Meta Filosofi adalah cara memahami filsafat dari sudut pandang yang luas. Sehingga, dengan meta filosofi, kita bisa memahami struktur filsafat dengan lebih jelas. Bagai mata elang, yang terbang tinggi, bisa mengamati seluruh wilayah yang luas dengan jelas. Demikian juga, Einstein mengembangkan konsep relativitas. Einstein bagai terbang tinggi ke langit. Kemudian, mengamati bumi, bulan, matahari, galaksi dan seluruh semesta raya. Akhirnya, Einstein menemukan teori relativitas khusus dan umum. Semesta alam raya, yang begitu luas, seluruhnya, berada dalam kajian teori relativitas.

Saya menyebut cara pandang seperti Einstein, yang luas, adalah cara pandang elang-gravitasi. Sementara, cara pandang teori mekanika quantum adalah cara pandang semut-quantum. Di mana, semut-quantum justru mengamati fenomena partikel-partikel sangat kecil. Sejumlah elektron, misalnya, diisolasi dalam ruang penelitian tertutup. Dengan situasi yang terbatas seperti itu, semut-quantum mengamati perilaku elektron secara mendalam. Dan, kita menyaksikan perkembangkan hebat teori quantum.
Kita membutuhkan keduanya: elang-gravitasi dan semut-quantum. Nyatanya, sampai saat ini, elang-gravitasi tidak mampu mencermati fenomena quantum. Demikian juga, semut-quantum tidak mampu mencermati fenomena gravitasi.
Di bidang filosofi, kita memerlukan kajian meta filosofi yang mirip dengan elang gravitasi. Kemudian, bagi yang berminat bisa mendalami masing-masing filosofi dengan pendekatan semut-quantum. Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas meta filosofi dari sudut pandang Indonesia.
1. Analytic
2. Continental
3. Timur
4. Indonesia
5. Living Philospher
Secara umum, filosofi terbagi menjadi dua: analytic dan continental. Saya menambahkan filosofi Timur dan Indonesia. Sebagai bonus, saya mengambil beberapa contoh living-philosopher yaitu filsuf yang masih hidup sampai saat ini. Untuk memahami itu semua, kita perlu terbang tinggi. Membuka mata dan hati. Berpikir terbuka terhadap semua yang ada.
1. Analytic
Tradisi filosofi analytic merupakan tradisi filsafat yang sangat kaya. Ide-ide segar berkembang dengan subur dalam tradisi analytic. Berkembang pada masa peralihan ke abad 20, dipelopori oleh Russell bersama muridnya, Wittgenstein, dan kolega Moore. Russell menolak metafisika Hegel dan merangkul logika Frege.

Wittgenstein-muda melengkapi dengan logika bahasa atomis yang mengukuhkan nilai kebenaran proposisi secara atomis – layaknya sistem periodik atom sains kimia. Selanjutnya, Wittgenstein-dewasa mengembangkan Investigation yang tidak berhasil memberi solusi kepada masalah filosofi. Tetapi, justru menjadikan satu masalah filosofi berbuah lebih banyak masalah lagi.
Ketegangan Wittgenstein-muda lawan Wittgenstein-dewasa, justru, menjadikan filsafat analytic lebih produktif.
Logical positivism, atau positivism, merupakan perkembangan kontroversial dari filosofi analytic. Positivism hanya menerima dua macam kebenaran yang masuk akal: verifikasi empiris dan aksiomatis. Dengan pembatasan itu, positivism menolak metafisika dan secara langsung, atau tidak, menolak seni, menolak rasa, menolak agama, dan lain-lain. Russell dan Wittgenstian menolak positivism. Meski demikian, positivism berkembang pesat sejak 1920an.
Popper (1902 – 1994) menolak positivism dengan pandangan kritis. Verifikasi empiris tidak mungkin bisa mengkonfirmasi kebenaran suatu teori. Verifikasi empiris hanya bisa menolak teori. Dengan kata lain, pengujian empiris adalah untuk falsifikasi bukan untuk konfirmasi terhadap suatu teori. Seribu kali konfirmasi empiris tidak menjadikan teori menjadi valid. Tetapi, satu kali penolakan empiris sudah cukup untuk menolak sebuah teori. Falsifikasi Popper dikenal sebagai realism rasional kritis.
Dari filosofi Bahasa berkembang ordinary-language-philosophy (OLP), yang mengkaji penggunaan Bahasa sehari-sehari secara filosofis. Dari sudut praktis, OLP memberi manfaat besar. OLP mengkaji Bahasa termasuk konteks penggunaan bahasa. Sehingga, kita bisa memahami makna Bahasa dengan tepat. Lebih jauh lagi, OLP mengkaji bagaimana Bahasa mempengaruhi perilaku personal dan social.
Dua trend di atas – positivism dan OLP – sudah cukup menggusur peran metafisika di tradisi filsafat analytic. Padahal pelopor analytic – Russell, Moore, dan Wittgenstein – bersikap terbuka terhadap metafisika dan kajian filsafat secara lebih luas.
Paruh kedua abad 20, terjadi kebangkitan kembali filsafat analytic yang lebih terbuka terhadap metafisika. Di antaranya metafisika saintifik, normative praktis, dan histori filosofi.
Quine (1908 – 2000) adalah ahli matematika dan filsuf yang mendukung untuk menghidupkan kembali metafisika. Sains dan matematika membutuhkan metafisika. Quine mengkritisi pembedaan pengetahuan analitis dan sintesis dari Kant. Menurut Quine, kita tidak bisa membedakan dengan tegas antara analitis dan sintesis pada pemikiran yang mendalam. Akibatnya, klaim kebenaran apriori perlu dipertimbangkan ulang. Ditambah lagi, dalam kajian sains modern, kita menemukan beragam fenomena yang tidak bisa dipastikan dengan tegas “underdetermined,” misal, mekanika quantum. Jadi, kita perlu bersikap terbuka terhadap keragaman perspektif. Bagaimana pun, Quine mengusulkan agar metafisika tetap sejalan dengan sains. Atau, bahkan sains sebagai fondasi dari penyelidikan metafisika. Pemikiran semacam ini mirip dengan pemikiran Russel.
Rawls (1921 – 2002) adalah filsuf social yang luar biasa dahsyat ide-idenya. Rawls berhasil menguatkan konsep keadilan yang semula normative menjadi praktis. Keadilan menjadi mudah dipahami, bahkan, mudah diukur. Dengan demikian, masyarakat atau Negara, bisa menerapkan teori keadilan untuk kemudian mengukur hasilnya. Rawls merumuskan keadilan berdasarkan prinsip persamaan dan perbedaan. Prinsip persamaan menyatakan bahwa setiap orang adalah sama dalam kebebasan, berkreasi, bekerja, berpendapat, berpolitik, dan lain-lain. Prinsip perbedaan menyatakan bahwa perbedaan hanya sah, ketika, perbedaan itu memberi keuntungan bagi pihak yang lemah.
Sementara, perkembangan histori filosofi makin menyemarakkan lebih banyak ide. Kuhn (1922 – 1996) adalah filsuf yang berhasil menggulirkan revolusi sains. Sains berubah secara revolusioner bukan gradual. Perubahan sains adalah melalui pergantian paradigm sains lama dengan paradigm baru. Misal, paradigm sains mekanika Newton diganti dengan mekanika quantum atau mekanika relativistic. Pada gilirannya, paradigm itu sendiri berubah karena histori. Sehingga, untuk bisa memahami sains, maka, kita perlu memahami histori. Akibatnya, klaim sains tidak bersifat mutlak obyektif. Klaim sains didasarkan pada histori.
Lakatos (1922 – 1974) melangkah lebih jauh dari Kuhn. Ketika, Kuhn menyatakan kita perlu histori untuk memahami sains, maka, apa yang diperlukan untuk memahami histori? Untuk memahami histori, menurut Lakatos, kita perlu sains. Sehingga, histori dan sains saling berdialektika. Feyerabend (1924 – 1994) mengkaji lebih jauh lagi. Ketika, asumsikan, sudah tersedia pengetahuan tentang sains dan histori, maka, bagaimana kita menentukan hubungan antara mereka? Tidak ada cara pasti untuk menetapkan hubungan antara sains dan histori. Bagaimana pun, menurut Feyerabend, kita membutuhkan keduanya: sains dan histori. Feyerabend mengusulkan bahwa kajian apa saja berhak untuk dikembangkan, freedom, dan bertujuan proliferasi pengetahuan – perkembangan pengetahuan.
Survey statistic menjadi salah satu sumber inspirasi filosofi. Untuk melengkapi intuisi para pengkaji, kita bisa melaksanakan survey kepada kalangan umum dan khusus. Misal, bagaimana analisis kita tentang penggunaan AI untuk mengambil keputusan kebijakan public? Tentu, kita, dan para pengkaji, bisa melakukan analisis. Di saat yang sama, kita bisa melakukan survey public untuk kasus yang sama. Dengan demikian, kita memiliki perspektif yang lebih luas. Dengan berkembangnya media digital, maka, survey statistic menjadi makin mudah.
2. Continental
Filsafat Continental mengkaji filsafat secara luas, mendalam, dan sulit masuk akal. Continental membahas realitas tidak seperti apa adanya. Awalnya, Continental memang membahas realitas apa adanya. Lanjut, ada apanya. Dan, tanpa akhir, ada apa saja?

Husserl tampak menerima pembagian dunia oleh Kant: fenomena dan noumena. Kemudian, Husserl fokus kepada fenomenologi, yaitu, memahami segala sesuatu apa adanya sesuai yang hadir dalam kesadaran manusia. Heidegger melanjutkan dengan fenomenologi-eksistensial sehingga berkembang eksistensialisme oleh Sartre dan dekonstruksi oleh Derrida.
Orang yang akrab dengan analytic bisa kesulitan untuk memahami continental karena memang jauh berbeda. Sebaliknya, orang yang akrab dengan continental bisa sulit memahami analytic karena analytic cenderung lebih spesifik.
3. Timur
Filsafat Timur memiliki sejarah panjang dan kaya akan kreativitas. Pada kesempatan ini, saya hanya akan membahas beberapa pemikiran tokoh besar dari Timur Tengah. Suhrawardi berhasil merumuskan ulang logika menjadi satu bentuk silogisme paling sederhana. Kemudian, Suhrawardi mengembangkan ontologi-cahaya sebagai pengetahuan sejati, otentik.

Ibnu Arabi, sejaman dengan Suhrawardi tetapi tampaknya tidak saling terhubung, mengembangkan konsep kesatuan paling canggih dengan berpuncak ke insan-kamil, manusia sempurna. Manusia adalah ruh bagi alam semesta. Dan, alam semesta adalah badan bagi manusia. Insan-kamil adalah wujud sempurna yang merangkul segala yang ada.
Sadra merumuskan prioritas-wujud yang dinamis berupa gerak-substansial. Sadra berhasil membuat sintesa kreatif dari semua ajaran filosofis yang berkembang sampai saat itu. Pada abad 20, Iqbal mengkaji metafisika Persia dengan dukungan Universitas di Jerman. Dengan demikian, Iqbal berhasil memotrel filsafat Timur dan filsafat Barat secara serentak. Untuk kemudian, Iqbal mengembangkan filsafat proses yang penuh dinamika.
4. Indonesia
Indonesia kaya akan karya filsafat. Karena, saya tinggal di Indonesia, maka, mengkaji filsafat Indonesia menjadi spesial. Di sini, saya hanya akan mengambil sebagian saja yang paling penting. Sunan Kalijaga adalah tokoh penting yang mengajarkan filsafat hidup melalui budaya.

Armahedi mengembangkan filsafat Integralisme yang berusaha menyatukan unsur-unsur penting filsafat, sains, seni, agama, moral, dan lain-lain. Yasraf mengembangkan konsep “Dunia yang Dilipat” sebagai metafor realitas digital yang tumpang tindih tanpa batas-batas. Sementara, Bambang menilai problem utama postmodern adalah dalam bahasa yang menyimpan ketegangan makna denotasi dengan metafora.
5. Living Philospher
Filsafat terus berkembang sampai saat ini. Kita akan mengkaji beberapa pemikiran living-philosopher sebagai contoh filsafat kontemporer.



Kita akan mengkaji pemikiran living-philosopher dari analytic, continental, dan Indonesia.
Nussbaum (1947 – ) menekankan pentingnya sistem pendidikan untuk membentuk manusia sebagai warga semesta yang peduli terhadap sesama dan semesta. Filosofinya mengingatkan bahwa manusia bukan hanya sebagai faktor produksi. Manusia bukan hanya untuk mencari uang. Manusia bukan hanya makhluk ekonomi. Tetapi, manusia memiliki emosi yang lebih penting dari sekedar urusan ekonomi. Pendidikan dari tingkat awal sampai sarjana perlu mendidik generasi penerus untuk cerdas emosi.
Appiah (1954 – ) menekankan dengan kuat bahwa manusia adalah warga semesta. Kita wajib membantu tetangga sebagai mana membantu anggota keluarga. Lebih jauh, semua manusia adalah saudara kita. Bahkan, alam raya juga saudara kita. Persaudaraan kita dengan seluruh manusia dan alam raya melebihi batasan-batasan negara, ideologi, agama, politik, suku, dan apa pun. Appiah mengembangkan konsep kosmopolitan: kita adalah warga semesta.
Badiou (1937 – ) meyakini bahwa filosofi adalah kosong, yaitu, kebenaran sejati apa adanya. Karena itu, filosofi perlu diisi dengan prosedur kebenaran: sains, seni, cinta, dan politik. Badiou mengklaim bahwa matematika adalah ontologi dan ontologi adalah matematika. Karena itu, paling tepat, kita mempelajari filosofi melalui matematika. Bagaimana pun, filosofi saja tidak cukup. Kita perlu melangkah lebih jauh dengan sains sampai politik, semua, dengan bimbingan filosofi (matematika).
Vattimo (1936 – ) terkenal dengan konsep weak-thought dan hermeneutika postmodern. Weak-thought atau pikiran-lemah adalah kesadaran bahwa semua pemikiran adalah lemah. Termasuk pemikiran kita adalah lemah. Karena itu, kita perlu bersikap terbuka untuk saling menguatkan pemikiran. Bagaimana pun, pemikiran yang sudah diperkuat itu masih tetap lemah. Sehingga, harus tetap terbuka dengan penguatan ide-ide baru. Weak-thought adalah etika berpikir terbuka terhadap perkembangan hermeneutika.
Bambang Sugiharto (1956 – ) pencetus ide postmodern sebagai tensi antara kepastian definisi dan metafora. Setiap proposisi, setiap bahasa, bisa dimaknai sebagai definisi formal yang pasti dan, di saat yang sama, bisa dimaknai sebagai metafora yang kaya akan makna. Menjaga dan menghormati tensi antara definisi dan metafora adalah tugas kita di era postmodern ini.
Yasraf (1956 – ) terkenal dengan konsep dunia-yang-dilipat, yang, penuh sesak atas segalanya. Era digital sebagai satu bukti kuat eksistensi dunia-yang-dilipat. Seluruh dunia ada dalam lipatan handphone kita. Tugas umat manusia adalah menafsirkan gegap gempita, gelap suram dan cemerlangnya, dunia-yang-dilipat. Media digital adalah peluang untuk kemajuan umat manusia, di saat yang sama, adalah penjara gelap yang menyuburkan birahi serakah manusia.
Dimitri Mahayana (1967 – ) sudah mengantisipasi perlunya “Menjemput Masa Depan” sejak akhir abad 20. Masa depan era digital sudah hadir di depan kita. Umat manusia, siap atau tidak, harus siap menjemput masa depan itu. Pemikiran filosofisnya terbentang dari era pre-Socrates sampai kontemporer semisal filsafat sains. Perspektif filosofisnya meluas dari Timur sampai Barat.
Budi Sulistyo (1975 – ) mengelaborasi lebih jauh konsep falsifikasi ke bidang kriptografi quantum. Konsep pemikirannya memadukan quantum mechanic, philosophy of mind, near death experience, AI, dan kebijakan Timur mendorong munculnya ide-ide segar filosofis. Paradoks teori quantum menjadi salah satu kajian paling menarik untuk terus dielaborasi.
Armahedi Mahzar (1942 – ) mengantisipasi kemajuan peradaban masa depan, dengan maha karya, integralisme. Berangkat dari analisis filsafat sains, strukturalisme, sampai post-strukturalisme, Armahedi melihat proyek dekonstruksi sebagai tidak memadai. Solusi yang lebih tepat adalah rekonstruksi peradaban dengan kerangka integralisme yang menyatukan perkembangan horisontal dan vertikal. Konsep filosofi Ibnu Arabi, Ghazali, sampai Iqbal mewarnai integralisme.
Catatan Analisis Penutup
Analisis singkat tentang meta filosofi, di atas, menunjukkan bahwa kita perlu berpikir-terbuka. Filosofi terus berkembang meluas dan makin dalam. Tradisi analytic berkembang seiring dengan perkembangan sains. Sementara, tradisi continental terus berkembang dengan pemikiran besar spekulatif. Filosofi Timur terus berkembang seiring dengan etika. Dan, filosofi Indonesia berkembang ke seluruh wacana.
Lebih jauh lagi, filosofi terus berkembang sampai sekarang dengan eksistensi living-philosopher di berbagai tradisi. Sehingga, filosofi selalu punya masa depan. Kita memerlukan berpikir dengan kerangka logika-futuristik. Masa depan penuh tantangan dan harapan. Masa depan penuh misteri.
Tentu saja, seseorang bebas untuk menghindari berpikir-terbuka dengan cara berpikir tertutup. Dia yakin dengan kebenaran hakiki, yang dia miliki, mencakup seluruh kebenaran yang ada – di seluruh semesta, dari masa lalu sampai masa depan. Semua orang harus ikut dirinya agar memperoleh kebenaran. Tidak ada lagi misteri masa depan. Tidak ada lagi tanda tanya. Semua sudah pasti, sesuai dengan yang dia yakini.
Bagaimana pun, masa depan selalu datang menghampiri kita. Future membentangkan waktu sebagai bentangan future-past-present: masa depan, masa lalu, dan masa kini menjadi masa saja.
Berpikir-terbuka mengajak kita menerima misteri. Selalu ada tanda tanya. Selalu ada pesona. Selalu ada tawa. Selalu ada masa depan. Bagaimana masa depan Anda?
Tinggalkan komentar