan bahasa hanya bisa dipahami sesuai konteks dan penggunaan aturannya.
Putnam melangkah lebih jauh, melalui argumen Twin Earth menyatakan, penggunaan aturan itu adalah merujuk ke alam eksternal.
Tetapi, apakah alam eksternal itu ada? Lagi, secara naluriah kita meyakini bahwa alam eksternal memang ada, yaitu, realisme naif. Putnam mengembangkan eksperimen pikiran “Brain in a Vat” untuk menjawab skeptisme terhadap realitas.
3.2 Brain in a Vat
Descartes (1596 – 1650) mengawali karir filosofis dengan sikap skeptis. Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes yakin bahwa dirinya sedang berpikir ragu. Keraguanku adalah nyata. Pikiranku adalah nyata. Aku berpikir maka aku ada. Cogito ergo sum.
Selanjutnya, Descartes berusaha membuktikan eksistensi alam eksternal. Dia yakin bahwa alam eksternal memang nyata. Tetapi, bisa saja, ada setan cerdas yang membohongi manusia. Alam eksternal hanya ilusi. Setiap kita akan membuktikan eksistensi alam eksternal maka bukti itu sendiri adalah ilusi. Semua yang kita pikirkan adalah ilusi.
“Brain in a Vat” (BIV) adalah bentuk radikal dari skeptisme Descartes. Proses BIV adalah sebagai berikut.
(a) Bayangkan diri kita memiliki pengalaman akan dunia eksternal yang berpusat di otak kita (brain).
(b) Otak ini kemudian kita pindahkan ke dalam wadah, sedemikian hingga, otak tetap berfungsi sebagai mana mestinya dan hidup dengan wajar.
(c) Otak dalam wadah atau BIV itu kita hubungkan dengan komputer super canggih. Komputer ini memberi pengalam kepada BIV bahwa dirinya adalah manusia lengkap. BIV makan, minum, dan berinteraksi sosial layaknya manusia lengkap. Tetapi, itu semua hanya ilusi yang diciptakan oleh simulasi komputer super canggih.
Pertanyaannya, “Apakah BIV tahu bahwa dirinya adalah BIV?”
Pernyataan “Kita adalah BIV” pasti bernilai salah. Karena akan memunculkan paradoks. Kita bukan BIV.
(A) Asumsikan “Kita adalah BIV” bernilai benar.
(B) Tetapi “Kita adalah BIV” adalah realitas, bukan simulasi.
(C) Jadi “Kita adalah BIV” adalah salah.
Di sini, kita menerapkan prinsip eksternalisme bahasa dari Putnam. “Kita” merujuk ke kita-eksternal. BIV merujuk ke BIV-eksternal. Karena merujuk ke alam eksternal, yaitu, realitas maka bukan simulasi. Jadi, “Kita adalah BIV” bernilai salah. “Kita hidup di dunia simulasi” adalah salah. Yang benar, kita hidup di dunia nyata, real. Kita perlu komitmen kepada prinsip realisme ini.
Bagaimana kata “kita” bisa merujuk ke realitas “kita” di alam eksternal? Kita akan menjawabnya di bagian ontologi, di bawah.
3.3 Quantum
Teori quantum, atau mekanika quantum, berkembang pesat di abad 20. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda, quantum akan berhenti berkembang. Justru, setiap perkembangan teori quantum menimbulkan pertanyaan lebih jauh lagi.
Putnam berada pada situasi quantum yang problematis. Kita bisa menduga bahwa Putnam akan memilih pendekatan realisme untuk solusi quantum. Kucing Schrodinger memberi gambaran jelas tentang krisis realisme quantum. Schrodinger, waktu itu, menulis surat kepada Einstein untuk menjelaskan anehnya teori quantum, atau tidak masuk akalnya teori quantum. Isi surat, yang kelak dikenal sebagai Kucing Schrodinger, justru menunjukkan keunggulan teori quantum.
