Dogma-Dogma Sains Empiris

Kita memandang sains sebagai pengetahuan obyektif yang terdepan. Pengamatan lebih dalam menunjukkan bahwa sains menyimpan banyak dogma-dogma tersembunyi. Tentu saja, dogma ini berbahaya. Akibatnya, sains juga berbahaya.

Tulisan ini akan membahas lima dogma sains. Setelah mencoba mengidentifikasi lima dogma sains, saya mengusulkan beberapa solusi. Dengan solusi ini, saya berharap, sains bisa berkembang lebih maju dan mendorong masyarakat lebih adil makmur.

1. Tinjauan Historis
2. Pembedaan Analitik/Sintetik
3. Analisis Tuntas
4. Pembedaan Hukum Alam/Spontan
5. Determinan
6. Abadi
7. Rekomendasi Solusi

Pertengahan abad 20, Quine menunjukkan ada dua dogma sains empiris (a) pembedaan analitik/sintetik dan (b) analisis tuntas. Akhir abad 20, Davidson menambahkan dogma ketiga (c) pembedaan hukum alam/spontan. Di awal abad 21 ini, saya menambahkan dua dogma lagi (d) determinan dan (e) abadi.

1. Tinjauan Historis

Aristoteles (384 – 322 SM) adalah pemikir kuno pertama yang membedakan pengetahuan apriori dengan pengetahuan posteriori. Kebenaran apriori sudah bisa kita tentukan tanpa pengamatan tambahan.

B = Bayi adalah manusia.

Tanpa pengamatan, kita bisa memastikan pernyataan apriori “B = Bayi adalah manusia” pasti bernilai benar. Lebih menarik lagi, kebenaran apriori berlaku kapan saja dan di mana saja.

Di sisi lain, pengetahuan posteriori memerlukan pengamatan untuk bisa menetapkan nilai kebenarannya.

C = Bayi itu berbaju putih.

Kita perlu mengamati apa warna baju dari bayi itu. Jika benar putih maka C bernilai benar. Jika tidak putih maka C bernilai salah. Kebenaran posteriori bersifat kontingen – bisa benar atau salah. Aristo, dan para pemikir kuno, tampak lebih mengutamakan pengetahuan apriori yang bersifat pasti dari pengetahuan posteriori yang bersifat kontingen.

Immanuel Kant (1720 – 1804) berhasil merumuskan ulang apriori posteriori sampai kepada pengetahuan analitik/sintetik. Analitik adalah pengetahuan yang nilai kebenarannya bisa ditentukan berdasar analisis terhadap pengetahuan tersebut. Contoh “B = Bayi adalah manusia” merupakan analitik. Dengan menganalisa “bayi” dan “manusia” kita bisa memastikan pernyataan B sebagai benar. Sedangkan, pengetahuan yang bukan analitik adalah sintetik.

Konsekuensi wajar, kita memandang analitik = apriori, sedangkan sintetik = posteriori. Tetapi, Kant berhasil menunjukkan adanya sintetik apriori.

S = Luas persegi yang panjang sisinya 5 meter adalah lebih besar dari 10 meter persegi.

Pernyataan S adalah sintetik apriori. Untuk mengetahui kebenaran S kita memerlukan lebih banyak tambahan pengetahuan lain, misal rumus luas bangun persegi. Semua pengetahuan yang kita perlukan itu, misal rumus luas bangun persegi, bersifat apriori. Terbukti, hampir semua pengetahuan matematika murni bersifat sintetik apriori.

Di jaman digital ini, pengetahuan sintetik apriori menjadi sangat penting. Statistik dan data-mining, misal kajian perilaku pengguna media sosial, memberi wawasan-wawasan baru yang sangat berguna. Data-data sudah tersedia (apriori). Tetapi, kita perlu melakukan kajian lanjutan dengan sintesa beragam data (sintetik) untuk menghasilkan wawasan baru.

Quine (1908 – 2000) mempertanyakan keabsahan pembedaan analitik/sintetik. Pengetahuan analitik tidak bisa diraih pada analisis akhir. Misal, ketika kita menganalisis makna “bayi”, pada tahap akhir, kita memerlukan suatu pengamatan. Tidak cukup hanya analisis. Dengan demikian pembedaan analitik/sintetik kolaps menjadi hanya sintetik saja. Pembedaan analitik/sintetik adalah dogma sains empiris.

Kedua, Quine meragukan apakah kita mampu melakukan analisis secara tuntas. Menurut Quine, analisis kita tidak akan pernah tuntas. Dogma sains kedua menganggap analisis bisa tuntas.

Davidson (1917 – 2003) menambahkan problem dogma sains ketiga. Sains meng-klaim akan berhasil mengungkap pengetahuan secara tuntas. Sains tidak akan pernah berhasil menuntaskan pengetahuan. Paling hebat, sains hanya bisa mengungkap hukum alam belaka. Sementara, fenomena subyektif dan sistem norma tidak akan bisa dituntaskan oleh sains. Sehingga, selalu ada jarak antara hukum alam dengan fenomena subyektif yang bersifat spontan.

Awal abad 21 ini, kita menyaksikan perkembangan sains yang divergen. Sebut saja perbedaan antara teori quantum dengan teori relativitas. Sains meng-klaim akan berhasil menemukan determinan tuntas, penentu akhir, untuk menilai mana teori yang benar. Klaim ini, implisit atau eksplisit, adalah dogma keempat. Sains hanya akan berhasil meraih determinan dinamis.

Klaim kebenaran sains adalah obyektif, transparan, dan abadi. Klaim ini menjadi dogma kelima. Klaim kebenaran sains adalah abadi menuju masa depan. Sehingga, sains selalu berada dalam perubahan futuristik.

2. Pembedaan Analitik/Sintetik

Dogma pertama (a) terdapat perbedaan analitik/sintetik. Pemahaman alternatif adalah (a1) tidak ada perbedaan signifikan analitik/sintetik.

B = Bayi adalah manusia.

Substitusikan,

Bayi = manusia yang baru lahir.

Menghasilkan,

B1 = Manusia yang baru lahir adalah manusia.

B1 tampak jelas benar dengan sendirinya. Akibatnya, B menjadi benar secara analitik. Tetapi, apa itu manusia? Apa itu “yang baru lahir”?

Misal manusia adalah hewan rasional. Kita masih bisa melanjutkan pertanyaan apa itu hewan dan apa itu rasional. Pertanyaan ini tidak akan pernah berhenti. Pertanyaan bisa berhenti dengan jawaban berupa pengamatan. Dengan demikian, analitik kolaps menjadi sintetik. Kita perlu menolak dogma sains empiris (a) dan menggantinya dengan pemahaman (a1) atau alternatif lainnya.

Konsekuensi lanjutan lebih menantang, “Apakah ada klaim kebenaran apriori?”

Awalnya, kita menerima pernyataan “B = Bayi adalah manusia” sebagai kebenaran apriori. Kita tidak perlu pengamatan. Sehingga, B bukan posteriori tetapi apriori. Secara logis, kita bisa menerima klaim apriori sebagai benar. Tetapi, secara filosofis, kita perlu mengkaji lebih mendalam makna dari pernyataan B.

Jadi, klaim apriori bisa kita terima secara logis. Secara filosofis, apriori adalah fallible – masih bisa bernilai salah. Sehingga, pengertian apriori adalah klaim kebebaran yang kita terima karena sudah diterima pada masa lebih awal dari kita.

(M) 2 + 1 = 3

Klaim apriori “(M) 2 + 1 = 3” kita terima karena sudah terbukti benar dalam operasi bilangan asli. Sistem bilangan asli sudah diterima luas oleh para ilmuwan. Bagaimana pun, “(M) 2 +1 = 3” bisa bernilai salah pada sistem yang bukan bilangan asli. Demikian juga teori Newton bisa kita terima sebagai apriori tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan revisi.

Bagaimana dengan prinsip logika? Misal prinsip identitas A = A dan prinsip non-kontradiksi. Bukankah prinsip logika adalah apriori? Benar, apriori secara logis. Secara filosofis, kita bisa mempertimbangkan paradox Russell dan paradox Godel, misalnya.

3. Analisis Tuntas

Dogma kedua sains empiris adalah (b) sains mampu melakukan analisis secara tuntas. Dogma (b) perlu kita ganti dengan pemahaman (b1) sains tidak mampu melakukan analisis secara tuntas. Ada realitas, sedikit atau banyak, yang tidak bisa dianalisis secara tuntas oleh sains.

Bagaimana sains empiris bisa menganalisa tuntas makna dari “bayi”?

Makna-bayi secara sains adalah sesuai definisi bayi, misal bayi adalah manusia yang baru lahir. Selanjutnya, kita berurusan dengan makna-manusia dan lain-lain. Singkatnya, makna-bayi dipengaruhi oleh jaringan kata-kata dan jaringan bahasa. Kita tahu makna-bahasa berubah dinamis seiring waktu. Makna-bahasa berada dalam jaringan-sejarah.

Definisi bayi secara saintifik adalah sebuah usaha untuk membatasi makna-bayi sehingga makna-bayi bisa dipahami secara spesifik. Bila demikian, definisi-bayi bukanlah bayi secara nyata. Akibatnya, sains gagal menganalisis makna-bayi secara tuntas. Sains hanya bisa membatasi makna-bayi dengan menggantinya berupa definisi-bayi.

Jadi, kita perlu menolak dogma sains empiris (b) dan menggantinya dengan pemahaman (b1) bahwa sains tidak berhasil melakukan analisis secara tuntas. Kita masih memerlukan lebih banyak analisis tambahan untuk mengimbangi analisis sains.

4. Pembedaan Hukum Alam/Spontan

Dogma ketiga adalah (c) perbedaan hukum alam/spontanitas bisa diselesaikan oleh sains empiris. Kita perlu menggantinya dengan (c1) sains tidak mampu merumuskan spontanitas.

Sains berhasil mengkaji hukum alam, misal teori gravitasi, dengan baik. Berdasar teori sains, kita bisa merancang pesawat terbang untuk keliling dunia. Bahkan, kita bisa merancang pesawat ruang angkasa. Luar biasa!

Sains biologi bergerak ke neuro sains dengan mengkaji otak dan pikiran manusia. Semua pikiran manusia dipetakan berdasar cara kerja neuron-neuron di otak. Dengan kata lain, sains akan berhasil mengkaji cara kerja neuron. Pada gilirannya, diharapkan, sains berhasil mengkaji cara kerja pikiran manusia. Benarkah begitu?

Tidak bisa. Sains tidak bisa merumuskan pikiran manusia yang bebas bersifat spontan. Memang, sains bisa menghalangi kebebasan manusia sehingga tidak spontan. Misal obat bius bisa membius pikiran manusia sehingga pikiran tidak spontan. Tetapi, bagaimana sikap bebas dan spontan manusia itu bisa dirumuskan oleh sains? Sains tetap tidak bisa merumuskan spontanitas sampai sejauh ini.

Sehingga, kita perlu menerima eksistensi dua domain. Pertama, domain hukum alam. Sains mahir mengkaji hukum alam ini. Kedua, domain spontanitas. Sains gagal membuat formula eksak untuk spontanitas. Dengan demikian, kita perlu menolak dogma (c) dan menerima pemahaman alternatif (c1) ada spontanitas yang beda dengan sains empiris.

5. Determinan

Dogma sains keempat adalah (d) sains memiliki determinan akhir, penentu akhir, terhadap klaim kebenaran. Kita perlu menggantinya dengan pemahaman (d1) sains tidak memiliki determinan akhir sebagai penentu kebenaran. Kita perlu mempertimbangkan beragam perspektif pembanding: filsafat, seni, bisnis, agama, cinta, dan lain-lain.

Apakah sains memiliki determinan, penentu akhir, mana lebih baik? Teori quantum atau teori relativitas? Saat ini, sains tidak memiliki determinan tersebut. Orang bisa berargumen bahwa pertanyaan “mana lebih baik” adalah normatif sehingga bukan bidang kajian sains. Pertanyaan bisa kita ganti “mana lebih valid?” Sains tetap tidak memiliki determinan tersebut.

Lagi, orang bisa berargumen bahwa quantum berbeda domain dengan relativitas. Quantum mengkaji partikel elementer sedangkan relativitas mengkaji gravitasi makrokosmik. Apakah alam memang terbagi dua terpisah? Yang satu domain quantum dan, yang lainnya, domain relativitas? Tidak. Alam tidak terpisah menjadi dua. Hanya saja, sains memang tidak punya determinan akhir.

Kita bahkan bisa mengajukan pertanyaan di bidang matematika sebagai sains murni. Apakah bilangan real, misal akar 3, adalah benar-benar bilangan sebagaimana bilangan bulat? Atau, bilangan real adalah sekedar “aturan” terhadap suatu bilangan? Sampai sekarang sains tidak memiliki determinan sebagai penentu akhir atas pertanyaan tersebut. Ahli matematika berbeda pendapat tentang bilangan real.

Mana lebih baik antara kapitalisme atau sosialisme?

Jadi, sains perlu bekerja sama dengan disiplin lain, dengan determinan lain, agar bisa mengambil keputusan dengan baik. Dogma bahwa sains sebagai determinan terbaik, apalagi sebagai determinan tunggal, perlu ditolak. Kita perlu berpikir terbuka bahwa sains memerlukan dukungan determinan-determinan dari luar.

Berikut tiga tantangan tambahan apakah sains memiliki determinan akhir?

(p) Dalam paradoks Godel, apakah memilih G atau negasi G, yaitu (-G)?

(q) Dalam forcing Cohen, apakah memilih CH (continuum hypothesis) atau negasi CH?

(s) Dalam membaca tulisan ini, apakah Anda memilih lanjut atau tidak lanjut?

Anda bebas memilih yang mana saja karena tidak ada determinan akhir. Atau, Anda selalu bisa membuat argumen atas pilihan Anda. Kemudian, argumen itu dianggap sebagai determinan.

6. Abadi

Dogma sains kelima adalah (e) sains memiliki kebenaran abadi. Kita perlu menggantinya dengan pemahaman alternatif (e1) klaim kebenaran sains tidak abadi tetapi futuristik. Aspek futural, masa depan, menjadi paling penting bagi manusia. Klaim sains yang diyakini benar di masa kini, bisa direvisi di masa depan. Sejarah sains mencatat banyak revisi. Lebih dari itu, klaim sains saat ini diwarnai oleh perspektif futuristik. Jadi, sains adalah abadi dalam dinamika perubahan menuju masa depan.

Saya kira banyak orang menyadari bahwa klaim kebenaran sains bisa berubah seiring waktu. Orang bisa menyaksikan bahwa sains terus berkembang dengan ragam pembaruan. Problem yang lebih sulit adalah, “Benarkah klaim sains memang transparan sesuai konteks?”

“Apakah teori mekanika klasik (Newton) bernilai benar di masa itu, pada konteks yang tepat?”

Tentu saja, pada konteks kecepatan mendekati cahaya atau konteks partikel elementer, mekanika klasik tidak valid. Kita ingin mengkaji, apakah pada abad 18, mekanika klasik adalah valid? Atau, mekanika klasik hanya merupakan estimasi terhadap fenomena mekanika fisika?

Pertanyaan terakhir bisa kita pilih sebagai terbaik. Mekanika klasik, pada situasi terbaiknya, adalah sekedar estimasi. Karena itu, mekanika klasik tidak bisa abadi. Mekanika klasik perlu bergerak menjadi estimasi yang lebih baik secara terus-menerus. Rumitnya, sampai taraf tertentu, hasil estimasi mekanika klasik tidak lagi valid. Kita perlu mengganti paradigma mekanika klasik dengan paradigma mekanika quantum, misalnya. Pada gilirannya, mekanika quantum pun mengalami revisi terus-menerus. Dan, barangkali di masa depan, mekanika quantum perlu diganti dengan paradigma baru lainnya.

Dalam buku “Logika Futuristik” saya menjelaskan bahwa setiap teori akan menghadapi paradoks meta-teori dan meta-perspektif. Meta-teori menyatakan bahwa setiap teori perlu landasan teori lain. Pada gilirannya, landasan teori lain itu pun perlu landasan teori lain lagi tanpa henti. Dalam arah sebaliknya, suatu teori akan menghasilkan konsekuensi yang paradoks. Paradoks ini bisa diselesaikan dengan menambah teorema baru. Akibat dari teorema baru itu, berkonsekuensi, ada paradoks baru dan seterusnya.

Meta-perspektif menyatakan bahwa setiap teori akan memiliki suatu perspektif tertentu. Perspektif ini pasti tidak lengkap atau, kadang, bertentangan dengan perspektif lain. Kita bisa menambahkan perspektif yang lebih luas atau menggabungkan beberapa perspektif yang ada. Tetapi, perluasan atau penggabungan perspektif hanya menghasilkan perspektif baru. Demikian, seterusnya akan selalu ada perspektif baru tanpa henti.

Jadi, kita perlu menolak dogma bahwa sains memiliki klaim kebenaran yang murni obyektif, transparan, apalagi abadi. Kita perlu menggantinya dengan pemahaman bahwa klaim sains selalu futuristik – bisa direvisi, sewaktu-waktu, di masa depan.

7. Rekomendasi Solusi

Saya merekomendasikan solusi seperti kita bahas di atas. Kita akan merangkum ulang rekomendasi solusi dengan urutan dibalik dari (e1) sampai (a1).

(e1) Klaim kebenaran sains bersifat futuristik – mempertimbangkan masa depan. Sains masa kini terbuka untuk revisi di masa depan. Tidak ada klaim sains yang mandeg abadi. Justru, sains abadi dalam gerak perubahan menuju masa depan yang lebih cemerlang.

(d1) Sains adalah salah satu determinan, atau penentu, kebenaran. Beberapa determinan lain misal filsafat, seni, agama, etika, cinta, dan teknologi. Sains perlu menjalin relasi yang serasi dan dinamis dengan determinan-determinan lain. Dengan demikian, klaim kebenaran sains mengalun serasi bersama yang lain.

(c1) Formula sains yang mengekspresikan hukum alam perlu menghormati karakter subyek manusia yang spontan dan memiliki freedom. Karakter spontan manusia tidak bisa direduksi menjadi hukum alam sesuai sains. Sains perlu menyikapi karakter spontan subyek manusia agar mendorong sains untuk berkembang lebih maju.

(b1) Analisis kebenaran sains selalu terbuka terhadap revisi yang lebih baik. Tidak ada klaim kebenaran sains yang bersifat tuntas, murni obyektif, dan sepenuhnya transparan. Selalu ada posibilitas untuk melakukan analisis ulang terhadap sains yang lebih mendalam dan lebih luas.

(a1) Sains perlu untuk melakukan sintesa-sintesa dengan beragam disiplin. Sains tidak bisa hanya mengandalkan analisis sains secara mandiri. Karena, sains memang tidak akan mampu melakukan analisis hanya berdasar sains saja. Setidaknya, sains perlu melakukan sintesa dengan pengalaman nyata. Sintesa ini akan membuka beragam kemajuan sains itu sendiri.

Bagaimana pun, lima rekomendasi solusi di atas perlu kita sikapi dengan kritis dan terbuka. Jika solusi ini dipegang penuh keyakinan maka akan menjadi dogma baru. Justru, dogma-dogma sains adalah poin yang perlu kita usir. Jadi, kita perlu sikap berpikir terbuka, terhadap alternatif pemahaman, untuk membuka posibilitas luas bagi sains.

Bagaimana menurut Anda?

Iklan

Diterbitkan oleh Paman APiQ

Lahir di Tulungagung. Hobi: baca filsafat, berlatih silat, nonton srimulat. Karena Srimulat jarang pentas, diganti dengan baca. Karena berlatih silat berbahaya, diganti badminton. Karena baca filsafat tidak ada masalah, ya lanjut saja. Menyelesaikan pendidikan tinggi di ITB (Institut Teknologi Bandung). Kini bersama keluarga tinggal di Bandung.

Ikuti Percakapan

1 Komentar

Tinggalkan komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: