Hisab Rukyat Haraki: Wujudul Hilal Vs Imkan Rukyat

Umat Islam Indonesia selalu penuh dinamika. Setiap menghadapi awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, terjadi perdebatan seru metode hisab dan rukyat. Dari perspektif positif, perdebatan hisab rukyat, membangkitkan umat untuk terus berpikir terbuka tanpa henti. Dalam perspektif negatif, perbedaan hisab rukyat membingungkan umat. Bahkan, ada yang sampai ditangkap oleh aparat. Sungguh, kita perlu berpikir cermat dan tepat.

Saya mengusulkan solusi kajian hisab dan rukyat berupa kajian haraki. Solusi haraki adalah program riset yang progresif, dinamis, dan terbuka.

Apa pun solusi pilihan kita, sikap toleransi saling hormat adalah dasar dari segalanya. Berikut tiga solusi utama yang saya usulkan. (a) Hisab rukyat haraki. (b) Konsensus dinamis. Untuk di Indonesia, penentuan Ramadhan dan Idul Adha bebas boleh berbeda hari. Sementara, penentuan Idul Fitri ditetapkan secara konsensus dinamis bergilir. Misal, di tahun-tahun tertentu sepakat mengikuti wujudul hilal, sementara di tahun-tahun lainnya, sepakat mengikuti imkanur rukyat. (c) Kalender global untuk keperluan sipil mengandalkan konsensus metode hisab dan acuan lokasi-waktu.

1. Dalil Agama
2. Sains dan Teknologi
3. Fallibilism
4. Riset Progresif
5. Solusi Haraki
6. Kalender Global
7. Prioritas Nilai

Tahun 2023, atau 1444 H, berdasar hisab wujudul hilal, MU menetapkan lebaran Idul Fitri jatuh pada 21 April. Sedangkan NU, dan kemenag, menetapkan 22 April sebagai Idul Fitri. Dengan demikian, MU berpuasa 29 hari dan NU puasa 30 hari. MU dan NU mengawali puasa Ramadhan dengan serentak tetapi hari raya Idul Fitri berbeda.

Tahun 2022 berbeda kasus. NU menerapkan kriteria MABIMS yang baru yaitu 3 derajat (elongasi 6,4). Akibatnya, NU mengawali puasa lebih lambat dari MU. Karena idul fitri 2022 adalah serentak maka NU puasa 29 hari dan MU puasa 30 hari.

Perbedaan hisab dan rukyat menunjukkan ada masalah di depan mata kita. Beberapa orang menganggap hal itu bukan masalah. Boleh-boleh saja. Bagi yang menganggap ada masalah, maka, terbuka peluang untuk mengembangkan kajian yang lebih progresif. Bagaimana pun, akan selalu terbuka bahwa hasil akhir berupa perbedaan awal puasa dan perbedaan penetapan hari lebaran Idul Fitri. Sehingga, sikap saling toleransi, saling respek menjadi penting bagi seluruh umat manusia.

1. Dalil Agama

Hisab adalah metode berdasar perhitungan. Hisab didasarkan pada dalil kitab suci Al Quran yang menyatakan bahwa alam semesta ini berjalan dengan beragam keteraturan. Dengan mengkaji hukum alam, kita bisa mengembangkan metode hisab yang akurat dan presisi untuk menentukan awal bulan. Kita mengumpulkan seluruh data empiris, terutama data astronomis, kemudian mengolahnya dengan perhitungan, metode hisab, akhirnya mampu memastikan posisi hilal di masa depan. Bahkan, kita bisa menghitung posisi hilal sampai puluhan tahun ke masa depan. Hebat.

Rukyat adalah metode berdasar pengamatan. Rukyat didasarkan pada riwayat, hadis Nabi, “Berpuasalah kamu karena melihatnya (hilal).” Tentu saja, rukyat juga didasarkan pada kitab suci Al Quran, yaitu, rukyat mempertimbangkan beragam hukum alam. Jadi, rukyat adalah kombinasi antara hisab dan rukyat.

Dengan demikian, apakah rukyat lebih lengkap dari hisab? Karena rukyat adalah kombinasi hisab dan rukyat, yaitu, kombinasi ajaran AL Quran dan Hadis?

Hisab sama lengkapnya: kombinasi hisab dan rukyat. Misal, hisab wujudul hilal, dari teman-teman MU, adalah riset berdasar data empiris rukyat puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun. Kemudian, menghasilkan posisi hilal hakiki (wujudul hilal) dengan presisi tinggi. Jadi, hisab wujudul hilal juga merupakan kombinasi dari hisab dan rukyat. Lebih dari itu, kita bisa memaknai rukyat adalah “melihat hilal melalui sains” maka hisab adalah identik dengan rukyat.

Orang sering salah paham dengan mengira hisab imkanur rukyat adalah metode rukyat. Mereka mengira teman-teman NU mengandalkan rukyat sebagai utama. Tetapi, hisab imkanur rukyat adalah metode hisab dengan mempertimbangkan imkanur rukyat (kemungkinan terlihatnya hilal, visibilitas hilal).

Sehingga, perdebatan wujudul hilal dengan imkanur rukyat di Indonesia bukanlah perdebatan antara hisab lawan rukyat. Tetapi, perdebatan sesama metode hisab yang berbeda dalam makna interpretasi.

Negara yang saat ini menerapkan metode rukyat adalah Arab Saudi.

Penentuan Waktu

Berikut ini beberapa metode untuk menentukan waktu: tahun, bulan, dan hari.

(a) 12 Bulan

Satu tahun Islam adalah 12 bulan. Al Quran menetapkan tidak ada tahun kabisat, yaitu, tidak ada tahun dengan bulan ke 13. Dengan demikian, tahun Islam adalah murni tahun qamariyah atau tahun lunar atau tahun rembulan.

Keunggulan tahun qamariyah adalah masing-masing lokasi akan mengalami pergeseran musim untuk bulan tertentu. Misal, Ramadhan 2023 di Indonesia bertepatan bulan Maret dan April. Masa itu adalah peralihan dari musim hujan menjelang kemarau. Tahun depan, tahun 2024, Ramadhan di Indonesia akan berada di musim hujan sepenuhnya sampai sekitar 15 tahun. Setelah itu, Indonesia akan berpuasa Ramadhan di musim kemarau, sekitar bulan September.