Seekor kucing berada di ruang tertutup yang di sampingnya ada bahan radioaktif. Dalam 5 menit ke depan, radioaktif akan meluruh dengan peluang 50% sesuai teori quantum. Jika radioaktif meluruh maka akan mengaktifkan racun dalam ruangan dan mengakibatkan kucing mati.
Pertanyaannya: setelah 5 menit, apakah kucing hidup atau mati?
Berdasar fisika klasik, kucing itu sudah mati atau mungkin masih hidup. Karena probabilitas 50% maka peluangnya berimbang. Tetapi, kondisi kucing sudah pasti, misal sudah mati. Ketika kita membuka ruang, atau kotak, kita menjadi tahu bahwa kucing sudah mati.
Teori quantum menjawab berbeda. Kucing itu setengah hidup dan setengah mati selama tidak ada pengamat yang membuka kotak ruangan. Ketika ada pengamat membuka kotak, baru saat itu, kucing mati, misalnya.
Sehingga, berdasar quantum, realisme itu belum tercipta kecuali ada pengamat. Putnam tetap menegaskan komitmen realisme di teori quantum. Dia memilih interpretasi quantum berupa runtuh-spontan.
(a) Ketika radioaktif meluruh dengan peluang 50%, maka, perlu hadirnya “pengamat” untuk jadi meluruh atau tidak.
(b) Jika radioaktif itu berada dalam ruang isolasi tanpa “pengamat” sama sekali, maka, benar berimbang: runtuh dan tidak runtuh.
(c) Tetapi, di dalam ruang terdapat kucing, racun, dinding, dan lain-lain yang berperan sebagai “pengamat.” Sehingga, radioaktif meluruh secara spontan. Atau, alternatifnya tidak meluruh. Tanpa harus menunggu “pengamat” tambahan misal manusia.
(d) Karena di alam ini terdapat jutaan partikel yang bisa berperan sebagai “pengamat” maka proses runtuhnya quantum terjadi secara spontan.
(e) Akibatnya, nasib kucing Schrodinger selaras dengan teori probabilitas klasik.
Sampai saat ini, interpretasi terhadap teori quantum masih terus berkembang. Belum ada titik pasti. Dengan memilih interpretasi runtuh-spontan, Putnam berhasil mempertahankan komitmen realismenya, di saat yang sama, menerima validitas teori quantum.
3.4 Naturalisme Liberal
Putnam menggambarkan konsep pemikirannya sebagai, paling dekat, naturalisme liberal. Beberapa pengamat menilai Putnam sebagai pragmatis atau post-analitis. Dari beragam perspektif, pandangan ini sah-sah saja. Karena, Putnam sering mengacu ke konsep pragmatisme mau pun analitis.
Realisme meyakini bahwa obyek sains adalah real, nyata. Putnam menambahkan karakter nyata dan obyektif. Meski demikian, pengetahuan kita tentang obyek sains bisa tidak sempurna. Sehingga, terbuka peluang untuk mengkaji sains dari beragam perspektif. Liberal, dalam arti, kita memiliki kebebasan untuk mengkaji sains atau mengkaji obyek secara umum misal etika. Tidak ada aturan baku yang menjamin satu metode lebih baik dari metode yang lain. Beragam metode itu perlu untuk saling bersaing. Meski sains bersifat obyektif, di saat yang sama, juga dinamis.
Mana sains yang lebih benar? Apa kriteria dari buruknya sains? Apa yang menentukan sehingga ada pseudo-sains atau sains-palsu?
Klaim kebenaran sains bersifat internal atau internalisme. Tetapi, sains tetap memiliki karakter eksternalisme.
Klaim kebenaran bersifat internal, dalam arti, klaim tersebut diuji secara internal oleh sains itu sendiri. Misal kebenaran sains fisika ditentukan oleh sains fisika itu sendiri secara internal. Sains biologi tidak berhak menghakimi sains fisika. Meski bisa saja terjadi kolaborasi antara fisika dan biologi.
Karakter eksternalisme sains menguji efektivitas sains. Fisika bisa menghitung kekuatan bambu untuk menahan suatu beban. Tetapi, jika bambu itu berada di atas tanah dan masih bertumbuh maka fisika perlu mempertimbangkan sains biologi untuk menyelidiki pengaruh pertumbuhan bambu. Bagaimana pun, kajian sains fisika akan tetap dominan secara internal. Dampak sains terhadap semesta juga bersifat eksternal. Penemuan mesin uap bisa valid secara internal, tetapi, dampak eksternal semacam pencemaran lingkungan perlu menjadi kajian.
Pragmatisme
Sains yang baik adalah sains yang bertumbuh sesuai kebutuhan pragmatisme yaitu bertumbuh secara intelektual dan praktikal. Sains bertumbuh secara intelektual misal melalui kajian teoritis. Sedangkan, sains bertumbuh secara praktikal dengan lebih praktis menyelesaikan masalah alam semesta.
Putnam terbuka dengan ragam pengembangan sains. Metode induksi, falsifikasi, paradigmatik, dan lain-lain perlu diuji secara teliti dari sisi internal. Sains yang buruk adalah sains yang tidak memenuhi standar internalnya sendiri. Sains juga bisa menjadi buruk karena pertimbangan eksternal.
3.5 Pseudo-Sains
Pseudo-sains adalah sains buruk, atau sains salah, yang dieksploitasi dengan melanggar etika. Pseudo-sains adalah sains-palsu.
Sejatinya, tidak ada masalah dengan sains buruk. Karena sains-buruk bisa diperbaiki dengan beberapa metode improvement. Atau, jika benar-benar tidak bisa diperbaiki maka ditinggalkan. Begitu juga dengan sains-salah bisa dilakukan beberapa koreksi yang diperlukan.
Tetapi sains-palsu adalah berbeda karena melibatkan eksploitasi yang melanggar etika. Sebelum membahas sains-palsu, mari kita bahas beberapa resiko pengembangan sains.
Induksi adalah metode pengembangan sains yang tampak alamiah. Kita mengamati beberapa fenomena sains terbatas, untuk kemudian, menarik kesimpulan sains yang bersifat umum, universal. Resiko induksi adalah klaim kebenaran yang berlebihan. Karena, kebenaran sains induksi selalu bersifat probabilistik.
Sains sosial di suatu tempat menyimpulkan bahwa kapitalisme adalah sistem terbaik untuk mengembangkan ekonomi. Kemudian, orang-orang menerapkan kapitalisme secara global. Tentu saja gagal. Karena, kapitalisme bisa berhasil hanya pada situasi tertentu saja.
Falsifikasi adalah mengembangkan sains dengan menolak hipotesis yang salah. Verifikasi seribu kali tidak akan berhasil mengkonfirmasi kebenaran hipotesis. Tetapi, falsifikasi satu kali saja sudah cukup untuk menolak suatu hipotesis.
Keunggulan falsifikasi adalah kita bersikap lebih waspada. Untuk beberapa produk dengan kualitas tinggi bisa mempertimbangkan falsifikasi. Kelemahan falsifikasi adalah kadang terlalu ketat. Bisnis internet adalah bisnis dengan prospek bagus. Eksperimen menjelang akhir abad 20 justru menunjukkan buruknya bisnis internet. Maka hipotesis bahwa bisnis internet adalah prospek bisa ditolak. Tetapi, kita tahu memasuki abad 21, bisnis internet prospek lagi. Ditambah lagi, beberapa proposisi sains tidak bisa difalsifikasi empiris.
Paradigmatik adalah mengembangkan sains dengan sistem tertentu. Jaman kuno, para astronom mengembangkan sains dengan paradigma geosentris – bumi sebagai pusat dan matahari mengitari bumi. Berbagai macam teori dikembangkan berdasar geosentris. Tetapi, di jaman ini, astronom mengembangkan sains berdasar paradigma heliosentris – matahari sebagai pusat. Terjadi perubahan besar-besaran, revolusi, dari geosentris ke heliosentris yang berdampak besar kepada teori sains.
Awal era industri berkembang paradigma produser-sentris, di mana, pabrik-pabrik mem-produksi beragam barang untuk kemudian dipasarkan. Teori sains yang berkembang adalah bagaimana cara produksi paling efisien. Saat ini, berkembang paradigma pelanggan-sentris, di mana, produsen hanya memproduksi produk-produk yang dibutuhkan oleh pelanggan. Teori sains yang berkembang adalah bagaimana mengenali perilaku konsumen.
Keunggulan sains paradigmatik adalah memberikan keleluasaan kepada saintis untuk beragam kajian dalam paradigma yang jelas. Di saat yang sama, memberi peluang revolusi sains dengan mengubah sistem paradigma. Kelemahannya adalah sains menjadi relatif terhadap paradigma dan subyektif tergantung konteks para saintis. Padahal, sains tetap obyektif meski pluralis.
Sains-palsu
Berikut ini, kita akan fokus kepada empat kriteria untuk menilai bahwa suatu sains adalah palsu. Sebagai ilustrasi, kita akan mengambil kasus Theranos, yaitu, perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Dengan alat tersebut, seseorang bisa melakukan tes darah yang mudah dan cepat guna mengetahui kondisi kesehatan badannya. Theranos berdiri pada tahun 2003 dan menjadi perusahan bernilai 10 milyar dolar hanya dalam waktu 10 tahun – perhatikan, bukan 10 juta dolar tapi 10 milyar.
Non-sains. Pertama, predikat sains-palsu atau pseudo-sains hanya bisa dialamatkan kepada sains itu sendiri atau bidang yang mengaku saintifik. Non-sains tidak bisa menjadi sains-palsu. Seni tidak bisa dinilai sebagai sains-palsu. Karena, seni memiliki kriteria konsep internal yang berbeda dengan sains. Olahraga, hobi, agama, permainan, dan lain-lain adalah non-sains. Sehingga, mereka aman dari predikat sains-palsu. Tentu saja, kita bisa mengkaji seni atau olahraga secara saintifik. Dengan demikian, ada resiko terjebak ke sains-palsu.
Theranos meng-klaim menerapkan metode sains untuk tes darah. Karena itu, Theranos tepat menjadi kajian apakah termasuk sains-palsu.
Tidak obyektif. Sains-palsu bersifat tidak obyektif. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menguji kebenarannya. Pihak luar tidak bisa, atau sulit sekali, untuk melakukan pengujian.
Theranos menyembunyikan hasil kajian perusahaannya sehingga tidak obyektif. Pihak luar tidak bisa mengkajinya atau sulit untuk mengkajinya. Pihak luar hanya bisa mempertanyakan validitas dari kajian Theranos. Kelak, Theranos gagal menunjukkan validitas dan obyektivitas kajian tes darahnya.
Buruk atau salah. Sains buruk atau sains salah adalah kajian sains yang tidak memenuhi standar kriteria internal mereka sendiri. Sehingga, hasil kajian tersebut hanya layak sebagai bahan kajian bukan untuk keperluan komersial.
Tes darah Theranos termasuk sains-buruk atau sains-salah. Dengan kualitas yang rendah, Theranos tidak layak mengkomersilkan produknya.
Eksploitasi melanggar etika menjadi penentu utama sebagai sains-palsu. Sains yang tidak obyektif dan sains buruk, sejatinya, tidak menjadi masalah. Sejauh, kita menempatkan sains buruk pada posisinya. Tetapi, mengeksploitasi sains-buruk memang menggiurkan dengan imbalan materi yang besar.
Theranos sadar bahwa kajian mereka adalah sains-buruk. Kemudian, Theranos justru mengeksploitasi untuk mengeruk keuntungan komersial. Teknologi Theranos murah dan praktis. Sehingga, masyarakat luas membeli produk Theranos – termasuk di pasar saham. Tetapi, karena memang berdasar sains-buruk maka produk Theranos adalah sains-palsu.
Karena etika menjadi paling penting, lalu, bagaimana cara kita menentukan bahwa sesuatu melanggar etika atau tidak? Kita membahasnya di bagian bawah. Yang jelas, klaim kebenaran etika sama kuat dengan klaim kebenaran matematika. Etika dan matematika adalah, sama-sama, kebenaran konseptual.
4. Ontologi
Putnam mengusulkan perlunya “meluaskan” ontologi filosofi analitis sehingga berkontribusi secara sosial budaya yang lebih luas. Konsep internalism-realism menjamin pembahasan ontologi tetap fokus. Tidak melompat tinggi sebagai inflatory. Dan tidak reduksionis atau eliminatif sebagai deflatory. Saya menyebut pembahasan ontologi yang fokus ini sebagai noflatory. Di saat yang sama, Putnam menjaga pluralisme ontologi. Lebih rumit lagi, secara ontologis, ketika pikiran manusia mampu merekayasa alam semesta secara aktif. Kita, misalnya, menyaksikan perkembangan media sosial digital yang bertabur rekayasa.

4.1 Inflatory – Deflatory
4.2 Noflatory
4.3 Pluralisme Pragmatisme
4.4 Rekayasa Ontologi
5. Etika
Putnam menyatakan, “Etika tanpa ontologi.” Sebuah klaim yang sangat kuat. Saya memahami tanpa-ontologi adalah tanpa-ontologi eksternal. Sehingga, ontologi dari etika adalah kajian etika secara internal. Dan, nilai kebenaran etika sama kuatnya dengan kebenaran matematika karena sama-sama kebenaran-konseptual. Bagaimana pun, Putnam tetap konsisten dengan pluralisme termasuk dalam etika. Putnam menegaskan kembali karakter obyektif dari etika – meski dengan atau tanpa obyek.

5.1 Obyektif tanpa Obyek
5.2 Runtuhnya Fakta dan Nilai
5.3 Kompetisi Noflatory
Penutup
Apakah kita butuh pemikir generalis? Benar. Kita butuh pemikir generalis. Kita membutuhkan pemikir generalis yang menyapa tema-tema penting filosofis. Bahkan, setiap orang perlu menjadi pemikir generalis. Setiap orang perlu berpikir untuk bersikap terhadap paham realisme, kemudian, bersikap pluralis. Tentu saja, orang bisa saja bersikap dogmatis secara internalism. Kita bisa saling memahami di antara keragaman pemahaman dan mengembangkan sikap saling hormat.

Berpikir generalis hanya terbatas kepada bidang-bidang penting dan membatasi diri dalam detilasi. Karena, masing-masing orang perlu menjadi spesialis di bidang masing-masing sehingga bisa saling memberi kontribusi nyata.
Putnam, berdasar kajian kita di atas, adalah contoh unik seorang spesialis yang berhasil menerobos menjadi generalis. Sejak awal, Putnam sudah sukses sebagai spesialis matematika dan logika. Dia melangkah lebih jauh dengan mengembangkan ontologi menggapai etika dan agama. Dengan demikian, spesialis memberi dampak besar terhadap sosial budaya.
Saat ini, kita yakin perlu menambah jumlah generalis di antara para spesialis. Berapa proporsi yang tepat, kita belum bisa memastikan. Kita masih memerlukan kajian yang lebih mendalam untuk itu.
Simpul Filosofi
Secara filosofi, kita menemukan simpul-simpul keselarasan antara analitic, continental, dan timur. Putnam meluaskan ontologi analitic sampai masuk ke etika. Sementara, Badiou menetapkan matematika sebagai ontologi bagi continental. Dan, Armahedi mengintegrasikan analytic, continental, dan tradisi kearifan timur.
Kita berharap simpul-simpul filosofi memberi kebaikan bagi seluruh semesta raya.
Tinggalkan komentar