Akhirnya, segala sesuatu harus sampai pada akhir. Dari satu sisi, akhir adalah benar-benar akhir. Dari sisi lain, akhir adalah awal yang baru.

Akhir dari sains sudah tampak jelas. Akhir dari agama juga jelas. Akhir dari filosofi sama jelasnya. Akhir dari segalanya adalah ajakan untuk berpikir terbuka. Dengan demikian, setiap akhir adalah awal yang baru, pemikiran yang baru. Meski saya memilih kata “berpikir terbuka,” maksudnya, lebih luas dari sekedar berpikir biasa. Berpikir terbuka adalah menjadi diri yang terbuka, hati yang terbuka, dan menjadi realitas yang terbuka.
1. Akhir Sains
1.1 Histori
1.2 Debat
1.3 Konsep
1.4 Fisika
1.5 Matematika
2. Akhir Agama
2.1 Ritual Formal
2.2 Ruh Cinta
2.3 Pembebasan
3. Akhir Filosofi
3.1 Metafisika
3.2 Destruksi
3.3 Keterbukaan
1. Akhir Sains
Sains berkembang sejak awal perkembangan peradaban manusia. Tetapi, sains modern bisa kita lacak berawal dari teori Newton yang menerapkan matematika untuk kajian empiris, sekitar 5 abad yang lalu. Dengan pendekatan matematika ideal, sains berkembang pesat sampai melahirkan teknologi digital. Apakah itu kabar baik bagi peradaban? Tentu saja, banyak perdebatan.
Di masa kini, sains fisika mencapai titik kematangan sebagai interpretasi terhadap fenomena. Kita mengenal interpretasi teori quantum, interpretasi relativitas umum, interpretasi theory-of-everything. Dari bidang matematika, kita sudah berjalan dari sistem formal aksiomatik sampai realisme matematika. Di ujung akhir, muncul challenge dari matematika fiksional: apakah obyek matematika itu benar-benar ada? Obyek matematika, misal bilangan prima, adalah abstrakta yang bersifat fiksional. Tentu saja, banyak ahli yang tidak setuju. Dan, berkembanglah pluralisme dalam matematika.
1.1 Histori
Catatan sejarah menunjukkan bahwa sains sudah berkembang sejak ribuan tahun yang lalu. Kita mengenal Mesir Kuno, Cina Kuno, Yunani Kuno, dan sebagainya. Thales (sekitar abad 7 SM) adalah ilmuwan kuno yang teorinya bisa kita pelajari sampai sekarang, misal teori perbandingan segitiga. Thales memerintahkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir karena di Mesir sudah berkembang sains yang lebih maju.
Khawarizmi (780 – 850) mengembangkan teori aljabar yang metodis sebagai inovasi besar bidang matematika. Selanjutnya, matematika makin berkembang pesat hampir ke seluruh penjuru. Newton (1643 – 1727) adalah ilmuwan paling sukses menerapkan teori matematika ke sains empiris. Sains modern makin kokoh dengan pendekatan matematis. Pada gilirannya, sains mendorong lahirnya teknologi, termasuk, teknologi digital yang mewabah di dunia saat ini.
Sukses sains empiris fisika dalam menerapkan matematika memicu sains di bidang lain menerapkan metode yang sama. Keunggulan sains empiris matematis adalah, pertama, bersifat jelas. Karena proposisi dalam bentuk formula matematika maka setiap ilmuwan dapat memahami dengan jelas dan tegas. Kedua, bersifat kokoh. Karena kebenaran matematika bersifat aksiomatik yang kokoh maka sains mengikuti keunggulan aksiomatik yang sama. Ketiga, mudah direkayasa. Lagi, karena berupa formula matematika, ilmuwan mudah mereka-yasa formula. Ilmuwan tidak harus berhubungan dengan obyek empiris konkret. Cukup mengkaji formula matematika saja – dalam banyak kasus. Lebih-lebih dengan berkembangnya simulasi komputer, maka, rekayasa makin digdaya.
Nasib Manusia
Kehebatan sains modern begitu mempesona, sekaligus, sangat berbahaya. Bagaimana nasib manusia jika semua bisa direkayasa? Bagaimana masa depan alam raya?
Laplace (1749 – 1827) saintis Newtonian pernah mengatakan, “Jika kita mendapat informasi yang lengkap maka kita bisa memastikan nasib masa depan alam semesta.” Dengan berbekal analisis model matematika yang canggih, kita bisa memastikan kapan terjadi gerhana, kapan terjadi musim hujan, dan seberapa deras hujan itu sampai lengkap dengan dampaknya. Dengan demikian, nasib alam raya dapat dipastikan dengan pendekatan sains. Optimisme semacam itu, tampak, masuk akal. Benarkah?
Immanuel Kant (1720 – 1804) mengantisipasi salah arah perkembangan sains dan filsafat melaui trilogi kritik. Kant berhasil menunjukkan cakupan sains, filsafat, dan teologi dengan batas-batas yang jelas. Dengan kritik, Kant menunjukkan secara sistematis keungulan sains empiris dan, sekaligus, kelemahannya. Kelemahan utama sains empiris adalah tidak pernah berhasil melakukan klaim kebenaran universal. Klaim empiris selalu bersifat partikular, terbatas. Dengan demikian, optimisme Laplace sudah melampaui batas kemampuan sains.
Popper (1902 – 1994) meyakini bahwa kita tidak akan pernah mampu meramalkan sejarah masa depan. Mengapa? Perkembangan peradaban dipengaruhi oleh perkembangan pengetahuan manusia. Sementara, pengembangan pengetahuan manusia sering memunculkan inovasi tanpa henti. Berbagai macam inovasi sains tak terprediksi sebelumnya. Akibatnya, kita juga tidak akan pernah berhasil memprediksi masa depan umat manusia serta alam raya. Popper mengembangkan metode falsifikasi: konjektur dan refutasi. Teori sains adalah sebuah hipotesa atau konjektur, untuk kemudian, bisa ditolak (refutasi) oleh eksperimen. Selanjutnya, teori bisa dikoreksi atau diganti dengan yang lebih bagus. Teori tidak pernah berhasil diverifikasi oleh eksperimen. Hanya bisa difalsifikasi. Sains mengalami perkembangan dengan falsifikasi.
Poincare (1854 – 1912) berhasil menunjukkan bahwa teori sains, semisal teori Newton, adalah interpretasi dari fakta. Bukan fakta itu sendiri. Quine (1908 – 2000) melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa kita tidak bisa membedakan dengan pasti antara fakta dengan konvensi. Karena itu, setiap teori sains terbuka terhadap revisi. Einstein (1879 – 1955) berhasil menyusun teori fisika yang berbeda dengan, dan merevisi, teori Newton. Dengan demikian, Einstein berhasil mengkonstruksi interpretasi sains yang lebih baik dari Newton. Bagaimana pun, dalam penerapan sains sampai saat ini, teori Newton lebih praktis dan sudah mencukupi. Jadi, lebih bagus mana interpretasi Newton atau Einstein?
Nasib masa depan manusia masih penuh tanda tanya.
Paradigma Sains
Thomas Kuhn (1922 – 1996) mengguncang dunia sains dengan megumumkan bahwa kebenaran sains tergantung kepada paradigma. Sehingga, klaim kebenaran sains bisa saja relatif terhadap paradigma dan konteks yang ada. Di satu sisi, penyataan tentang peran paradigma dalam sains bagai kritik tajam kepada sains. Di sisi lain, dengan mencermati paradigma, sains justru mampu melompat tinggi dalam inovasi.
Kuhn menyarankan agar kita mempelajari histori untuk bisa memahami sains dengan baik. Dari histori, kita bisa memetakan beragam paradigma yang berkembang di masyarakat serta konteks yang ada. Selanjutnya, kita bisa memastikan klaim sains di masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, sains membutuhkan histori. Sains tidak bisa lepas dari histori.
Imre Lakatos (1922 – 1974) menyambut ide Kuhn bahwa sains memerlukan histori. Lakatos, yang akrab dengan dialektika Hegel, melihat dari arah sebaliknya. Bukan hanya sains yang membutuhkan histori. Tetapi, histori juga membutuhkan sains. Sehingga, sains dan histori secara terus-menerus berdialektika. Lakatos mengusulkan “program riset” sebagai solusi. Program riset yang progresif diterima, untuk kemudian, terus dikembangkan. Sementara, program riset yang merosot perlu ditinggalkan, untuk kemudian, diganti dengan yang lebih progresif.
Feyerabend (1924 – 1994) melanjutkan dialektika Lakatos. Ketika sains dan histori saling mempengaruhi, maka, bagaimana kita menetapkan klaim validitas sains? Apakah dari sains, kemudian, kita bisa memahami histori? Atau, sebaliknya, dari histori, kemudian kita bisa memahami sains? Dari beragam kriteria yang ada, Feyerabend menyimpulkan bahwa tidak ada prosedur universal untuk klaim kebenaran sains mau pun histori. Feyerabend mengusulkan solusi “freedom”. Semua pihak bebas untuk melakukan kajian, untuk kemudian, hasil kajian terbaik berhak terus berkembang. Pendekatan bebas seperti ini sering dikenal sebagai sains anarkis.
Pada masa tuanya, Kuhn mengembangkan penjelasan lebih detil tentang revolusi sains. Dari perspektif histori, perkembangan sains bersifat revolusi, yaitu, melompat dari satu paradigma ke paradigma lain. Sementara, dari perspektif saintis bersangkutan, perkembangan sains bersifat evolusi tahap demi tahap dalam kerangka paradigma tertentu. Karena perjalanan histori beragam sesuai keragaman konteks dan sikap manusia, maka, perkembangan evolusi sains juga beragam ke berbagai arah.
Barangkali, kita bisa bergerak ke perkembangan teori matematika yang lebih murni. Dengan harapan, kita akan berhasil menemukan kriteria universal untuk klaim kebenaran sains. Di bagian bawah, kita akan membahas secara khusus tentang filosofi matematika. Di bagian ini, cukuplah kiranya kita membahas singkat saja.
Frege (1848 – 1925), Hilbert (1862 – 1943), dan Russell (1872 – 1970) adalah beberapa nama besar yang mengembangkan filosofi matematika sampai level tertinggi di masanya. Matematika adalah sistem aksiomatik sederhana yang nilai kebenarannya bersifat universal; terbebas dari data empiris, terbebas dari histori, dan terbebas dari sains. Kemudian, sistem aksiomatik ini diterapkan ke sains secara luas. Sehingga, diharapkan, sains memiliki klaim kebenaran yang bersifat universal sebagai mana matematika.
Tidak perlu waktu lama, bahkan Russell sendiri, menemukan paradoks pada sistem formal aksiomatik itu. Meski, kemudian, Russell berhasil menemukan solusi untuk paradoks itu. Tetapi, paradoks terbesar dirumuskan oleh Godel (1906 – 1978), kelak, dikenal sebagai paradoks Godel. Sampai sekarang, paradoks Godel terbukti valid. Maksudnya, setiap sistem formal, pasti, memiliki paradoks yang menjadikannya tidak lengkap.
Para ilmuwan menyikapi paradoks Godel dengan beragam. Pada akhirnya, matematika sampai kepada sistem matematika yang plural. Tidak ada sistem matematika yang bisa mengklaim kebenaran tunggal secara universal. Beragam sistem matematika yang berbeda-beda, bisa, saling melengkapi.
Ontologi
Ontologi mengkaji being-qua-being atau apa sejatinya yang ada. Pertanyaan ontologis sudah menjadi kajian utama sejak awal sejarah. Misal, kita mengenal ada 4 unsur utama pembentuk alam raya: air, api, tanah, dan udara. Ditambah satu lagi unsur yang lebih lembut yaitu ether.
Demokritus (460 – 370 SM) adalah pemikir pertama yang mengenalkan konsep atom. Seluruh alam semesta terdiri dari partikel-patikel terkecil berupa atom. Russell memuji teori atom dari Demokritus ini sebagai teori paling ilmiah pada jamannya – dua ribu tahun yang lampau. Kelak, benar saja, teori atom ini berkembang secara ilmiah.
Di era modern, kita mengenal teori atom Dalton, Rutherford, Bohr, dan, tentu saja, teori mekanika quantum. Jadi, benarkah alam raya ini memang tersusun oleh atom-atom?
Di abad 21 ini, seharusnya, kita bisa menjawab dengan tegas. Memang benar, secara makrokospis, alam raya ini terdiri dari partikel-partikel kecil berupa atom. Kita memiliki sistem periodik unsur-unsur kimia yang diupdate setiap saat. Tetapi, secara mikrokospis, mekanika quantum meragukan pandangan realisme ilmiah semacam itu.
Di satu sisi, mekanika quantum berhasil mengkaji realitas partikel paling tersembunyi, partikel subatomik. Di sisi lain, mekanika quantum hanya berhasil sebagai interpretasi terhadap realitas. Mekanika quantum bukan realitas itu sendiri tetapi interpretasi terhadap realitas. Dan, salah satu interpretasi terkuat adalah pandangan yang menyatakan tidak ada realisme ilmiah pada tataran mikrokospis. Maksudnya, tidak ada realitas obyektif di dunia luar sana. Realitas obyektif itu baru tercipta ketika ada pengaruh dari pengamat subyektif.
Secara ontologis, kita bisa mengkaji realitas dari arah yang berbeda.
Parmenides (515 – 460 SM) meyakini hanya ada satu realitas tunggal yaitu being atau wujud. Selain being adalah tidak ada atau nothing. Karena nothing adalah tidak ada maka kita tidak bisa membahas nothing. Kita hanya bisa membahas being semata. Kelak, pandangan Parmenides ini memicu beragam kajian yang panjang.
Ibn Arabi (1165 – 1240) dan Sadra (1570 – 1640) mengembangkan teori being atau teori wujud secara sistematis dan dinamis. Realitas yang ada adalah wujud saja. Di satu sisi, wujud adalah tunggal. Di saat yang sama, wujud adalah beragam, berbeda-beda secara gradasi intensitas. Wujud, secara terus-menerus, bergerak dinamis menuju wujud yang lebih sempurna. Dengan demikian, kajian sains apa pun, selama berhubungan dengan realitas, maka akan selalu mengalami perubahan secara dinamis.
Heidegger (1889 – 1976), justru, mengajukan pertanyaan lebih mendasar, “Apa makna being?”
Ada pohon, ada elektron, ada sains, ada teknologi, dan ada Tuhan. Tetapi, apa makna-ada itu sendiri? Apa makna-being? Apa makna-wujud?
Kita meyakini makna-ada sudah jelas di mana saja, terbukti dengan sendirinya, dan tidak bisa didefinisikan. Tetapi, apakah keyakinan seperti itu menjadikan makna-ada lebih jelas? Heidegger mengajukan pertanyaan ontologis ini sejak tahun 1926 ketika menulis buku Being and Time. Dan, mendedikasikan seluruh sisa hidupnya, selama 50 tahun sampai 1976, untuk menjawab pertanyaan makna-ada. Jawaban Heidegger, makna-ada adalah bersifat temporal dan historal.
Karena sains adalah being, sains adalah ada, maka sains bersifat temporal. Maksudnya, sains akan selalu berubah seiring waktu. Sains akan senantiasa mengalami revisi setiap hari. Sains juga bersifat historal, yaitu, sains diciptakan oleh sejarah dan menciptakan sejarah. Dan, yang sangat penting, karakter fundamental dari being adalah care atau peduli. Sikap peduli adalah yang menjadikan being berkualitas tinggi – termasuk kualitas sains.
Derrida (1930 – 2004) menyambut baik kajian ontologis yang mempertanyakan makna-ada. Untuk mengungkapkan makna-ada lebih jelas, Derrida mengembangkan program dekonstruksi – yang merupakan saduran dari kata destruksi Heidegger.
Dekonstruksi adalah “operasi” mengungkapkan being yang tersembunyi agar menjadi lebih jelas. Awalnya adalah benih. Kemudian, tumbuh akar, batang, dan daun. Akhirnya, menjadi pohon yang rindang dan berbuah. Itu adalah contoh dekonstruksi pada benih. Sehingga menjadi jelas ada akar, batang, dan daun. Tetapi, benih dan pohon adalah realitas fisik yang bersifat terpisah-pisah.
Kita bisa mengambil contoh pengetahuan geometri. Awalnya geometri. Kemudian, ada bidang datar. Lalu, ada segitiga siku-siku. Berlaku teorema Pythagoras. Dan, formula teorema segitiga ganjil. Dalam contoh dekonstruksi geometri ini terjadi “pengungkapan” being menjadi lebih jelas. Being yang lebih matang, yang lebih akhir, adalah lebih konkret dan, di saat yang sama, meliputi being yang lebih general.
Pergerakan dekonstruksi adalah dari general menuju konkret atau dari genus menuju diferensia.
Teorema Pythagoras adalah lebih konkret dari geometri. Sehingga, Pythagoras meliputi geometri. Analisisnya bisa sebagai berikut. Pythagoras meliputi segitiga siku-siku. Maksudnya, Pythagoras berlaku pada segitiga siku-siku. Sehingga, Pythagoras meniscayakan “ada” segitiga siku-siku. Selanjutnya, segitiga siku-siku meniscayakan bangun datar dan geometri. Dengan demikian, Pythagoras meliputi seluruh genus yang lebih general – dari segitiga sampai geometri.
Selanjutnya, saya mengembangkan formula segitiga ganjil yang berlaku pada teorema Pythagoras. Dengan analisis yang sama, kita bisa menyatakan bahwa formula segitiga ganjil meliputi seluruh genus yang lebih general – Phytagoras, bangun datar, sampai geometri.
Dalam ranah sains, dan teknologi, operasi dekonstruksi adalah suatu keharusan. Maksudnya, sains niscaya bergerak dari genus yang general menuju diferensia yang konkret.
Dinamika
Kiranya, sampai di sini, cukup valid, kita menyatakan bahwa sains dan teknologi senantiasa berubah secara dinamis. Apakah perubahan ini ke arah yang lebih baik? Atau, tidak bisa dipastikan?
Arah dinamika sains bisa dipastikan ke arah yang lebih sempurna dan lebih konkret. Tetapi, tidak bisa dipastikan sebagai lebih baik. Kadang lebih baik, dan tidak jarang, lebih buruk. Ledakan bom nuklir, mesin pembunuh massal, penipuan bisnis digital, dan lain-lain adalah contoh perkembangan yang tidak baik. Sementara, secara umum, perkembangan sains dan teknologi bisa memperbaiki kehidupan umat manusia. Belajar dari sejarah menjadi pilihan utama.
1.2 Debat
Sampai saat ini, debat sains dan filsafat masih terus berlangsung. Khsusunya, dari sisi filsafat, perdebatan merupakan suatu keharusan. Di bagian ini, kita akan mengkaji beberapa perdebatan berhubungan dengan empirisme, eksplanasi, realisme, dan value.
Empirisme
Sains modern tampak identik dengan empirisme. Atau, empirisme menjadi paling utama di antara pandangan non-empirisme. Tentu saja, dengan mudah kita mengamati bahwa empirisme terlalu ketat membatasi wilayah. Sains dan filsafat lebih luas dari empirisme. Realitas lebih dari sekedar fakta empiris.
Eksplanasi
Realisme
Value
1.3 Konsep
Kausalitas
Idealisasi
Probabilitas
Pseudosains
Unifikasi
1.4 Fisika
Newton
Einstein
Quantum
1.5 Matematika
Teori Himpunan
Teori Kategori
Matematika Plural
2. Akhir Agama
2.1 Ritual Formal
2.2 Ruh Cinta
2.3 Pembebasan
3. Akhir Filosofi
Tinggalkan komentar