Bandingkan tahun syamsiah misal Natal 25 Desember akan selalu berada di musim hujan bagi Indonesia dan musim salju bagi Eropa dan US. Begitu juga gabungan qamariyah-syamsiah misal tahun baru Imlek akan selalu berada di musim hujan (Januari Februari), tahun baru Waisak akan jatuh sekitar Mei Juni. Jika tahun baru terlalu awal maka ditambah dengan bulan ke 13 sebagai kabisat.

(b) 30 hari atau 29 hari

Satu bulan Islam adalah 30 hari kecuali sudah terlihat hilal di hari 29 maka cukup 29 hari. Penentuan 30 (Ho) atau 29 (Ha) hari ini yang menjadi pembahasan kita dengan mempertimbangkan hisab dan rukyat.

Karena ada aturan rukyat maka penentuan 30 hari ini menjadi selalu dinamis, di mana pun, dan kapan pun. Beda dengan penentuan 12 bulan, waktu sholat, dan gerhana yang tidak perlu rukyat. Tanpa rukyat, semua bisa ditentukan dengan perhitungan. Tetapi, karena penentuan 30 hari perlu rukyat, maka perlu pengamatan empiris yang dinamis.

(c) Malam dan siang

Secara umum, satu hari adalah satu malam ditambah satu siang. Atau, satu siang ditambah dengan satu malam.

Satu hari bisa dihitung dari Selasa maghrib sampai Rabu maghrib misalnya. Alternatifnya, satu hari bisa dihitung dari Selasa subuh sampai Rabu subuh. Perhitungan hari, dan waktu untuk sholat, berdasar posisi matahari tanpa harus rukyat. Sehingga, cukup dilakukan dengan analisis perhitungan terhadap data-data yang tersedia.

2. Sains dan Teknologi

Kita sadar bahwa saat ini adalah era sains dan teknologi. Kita berharap sains dan teknologi akan menjadi solusi. Benar bahwa sains dan teknologi menjadikan hisab dan rukyat lebih akurat, dan tentu, lebih presisi. Tetapi, sains dan teknologi tidak bisa menjadi solusi bagi keragaman makna interpretasi. Sementara, kajian hisab rukyat dipenuhi beragam makna interpretasi.

3. Fallibilism

Orang bisa saja mengira kebenaran sains berupa kebenaran mutlak. Bagaimana pun, sain tidak pernah berhasil menjadi kebenaran mutlak. Kebenaran sains adalah kebenaran relatif, kebenaran kontingen, kebenaran sementara. Kebenaran sains yang bersifat sementara itu, justru, menjadi keunggulan sains. Karena, sains menjadi mampu untuk terus-menerus memperbaiki diri tanpa henti.

Konsep fallibilism berlaku kepada sains. Yaitu, sains bisa saja salah. Akibatnya, sains bisa untuk mengoreksi diri dan meninggalkan sikap dogmatis. Hisab rukyat sangat dekat dengan sains. Karena itu, hisab rukyat juga bisa selalu mengoreksi diri.

4. Riset Progresif

Riset progresif menjadi alternatif yang baik bagi kita. Hisab dan rukyat, sama-sama, bisa bersifat progresif. Di satu sisi, hisab rukyat bisa saja salah. Di sisi lain, kita bisa mengoreksi setiap kesalahan. Hasilnya, hisab rukyat bergerak progresif dinamis.

5. Solusi Haraki

Solusi haraki adalah solusi yang menetapkan kriteria eksplisit, bagi hisab dan rukyat, sedemikian hingga, kriteria ini bersifat haraki yaitu progresif dan dinamis.

(1) Kriteria eksplisit

Tantangan pertama adalah kita perlu mengungkapkan asumsi dan kriteria secara eksplisit. Karena, dengan eksplisit, kita bisa melakukan koreksi yang diperlukan. Sementara, jika kriteria bersifat implisit maka kita akan sulit untuk melakukan koreksi. Bahkan, sekedar untuk mengenali asumsi implisit saja, kita sudah menghadapi kesulitan.

Kriteria imkanur rukyat versi Mabims, saat ini, adalah 3 derajat dengan elongasi 6.4 derajat.

(a) Tinggi hilal di atas 3 maka hilal mudah dilihat dengan pandangan mata. Sehingga, esok hari adalah bulan baru atau Idul Fitri.

(b) Tinggi hilal di bawah 0, atau di bawah ufuk, maka hilal tidak mungkin bisa dilihat. Sempurnakan 30 hari untuk puasa bulan itu.

(c) Tinggi hilal antara 0 dan 3 derajat maka memunculkan problem. Umumnya, orang Indonesia, menganggap hilal “tidak-mungkin” bisa dilihat. Sehingga, puasa disempurnakan menjadi 30 hari. Jika ada orang melaporkan bahwa dia melihat hilal dengan tinggi, misal, 2 derajat maka kesaksian mereka ditolak. Karena, dengan tinggi 2 derajat, hilal “tidak-mungkin” bisa dilihat.

Saya mencermati ada problem bahasa di sini: “tidak-mungkin”. Bahasa yang lebih tepat, menurut saya, adalah “mungkin-tidak” terlihat. Dengan tinggi 2 derajat, hilal “mungkin-tidak” terlihat. Tetapi, tetap ada kemungkinan kecil untuk bisa dilihat ketika situasi cerah, elongasi memadai, dan dukungan alam sekitar yang sesuai. Untuk memastikannya, kita perlu rukyat dengan pengamatan empiris.

Kriteria wujudul hilal adalah 0 derajat sebagai batas. Jika tinggi hilal di atas 0, di atas ufuk, maka besok adalah Idul Fitri atau bulan baru. Puasa cukup 29 hari saja. Tetapi, jika tinggi hilal di bawah 0, di bawah ufuk ketika matahari terbenam, maka sempurnakan puasa menjadi 30 hari.

Secara umum, wujudul hilal tidak menyebut 0 derajat sebagai kriteria yang eksplisit. Batas 0 derajat adalah realita. Lebih dari 0 bermakna hilal sudah wujud secara hakiki. Apakah hilal bisa dilihat melalui rukyat atau tidak bisa dilihat adalah masalah lain. Rukyat tidak berpengaruh saat itu. Sehingga, wujudul hilal bisa menentukan Idul Fitri jauh-jauh hari tanpa rukyat sama sekali.

Analisis Kriteria. Imkanur rukyat menetapkan kriteria visibilitas hilal adalah 3 derajat dengan eksplisit. Sementara, wujudul hilal menetapkan 0 derajat, secara implisit, sebagai wujud hilal hakiki. Mudah kita pahami bahwa akan terjadi perbedaan Idul Fitri ketika tinggi hilal antara 0 dan 3. Bagi imkanur rukyat sempurnakan puasa 30 hari. Bagi wujudul hilal pasti sudah Idul Fitri lebih awal, puasa cukup 29 hari.

Tetapi ada tantangan tambahan: kapan 29 Ramadhan?

Jika 1 Ramadhan serentak maka 29 Ramadhan juga serentak. Tetapi, pada tahun 2022, Ramadhan tidak serentak. Ketika imkanur rukyat hendak melakukan pengamatan pada 29 Ramadhan, maka saat itu, sudah hari 30 Ramadhan bagi wujudul hilal. Tidak mungkin ada hari 31 Ramadhan. Besok sudah pasti 1 Syawal Idul Fitri. Jadi, kita perlu memastikan tanggal 29 agar serentak.

Solusi haraki mengusulkan kriteria haraki yang eksplisit, dinamis dan progresif.

Kriteria imkanur rukyat yang 3 derajat sudah bagus bersifat eksplisit. Selanjutnya, kita perlu mendukungnya untuk dinamis dan progresif. Haraki mengusulkan kriteria yang lebih berani misal 1 derajat yang dinamis. Jika 1 derajat berhasil diamati hilal maka kriteria progresif menjadi 0,9 derajat misalnya. Tetapi, jika 1 derajat hilal tidak teramati maka kriteria naik menjadi 1,1 derajat misalnya. Hasil rukyat ini tidak secara langsung mempengaruhi penetapan Idul Fitri. Karena, Idul Fitri sudah ditetapkan 21 hari lebih awal berdasar kriteria progresif yang sudah disepakati. Hasil rukyat berpengaruh terhadap kriteria dinamis di masa depan. [Kriteria dinamis ini perlu dikaji lebih detil.]

Sementara, kriteria wujudul hilal dengan batas 0 derajat perlu dibuat lebih eksplisit, dinamis, dan progresif. Apa yang dimaksud dengan 0? Bagaimana dengan tinggi hilal positif 0,0001? Bagaimana dengan negatif 0,0001? Bukankah ada interval toleransi? Apakah puasa 29 atau 30 hari ketika hilal positif 0,0001? Bagaimana dengan lokasi acuan apakah Papua, Jogja, Aceh, atau lainnya?

Singkatnya, kriteria 0 derajat sulit dipertahankan sebagai implisit. Wujudul hilal perlu secara eksplisit menyatakan kriteria hilal hakiki misal 0,5 derajat. Haraki mengusulkan kriteria di 1 derajat yang dinamis dan progresif seperti di atas.

(2) Verifikasi dan Falsifikasi

Kita sepakat bahwa 1 bulan sempurna adalah 30 hari dan, kadang-kadang, 29 hari dengan syarat hilal sudah terlihat.

Ho [hipotesis orisinal] = bulan ini 30 hari

Ha [hipotesis alternatif] = bulan ini 29 hari

Asumsi umum adalah Ho bulan sempurna 30 hari. Andai ada kesulitan, misal karena ada mendung atau ketiadaan data yang diperlukan, maka bulan tersebut adalah 30 hari.

Ha, bulan ini 29 hari, hanya bisa terjadi jika berhasil dilakukan verifikasi dengan bukti yang meyakinkan. Atau, Ha terjadi jika berhasil falsifikasi Ho, yaitu membatalkan Ho. Rukyat, dengan pengamatan empiris, berperan penting untuk verifikasi Ha atau falsifikasi Ho. Tugas untuk verifikasi Ha cukup sulit secara saintifik. Tetapi, falsifikasi Ho relatif lebih mudah. Seribu kali pengamatan hilal yang verifikasi Ha tetap tidak bisa membuktikan validitas Ha. Sementara, satu kali falsifikasi Ho, pembatalan Ho, maka berkonsekuensi untuk menerima Ha.

Rukyat empiris lebih berperan untuk falsifikasi Ho ketimbang verifikasi Ha. Konsekuensinya sama yaitu bulan ini 29 hari.

Melihat dengan angka. Pendukung wujudul hilal bisa berargumen bahwa rukyat hilal bisa bermakna “melihat dengan angka.” Kemajuan sains yang canggih mampu menghitung terjadinya gerhana dengan presisi sampai menit, atau bahkan milidetik, berbulan-bulan sebelum kejadian. Sehingga, tidak ada keharusan rukyat berupa melihat dengan mata. Rukyat bisa dilakukan, dan mencukupi, dengan melihat melalui hitungan angka saja seiring kemajuan sains.

Tentu saja, orang bebas memaknai interpretasi rukyat sebagai “melihat dengan angka.” Kita perlu saling menghormati keragaman interpretasi. Hanya saja, kita tidak mampu melakukan verifikasi dan falsifikasi empiris dengan interpretasi seperti itu. Sementara, sains dan teknologi memberi bobot penting terhadap rukyat pengamatan empiris.

(3) Dinamika Interpretasi

Interpretasi bersifat dinamis. Bahkan, interpretasi adalah freedom bagi setiap manusia. Sehingga, setiap manusia bebas untuk membuat interpretasi pribadi. Ketika MU menetapkan puasa 29 hari, maka, setiap warga MU bebas membuat interpretasi setuju 29 hari atau, malah, memilih 30 hari. Demikian juga, warga NU bisa berbeda interpretasi dengan keputusan resmi NU.

Karena interpretasi bersifat dinamis, bahkan bebas, mengapa kita tidak memilih interpretasi yang paling baik bagi sesama? Justru, karena interpretasi adalah bebas, maka setiap orang bebas memilih interpretasi paling baik atau paling benar atau paling praktis. Akibatnya, interpretasi akan bersifat beragam. Bila interpretasi seragam, tidak beragam, itu adalah suatu kebetulan yang jarang terjadi.

Interpretasi rukyat adalah melihat dengan mata, melihat dengan bantuan alat optik, atau bisa juga melihat dengan angka. Solusi haraki mendukung interpretasi yang memungkinkan verfikasi atau falsifikasi empiris. Yaitu, rukyat adalah melihat dengan mata atau bantuan alat optik.

Pendukung wujudul hilal bisa berargumen bahwa hilal hakiki bisa diverifikasi atau falsifikasi empiris melalui data-data sebelumnya atau data-data sesudahnya. Jika metode verifikasi ini kita terima sebagai empiris maka verifikasi empiris tersebut bersifat tidak langsung.

Kita bisa membuat ilustrasi verifikasi empiris tidak langsung. Selasa pagi adalah 29 Ramadhan yang cerah. Di ufuk timur, ketika matahari jelang terbit, teramati hilal pada ketinggian 2 derajat bersesuaian dengan hasil hisab. [Atau, pertimbangkan pukul 11 siang terjadi gerhana matahari menandakan sudah terjadi konjungsi bulan baru.] Senja Selasa hari itu, mendung gelap sehingga hilal tidak bisa diamati. Padahal tinggi hilal adalah 2 derajat sesuai hisab.

Wujudul hilal memutuskan bahwa Idul Fitri adalah Rabu karena tinggi hilal 2 derajat di atas ufuk. Sedangkan, imkanur rukyat memutuskan Idul Fitri adalah Kamis karena hilal tidak teramati.

Rabu pagi, hilal tidak bisa diamati karena matahari terbit duluan terang-benderang. Rabu senja teramati, dengan jelas, tinggi hilal adalah 9 derajat ketika matahari terbenam. Dari data empiris ini, kita bisa hitung mundur bahwa benar, senja Selasa kemarin, tinggi hilal adalah 2 derajat. Jadi, kita bisa melakukan verifikasi empiris hisab wujudul hilal secara tidak langsung.

Kita juga bisa mengembangkan verifikasi tidak langsung dengan mengamati bulan purnama ketika terbit, ketika di atas kepala, atau ketika terbenam. Gerhana matahari dan gerhana bulan juga bisa menjadi sumber verifikasi empiris secara tidak langsung.

Dari beragam metode verfikasi dan falsifikasi empiris yang ada, rukyat hilal adalah metode paling bagus. Rukyat hilal bisa dilakukan secara langsung ketika matahari terbenam di hari 29 dan semua obyek yang diperlukan tersedia serentak. Pengamat bersiap di bumi, matahari mulai terbenam di ufuk, dan hilal berpotensi untuk diamati. Rukyat menghasilkan data yang akurat.

(4) Progresi

Solusi haraki mengutamakan karakter hisab rukyat yang progresif – makin maju. Kita mencermati progresif, dari sisi kriteria, yang makin akurat dan makin presisi.

Akurat lebih utama dari presisi. Pandangan umum mudah terkecoh oleh data yang presisi. Misal ungkapan presisi yang menyatakan gerhana akan terjadi pada hari Senin, 10 tahun mendatang, pukul 10, lebih 11 menit, lebih 12 detik, lebih 0,012 milidetik dianggap sebagai prestasi luar biasa. Jika ternyata gerhana bergeser lebih awal menjadi pukul 9 lebih 7 detik, maka, ungkapan gerhana terjadi pukul 8.45 adalah lebih akurat meski tidak presisi.

Dengan demikian, hasil hisab yang presisi tetap perlu kita waspadai aspek akurasinya.

Kriteria awal haraki misal 1 derajat. Data empiris terbaru, misal, menunjukkan hilal termati minimal 1,8 derajat. Haraki perlu begerak mendekat misal menjadi 1,4 derajat.

Bagaimana pun, kita berharap rukyat empiris mestinya bergerak progresif makin presisi dengan mendekati 0. Misal, hilal pernah teramati di 0,94 maka kriteria haraki bisa makin progresif menjadi 0,935 derajat. Makin dekat dengan 0 maka makin progresif. Di sisi lain, makin mudah bagi wujudul hilal dan imkanur rukyat untuk mencapai konsensus.

(5) Realitas Hakiki

Apa realitas hilal hakiki? Apa rembulan hakiki? Apa sejatinya obyek ontologi dari hilal?

Pertanyaan mendasar di atas tidak mudah diselesaikan hanya dengan satu solusi. Umumnya, ada dua solusi ontologis yaitu analisis esensial dan analisis eksistensial. Berikutnya, kita menghadapi problem epistemologis hisab rukyat. Terakhir, kita perlu mengakui, secara eksplisit, terdapat problem aksiologi: prioritas nilai.

Analisis esensial berasumsi ada obyek sejati berupa hilal yang obyektif. Hilal ini menunggu untuk ditemukan oleh manusia baik melalui hisab atau pun rukyat empiris. Bagaimana kita bisa tahu bahwa ada hilal obyektif seperti itu? Kita mengetahui hilal obyektif melalui hisab rukyat. Tetapi, hisab rukyat itu sendiri didasarkan pada hilal obyektif. Kita menghadapi logika-melingkar di sini (circular logic). Dalam analisis ontologis, kita sering menemui logika-melingkar, wajar saja. Meski, dalam penerapan logika, kita dilarang menerapkan logika-melingkar.

Asumsikan benar ada hilal obyektif, maka, apakah hilal tersebut statis atau dinamis?

Obyektif dan Tetap. Asumsi umum menyatakan bahwa obyek hilal adalah obyektif, statis, dan tetap. Ketika tinggi hilal 2 derajat, saat itu dan di tempat itu, maka siapa pun yang melakukan pengamatan akan menghasilkan data yang sama. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh kebenaran tunggal yang obyektif.

Obyektif dan Dinamis. Ketika hilal teramati, atau terhitung, dengan tinggi 2 derajat, di saat yang sama, hilal bergerak dinamis. Sehingga, kita tidak bisa mengamati obyek hilal yang identik sama karena hilal selalu berubah baik dari perspektif pengamat mau pun dari sisi obyek hilal itu sendiri. Ditambah, pengamatan sains menunjukkan bahwa hilal, rembulan, mengalami rotasi dan revolusi. Pengamat di bumi juga mengalami rotasi dan revolusi. Matahari juga bergerak di sekitar galaksi.

Obyek dinamis lebih tepat untuk menggambarkan hilal. Sementara, hilal statis adalah sekedar aproksimasi dari realitas hilal dinamis.

Analisis eksistensial mengkaji obyek hilal lebih dinamis lagi. Obyek hilal itu menjadi eksis seperti hasil pengamatan karena ada relasi dengan kita sebagai subyek pengamat. Eksistensi hilal dengan tinggi 2 derajat berelasi dengan eksistensi pengamat yang memiliki paradigma, sudut pandang, dan harapan tertentu.

Sains fisika modern memberi banyak contoh tentang analisis eksistensial. Kucing Schrodinger berada dalam situasi hidup dan mati, di saat bersamaan, superposisi, ketika tidak ada pengamat. Beberapa jam kemudian, seorang pengamat melihat kucing Schrodinger. Maka kucing tersebut menjadi hidup, misalnya. Andai tidak ada pengamat selama 5 hari maka, selama 5 hari itu, kucing tetap superposisi hidup dan mati. Realitas kucing hidup ada relasi dengan pengamat.

Elektron memiliki sifat dualisme: partikel dan gelombang. Tetapi, tidak mungkin suatu obyek, misal elektron, memiliki dua karakter partikel dan gelombang bersamaan. Hanya bisa salah satu saja antara partikel atau gelombang. Eksperimen celah ganda menunjukkan bahwa elektron berperilaku sebagai gelombang ketika tidak ada pengamat. Jika ada pengamat maka elektron berperilaku sebagai partikel. Jadi, obyek elektron punya relasi dengan pengamat.

Teori relativitas, dari Einstein, lebih tegas menyatakan bahwa masing-masing pengamat dengan kerangka acuan yang berbeda akan mengamati obyek yang sama dan hasil pengamatan berbeda. Karena pengamatan hilal melibatkan gerak rotasi bulan dan bumi maka relasi subyek (di bumi) dan obyek (penampakan bulan) menjadi lebih rumit. Sehingga, hasil pengamatan hilal dipastikan akan beragam.

Kiranya, beberapa contoh sains fisika modern di atas sudah memadai bagi kita untuk terbuka terhadap keragaman pengamatan dan perhitungan hilal.

Obyek Matematika Abstrak.

Obyek matematika, misal angka 3, adalah abstrak yang terbebas dari ruang dan waktu. Maksudnya, angka 3 akan tetap menjadi angka 3 di mana pun dan kapan pun. Sehingga, operasi bilangan bulat 2 + 1 = 3 adalah bernilai benar di mana pun dan kapan pun. Obyek abstrak matematika semacam itu bisa kita sebut sebagai esensi ideal.

T = Tinggi hilal adalah 2 derajat.

Apakah pernyataan T bisa selalu benar? Karena tinggi 2 derajat adalah hasil perhitungan, hisab, matematis maka selalu benar? Apakah “2” derajat adalah sama dengan “2” pada bilangan bulat, sehingga, selalu benar? Tidak. Tidak bisa selalu benar. Justru, selalu ada kemungkinan salah.

P = Persegi, yang sisi-sisinya 2 x 2, luasnya 4 satuan.

Pernyataan P di atas selalu benar. Karena obyek “persegi” adalah persegi abstrak matematika. Demikian juga, ukuran sisi 2×2 dan luasnya 4 adalah obyek abstrak matematika. Jadi, luas persegi abstrak 4 satuan adalah selalu benar.

Q = Persegi itu luasnya 4 meter persegi karena sudah diukur sisinya 2 meter x 2 meter.

Peryataan Q tidak selalu benar. Pernyataan Q bisa salah. Bahkan, Q yang menyatakan luas persegi sebagai 4 selalu mengandung kesalahan. Karena, Q berbicara tentang “persegi itu” yang bersifat konkret di dunia nyata. Ketika kita mengukur sisi, bisa jadi 2 meter lebih sedikit atau kurang sedikit. Akibatnya, luas persegi adalah 4 kurang sedikit atau lebih sedikit. Luas persegi konkret adalah sebuah aproksimasi, sebuah estimasi, sebuah pendekatan.

Apakah kita bisa mencetak persegi yang luasnya tepat 4 satuan tidak kurang dan tidak lebih? Tidak bisa. Karena, berdasar “ketidakpastian Heisenberg” selalu ada aspek ketidakpastian.

Apakah tinggi hilal yang 2 derajat adalah sebuah estimasi? Tepat. Sebuah estimasi. Sehingga, kita perlu terbuka dengan adanya toleransi. Ada kurang lebih.

Probabilistik Statistik

Ketika kita menyebut tinggi hilal adalah 2 derajat maka bermakna probabilistik dan statistik. Bukan tepat 2 derajat dengan presisi tinggi dan akurat. Tetapi, sebuah estimasi.

S = Tinggi hilal adalah 2 derajat
K = keyakinan level 90%
I = interval toleransi +/- 0,1

Pernyataan S adalah sepaket dengan K dan I. Klaim 2 derajat diikuti dengan keyakinan 90%. Ada peluang 10%, klaim kita meleset. Itu pun, klaim kita membentang dengan interval toleransi 2 +/- 0,1 yaitu antara 1,9 dan 2,1. Kita masih boleh ngaku benar ketika pengamatan menunjukkan 1,95 misalnya.

Idealnya, kita berharap level keyakinan 100% dengan interval toleransi 0. Tetapi, harapan tersebut tidak bisa dicapai karena justru berkebalikan. Ketika berharap keyakinan mendekat 100% maka interval toleransi justru melebar. Begitu juga ketika membuat interval toleransi mendekat 0 mengakibatkan level keyakinan turun.

R = Tinggi hilal 2 derajat
K = keyakinan level 95%
I = interval toleransi +/- 1,5

Dalam contoh R, level keyakinan naik menjadi 95%. Dampaknya, interval toleransi harus melebar 2 +/- 1,5 yaitu antara 0,5 sampai 3,5 derajat. Pelebaran interval bisa berdampak melemahkan signifikansi informasi. Tinggi 0,5 derajat hampir pasti hilal tidak terlihat. Sementara 3,5 derajat hampir pasti hilal bisa terlihat. Jadi, pasti tidak terlihat dan pasti terlihat.

Alternatif mempersempit interval toleransi bisa menurunkan level keyakinan.

V = Tinggi hilal 2 derajat
K = keyakinan level 60%
I = interval toleransi +/- 0,01

Klaim V lebih presisi dengan interval toleransi +/- 0,01 yaitu antara 1,99 dan 2,01. Tetapi, keyakinan hanya level 60%. Akibatnya, ada peluang 40% meleset. Level keyakinan yang rendah seperti itu, sulit untuk dipercaya, sulit untuk diterima.

Dengan probabilistik statistik, pernyataan tinggi hilal adalah kompleks. Meliputi estimasi tinggi, level keyakinan, dan interval toleransi. Tinggi hilal tidak lagi dinyatakan hanya sederhana sebagai eksak tinggi hilal semata.

Rukyat Hilal Empiris

Karena tinggi hilal adalah kompleks maka rukyat hilal empiris menjadi penentu paling penting. Mari kita mempertimbangkan kompleksitas tinggi hilal dengan beberapa ilustrasi contoh hisab imkanur rukyat dan hisab wujudul hilal.

Hisab imkanur rukyat menyatakan tinggi hilal adalah 2,8 derajat. Apakah besok Ho masih tanggal 30? Atau, hilal akan bisa dilihat sehingga falsifikasi Ho dan menerima Ha besok sudah bulan baru?

Jika 2,8 dianggap sebagai eksak sederhana maka hilal tidak-mungkin bisa diamati. Akibatnya, Ho diterima yaitu bulan ini adalah 30 hari. Sehingga, tidak perlu rukyat empiris. Dan, tidak perlu sidang isbat. Segalanya menjadi lebih hemat.

Tetapi, hilal 2,8 derajat adalah kompleks lengkap dengan K dan I. Bisa saja, hilal mencapai tinggi maksimum 3,1 derajat sehingga teramati dalam rukyat empiris. Dengan demikian, Ho difalsifikasi, ditolak. Konsekuensinya, kita menerima Ha bulan ini adalah 29 hari. Besok, sudah Idul Fitri.

A = Tinggi hilal 2,8 derajat
K = keyakinan level 90%
I = interval toleransi +/- 0,3 yaitu 2,5 sampai 3,1

Rukyat empiris menjadi penentu paling penting ketika kita memandang tinggi hilal sebagai kompleks K dan I. Sehingga, sidang isbat menjadi perlu.

Situasi sebaliknya, juga bisa terjadi.

B = Tinggi hilal 3,2 derajat
K = keyakinan level 90%
I = interval toleransi +/- 0,3 yaitu 2,9 sampai 3,5

Jika 3,2 derajat sebagai eksak sederhana maka dipastikan hilal bisa dilihat. Ho difalsifikasi, ditolak, secara analisis. Ha diterima bahwa bulan ini 29 hari. Tidak perlu rukyat lagi.

Tetapi jika tinggi hilal 3,2 adalah kompleks maka bisa saja tinggi minimum yaitu 2,9 derajat. Sehingga, hilal tidak teramati. Ho diterima bahwa bulan ini 30 hari. Rukyat empiris menjadi penting sebagai penentu akhir.

Wujudul hilal bisa menghadapi problem yang sama. Wujudul hilal yang menganggap tinggi hilal 0,5 derajat sebagai eksak sederhana maka pasti sudah bulan baru. Tetapi, jika wujudul hilal sebagai kompleks maka akan lebih menantang.

C = Tinggi hilal 0,5 derajat
K = keyakinan level 90%
I = interval toleransi +/- 0,6 yaitu -0,1 sampai 1,1

Ada kemungkinan hilal masih negatif sehingga Ho diterima bahwa bulan ini 30 hari. Tugas awal bagi pendukung wujudul hilal adalah mengungkapkan kriteria ini secara eksplisit. Tidak cukup hanya di atas 0 saja. Dengan eksplisit akan membuka gerak progresif.

Mari kita ringkas ulang diskusi kita di bagian realitas hakiki hilal ini. Dugaan awal, kita mengira bisa mengetahui hilal hakiki apa adanya dengan penuh keyakinan. Tetapi, secara ontologis, hilal hakiki itu bisa saja bersifat dinamis dan memiliki relasi kompleks dengan beragam obyek dan subyek pengamat. Akibatnya, klaim pengetahuan kita terhadap realitas hilal hakiki adalah sebuah estimasi belaka. Baik pengetahuan empiris atau pun teoritis adalah estimasi terhadap hilal hakiki. Kita perlu rendah hati untuk berpikir terbuka bahwa pengetahuan kita tentang hilal adalah tidak eksak. Pendekatan probabilistik statistik merupakan pilihan baik. Pengamatan rukyat empiris menjadi faktor penentu paling penting.

6. Kalender Global

Kalender Masehi, akhirnya, disepakati secara global. Umat di seluruh dunia bisa sepakat untuk menetapkan kapan tahun baru 2030 M, misalnya. Sehingga, wajar saja, kita berharap untuk bisa menyusun kalender Hijriyah yang berlaku secara global. Apakah bisa?

Bisa. Tentu saja, kita bisa menyusun kalender Hijriyah yang berlaku global untuk kepentingan sipil, muamalah, dan kesepakatan. Tetapi, kalender untuk kepentingan ibadah, misal menentukan lebaran Idul Fitri, bisa bersifat lebih dinamis.

(1) Kalender Global Sipil

Susah-susah mudah. Kalender global untuk kepentingan sipil, kesibukan sehari-hari, mudah untuk dibuat. Kita hanya perlu menyepakati metode perhitungan dan lokasi acuan. Kemudian, kalender global bisa dibuat. Barangkali perlu dibuat revisi periodik 5 atau 10 tahunan.

Bagaimana pun tetap susah untuk mewujudkan kalender global ini. Meski hanya butuh kesepakatan tetapi kesepakatan semacam itu belum tentu bisa dicapai. Solusinya, bisa beberapa negara sepakat untuk membuat kalender Hijriah global. Kemudian, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kalender global ini dirasa praktis maka akan mengundang lebih banyak orang, dan negara, untuk mengikuti.

Salah satu manfaat praktis kalender global ini adalah berdampak langsung terhadap fenomena pasang surut air laut. Nelayan, pelayaran, penambangan di laut, penduduk dekat pantai, dan masyarakat luas akan merasakan manfaat.

(2) Kalender Global Ibadah

Kalender global untuk kepentingan ibadah bisa dibuat tetapi barangkali tidak harus dibuat. Khususnya ibadah puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha bersifat dinamis sesuai data empiris rukyat hilal yang bersifat lokal atau regional.

7. Prioritas Nilai

Apa yang paling prioritas bagi Anda? Apa yang paling utama? Apa yang paling penting?

Jawaban terhadap prioritas nilai di atas bisa beragam. Konsekuensinya, umat manusia akan menghasilkan keragaman dalam banyak hal. Tentu saja, keragaman adalah hal yang wajar. Bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap keragaman?

(1) Dissensus

Sikap paling dasar adalah menerima dissensus, yaitu, menghormati perbedaan dengan penuh toleransi. Kita mudah menerima dissensus awal puasa Ramadhan yang berbeda. Pihak yang sudah berpuasa bisa dengan hikmat menjalani ibadah puasa. Sementara, pihak yang tidak puasa menghormati dengan cara makan dan minum di tempat yang tersembunyi.

Apakah penetapan Idul Fitri bisa dissensus? Idul Fitri dengan hari yang berbeda? Tentu saja bisa. Tetapi, Idul Fitri berbeda dengan puasa. Sehingga, kita berpikir bahwa Idul Fitri yang serentak akan menjadi lebih baik.

(2) Konsensus

Kesepakatan melalui konsensus bisa menjadi solusi dalam banyak hal. Lampu lalu lintas warna merah disepakati, konsensus, untuk berhenti. Semua orang sepakat. Bila ada yang melanggar dengan menerobos lampu merah maka ada resiko kecelakaan lalu lintas atau didenda berdasar peraturan.

Sehari setelah tanggal 28 Februari 2024 adalah tanggal 29 Februari. Semua pihak setuju. Bila ada yang menganggap hari itu sudah sebagai tanggal 1 Maret 2024 maka dia pusing sendiri. Dia terkucil dari konsensus umat manusia pada umumnya.

Demikian juga, para jamaah haji sepakat dengan keputusan Arab Saudi untuk wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijah. Orang yang tidak sepakat dengan Saudi akan kesulitan melaksanakan wukuf di hari yang berbeda. Akhirnya, semua orang yang ibadah haji sepakat, tercapai konsensus, 9 Dzulhijah sesuai keputusan Saudi. Semua serentak.

Jadi, konsensus berhasil menyelesaikan beragam perbedaan. Benarkah demikian?

Tidak selalu benar. Misal penetapan 9 Dzulhijah di Arab memang bisa disepakati untuk kepentingan wukuf di Arafah. Tetapi, orang Islam di Indonesia bisa berbeda dengan Arab Saudi. Orang Indonesia bisa memilih antara (a) mendahului Arab lebih awal 4 jam atau (b) mengikuti Arab dengan lebih lambat 20 jam. Bahkan, ketika orang Indonesia ingin serentak dengan Arab, tetap, ada kesulitan. Jika di Arab adalah Arafah hari Kamis, maka, serentak dengan Arab apakah bermakna 4 jam lebih awal di hari yang sama Kamis atau 20 jam lebih lambat di hari Jumat? Arab Saudi tidak punya hak untuk menentukan Kamis atau Jumat bagi Indonesia.

Untuk kasus Idul Fitri di Indonesia, andai bisa konsensus maka, bisa serentak. Misal konsensus semua menerapkan hisab wujudul hilal maka akan serentak. Demikian juga jika semua konsensus hisab imkanur rukyat maka akan serentak. Seperti kita tahu, di Indonesia, tidak tercapai konsensus.

Apakah konsensus bisa dipaksakan oleh kekuatan tertentu? Untuk kasus manajemen lalu lintas, konsensus bisa dipaksakan. Tetapi, untuk kasus keyakinan religius, tidak bagus bila memaksakan konsensus. Sehingga, kita perlu berpikir terbuka untuk saling menghormati penuh toleransi.

(3) Dinamis

Dinamika antara dissensus dan konsensus akan terus terjadi dalam banyak situasi. Barangkali, kita bisa mengajukan solusi yang dinamis. Pada situasi yang menuntut konsensus, maka, kita bersama-sama mencapai konsensus. Misal penetapan lebaran Idul Fitri. Sementara pada situasi yang terbuka untuk dissensus, maka, dibebaskan untuk dissensus. Misal penetapan awal puasa Ramadhan.

Skenario untuk Indonesia, kita bisa menyusun rencana konsensus 10 tahun ke depan. Dengan kemajuan hisab rukyat, kita bisa memastikan kapan akan terjadi perbedaan penetapan Ramadhan dan Idul Fitri. Awal Ramadhan, 10 tahun ke depan, dibebaskan apakah akan serentak atau ada perbedaan. Sementara, penetapan Idul Fitri akan menuntut konsensus. Dari 10 tahun, misal, ada 4 tahun perbedaan Idul Fitri. Kita bisa menyepakati dari 2 tahun akan serentak mengikuti wujudul hilal dan 2 tahun lainnya mengikuti serentak imkanur rukyat. Dengan demikian, Idul Fitri akan serentak dalam 10 tahun ke depan.

Keberatan bisa muncul: ibadah Idul Fitri, kok, berdasarkan kesepakatan manusia? Ibadah, ya, harus didasarkan kepada aturan agama yang benar. Bukan konsensus antar umat manusia. Kita perlu mempertimbangkan baik-baik keberatan ini.

Saya membuat aproksimasi model prioritas nilai menjadi 3 seperti di atas: A, B, dan C.

Prioritas A

Kemenag, NU, Persis, dan beberapa ormas lain lebih mendekati Priorotas A dengan menerapkan hisab imkanur rukyat.

Pertama adalah benar. Hisab imkanur rukyat adalah metode hisab yang mempertimbangkan kriteria imkan rukyat, visibilitas hilal, dengan teliti. Sehingga, hisab imkanur rukyat terjamin bernilai benar dari beragam perspektif.

Kedua adalah bijak. Khususnya, kemenag, telah berusaha mengambil langkah bijak dengan mempertimbangkan beragam sudut pandang seluas-luasnya. Seluruh ormas misal NU, MU, MUI, Persis, DPR, diplomat, dan lain-lain diundang untuk berpartisipasi dalam hisab imkanur rukyat. Bahkan, MABIMS melibatkan menteri-menteri agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Ketiga adalah manfaat. Hisab imkanur rukyat dapat dilakukan secara praktis menggunakan program komputer, misalnya. Sehingga, penentuan awal Ramadhan atau Idul Fitri bisa dipastikan jauh-jauh hari, misal, beberapa bulan di depan. Tetapi, karena mempertimbangkan hasil rukyat hari 29 maka ketetapan sidang isbat hanya bisa dipastikan malam hari tanggal 29 itu. Sementara wilayah Indonesia terbentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Prioritas B

MU lebih mendekati prioritas B dengan memilih hisab wujudul hilal.

Pertama adalah benar. Hisab wujudul hilal bernilai benar karena didasarkan pada metode hisab, analisis perhitungan, yang valid secara sains dan matematika. Sehingga, ketika menetapkan tinggi hilal misal 2 derajat, maka, sudah didasarkan pada analisis yang matang.

Kedua adalah manfaat. Hisab wujudul hilal bisa dilakukan dengan bantuan program komputer. Mudah, praktis, dan bermanfaat. Lebih dari itu, wujudul hilal mampu menentukan Idul Fitri beberapa bulan lebih awal. Karena wujudul hilal tidak memerlukan pengamatan empiris di tanggal 29, maka, penetapan Idul Fitri sudah dilakukan jauh-jauh hari dengan pasti.

Ketiga adalah bijak. Hisab wujudul hilal dengan bijak mengkaji dari beragam sudut pandang. MU yang memiliki perwakilan di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri, membahas dengan baik metode hisab wujudul hilal.

Prioritas C

Solusi hisab rukyat haraki lebih mendekati prioritas C. Kriteria haraki dinamis dan progresif.

Pertama adalah bijak. Haraki menerima pandangan dari seluruh pendekatan yang ada. Haraki menerima hisab imkanur rukyat dan hisab wujudul hilal. Kemudian, kita mengolah bersama seluruh masukan yang ada dan menetapkan kriteria awal haraki, misal, 1 derajat. Bagaimana pun, kriteria haraki ini bisa terus diperbarui sesuai perkembangan hisab dan rukyat.

Kedua adalah manfaat. Haraki mudah dikerjakan dengan bantuan komputer. Kemudian haraki menetapkan Idul Fitri 21 hari lebih awal dengan pasti. Rukyat dilaksanakan pada tanggal 29 sebagai penentu kriteria haraki berikutnya secara progresif. Hasil rukyat ini tidak secara langsung mengubah ketetapan Idul Fitri yang sudah diumumkan 21 hari lebih awal. Seluruh tim akan membahas hasil rukyat untuk menjamin dinamika haraki.

Ketiga adalah benar. Metode haraki dijamin bernilai benar karena mempertimbangkan hisab imkanur rukyat, hisab wujudul hilal, rukyat empiris, dan beragam pendekatan lainnya. Lebih dari itu, kebenaran haraki sejalan dengan sikap bijak dan nilai manfaat.

Pilihan Prioritas

Saya mengusulkan untuk memilih prioritas C sesuai hisab rukyat haraki. Dengan pertimbangan bahwa haraki tetap mengakomodasi hisab imkanur rukyat, hisab wujudul hilal, dan pendekatan lain.

Beberapa orang bisa saja mengajukan keberatan bahwa haraki justru menambah masalah, yaitu, menambah lebih banyak pilihan dari yang semula hanya imkanur rukyat dan wujudul hilal saja. Keberatan ini bisa kita atasi dengan pemahaman bahwa penentuan Idul Fitri hanya ada dua pilihan: Ho yaitu bulan ini 30 hari atau Ha yaitu bulan ini 29 hari. Jadi, kita tetap hanya punya dua pilihan saja antara Ho atau Ha. Haraki tidak menambah masalah.

Haraki bertujuan menyelesaikan masalah yaitu memberi cara untuk mencapai kesepakatan memilih Ho atau Ha oleh banyak pihak. Berikut beberapa langkah rekomendasi menerapkan haraki.

(1) Semua pihak bermusyawarah menetapkan kriteria awal haraki misal 1 derajat. Termasuk menyepakati metode hisab yang dipakai, sebaran lokasi pengukuran, dan pijakan bersama tanggal 29.

(2) Musyawarah menetapkan Idul Fitri berdasar kriteria awal haraki, misal 1 derajat, 21 hari lebih awal dari hari lebaran.

(3) Melaksanakan rukyat empiris, pada senja tanggal 29, di berbagai macam titik dan membuka partisipasi bagi masyarakat luas. Hasil rukyat dilaporkan ke panitia khusus dan dipublikasi. Hasil rukyat tidak mengubah ketetapan Idul Fitri tetapi berpengaruh pada kriteria haraki beriktunya.

(4) Musyawarah mengkaji hasil rukyat dan bersiap-siap menetapkan kriteria haraki yang baru. Tetapi, kita masih memiliki data rukyat tambahan sebanyak 11 bulan yaitu rukyat akhir Syawal sampai rukyat akhir Syaban tahun depan. Kita memiliki kesempatan untuk update berdasar situasi nyata di lapangan.

(5) Kembali musyawarah untuk menetapkan Idul Fitri di tahun itu dengan kriteria haraki yang baru. Proses hisab rukyat haraki ini akan berulang secara dinamis dan progresif.

Saya berharap usulan hisab rukyat haraki akan memberi kontribusi positif terhadap dinamika hisab rukyat di Indonesia dan internasional. Bagaimana pun, kita perlu menjunjung tinggi sikap toleran karena boleh jadi ada perbedaan di berbagai aspek pendekatan. Dengan keterbukan, dinamis, dan progresif, kita yakin akan berhasil bergerak menjadi lebih baik.

Catatan Akhir: Tiga Rekomendasi

Mempertimbangkan pembahasan di atas, saya mengusulkan tiga rekomendasi berikut.

(1) Hisab rukyat haraki. Imkanur rukyat dan wujudul hilal, bersama-sama, berpartisipasi dalam hisab rukyat haraki yang terbuka, dinamis, dan progresif seperti kita bahas di atas.

(2) Konsensus dinamis. Untuk awal puasa Ramadhan dan Idul Adha dibebaskan konsensus atau dissensus. Sementara, untuk Idul Fitri diharapkan serentak melalui konsensus dinamis. Misal dalam 10 tahun ke depan ada potensi 6 Idul Fitri serentak dan 4 berbeda. Untuk yang berbeda dibuat konsensus 2 kali serentak mengikuti wujudul hilal dan 2 kali lainnya serentak mengikuti imkanur rukyat.

(3) Kalender hijriah global bisa dibuat berdasar konsensus untuk kepentingan sipil – dan muamalah. Konsensus meliputi metode hisab serta waktu dan lokasi acuan. Sementara, kalender global ibadah tidak ada keharusan untuk seragam. Kalender ibadah bisa dinamis secara lokal atau regional. Tentu saja, jika ada konsensus untuk wilayah yang lebih luas, maka hal itu bagus adanya.

Bagaimana menurut Anda?

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: